Share

BAB 6 SUASANA PERNIKAHAN YANG SURAM

Ryan melayangkan tatapan tajam ke arah Tania senyum jahat tersungging di bibirnya. Dengan suara mendesis ia berkata, “Lihat saja apa yang akan terjadi, jika ada sesuatu yang kamu lakukan menyakiti hati Ibuku!”

Tania menahan balasan bernada tajam dari bibirnya. Ini adalah hari pernikahan mereka dan mereka berdua terus saja bertengkar. Dalam hati ia membatin, ‘Seandainya saja kamu mengetahui apa yang sudah dilakukan Ibumu, apakah kamu akan marah kepadaku?’

Sentuhan lembut di pundaknya membuat Tania tersentak dari terdiamnya. Ia membalikkan badan langsung saja berhadapan dengan wajah sedih Ayahnya.

“Tania, Ayah harus pulang! Ayah hanya bisa mendo’akan agar pernikahan kalian langgeng dan selalu dalam keharmonisan.” Ayah Tania meraih Tania kepelukan hangatnya. Air mata keduanya pun tumpah.

“Mengapa Ayah harus cepat-cepat pergi? Tidak bisakah Ayah lebih lama berada di sini?” Tanya Tania, sambil mengusap air matanya.

Gelengan kepala diberikan Ayah Tania. Ia jua mengusap air matanya yang turun. Ia sebenarnya berat untuk pergi begitu cepat di hari pernikahan putrinya sendiri. Hanya saja ia sudah terlanjut berjanji kepada seseorang, kalau ia hanya akan berada dekat dengan Tania sebentar saja.

Dikecupnya kening Tania dengan rasa sayang, kemudian ia dorong menjauh. Ia memberikan senyuman menenangkan untuk Tania. Tatapan Ayah Tania, kemudian beralih kepada Ryan yang duduk tepat di samping Tania.

“Ryan! Ayah harap kamu bisa membahagiankan Tania. Ayah percaya, kalau kamu bisa menjadi suami yang baik untuknya.” Ayah Tania mengulurkan tangan untuk mengajak Ryan bersalaman.

Dengan raut wajah dingin Ryan menyambut uluran tangan dari mertuanya itu. Namun, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun hanya memberikan anggukan kepala saja.

Raut wajah Ayah Tania terlihat kecewa, tetapi ia tidak bisa memaksa Ryan untuk mengucapkan janji. Dipaksakannya mengulas senyum tipis dan hal itu ia lakukan demi putrinya Tania, biar ia tidak terlalu tertekan dalam pernikahannya.

“Baiklah, kalau begitu yah akan pergi dari sini. Ayah tidak perlu diantarkan, karena sudah mengetahui jalan keluarnya.” Suara tawa terlontar dari bibir Ayah Tania, ia mencoba untuk membuat suasana menjadi cair dan menutupi rasa sedihnya.

Tania beranjak dari duduknya, ia memeluk dengan erat Ayahnya. “Ayah harus selalu memberikan kabar kepadaku, tentang kelanjutan pengobatan Ayah.” Bisik Tania, dengan suara tersendat, karena isak tangis.

Dengan lembut Ayah Tania mengusap kepala Tania, lalu melepaskan pelukannya. “Ayah tidak mau kamu bersedih ini adalah hari bahagia untukmu. Hapus air matamu, karena Ayah ingin melihat senyum di wajahmu dan bukannya air mata.”

Tania memejamkan mata ditariknya napas dalam-dalam, lalu ia hembuskan dengan kasar. Apa yang dikatakan oleh Ayahnya memang benar. Ia tidak boleh terlihat sedih, karena hanya akan menambah beban pikiran Ayahnya yang sedang berjuang demi kesembuhannya dari penyakit mematikan.

Bibir Tania bergetar, ketika ia memaksakan diri untuk mengulas senyum demi Ayahnya. Ia menggandeng tangan Ayahnya berjalan menuju kedua mertuanya, agar Ayahnya bisa berpamitan dengan mereka.

Setelahnya, ia mengantarkan Ayahnya menuju pintu keluar apartemen. Ayah Tania pulang bersama dengan pria yang tadi membawanya ke apartemen, tersebut.

“Apakah kau akan terus berdiri di depan pintu? Tidakkah kau sadar, kalau kita masih memiliki tamu!” tegur Ryan dengan nada suara tajam.

Tania menarik napas dalam-dalam, ia memerlukan waktu untuk mengusir getaran dalam tubuhnya, karena emosi. Begitu sudah reda ia membalikkan badan diberikannya Ryan tatapan terluka. Ia melangkah menuju ruang tengah di mana tamu-tamu pernikahan mereka masih dudk.

