Tak terasa hari yang dinanti tiba, dua hari sebelum puasa Neli pulang ke kampung keluarganya di Bekasi. Dia pamit dengan begitu semringah, membawa banyak sekali oleh-oleh yang sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari."Inget pesan-pesan saya, ya, Mbak. Untuk menjadi istri yang berbakti ha--hmmptt." Kujepit mulut Neli dengan jari."Iya, iya, ngerti. Sana pergi!"Neli menepis tanganku dengan bibir mengerucut lima senti. "Jadi, ngusir, nih? Ya udah, deh. Pamit, ya, Pak, Mbak." "Ya, hati-hati," sahut Khalid sembari membantu memasukkan tas Neli ke dalam taksi.Lambaian tangan kami mengiringi kepergian Neli. Setelahnya kutatap Khalid dengan senyum penuh arti."Berhenti menatap saya dengan ekspresi itu, Nindi!" Khalid tampak risih, lalu menjauh."Jadi, kencan ke mana kita hari ini?" Aku mengerlingkan mata, sesekali mencolek dagunya."Supermarket. Persediaan bahan pokok abis. Nggak ada Neli, jadi kita harus beli sendiri.""Dih, nggak asik."***"Truk aja gandengan masa kita enggak?"Khalid yan
Seperti yang dilakukannya tempo hari. Diam adalah cara paling efektif untuk menghindari perdebatan, khususnya hal penting yang kutahu pasti tak ingin Khalid bahas sama sekali.Aku yakin dia mendengar ucapanku saat itu, aku juga yakin dia tahu sesuatu, tapi belum punya cukup waktu untuk membaginya denganku.Aku hanya berusaha tak peduli, walaupun dalam hati berkali meneriaki bahwa semua ini mulai terasa memuakkan bagiku."Itu Paprika, Nindi!" Khalid menahan tanganku saat hendak meletakkan sayur yang mirip apel itu di rak buah dalam kulkas.Kuputar bola mata, lalu menepis tangannya. Agak menjengkelkan melihat sikapnya yang mudah berubah padahal sepanjang perjalanan tadi dia mendiamkanku.Kugeser tubuh menjauh. Menjaga jarak saat kami sama-sama membereskan belanjaan tadi ke dalam bufet dan lemari."Sejauh ini apa ada keluhan kehamilan yang terjadi?""Nggak!" sentakku dengan nada tinggi. "Kalau pun ada, apa kamu bisa turuti?" Aku balik bertanya dengan sinis.Khalid menyandarkan tubuhnya d
"Not bad," cetus lelaki itu, lalu mulai mengambil alasnya sendiri.Aku mendengkus keras, lalu menengadah.Terkadang lelaki memang perlu dipancing agar dia bisa mengerti.Tak lama, suara bel terdengar menginterupsi kami. Khalid hendak beranjak, tapi kutahan."Biar aku aja!" Dia kembali duduk dan lanjut makan, sementara aku berjalan menuju pintu."Bu Melani?" gumamku saat melihat dari layar perempuan itu berdiri menenteng mangkuk di tangannya.Lekas aku membuka pintu."Ada yang bisa dibantu, Bu?"Bu Melani menggeleng pelan, lalu tersenyum kecil."Nggak, kok, Mbak. Saya cuma mau anterin ini. Kebetulan buat sahur tadi bikin Soto Betawi." Dia menyodorkan mangkuk dengan dua pegangan itu ke hadapanku."Aduh, saya jadi enak, Bu. Makasih banyak, ya. Kebetulan kesiangan tadi, jadi nggak sempet masak macem-macem." "Iya. Sama-sama. Semoga suka, ya.""Eh, ngomong-ngomong Ibu udah sahur?" "Udah, baru aja tadi.""Sendiri?" Perempuan itu mengangguk."Suami saya baru pulang H-7 nanti.""Ya, ampun.
