"Mama nggak pulang karena Papa bawa Mama baru, ya? Tapi, Nana nggak mau Mama baru, Nana maunya Mama. Sekarang Mama baru udah pergi, kita bisa sama-sama lagi, kan, Ma? Mama bisa sama Pa--" Tarikan tangan yang cukup keras itu membuat kalimat Nana terpotong sebelum sempat dia menyelesaikan.Kulihat Bu Nia menarik cepat cucunya dari rengkuhanku."Udah, Nana! Kita pulang, nanti papa bawa mainan sama buah-buahan. Kemarin Nana minta apel, kan?"Bocah itu mengangguk. "Tapi Nana pengen pulang sama Mam--""Nana! Dengerin nenek nggak, sih? Bandel banget kamu akhir-akhir ini. Udah berapa kali nenek bilang dia bukan mama--""Bu!" Aku menegurnya sebelum Bu Nia mengeluarkan kata-kata yang semakin membuat Nana tertekan. "Kasih dia waktu. Nana masih terlalu kecil untuk mengerti semua ini."Bu Nia memalingkan muka. "Terserah.""Kapan-kapan mama mampir, ya, sayang. Bawa makanan kesukaan Nana." Aku membungkuk mengelus kepalanya."Janji, ya, Ma! Kalau mama nggak dateng Nana nggak mau makan."Aku menganggu
"Jadi, sudah hampir tiga minggu kamu tinggal di sini?" Khalid mulai mengamati sekeliling tempatku tinggal begitu warga yang diketuai Pak RT membubarkan diri."Ya, kenapa?" Aku balik bertanya.Sebenarnya aku malas menanggapi hal-hal seperti ini. Terlebih karena dia datang tanpa diundang, dan aku belum sempat meluapkan kekesalan juga menuntut penjelasan pada Roy yang langsung ikut kabur begitu Pak RT dan konco-konconya pergi.Mereka langsung meminta maaf saat Khalid menjelaskan dengan detail bagaimana hubungan kami terjalin dengan tambahan bumbu-bumbu sandiwara yang menutupi fakta tentang anak di kandunganku sebenarnya. Ekspresi yang paling kentara jelas ditunjukan si Bandot Tua Tikus Berdasi, yang menatap dengan penuh emosi tadi. Niat ingin menjatuhkan, tapi malah dia yang malu sendiri."Apa nggak kekecilan?" Khalid bertanya dengan hati-hati, masih dengan pandangan yang mengitari sekitar indekos yang baru dia singgahi."Nggak. Pas, kok. Mending kecil tapi nyaman. Daripada gede tapi ngg
"Suaminya single, Mbak?" Celetukan dari tetangga sebelah kosan menginterupsiku yang tengah mengangkati pakaian kering dari balik rak jemuran yang sengaja dinaikan ke teras selepas hujan."Single jidatmu!" cetusku ketus."Canda, Mbak. Btw cakep amat lakinya, siapa tahu butuh yang kedua buat bantu-bantu angkat jemuran." Gadis yang baru beranjak dewasa itu nyengir lebar."Kedua? Mungkin maksudnya yang ketiga!""Hah?" Gadis itu melotot antara terkejut dan heran.Aku hanya bisa terkekeh pelan."Saya cuma mau ngasih tahu, Dek. Naksir itu jangan sama laki orang. Walaupun sama-sama suka, jatohnya tetep selingan. Tempatnya pulang, ya tetep istri yang dia nikahin pertama kali!"Gadis dengan wajah siang dan leher malam itu hanya bisa menggaruk rambut. "Oh, gitu, ya, Mbak?"Aku mengangguk pelan, lalu masuk ke dalam.Begitu meletakkan baju kering di atas karpet ruang tamu, suara dari arah kamar mandi terdengar."Nin, ada sampo lain?""Kenapa emang?" "Kayaknya yang ini abis," jawabnya tak yakin."