Suara musik dengan nada romantis mengalun lembut dari pengeras suara di ruangan itu. Rasanya Tania hendak tertawa, karena musik itu tidaklah tepat untuk suasana yang ada. Musik dengan nuansa gelap dan sedih lebih tepat, karena itu mewakili suasana hati Tania dan juga pernikahannya yang baru saja dilaksanakan.

Beberapa jam, kemudian kedua orang tua Ryan bangkit dari duduknya. Mereka menghampiri Tania dan Ryan yang duduk berdampingan, tetapi dapat dilihat, kalau ada jarak yang memisahkan keduanya.

“Kami pulang dahulu dan kami menanti secepatnya kabar bahagia dari kalian berdua.” Ayah Ryan memberikan tatapan penuh arti kepada Ryan dan Tania secara bergantian.

Ryan memberikan tatapan dengan sorot mata tajam kepada Ayahnya. Suaranya bernada dingin, ketika ia berkata, “Ayah tidak perlu takut kami akan segera memberikan seorang cucu untuk kalian! Dan jangan lupa, kalau Ayah juga harus memenuhi janji itu.”

“Tentu saja! Kau akan segera mendapatkannya. Setelah semua syarat yang Ayah berikan telah kamu penuhi.” Ayah Ryan, kemudian menggandeng Istrinya untuk pergi dari apartemen itu.

Tania yang duduk di samping Ryan hanya diam saja. Dalam hatinya bergemuruh rasa sakit dan kecewa. Ia hanyalah seorang istri yang diharapkan untuk memberikan calon pewaris saja. Dan, mungkin saja setelah melahirkan dirinya akan terusir.

Kepergian kedua orang tua Ryan disusul oleh tamu undangan mereka yang lainnya. Tamu yang semuanya dari pihak Ryan dan sama sekali tidak dikenal olehnya.

“Apakah kita akan tetap tinggal di apartemen ini?” Tanya Tania, setelah selama beberapa saat hanya ada keheningan saja di apartemen itu.

Ryan tidak langsung menjawab pertanyaan dari Tania. Diambilnya botol berisi anggur, lalu ia tuang ke dalam gelas kosong sampai isinya penuh. Diminumnya isi gelas itu sampai tandas tak bersisa.

“Apakah kau berharap akan kembali tinggal di rumah kita yang dahulu?” Tanya Ryan balik bertanya.

Tania memejamkan mata, ia tidak tahu mengapa begitu susah sekali berbicara dengan Ryan. “Bukan begitu! Bagiku sama sekali tidak masalah harus tinggal di mana.”

“Tania! Janganlah menjadi seorang istri yang cerewet. Ikuti saja apa yang kuperintahkan bagimu!” tegas Ryan.

Tania merasa tercekat tenggorokannya terasa kering, ia merasa Ryan yang sekarang jauh lebih kasar dan dingin daripada dahulu.

Tania beranjak dari sofa berjalan menuju kamar tidur. Ia merasa lelah secara mental dan fisik. Ia merasa perlu menjauhkan dirinya sejenak dari Ryan, sebelum amarahnya meledak.

“Mau kemana kau?” tegur Ryan galak.

Tania menghentikan langkah tanpa membalikkan badan ia berkata, “Ke kamar untuk beristirahat.”

“Ambilkan makanan perutku lapar!” perintah Ryan.

Tania membalikkan badan, ia menatap Ryan dengan rasa tidak percaya. Namun, karena ia memang benar-benar sedang lelah dan tidak mau berdebat. Ia berjalan menuju meja buffet di mana masih tersaji banyak makanan.

Diambilkannya nasi dan lauk, serta sayur ke dalam piring. Setelahnya, ia berjalan menuju ke tempat di mana Ryan sedang duduk.

Setelahnya, ia hendak berlalu pergi dari hadapan Ryan kembali ke tujuannya semula. Namun, kembali langkahnya dihentikan oleh suara bariton Ryan.

“Duduklah! Temani makan,” perintah Ryan.

Tania membalikkan badan, dengan raut wajah lelah ia pun duduk di samping Ryan. Yang sedang menyantap makanannya. Sesekali ia menguap sampai ia sudah tidak dapat lagi menahan kantuknya.

“Tidurlah di kamar, Tania! Dan jangan coba untuk pergi dari tempat ini, ketika sudah bangun,” peringat Ryan dengan dingin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status