Ryan melayangkan tatapan tajam ke arah Tania senyum jahat tersungging di bibirnya. Dengan suara mendesis ia berkata, “Lihat saja apa yang akan terjadi, jika ada sesuatu yang kamu lakukan menyakiti hati Ibuku!”
Tania menahan balasan bernada tajam dari bibirnya. Ini adalah hari pernikahan mereka dan mereka berdua terus saja bertengkar. Dalam hati ia membatin, ‘Seandainya saja kamu mengetahui apa yang sudah dilakukan Ibumu, apakah kamu akan marah kepadaku?’
Sentuhan lembut di pundaknya membuat Tania tersentak dari terdiamnya. Ia membalikkan badan langsung saja berhadapan dengan wajah sedih Ayahnya.
“Tania, Ayah harus pulang! Ayah hanya bisa mendo’akan agar pernikahan kalian langgeng dan selalu dalam keharmonisan.” Ayah Tania meraih Tania kepelukan hangatnya. Air mata keduanya pun tumpah.
“Mengapa Ayah harus cepat-cepat pergi? Tidak bisakah Ayah lebih lama berada di sini?” Tanya Tania, sambil mengusap air matanya.
Gelengan kepala diberikan Ayah Tania. Ia jua mengusap air matanya yang turun. Ia sebenarnya berat untuk pergi begitu cepat di hari pernikahan putrinya sendiri. Hanya saja ia sudah terlanjut berjanji kepada seseorang, kalau ia hanya akan berada dekat dengan Tania sebentar saja.
Dikecupnya kening Tania dengan rasa sayang, kemudian ia dorong menjauh. Ia memberikan senyuman menenangkan untuk Tania. Tatapan Ayah Tania, kemudian beralih kepada Ryan yang duduk tepat di samping Tania.
“Ryan! Ayah harap kamu bisa membahagiankan Tania. Ayah percaya, kalau kamu bisa menjadi suami yang baik untuknya.” Ayah Tania mengulurkan tangan untuk mengajak Ryan bersalaman.
Dengan raut wajah dingin Ryan menyambut uluran tangan dari mertuanya itu. Namun, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun hanya memberikan anggukan kepala saja.
Raut wajah Ayah Tania terlihat kecewa, tetapi ia tidak bisa memaksa Ryan untuk mengucapkan janji. Dipaksakannya mengulas senyum tipis dan hal itu ia lakukan demi putrinya Tania, biar ia tidak terlalu tertekan dalam pernikahannya.
“Baiklah, kalau begitu yah akan pergi dari sini. Ayah tidak perlu diantarkan, karena sudah mengetahui jalan keluarnya.” Suara tawa terlontar dari bibir Ayah Tania, ia mencoba untuk membuat suasana menjadi cair dan menutupi rasa sedihnya.
Tania beranjak dari duduknya, ia memeluk dengan erat Ayahnya. “Ayah harus selalu memberikan kabar kepadaku, tentang kelanjutan pengobatan Ayah.” Bisik Tania, dengan suara tersendat, karena isak tangis.
Dengan lembut Ayah Tania mengusap kepala Tania, lalu melepaskan pelukannya. “Ayah tidak mau kamu bersedih ini adalah hari bahagia untukmu. Hapus air matamu, karena Ayah ingin melihat senyum di wajahmu dan bukannya air mata.”
Tania memejamkan mata ditariknya napas dalam-dalam, lalu ia hembuskan dengan kasar. Apa yang dikatakan oleh Ayahnya memang benar. Ia tidak boleh terlihat sedih, karena hanya akan menambah beban pikiran Ayahnya yang sedang berjuang demi kesembuhannya dari penyakit mematikan.
Bibir Tania bergetar, ketika ia memaksakan diri untuk mengulas senyum demi Ayahnya. Ia menggandeng tangan Ayahnya berjalan menuju kedua mertuanya, agar Ayahnya bisa berpamitan dengan mereka.
Setelahnya, ia mengantarkan Ayahnya menuju pintu keluar apartemen. Ayah Tania pulang bersama dengan pria yang tadi membawanya ke apartemen, tersebut.
“Apakah kau akan terus berdiri di depan pintu? Tidakkah kau sadar, kalau kita masih memiliki tamu!” tegur Ryan dengan nada suara tajam.
Tania menarik napas dalam-dalam, ia memerlukan waktu untuk mengusir getaran dalam tubuhnya, karena emosi. Begitu sudah reda ia membalikkan badan diberikannya Ryan tatapan terluka. Ia melangkah menuju ruang tengah di mana tamu-tamu pernikahan mereka masih dudk.
Suara musik dengan nada romantis mengalun lembut dari pengeras suara di ruangan itu. Rasanya Tania hendak tertawa, karena musik itu tidaklah tepat untuk suasana yang ada. Musik dengan nuansa gelap dan sedih lebih tepat, karena itu mewakili suasana hati Tania dan juga pernikahannya yang baru saja dilaksanakan.
Beberapa jam, kemudian kedua orang tua Ryan bangkit dari duduknya. Mereka menghampiri Tania dan Ryan yang duduk berdampingan, tetapi dapat dilihat, kalau ada jarak yang memisahkan keduanya.
“Kami pulang dahulu dan kami menanti secepatnya kabar bahagia dari kalian berdua.” Ayah Ryan memberikan tatapan penuh arti kepada Ryan dan Tania secara bergantian.
Ryan memberikan tatapan dengan sorot mata tajam kepada Ayahnya. Suaranya bernada dingin, ketika ia berkata, “Ayah tidak perlu takut kami akan segera memberikan seorang cucu untuk kalian! Dan jangan lupa, kalau Ayah juga harus memenuhi janji itu.”
“Tentu saja! Kau akan segera mendapatkannya. Setelah semua syarat yang Ayah berikan telah kamu penuhi.” Ayah Ryan, kemudian menggandeng Istrinya untuk pergi dari apartemen itu.
Tania yang duduk di samping Ryan hanya diam saja. Dalam hatinya bergemuruh rasa sakit dan kecewa. Ia hanyalah seorang istri yang diharapkan untuk memberikan calon pewaris saja. Dan, mungkin saja setelah melahirkan dirinya akan terusir.
Kepergian kedua orang tua Ryan disusul oleh tamu undangan mereka yang lainnya. Tamu yang semuanya dari pihak Ryan dan sama sekali tidak dikenal olehnya.
“Apakah kita akan tetap tinggal di apartemen ini?” Tanya Tania, setelah selama beberapa saat hanya ada keheningan saja di apartemen itu.
Ryan tidak langsung menjawab pertanyaan dari Tania. Diambilnya botol berisi anggur, lalu ia tuang ke dalam gelas kosong sampai isinya penuh. Diminumnya isi gelas itu sampai tandas tak bersisa.
“Apakah kau berharap akan kembali tinggal di rumah kita yang dahulu?” Tanya Ryan balik bertanya.
Tania memejamkan mata, ia tidak tahu mengapa begitu susah sekali berbicara dengan Ryan. “Bukan begitu! Bagiku sama sekali tidak masalah harus tinggal di mana.”
“Tania! Janganlah menjadi seorang istri yang cerewet. Ikuti saja apa yang kuperintahkan bagimu!” tegas Ryan.
Tania merasa tercekat tenggorokannya terasa kering, ia merasa Ryan yang sekarang jauh lebih kasar dan dingin daripada dahulu.
Tania beranjak dari sofa berjalan menuju kamar tidur. Ia merasa lelah secara mental dan fisik. Ia merasa perlu menjauhkan dirinya sejenak dari Ryan, sebelum amarahnya meledak.
“Mau kemana kau?” tegur Ryan galak.
Tania menghentikan langkah tanpa membalikkan badan ia berkata, “Ke kamar untuk beristirahat.”
“Ambilkan makanan perutku lapar!” perintah Ryan.
Tania membalikkan badan, ia menatap Ryan dengan rasa tidak percaya. Namun, karena ia memang benar-benar sedang lelah dan tidak mau berdebat. Ia berjalan menuju meja buffet di mana masih tersaji banyak makanan.
Diambilkannya nasi dan lauk, serta sayur ke dalam piring. Setelahnya, ia berjalan menuju ke tempat di mana Ryan sedang duduk.
Setelahnya, ia hendak berlalu pergi dari hadapan Ryan kembali ke tujuannya semula. Namun, kembali langkahnya dihentikan oleh suara bariton Ryan.
“Duduklah! Temani makan,” perintah Ryan.
Tania membalikkan badan, dengan raut wajah lelah ia pun duduk di samping Ryan. Yang sedang menyantap makanannya. Sesekali ia menguap sampai ia sudah tidak dapat lagi menahan kantuknya.
“Tidurlah di kamar, Tania! Dan jangan coba untuk pergi dari tempat ini, ketika sudah bangun,” peringat Ryan dengan dingin.
Tania membalikkan badan dengan kening dikerutkan ia bertanya kepada Ryan, “Apa maksudmu berkata, seperti itu? Apa ada larangan untuk keluar dari apartemen ini?”Ryan meletakkan sendok yang ada di tangannya, lalu berjalan mendekati Tania dan berhenti tepat di hadapannya. Diceakaunya dagu Tania dengan kasar dan mata yang menyala, karena emosi.“Rasa percaya kepadamu hilang, setelah pernikahan kita yang kandas beberapa bulan yang lalu.” Bisik Ryan di telinga Tania.Ryan melepaskan cekauannya di dagu Tania, tatapan antara dirinya dan Tania bertemu. Mata Tania dan Ryan menyala-nyala, karena emosi.Dengan kedua tangannya Tania mendorong dada Ryan, sehingga membuatnya terdorong sedikit, karena tidak siap. “Kau pikir dirimu juga dapat dipercaya! Berapa banyak wanita yang pernah tidur denganmu selama pernikahan kita?”Ryan tertawa dengan keras, senyum mencemooh terbit di bibirnya. Ia berjalan menjauh dari Tania, lalu berhenti di depan jendela kaca dengan pemandangan jalanan yang ramai oleh la
Ryan memberikan senyum miring di wajah tampannya. Membuat Tania terpukau, karena ini untuk pertama kalinya, ia melihat Ryan tidak tersenyum sinis kepadanya. ‘Hmm, ide yang bagus! Kau bisa terus menggoda, biar segera mengandung pewaris untukku!’Rasa kagum Tania melihat senyum Ryan langsung berganti raut wajah kecewa. Kenapa Ryan selalu saja mengingatkan dirinya akan tujuan dari pernikahan mereka.Melihat roman muka Tania yang berubah Ryan tidak peduli sama sekali. ‘Jangan hanya tidur saja, lakukanlah tugas seorang Istri, selagi suami sedang bekerja,’ perintah Ryan dengan dinginnya.Tania mengacungkan jempol ke arah Ryan, ia terlalu marah untuk menjawab apa yang dikatakan oleh Ryan. Dimatikannya sambungan telepon, lalu ia lempar ponselnya ke atas tempat tidur.‘Ada apa dengan Ryan sebenarnya? Apa tujuannya membawa keluar kota? Masih ada waktu untuk mengunjungi Ayah dan memastikan ia sudah mendapatkan seorang perawat menemaninya di rumah,’ batin Tania.Dilemparkannya selimut yang menutu
Ryan berjalan masuk ruang kerja pemilik bar dengan tatapan yang tidak lepas dari wajah Tania. “Katakan Tania! Mengapa kau masih juga datang ke tempat ini?” Tanya Ryan, sambil mencekau dagu Tania dengan kasar.Tania menjadi gugup, ia menelan ludah dengan sukar. “Ini kesalahpahaman! Pria itu tidak jujur, ia hanya memberikan setengah dari harga lelang yang kau berikan. Sementara diawal kami sudah sepakat, kalau ia hanya akan mendapatkan bagian 25 persen saja.”Ryan memalingkan wajah dari Tania ke arah pemilik bar yang balas menatapnya dengan sikap angkuh.“Apakah kau akan marah? Ini adalah bar milikku dan tentu saja diriku bebas untuk mematok harga!” sahut pria itu dengan santainya.Tania membalikkan badan dengan cepat, ia berhasil melepaskan dirinya dari Ryan. Didekatinya pemilik bar itu dengan wajah merah, karena amarah. “Kau lelaki paling brengsek yang pernah kukenal! Kau tentu mengetahui, kalau uang itu sangat berarti bagiku!”Pria itu bangkit dari duduknya, dengan tinggi Tania yang
Tania menjadi gugup, ia tahu dengan pasti apa yang dimaksud oleh Ryan. Dengan suara lemah ia berkata, “Bukankah kita sedang bertengkar? Mengapa kau menginginkannya?”Ryan berhenti berjalan, ia menatap Tania dengan intens dan lembut. Membuat jantung Tania berdebar kencang jadinya.Ia melanjutkan langkah kembali, sesampainya di kamar ia membaringkan Tania ke atas tempat tidur dengan pelan. Ryan mencakungkan badan di atas Tania. Jarak keduanya begitu rapat hingga hembusan hangat napas keduanya dapat terasa menerpa wajah.“Mungkin sekarang saatnya kita membuktikan gosip, kalau bercinta setelah bertengkar itu jauh lebih indah dan mengga…” Ryan sengaja tidak menyelesaikan ucapannya.Dengan suara serak Tania menyahut, “Ryan jangan becanda! Kita tidak akan membuktikan rumor apapun juga!”Ryan tersenyum kecil membuat hati Tania terasa meleleh sampai-sampai ia tidak menyadari, saat dengan mahir suaminya itu melepaskan pakaian yang melekat di badan Tania.“R-Ray, jangan!” seru Tania.“Terlambat!
Wajah Tania terlihat sedih dengan suara lemah ia berkata, “Dan kita baru saja menikah kau tidak dapat menahan diri untuk menghubungi wanita lain.”Ryan mendongak dari layar ponselnya, ia menatap Tania dengan tajam. “Apakah kau cemburu, Tania? Kau tidak akan pernah mengetahui apa arti wanita itu.”Ia, kemudian bangkit dari duduknya meninggalkan Tania seorang diri. Selera makannya sudah hilang dan ia tidak mau berlama-lama berada dekat dengan Tania.Diambilnya kunci mobil dari dalam kamar, kemudian ia berjalan keluar apartemen. Ia sama sekali tidak merasa perlu memberitahukan kepada Tania kemana dirinya akan pergi.Sementara itu, Tania tetap duduk di depan meja bar dengan kepala tertunduk. Ia merasa sedih dengan apa yang barusan terjadi. Ia tidak dapat mendustai hatinya, kalau sedari pernikahannya dengan Ryan, ia telah jatuh cinta kepada suaminya itu.‘Mengapa harus sesakit ini mencintai sendiri? Kenapa Ryan tidak pernah mau membuka hatinya buatku? Dan diriku begitu bodoh masih saja ter
Tania memutar bola mata dengan suara bergetar menahan air mata ia berkata, “Tentu saja kau akan melakukannya! Tidak dapat diragukan kembali.”Tidak menunggu Ryan membuktikan ucapannya Tania setengah berlari keluar kamar. Ia memasuki kamar tamu yang ada di apartemen tersebut, kemudian menguncinya.Dihempaskannya badan ke atas tempat tidur, lalu ia menumpahkan air mata di sana. Untuk meluapkan kesedihannya. ‘Ya, Tuhan! Bagaimana caranya bisa terbebas dari pernikahan yang menyesakkan ini? Jangan biarkan hati ini merasakan jatuh cinta semakin dalam untuk Ryan,’ batin Tania.Lelah menangis Tania tertidur dengan lelap. Pada saat hari sudah pagi barulah Tania terbangun dari tidurnya.‘Akhirnya, bisa tidur dengan nyenyak juga, setelah tidak berada dekat dengan Ryan,’ batin Tania. Walaupun ia tidak dapat memungkiri merasa kehilangan kehangatan pelukan Ryan.Ia berjalan menuju kamar mandi untuk melakukan kegiatan rutinnya di pagi hari. Selesai mandi dan berpakaian, ia duduk di depan cermin yang
Bunyi ponsel Ryan yang nyaring membuat Tania merasa memiliki kesempatan untuk terbebas dari Ryan.“R-Ryan ponselmu berdering, mungkin itu penting.” Tania mendorong Ryan, agar menjauh darinya.Ryan yang pada awalnya mengabaikan panggilan telepon itu menjadi gusar, karena ponselnya terus saja berdering. Ditambah dengan Tania yang mendesaknya untuk mengangkat membuat Ryan melepaskan Tania, walaupun ia merasa enggan.“Untuk sementara waktu kau selamat. Ingat! Jangan pancing emosiku,” peringat Ryan.Diambilnya ponselnya yang terletak di atas meja bar, kemudian ia mengangkat panggilan telepon dari seseorang yang berada di ujung sana.‘Halo! Kau harus memberikan informasi yang penting, karena sudah mengganggu!’ tegur Ryan kepada sekretarisnya, melalui telepon.Suara sekretarisnya terdengar gugup saat menyahut di ujung sambungan telepon, ‘Maaf, Pak! Saya hanya mau mengingatkan, kalau pesawat Bapak akan berangkat satu jam lagi dan Bapak harus segera check in.’‘Oke, terima kasih sudah menginga
Tania menggelengkan kepala, dengan suara lemah ia berkata, “Kamu tidak akan pernah mengerti, Ryan!”Ryan membungkukkan badan hendak mengambil ponsel Tania, tetapi Istrinya itu telah terlebih dahulu melakukannya.Dengan suara bernada tegas Ryan memberikan perintah kepada Tania, “Berikan secara sukarela, atau saya akan mengambilnya dengan paksa!”Tania mendongak ke arah Ryan dengan tatapan memohon. Namun, Ryan bergeming. Ia tetap mengulurkan tangan untuk menerima ponsel itu.Pundak Tania terasa lunglai dengan enggan ia menyerahkan ponselnya kepada Ryan. Ia memejamkan mata, karena tidak siap dengan apa yang akan dilakukan oleh Ryan kepadanya.Rahang Ryan mengetat, begitu melihat apa yang ada di ponsel Tania. Istrinya itu berada di atas tempat tidur dengan rambut yang tergerai acak-acakan di atas bantal. Selimut yang menutupi badannya tidak menutupi pundaknya yang telanjang. Di sampingnya berbaring seorang pria dan sayangnya wajah pria itu tidak tertangkap kamera.“Brengsek, Tania! Mengap