"Masa kamu nggak tahu cilung sama es cekek, sih?" sungutku tak habis pikir."Cilung itu makanan?" Dia balik bertanya."Yaiyalah. Jajanan yang sering ada di depan SD. Masa belum pernah coba?" Aku mulai sewot."Di sekolah saya dulu nggak ada itu."Aku menepuk dahi. Pantas saja hal ini terjadi, dia terlahir sultan, jadi tak mungkin merasakan sekolah umum negeri."Argghh ...." Aku menggeram, kesal sendiri. Kuempaskan tubuh ke sandaran kursi, lalu melipat tangan dan tak mengatakan apa pun lagi.Dari sudut mata kulihat Khalid mengusap wajah berkali-kali. Wajar, puasa pertama, tengah hari, dan aku meminta keinginan yang aneh-aneh lagi."Tapi kita bisa cari." Menanggapi responsku yang begini, dia tiba-tiba membujuk. "Kamu cukup kasih tahu saya gimana bentuknya Cilung sama Es Cekek."Aku tersenyum lebar, lalu mulai menjelaskan tak sabar."Cilung itu aci digulung, terus dibubuhi taburan bawang halus yang gurih. Sementara es cekek itu es di Mamang-Mamang gerobakan yang diplastikin terus dikasih
"Mau?" Khalid menawariku saat kutemani dia makan menu sop iga bakar di ruang tamu.Aku menggeleng pelan. "Nggak, udah kenyang.""Maaf kalau tadi cilungnya nggak ketemu. Lain kali kita cari lagi, atau kalau perlu bikin." Dia masih terlihat bersalah, padahal aku tahu seberapa keras usahanya seharian ini."Nggak apa-apa, lagian aku cuma pengen keliling sambil jajan aja tadi.""Yakin?"Aku mengangguk pelan. "Iya, palingan nanti anakmu ileran.""Nindi ....""Bercanda, Ganteng."Khalid memejamkan mata sesaat, dan mulai makan tanpa suara. Bersamaan dengan itu ponselku berbunyi. Panggilan video dari Roy tampak di layar."Apa?" sungutku begitu wajah lelaki berambut pirang itu memenuhi layar."Angkat telepon udah kayak Kang Jagal. Halo-halo dulu, kek. Atau ucap salam.""Lo tahu siapa gue, Roy!""Iya, tahu. Lu, kan cewek sinting," sahut Roy yang membuatku sontak tertawa nyaring."Lagi di mana, lo?" tanyaku setelahnya."Tebak, gue di mana?"Eh, Si Kampret malah minta main tebak-tebakkan."Pasti d
Selesai membersihkan diri, aku yang bingung mau apa hanya bisa mondar-mandir di sekeliling kamar. Menonton TV, membaca buku, bahkan hanya sekedar rebahan sudah kulakukan. Namun, sama sekali tak mampu mengusir bosan. Lain dengan saat jalan-jalan bersama Khalid keliling Batam. Berjam-jam waktu ditempuh tak ada jenuh yang dirasakan.Sedikit ragu, aku melangkah keluar. Menatap lama pintu kamar Khalid yang persis ada di seberang. Terdengar samar suara orang yang mengaji. Akhirnya kuberanikan diri menghampiri.Lelaki itu tengah bersila beralaskan sajadah, kitab suci dia genggam erat di pangkuan. Memang tak semerdu para tilawah Qur'an, tapi suara cukup menenangkan.Sadar diperhatikan, Khalid menoleh. Sejenak dia menyisir rambut yang masih menyisakan sedikit jejak wudhu, kemudian memanggilku."Duduk di sini!" Khalid mengubah posisi sajadahnya. Yang semula lurus vertikal, ke horizontal. "Tadinya setelah tarawih saya mau langsung ke ruang tamu, tapi tiba-tiba ingat kalau hari ini belum sempat n
Bila sekolah punya kelas untuk membedakan nilai akademi. Begitu juga dengan kami. Aku dan Naya punya status yang sama tapi kami berada di level yang berbeda. Status sebagai istri seolah tak berarti bila hanya salah satu yang dicintai. Keadilan hanya sanggup diucapkan, kewajiban tak benar-benar dijalankan. Dan selembar kertas seolah menjadi penghalang yang mutlak ditekankan.Bahkan saat dia pertama kali datang menawarkan komitmen yang dibalut kesepakatan aku tak pernah berharap lebih dari pernikahan ini. Hanya demi uang aku rela melakukan, hanya demi kebebasan, rahim kupinjamkan. Benih sudah ditanam, hanya menunggu kurang lebih tujuh bulan semua yang pernah terjadi dianggap tak berarti. Semuanya akan hilang hanya sebagai histori. Namun, kenapa malah timbul sesuatu yang sulit kumengerti."Nindi!" Panggilan Khalid menginterupsi. Dari balik pintu mobil yang sudah terbuka dia berdiri membungkuk menatapku. Rupanya kami sudah tiba di tempat yang dituju.Kupeluk diri saat dinginnya malam meny
"Mbak Nindi!" Sebuah panggilan menginterupsi. Kualihkan pandangan dari benda pipih dalam genggaman, lalu menatap wanita renta yang berdiri membawa nampan berisi minuman dan camilan.Aku mengernyitkan dahi. Sepertinya dia asisten baru di sini, ini pertama kali aku melihatnya setelah beberapa kali ke mari.Hanya yang membuat heran kenapa dia bisa langsung menyebut namaku?"Eh, iya, Mbok. Makasih."Dia menatapku cukup lama setelah meletakkan nampan di atas meja. Nanar dan sayu, tatapan itu seolah menyiratkan sesuatu."Boleh simbok duduk di sini!" Dia menunjuk tempat kosong di sebelahku."Eh, oh. Iya, boleh!" Sedikit ragu aku mempersilakan."Kenalkan nama simbok Warmi. Simbok sudah lama sekali bekerja dengan Pak Budi dan Non Naya. Kalau ndak salah kita pernah bertemu di panti dulu. Saat simbok anter Non Naya pulang saat itu."Aku mengernyitkan dahi, berusaha mengingat-ingat. Terlalu banyak memori buruk yang terekam dalam otakku, hingga tak menyisakan sedikit ruang apalagi untuk seseorang
"Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj
Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r
Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!
Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta
Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark
Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In
Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir
Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja
Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce