Sekuat tenaga Kei meronta, sampai akhirnya ia bisa melepaskan diri dari Arka.
“Uhuk uhuk uhuk...” Kei terbatuk hebat, tenggorokannya terasa sakit dan kering. Dia tidak bisa menggambarkan rasa sakit dan juga ketakutan yang ia rasakan saat ini. Kei hanya ingin menjauh dari suami yang tiba-tiba berubah menjadi monster dalam semalam.Dengan sisa tenaga yang ada, Kei mencoba pergi, tapi Arka berhasil menangkapnya dan melempar tubuh lemah Kei ke atas ranjang."Kamu pikir bisa lari begitu saja?"Kei semakin ketakutan, ia tak pernah melihat Arka sekejam ini. Pria yang ia cintai, pria yang ia percayai, ternyata menyimpan sisi lain dalam dirinya. Bodohnya, Kei tak tahu alasan perubahan sikap pria itu.“Lepas, Mas! Jangan seperti ini, aku mohon,” mohon Kei seraya terisak.Arka justru menyeringai melihat Kei seperti itu. Ia mengurung tubuh Kei hingga gadis itu terpojok tak bisa lari lagi. Tanpa menghiraukan isak tangis yang memilukan itu, Arka menarik kemeja yang Kei pakai hingga kancing-kancingnya terlepas dan berjatuhan ke lantai.Entah setan apa yang merasukinya, Arka benar-benar tak menyadari apa yang tengah ia lakukan sekarang.Ingin rasanya Kei berteriak, meminta pertolongan pada siapa saja yang bisa menolongnya. Tapi siapa yang akan berani masuk ke kamar itu? Di rumah ini, setiap kendali ada di tangan Arka, penguasa rumah itu.“Hentikan, Mas Arka...” lirih gadis itu dengan suara serak.Namu, Arka justru semakin gila. Ia sepenuhnya berada dalam pengaruh alkohol yang membuatnya lupa diri. Pria itu terus menyentuh Kei dengan kasar, tak memperdulikan rintihan kesakitan dan kalimat permohonan yang perempuan itu lontarkan. Arka memaksakan dirinya pada Kei.Kei menangis sejadi-jadinya, merasakan rasa sakit di sekujur tubuh. Namun rasa sakit itu tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.Andai mereka melakukannya dengan penuh cinta, mungkin bukan kesakitan yang akan ia dapatkan, tapi bahagia karena ia sudah menjadi milik Arka seutuhnya. Menjadi seorang istri sepenuhnya karena telah menanggalkan kegadisan untuk suaminya.“Sakit?” bisik Arka sesaat setelah ia berhasil mendapatkan apa yang ia mau.Kei hanya bisa menangis terisak, memalingkan wajahnya ke samping. Dia enggan menatap Arka yang masih menatapnya dengan penuh kebencian.'Apa salahku? Kenapa semuanya berubah dalam waktu semalam?'Kebahagiaan yang pria itu tawarkan hancur dalam sekejap.“Ini memang pantas kamu dapatkan,” bisik Arka lagi. Setelah mengatakan kalimat itu, Arka menjatuhkan dirinya di bahu Kei. Pria itu memejamkan matanya lalu terlelap.Dengan tenaga yang tersisa, Kei mendorong Arka agar pria itu berbaring di sebelahnya. Ia meringkuk membelakangi pria itu, sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan agar tangisannya tak terdengar. Sementara sebelah tangannya yang lain mengeratkan selimut yang menutup tubuh polosnya. Ia benar-benar takut, semua ini seperti mimpi buruk yang membuatnya ingin segera terbangun.Sayangnya, semua yang baru saja ia alami adalah nyata.“Mama...” lirihnya. Ia membutuhkan dekapan sang mama, untuk menguatkannya dan menenangkannya. Tapi tidak mungkin ia menceritakan semua yang ia alami pada keluarganya. Ia tak mau membebani kedua orang tuanya dengan kisah pelik yang sedang ia alami.Kei hanya bisa berharap, semoga esok saat ia bangun semua akan kembali baik-baik saja. Arka akan kembali seperti Arka-nya yang dulu.***Sinar matahari yang menyusup masuk melalui celah-celah jendela kamar membuat tidur Arka terganggu. Ia menutup wajahnya dengan punggung tangan, lalu menarik selimut untuk menutup tubuhnya yang terasa dingin.Angin dari pendingin ruangan itu menyentuh kulitnya secara langsung, hawa dinginnya sedikit menusuk tulang. Tersadar sesuatu, Arka pun membuka matanya. Ia menyingkap selimut yang semula ia tarik untuk menutup tubuhnya, matanya membulat saat mendapati tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun.Kepalanya terasa pusing. Ia beranjak duduk, menyandarkan punggungnya pada headboard di belakangnya, dengan pelan ia memijat pangkal hidungnya, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi tadi malam.Seingatnya, ia minum di balkon. Lalu kenapa ia bisa tidur dalam keadaan tak berbusana? Ia menoleh, menatap Kei yang tidur meringkuk membelakanginya, perlahan ia mengangkat selimut yang menutup tubuh Kei, tubuh perempuan itu juga sama polosnya.“Sial!” umpat Arka setelah menyadari apa yang terjadi.Ingatan kejadian tadi malam kembali terkumpul dan berputar di kepalanya. Dengan gusar Arka mengusap wajah, lalu mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Ia ingin menghubungi seseorang, namun sayangnya tak tersambung.Arka memunguti pakaiannya yang berserakan, lalu memakainya kembali. Ia mendengar pintu kamar diketuk. Sambil menggerutu, ia membuka pintu, dan mendapati salah satu pelayan berdiri menunduk segan di hadapannya.“Maaf, Tuan, di bawah ada...”“Saya tahu. Katakan padanya saya akan turun sebentar lagi,” sela Arka cepat, lalu menutup pintu.Arka menghembuskan napas gusar. Baru saja ia hendak mengabari orang itu dan memintanya tak datang hari ini, tapi ternyata sudah tiba di rumahnya. Arka dengan cepat membersihkan tubuh dari sisa-sisa pergulatan semalam, memastikan ia terlihat bersih dan segar untuk menemui tamunya.Arka tak boleh terlihat berantakan. Orang itu juga tak boleh tahu apa yang sudah terjadi tadi malam.Beberapa saat setelah Arka keluar dari kamar, Kei pun terbangun dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Matanya terlihat sembab dan bengkak karena menangis semalaman.“Ternyata bukan mimpi,” lirih gadis itu sambil menatap langit-langit kamar dengan nanar. Kei masih berusaha mencerna semua kejadian mengerikan tadi malam, juga sikap Arka yang jauh berbeda dari Arka yang dulu.Dengan kasar ia menghapus air matanya, lalu beranjak duduk dengan pandangan mengedar. Ia tersenyum getir saat tak mendapati Arka di sana. Hati kecilnya masih berharap bahwa Arka melakukan itu hanya karena pria itu mabuk saja.“Ah...” ringisnya saat merasakan area intinya terasa perih ketika ia mencoba berdiri. Dengan perlahan, Kei membalutkan selimut ke tubuhnya lalu melangkah tertatih menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Gadis itu menatap dirinya di cermin, air matanya kembali menetes. Kejadian buruk semalam tak pernah ada dalam bayangannya, tak pernah ada dalam rangkaian khayalannya hidup bahagia bersama Arka.Melihat pergelangan tangannya yang memar karena genggaman tangan Arka saat ia berontak membuat hatinya semakin sakit. Mungkin di bagian tubuhnya yang lain juga terdapat beberapa memar.Kei tak pernah mendapat perlakuan sekasar ini. Apalagi di keluarganya ia diperlakukan bak seorang tuan putri yang sangat dijaga dan disayangi.Samar-samar Kei mendengar suara tawa dari lantai bawah. Ia segera menghapus air matanya, lalu beranjak untuk menyusul Arka. Dengan pelan ia menuruni anak tangga, keningnya mengkerut tajam saat ternyata Arka tengah tertawa bersama seorang perempuan cantik.Kehadiran Kei membuat tawa keduanya terhenti. Perempuan berambut pirang itu langsung menatap Kei dengan tatapan tak suka."Mas?" panggil Kei, menatap suaminya itu dengan penuh tanya dan berharap Arka akan menjelaskan situasi ini.Tapi Arka tampak