Untuk pertama kali sejak tujuh bulan kebersamaan, aku terbangun dalam dekapan seorang Khalid Prasetya dalam ranjang yang sebenarnya hanya muat untuk ditempati satu orang. Melihat posisinya yang menyamping dengan sebelah lengan menopang kepalaku, sudah dipastikan betapa keram dan mati rasa salah satu lengannya itu.Kutatap jam yang terpajang di sudut ruang kamar menunjukan hampir waktu subuh, tapi belum sampai terdengar kumandang adzan. Perlahan aku beranjak dari sisinya untuk mengambil wudu, setelah itu baru memulai kegiatan yang rutin dilakukan mulai dari bangun pagi.Dua puluh menit setelah selesai sholat dan memasak nasi, aku melanjutkan kegiatan mencuci beberapa helai pakaian kotor, beserta yang Khalid kenakan kemarin. Karena memang tak ada mesin cuci, semua kulakukan dengan tangan. Meski awalnya kesusahan berjongkok dengan perut besar, tapi seiring berjalannya waktu apa yang sudah menjadi kebiasaan akan mudah dilakukan."Kenapa nggak pake mesin?" tanya sebuah suara dari belakang
"Kenapa nggak pesen taksi online atau go-car aja?" tanya Khalid saat aku menyodorkan helm di depan motor matix yang akan kami kenakan."Lama, ribet. Ini lebih cepet. Dah, buruan!" Tak mau memperpanjang perdebatan, aku langsung menepuk jok, dan bersiap naik di belakang.Helaan napas panjang terdengar. Dia malah terdiam menatapku dan motor di hadapan dengan bergantian."Ayo, buruan!" desakku kemudian."Nindi, sebenernya saya malu mengatakan ini. Tapi, saya nggak bisa pake motor.""Demi?" Aku terpekik tanpa sadar.Khalid mengangguk pasrah, wajahnya terlihat amat meresahkan."Ck, ya udahlah, duduk di belakang! Biar aku yang bonceng." Kudorong pelan tubuhnya agar menyingkir, lalu bersiap memarkir motor memasuki gang."Apa nggak keliatan aneh?" Resahnya begitu duduk di jok belakang dan berpegangan pada kedua sisi bahuku."Satu-satunya keanehan cuma orang yang lancar naek sepeda, tapi nggak biar naik motor. Dah, buruan pake helm-nya. Keburu siang.""Saya pernah jatuh ke parit, Nindi. Terus d
"Sejak Mbak Nindi pergi, dan si Indra pulang bawa bini barunya, keadaan udah nggak lagi sama. Hampir tiap ari saya denger keributan dari rumah Bu Nia. Suara orang berantemlah, barang pecahlah, bahkan tangisan Nana dan istri barunya sejak anak mereka dinyatakan meninggal. Gongnya waktu bininya akhirnya minggat. Pertengkaran Bu Nia sama Indra makin sering terjadi. Kebanyakan masalah keuangan. Saya bisa dibilang saksi hidup kalian, jadi tahu betul gimana lima tahun terakhir Mbak Nindi berusaha mensejahterakan anak dan mertua Mbak, bahkan sampe lunasin utang-utang yang ditinggalin mendiang Lusi."Tapi, liat sekarang. Setelah Mbak Nindi pergi kurang lebih delapan bulan lalu, utang mereka di warung Babeh Naim sampe jutaan, beberapa barang di rumahnya satu per satu disita. Belom lagi utang duit ke mana-mana bakal berobat si Nana yang akhir-akhir ini sakit-sakitan, juga buat memenuhi kebiasaan buruk si Indra yang belum juga bisa lepas dari kesenangan judinya." Aku hanya bisa tertegun mendeng
"Hey, masa kamu mau terus-terusan begini?" Khalid berlutut di hadapanku yang masih berbaring di ranjang, meski hari telah beranjak siang.Sudah dua hari sejak kunjungan itu, tiba-tiba mood-ku mulai berubah berantakan dan malas melakukan berbagai macam pekerjaan rumah tangga. Seharusnya aku senang karena pada akhirnya semua kebenaran terungkap, dan Bu Nia tak lagi memandangku sebelah mata.Namun, tetap saja terasa ada yang kurang. Tak ada perasaan lega yang seharusnya dirasakan. Aku malah merasa janggal, karena semuanya seperti tidak direncanakan dan terkesan dipaksakan.Apalagi saat melihat si keparat Indra lolos begitu saja sebelum mempertanggungjawabkan sempat aku menghajar wajahnya yang tak seberapa tampan."Makan, ya!" pintanya."Kan, tadi pagi udah sarapan," sanggahku sembari mendesah gusar. Aku memang tak berselera dua hari belakangan."Tapi, kan belum makan siang. Saya udah masak capcay tadi."Karena tak tega melihat effort-nya yang luar biasa selama menjadi bapak rumah tangga
Setelah aku membiarkan Khalid mengurus rumah tangga selama dua hari. Banyak hal yang terjadi sepekan terakhir ini. Mulai dari tukang sayur yang semakin sering gedor-gedor tiap pagi, Ibu-ibu rempong yang datang silih berganti membawa makanan atau sekedar cari perhatian setelah ditraktir sayur sekali. Pak RT yang basa-basi mengajak Khalid nongkrong di Pos Ronda untuk main catur atau kartu, bahkan sekedar ngopi, yang aku tahu pasti tujuannya hanya untuk minta ditraktir. Dan banyak lagi kejadian lain yang membuatku hanya ingin menguncinya di dalam rumah tanpa membiarkannya keluar untuk jadi santapan warga sekitar karena cara 'dermawannya' dalam menghambur-hamburkan uang.Seperti kali ini, di siang bolong yang terik, saat Khalid tengah berkutat dengan laptop di pangkuan dan bergelut dengan pekerjaan ditemani secangkir kopi dan pisang goreng yang kuhidangkan. Kembali terdengar suara ketukan pintu dari luar."Diem, biar aku yang buka!" tegasku begitu melihat Khalid hendak beranjak dari tempa
"Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj
Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r
Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!
Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta
Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark
Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In
Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir
Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja
Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce