Aku duduk di tepi ranjang samping kiri. Memintal-mintal selimut yang menutup setengah tubuh ini. Kutatap Khalid yang baru kembali dari kamar mandi, jejak basah terlihat masih tertinggal di ujung rambut hingga menetesi kerah kaus."Kalau kamu keberatan saya bisa tidur di sofa atau ruang tam--""Nggak usah!" sentakku tanpa sadar. Kutahan tangannya yang hendak meraih selimut dan bantal. "Di sini aja, temenin." Kutepuk dahi sesaat setelah mengatakan, kalau begini jadinya aku seperti sangat menginginkan. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Ini bahkan bukan pengalaman pertamaku dengan lelaki. Aku bahkan sudah mengenal berbagai macam Kaum Adam.Tapi, kenapa sekarang seolah ada perasaan janggal yang tak pernah dirasakan?"O-oke." Tanpa menoleh aku bisa merasakan pergerakan ranjang di samping kanan. Dia menarik selimut yang semula hanya kugunakan.Napasku tercekat saat kaki kami bersentuhan. Sialan, apa-apa perasaan ini?Mencoba menepis berbagai macam perasaan yang berkecamuk menjadi satu, aku
Di dalam perjalanan menuju supermarket. Sesekali aku melirik Khalid yang tengah fokus menyetir. Teringat kata-katanya subuh tadi, juga dekapan hangatnya semalam. Aku mulai merasakan kecamuk perasaan yang sulit digambarkan."Semalam adalah tidur ternyenyak saya setelah beberapa waktu terakhir." Khalid memulai percakapan dan balik menatap."Iyakah? Kukira kamu pingsan karena rambutku bau.""Rambutmu wangi, Nindi," tuturnya penuh penekanan."Kalau badanku?" "Justru aroma tubuhmu yang membuat saya tenang hingga lelap semalam.""Belum aja kamu cium aroma ketekku yang kata orang memabukkan."Khalid menekan pelipis saat dirasa percakapan ini mulai melenceng jauh.Mencoba mengalihkan kegialaanku yang semakin menjadi-jadi. Akhirnya dia berinisiatif untuk menyalakan audio yang kebetulan tengah memutar lagu dari penyanyi wanita yang sedang hitz sekarang. Judulnya 'Kisah yang Sempurna'Tenggelam, jiwaku dalam anganTersesat, hilang, dan tak tahu arahKu terjebak masa lalu yang kelamTak kulihat
Tujuh tahun lalu ....Di depan gundukan makam dengan nisan bertuliskan 'Lusi Anita bin Abdul Jafar, aku terpekur memeluk balita berumur satu tahun dalam gendongan, menenangkan lelaki yang bahunya berguncang meluapkan rasa kehilangan yang amat besar. Setelah tiga tahun berumah tangga, setahun diberi kepercayaan untuk menjadi orang tua. Maut akhirnya memisahkan mereka, karena penyakit magh kronis yang menggerogoti tubuh istrinya.Kak Lusi dan Kak Indra bisa dibilang orang yang berjasa saat aku tinggal di panti. Mereka juga yang setahun lalu menawariku pekerjaan di sebuah cafe menjadi seorang barista. Sejak saat itu aku meninggalkan panti serta semua kenangan manis dan pahit yang pernah tercipta di sana. Kemudian memutuskan menetap di sebuah kontrakan masih di daerah yang sama dengan mereka, yaitu Jakarta Selatan.Setelah resign dari Panti Tali Asih Kak Indra memang memutuskan untuk bekerja menjadi seorang butuh pabrik, sementara Kak Lusi fokus menjadi ibu rumah tangga. Tiga tahun pertam
Sepeninggal Kak Indra, bergantian renternir datang. Menagih utang yang bahkan aku tak tahu. Ada yang bilang itu bekas pengobatan Kak Lusi, ada juga yang bilang utang yang ditinggalkan bapak Kak Indra sebelum meninggal. Lebih parahnya lagi, ada yang menagih utang judi.Semua barang-barang di rumah ludes di sita. Yang tersisa dari kami hanya diri. Sembari menunggu kabar dari satu-satunya tulang punggung keluarga, aku masih harus meyakinkan Nana bahwa semua akan baik-baik saja. Di tengah keputusasaan, dalam sisa harapan, tepat di hari ke tujuh Kak Indra pulang. Nyaris tak ada kata yang dia ucapkan setelah seminggu meninggalkan kami tanpa kepastian.Setelah memastikan Ibu dan Nana sudah lelap tertidur, kuhampiri dia yang duduk termangu di tepi ranjang. Memegangi kepala seolah menekan begitu banyak beban."Kak, aku tanya ke mana kakak selama ini?"Dia masih tak menjawab. Hanya menoleh dan menatapku dengan sorot yang sulit diartikan."Apa kamu mencintaiku, Nindi?"Aku mengernyitkan dahi."
"Nindi, lo inget saat gue pernah bilang kalau liat Si Indra digandeng Ibu-Ibu sosialita? Ternyata itu beneran istrinya. Akhirnya Si Bangsat pulang setelah lima tahun anjir!""Ah, yang bener? Lo, salah liat kali.""Sumpah. Gue liat dengan kedua biji mata, itu beneran mantan laki, lu. Dia pulang ke rumah! Nemuin Bu Nia sama Nana dengan wajah tanpa dosa!""Nindi!" Tarikan tangan Khalid berhasil membuyarkanku lamunan tentang percakapan dengan Roy beberapa waktu lalu. "Dia mantan kamu, kan?" Lelaki itu menahanku, begitu kami sampai di dalam.Aku terdiam sejenak, lalu berbalik menghadapnya."Iya, kenapa emang?""Nggak, saya cuma ....""Udah, nggak usah merasa tersaingi. Titidnya nggak seberapa, tapi nyakitinnya nggak kira-kira. Masih ganteng kamu ke mana-mana. Jauuuh dia mah.""Astagfirullah, Nindi. Bukan itu maksud saya. Masalahnya--""Dahlah, nggak usah bahas Si Kampret. Kita sama-sama cape, ditambah ketemu Demit Gunung Gede. Buruan mandi, takutnya ketempelan nanti!"Kutinggalkan Khalid y
"Udah enakan?" tanyanya, begitu tangisku reda.Aku mengangguk, lalu menyeka tangis yang tersisa. Kutatap kaus putihnya yang basah oleh air mata."Basah." Aku memegang dadanya."Nggak apa-apa," ucap Khalid dengan senyumannya."Mau dibukain?" tawarku."Nindi ...." Dia memperingati."Nggak ada maksud lain, aku ada baju ganti biar kamu nggak perlu ke kamar nyari." Akhirnya dia mengangguk juga.Aku beranjak dari sofa, menuju lemari. Mencari pakaian yang saat itu kubeli langsung sepasang."Couple?" Dia mengernyitkan dahi saat menyadari baju yang kusodorkan sama dengan yang dikenakan."Keberatan?" Kunaikan sebelah alis.Khalid menggeleng pelan. Lalu mengambil-alih kaus Minion yang kusodorkan. Berjalan ke dekat balkon kamar, dia mulai melepas pakaian.Aku tertegun menatap tubuh itu dari samping. Sudah kuduga, petakan di perutnya memang nyata adanya."Mau keluar?""Apa yang keluar?"Khalid memejamkan mata sejenak."Jalan-jalan, menenangkan diri, kebetulan ada dua jam lagi sebelum waktu buka,"
"Makin cakep aja bumil satu ini." Dari pantulan kaca, kulihat kepala Neli menyembul dari balik pintu kamar.Mengalihkan pandangan dari cermin yang menunjukkan wanita berperut besar, aku mendengkus pelan."Bisa aja. Janji nggak minta tambah uang jajan?"Neli tertawa. "Haha. Nggak, kok. Beneran makin cantik Mbak Nindi, heran aja Si Bapak nggak khilaf-khilaf."Aku tersenyum getir, mengusap perut yang membuncit. Tak terasa, sudah tujuh bulan usia kandungan berjalan. Selama itu aku mulai berdamai dengan keadaan. Dengan segala kemungkinan-kemungkinan menyakitkan yang akan terjadi di depan. Sebaik apa pun chemistry yang coba Khalid bangun tujuh bulan terakhir, tetap tak bisa meruntuhkan benteng yang sudah sejak awal dia bangun tinggi.Aku hanya merasa semua yang dia lakukan tak lebih hanya sebagai bentuk penghormatan sebagai pasangan dalam kontrak yang tertulis, bukan sebagai kewajiban yang memang seharusnya dilakukan tiap suami.Semakin dia mendekat, semakin kurasakan jarak yang menyekat.
Seperti biasa, bagai hari-hari sebelumnya. Saat perdebatan yang terjadi mulai tak bisa dikendalikan. Diam adalah satu-satunya jalan keluar. Bahkan saat tiba di unit apartemen, aku dan Khalid sama-sama tak saling bicara. Hanya tindakan yang biasa dia lakukan bila aku mulai ceroboh dalam mengambil langkah atau sengaja bersikap ketus sepanjang perjalanan."Assalamualaikum," salam diucapkan begitu kami sampai."Waalaikumsallam." Namun, kali ini ada yang berbeda. Bukan hanya Neli, kini suara wanita lain yang tak asing terdengar.Aku dan Khalid berpandangan."Suaranya kaya--""MasyaAllah anak ganteng sama menantu cantik mama baru pulang."Sudah kuduga, yang tadi ternyata memang suara Bu Sarah!Dia langsung memeluk kami bersamaan."Ngapain Mama di sini?""Ye, nih anak, Emaknya dateng bukan disambut, malah dipertanyakan.""Bukannya Mama temenin Papa Dinas ke Singapur selama seminggu ke depan?""Mama nggak jadi ikut. Mending di sini. Bantu kalian ngurusin persiapan tujuh bulanan." Wanita yan