acuh, tak menghiraukan Kei sama sekali."Sayang, aku mau makan. Mana Rumi? Minta dia menyiapkan makanan kesukaanku," rengek perempuan itu. Dengan manja ia bergelayut di lengan Arka. Anehnya, Arka pun tak menolak dan membiarkan perempuan itu berbuat sesukanya."Mas Arka..." panggil Kei lagi dengan suara bergetar. Sakit hatinya atas kejadian semalam saja masih sangat terasa, pagi ini Arka malah sengaja menabur garam di atas luka itu."Sayang, ayo makan," perempuan itu kembali merengek. Sepertinya, ia memang sengaja memperlihatkan kemesraannya pada Kei.Melihat kemesraan itu, darah Kei mendidih. Hatinya memanas. Setelah apa yang Arka lakukan padanya tadi malam, alih-alih meminta maaf, Arka justru membawa perempuan lain ke rumahnya!"Mas, tolong jelaskan apa maksud semua ini!" Kei berusaha meneguhkan hatinya dan menuntut penjelasan.Tapi Arka masih saja bergeming seolah tak melihat Kei di sana.Kei mendekat dan menyentuh lengan Arka, tapi pria itu dengan sigap menepis tangannya.Arka menatap Kei dengan tatapan dingin, lalu berujar, "Bukan urusanmu!"Kei tentu tak terima dengan jawab pria itu, apalagi wanita yang bergelayut manja di lengan suaminya tampak tersenyum mengejek. Hal itu semakin memancing kekesalan Kei, ia menarik wanita bernama Clara itu dan menjauhkannya dari Arka."Jauhi suamiku!" pekik Kei marah.Clara yang memang benci pada Kei menggunakan kesempatan itu untuk menyerang balik. Dengan kuat Clara menampar pipi Kei, menimbulkan bunyi cukup keras hingga Kei mundur beberapa langkah karena kerasnya tamparan itu.Tak ingin kalah, Kei pun mengangkat tangan kanannya, hendak membalas tamparan Clara. Tapi Arka menahannya. Pria itu menghempaskan tangan Kei dengan keras."Jaga sikapmu!"Kei menatap Arka dengan nanar, air matanya semakin membanjir, "Kamu membelanya, Mas? Setelah apa yang kamu lakukan semalam, kamu justru membawa wanita ini dan membelanya?! Apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan?!""Diam kamu, wanita sialan! Harusnya kamu tahu diri!" sentak Clara, membuat Kei terkejut. "Yang berhak atas diri Arka dan rumah
Malam harinya, Kei keluar dari kamar tamu. Seharian ia mengurung diri di kamar itu, tak ingin menambah luka di hatinya dengan melihat kebersamaan Arka dan Clara.Beruntung siang tadi orang suruhan papanya datang mengantar barang-barangnya, ia bisa berganti pakaian dengan pakaiannya sendiri.Kei berdiri di dekat anak tangga pertama, menatap pintu kamar Arka yang sedikit terbuka. Ia ingin mengambil ponselnya yang tertinggal di kamar itu, karena mengira Clara masih ada di sana ia urungkan niatnya."Nyonya, makan malam sudah siap.""Rumi, kamu mengejutkanku." Karena larut dalam lamunan, Kei sampai tak menyadari kedatangan Rumi."Maafkan saya, Nyonya," ucap Rumi seraya menunduk."Tak apa, Rumi. Aku hanya sedang melamun. Anu... apa aku bisa meminta bantuan?"Rumi tampak mengerjap saat Kei mendekat."Bisa tolong ambilkan ponselku yang tertinggal di kamar Mas Arka? Aku tidak mau ke sana lagi," ucapnya dengan raut wajah gelisah."Baik, Nyonya. Akan saya ambilkan. Nyonya tidak perlu sungkan. Ji
Malam sudah larut, tapi entah mengapa Arka belum juga memejamkan matanya. Ia menatap tempat kosong di sebelahnya, ada rasa aneh yang menjalar di hatinya."Shit!" umpatnya. Dengan gusar pria itu mengusap wajah, lalu kembali bangun dan beranjak ke balkon. Ia nyalakan sebatang rokok yang masih tergeletak di atas meja, mungkin kemarin malam tertinggal di sana.Ia nikmati batang panjang yang menghasilkan kepulan asap itu dengan mata terpejam. Samar-samar terdengar suara isak tangis. Ia beranjak ke sisi pagar balkon, sedikit mencondongkan tubuhnya untuk melihat ke balkon sebelah.Kei tengah duduk meringkuk di pojok balkon seraya menelungkupkan wajahnya di atas kedua lengan yang terlipat di atas lutut. Bahu perempuan itu bergetar, di depannya ponselnya tergeletak dan mulai berdering. Namun, perempuan itu tak mengangkat panggilan masuknya sama sekali.Arka terus menatap gadis itu dalam diam. Sesuatu menelusup ke dalam hatinya dan membuat Arka merasa tidak nyaman. Ada perasaan aneh. Hatinya t
"Berani-beraninya kamu bermesraan dengan pria lain di hadapanku?!" Cecar Arka, ia mengeratkan genggaman tangannya di pergelangan tangan Kei. Padahal luka memar di tangan Kei belum memudar sepenuhnya, tapi kini Arka kembali membuat luka baru."Lepas, mas. Kamu menyakitiku," ucap Kei dengan lirih. Matanya berembun, setiap pria itu kasar, hatinya terasa sakit."Ini pantas kamu dapatkan, kamu harus aku beri pelajaran agar tidak bertindak sesukamu! Kenapa kamu memeluk pria lain, hah?" Sentak Arka.Kei memejamkan matanya saat suara bentakan pria itu terdengar memekakkan telinganya. Air mata yang sedari tadi menggenang kini meluruh sudah. "Dia hanya temanku, mas. Bukan kah dia juga sahabat mu?" Ucap Kei. Perempuan itu mulai terisak. Sakit di pergelangan tangannya tak seberapa jika di bandingkan dengan rasa sakit yang hatinya rasakan karena perlakuan pria itu."Teman? Aku meragukan itu! Apa dia juga sudah menikmati tubuhmu?! Apa kamu juga merayunya? Aku percaya padanya, tapi kamu? Jalang sepe
"Sial!" Umpatnya, ia lalu kembali memasuki kamar dan meminta Rumi mengatakan pada tamunya bahwa ia dan Kei akan segera turun.Dengan cepat Arka kembali memasuki kamar, menutup pintunya lalu menguncinya. Ia menghampiri Kei dan duduk di hadapan perempuan itu."Bersiaplah, di bawah ada orang tua mu. Dan ingat satu hal Kei, jika kamu mengatakan semua yang sudah terjadi, bukan hanya kamu yang akan celaka, tapi juga mereka! mengerti?" Ancamnya.Kei tersenyum sinis, ia menyembunyikan ketakutannya dan memberanikan diri menatap mata tajam suaminya, "Kamu tenang saja, Arka. Aku juga tidak akan membiarkan mereka tahu nasib buruk putrinya. Jangan khawatir, kebusukan mu tidak akan terbongkar. Aku masih punya hati nurani untuk menjunjung dan menghormati suamiku di hadapan keluargaku!" ucap Kei dengan tegas.Mendengar Kei memanggil namanya saja, entah mengapa Arka merasa tak suka. Tapi tak ada waktu untuk kembali memberi Kei pelajaran, di bawah ada kedua orang tua Kei, mereka harus menyiapkan diri u
Kei menangis terisak di balik selimut tebal yang menutup tubuh polosnya. Beberapa saat yang lalu, Arka kembali memaksakan dirinya, melukai tubuhnya juga hatinya.Entah apa yang pria itu pikirkan, padahal Arka sendiri sudah berjanji tak akan menyentuh Kei lagi. Ia bahkan mengatakan pada Kei untuk melupakan kejadian malam pertama mereka, tapi malam ini Arka melanggarnya sendiri.Bukannya Kei tak mau melakukan kewajibannya sebagai seorang istri untuk memberikan hak suaminya, tapi cara pria itu lah yang membuatnya merasa marah. Andai Arka memintanya dengan penuh cinta, Kei pun tak akan keberatan. Tapi lagi-lagi Arka melakukannya dengan kasar, ia menambah deretan luka di tubuh istrinya.Dengan menggulung selimut tebal untuk membungkus tubuh polosnya, Kei beranjak tertatih ke kamar mandi. Ia tak perduli dengan Arka yang kini tengah duduk menatapnya dengan tubuh polos karena selimut yang juga menutup tubuhnya Kei bawa.Rasanya sakit, meski ini bukan yang pertama untuk Kei, tapi tetap saja ra
"Hiko?" Kei tampak antusias, melupakan tatapan tajam Arka yang seolah siap menghunusnya. "Waw, Kei. Kamu terlihat sangat berbeda malam ini," puji Hiko. "Biasa saja, Hiko." Kei tersipu, sikap malu-maluKei membuat Arka semakin kesal. Mungkin jika dapat terlihat, ada kobaran api yang keluar dari hidung dan telinganya. "Untuk apa kamu kesini? Kita mau pergi," ucap Arka dengan ketus."Mau jemput kalian, kita akan pergi bersama ke peresmian perusahaan pak Cio," ucap Hiko dengan santai. Ia menggelengkan kepalanya melihat sikap Arka, dan Hiko semakin ingin membuat sahabatnya itu cemburu."Kamu juga kesana?" Tanya Kei, ia tersenyum lebar saat Hiko mengangguk mengiyakan."Aku Cio mengundangku. Ternyata dia masih mengingatku Kei, tidak seperti kamu. Kamu bahkan tidak mengenaliku saat kita bertemu lagi," Hiko menggerutu, membuat Kei tertawa lalu menggandeng tangan Hiko."Maaf.." rengek Kei."Ekhemmm." Arka berdehem, ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Kei dan Hiko bergantian. Ta
"Ya sayang? Disini membosankan, aku merindukanmu."Kei menghela nafas dalam, ternyata mengikuti Arka ke toilet adalah kesalahan. Hatinya sakit saat ia mendengar Arka bicara mesra dengan Clara.Pria itu tak pergi ke toilet, melainkan mencari tempat sepi untuk menghubungi kekasihnya."Sepulang dari sini, aku pasti ke apartemen kamu, apa kamu mau aku belikan sesuatu? Spaghetti kesukaanmu misal?" Tanya Arka, ia tampak tersenyum, sesekali merayu Clara, sesekali mengucapkan kata cinta.Kei tak sanggup lagi, ia memutuskan untuk kembali ke ballroom. Pandangannya mulai kabur karena air mata mendesak keluar dari kedua netranya.BUGKei nyaris jatuh terduduk saat tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Karena tak fokus, ia tak melihat ada seseorang yang datang dan tanpa sengaja ia tabrak."Kei, dari mana?"Kei mendongak, "Maaf, aku tidak sengaja. Aku..""Kenapa, Kei?"Kei tak menjawab, ia yang tak tahan ingin menangis semakin ingin menangis saat Hiko bertanya padanya."Hiko, aku.."Tumpah lah air m
Sudah larut malam, tapi Kei belum juga bisa terlelap. Beberapa kali ia mengubah posisi tidur, miring ke kanan miring ke kiri, semuanya tak membuatnya nyaman.Entah mengapa perasannya mendadak tak karuan, pikirannya terus tertuju pada Arka yang beberapa jam yang lalu mengirimnya sebuah pesan, bahwa pria itu akan pulang larut malam. Entah ada apa, mungkin pekerjaannya sedang banyak, atau mungkin juga menghindari Kei karena Kei tak juga mau memberi jawaban atas permintaannya.Terbersit sebuah ide, "Apa aku harus melakukan itu?" gumamnya.Seperti ada sebuah dorongan, Kei pun bangkit dari pembaringan, lalu beranjak keluar kamar.Sepi, bahkan lampu di beberapa ruangan sudah padam, tapi Arka belum juga pulang. Kei tak tenang, tapi Kei enggan mengirim pria itu pesan untuk sekedar bertanya kapan pulang?Perempuan itu menghela nafas panjang, menguatkan tekad untuk melakukan ide yang beberapa saat lalu terbersit dalam benaknya.***Arka menghela nafas panjang saat melangkah memasuki rumah. Sebag
Jam makan siang tiba, tapi Starla masih tak keluar dari kamarnya. Mungkin karena kakinya masih sakit, meski tak sesakit tadi sebelum Cio membantunya."Bi, Starla belum makan siang?" Tanya Kei yang baru saja tiba di ruang makan. "Belum nyonya, mungkin kakinya masih sakit," jawab Bi Inah.Kei menghela nafas panjang, tadi ia sempat mencurigai Starla. Kepercayaannya pada perempuan itu tak mudah untuk kembali seperti dulu, tapi sepertinya Starla memang tak berbohong, sesuai dengan yang Cio katakan tadi."Biar aku saja yang membawakannya makan siang bi, bibi tolong siapkan yah," kata Kei lagi. Mungkin ia harus meminta maaf pada Starla.Bi Inah mengangguk, "Baik Nyonya," jawabnya.Sembari menunggu makanan untuk Starla siap, Kei meminum jus alpukat kesukaannya, lalu menusuk buah melon yang sudah di potong kecil-kecil dengan garpu. Rasanya manis, Kei sangat menyukainya, apalagi buah melon itu mampu mengusir rasa mualnya ketika makan.Beberapa saat kemudian, nampan berisi makanan untuk Starla
Starla menepis tangan Cio saat pria itu hendak memapahnya dan membantunya berjalan, “Aku bisa sendiri,” katanya dengan sedikit ketus.Cio mengerutkan dahinya, bukankah beberapa saat yang lalu sikap gadis itu sudah sedikit mencair? Atau karena ada hal urgent saja Starla mau bicara dengannya?“Kaki kamu terkilir, aku hanya ingin membantumu,” ucap Cio. Pria itu mengerutkan dahi saat Starla memanggil pak Bimo yang masih berbicara dengan petugas pemadam kebakaran yang berhasil menaklukan ular cobra di sana.“Pak, tolong banti saja ke sana,” Starla menunjuk sebuah bangku, kakinya benar-benar sakit, sepertinya ia harus beristirahat sebentar.Pak Bimo menatap Cio, ia tak mengerti dengan situasi antara Cio dan Starloa. Tapi taka da salahnya ia bertanya pada Cio lewat tatapan mata. Dan cio memberikan jawaban dengan gelengan kepala, Bimo yang mengerti pun menjawab, “Maaf bu, tapi tangan saya kotor. Tadi saya sempat memegang ular itu.”Cio bersorak dalam hati, Bimo bisa ia ajak berkompromi meski
Cio mengambil payung dari jok belakang, ia buka lalu ia gunakan untuk memayunginya dan Starla. Membuat gadis itu memutar bola matanya dengan malas."Tidak perlu menggunakan payung, aku sudah terbiasa dengan panas," Starla menolak, ia menjauh dari Cio, tapi Cio tak menyerah dan kembali melindungi gadis itu dengan payung."Kalau tidak memakai payung, kepala kamu bisa pusing. Panasnya lagi terik, sudahlah, apa susahnya menurut?"Starla berdecak, tapi ia tak menolak lagi. Mungkin Cio salah meminum obat, kenapa pria itu menjadi sangat perhatian padanya? Biasanya Cio tak akan perduli apapun tentangnya, apalagi sejak kejadian di villa dulu, pria itu bersikap seperti tak mengenalnya.Dulu, ketika mereka bersahabat, Cio memang sangat perhatian, melindungi Starla seperti layaknya melindungi Kei. Tapi setelah kejadian di villa, Cio seperti orang asing. Apalagi Kei menjadi objek balas dendam Arka, Cio semakin membencinya.Lalu kenapa sekarang Cio kembali bersikap baik? Apa pria itu ingin menjalin
Beberapa saat berdiam diri di balik pintu sebuah ruangan, helaan nafas panjang terdengar berhembus dari mulutnya. Setelah benar-benar siap, tangannya terangkat mengetuk pintu di hadapannya."Masuk," sahutan dari dalam sana.Sekali lagi Starla menghela nafas panjang, kemudian ia hembuskan dengan sedikit kasar, jika bukan karena paksaan sang kakak, ia malas menemui Cio lagi. Bukan karena benci, tapi kata-kata pria itu seketika berputar begitu saja ketika ia melihat wajah Cio. Dan hal itu membuat hatinya kecewa."Selamat pagi pak."Suara itu membuat Cio sontak mengalihkan pandangan, tanpa ia sadari, bibirnya melengkung mengukir senyum, "Starla?" sapanya."Maaf pak, saya kesini ingin melakukan peninjauan proyek, apa Zifa bisa menemani saya?" Starla tak ingin berbasa-basi bicara, ia langsung membicarakan tujuannya datang kesana."Zifa?" ulang Cio, mungkin ia ingin mengatakan, KENAPA HARUS ZIFA? AKU ADA DI SINI!Starla mengangguk, "Kalau begitu, saya langsung ke ruangan Zifa saja. Permisi,
"Kenapa aku lagi kak? Kakak saja, aku sibuk," tolak Starla saat Arka kembali memintanya bertemu dengan Cio untuk meninjau proyek mereka."Kakak lebih sibuk darimu, ayolah Star, kakak akan memberikan tanggung jawab penuh untukmu di proyek ini. Bukankah ini jalan yang menguntungkan untuk karirmu? Ini proyek pertamamu, dan ini bukan proyek abal-abal, Star. Proyek besar loh, kalau kamu berhasil, kemampuan kamu akan di perhitungkan banyak lawan," Arka terus membujuk. Melihat perkembangan mental sang adik yang sudah sangat baik, ia ingin Starla juga bisa seperti dirinya, berdamai dengan masa lalu lalu hidup lebih tenang dan bahagia. "Kakak, aku tidak perduli dengan karirku, aku bekerja hanya untuk belajar dan juga membantumu. Jadi kakak saja yang pergi," tolak Starla lagi, ia enggan bertemu dengan Cio. "Tapi kamu sudah pintar, kamu tidak perlu belajar lagi. Kamu hanya perlu menunjukkan kemampuanmu pada semua orang. Star, kelak yang akan memegang perusahaan ini juga kamu, kamu harus mencar
"Aku sudah kenyang, Mas ..." Kei menghindar saat Arka hendak kembali menyuapinya, perutnya terasa penuh.Bagaimana tidak, satu suap nasi yang ia kunyah, akan di barengi dengan potongan buah melon juga. Ia benar-benar kekenyangan, belum lagi jus alpukat yang harus ia habiskan, Kei benar-benar tak sanggup lagi menelannya."Tinggal dua suap lagi sayang," Arka masih mencoba membujuk.Kei menggeleng, "Aku benar-benar tidak sanggup."Arka mengusap puncak kepala perempuan itu dengan lembut, "Ya sudah, aku ke bawah dulu. Aku juga mau ganti pakaian," ucapnya seraya mengambil nampan yang isinya nyaris tandas."Kamu tidak kembali ke kantor?" Arka menggeleng, "Aku di rumah saja, menjagamu dan anak kita. Tunggu sebentar, nanti aku kembali lagi," jawabnya.Kei hanya mengangguk sebagai jawaban. Sepeninggal Arka, Kei kembali merenung, sudah benarkah keputusannya memberi kesempatan kembali pada Arka?Pertanyaan yang sama yang terus berulang-ulang dalam hatinya, membuat kepalanya pusing dan ia memutus
"Apa sudah lebih baik?" Tanya Arka, ia tersenyum saat Kei mengangguk, "Mungkin anak kita merindukan papanya," kata Arka lagi, ia kembali tersenyum meski Kei tak menjawabnya.Kei hendak bangun, dan Arka sigap membantunya. Pria itu menumpuk bantal di belakang punggung istrinya, agar perempuan itu duduk bersandar dengan nyaman."Terima kasih," lirih Kei. Ia memejamkan mata sejenak, bersyukur kini perutnya tak terasa sakit lagi."Jangan berterima kasih, apa pun yang yang aku lakukan untukmu, adalah kewajiban ku sebagai seorang suami. Aku senang bisa merawat mu dan anak kita. Dengan kamu tidak menolak ku saja, sudah cukup untukku. Karena aku tidak mau lagi berjauhan denganmu, apalagi kamu sedang mengandung anakku," jelas Arka, siapa tahu Kei menerimanya kembali setelah ini.Kei memalingkan wajahnya, entahlah, apa ia bisa seperti dulu lagi? Menerima pria itu dengan sepenuh hati setelah semua perbuatan yang pria itu lakukan padanya. Setelah merasakan rasa sakit yang teramat dalam karena ulah
Siang ini Kei hanya berbaring di atas ranjang, entah mengapa perutnya beberapa kali mengalami kram.Biasanya Arka akan pulang untuk memastikannya makan siang dengan benar, tapi siang ini pria itu tak menampakan batang hidungnya. Kei kesal, kenapa di saat ia membutuhkan pria itu, Arka tak pulang. Saat ia tak ingin berdekatan dengan Arka, Arka justru kerap memaksa dan terus berada di sampingnya. Itu lah alasan kenapa Kei bersikap ketus pada Arka saat pria itu mendekatinya. Selain karena kekecewaannya pada pria itu masih ada, ia juga kerap merasa kesal pada Arka tanpa sebab, mungkin bawaan bayi."Aw, kok sakit lagi sih? Apa aku harus menghubunginya? Tidak tidak tidak, nanti dia besar kepala," Kei terus bermonolog, sesekali tampak meringis menahan sakit."Hiko, apa aku menghubunginya saja?" Kei menggigit bibir bawahnya, menahan sakit yang kian terasa. Bersamaan dengan itu, pintu kamar di ketuk, Kei pun menyahut dengan suara berat, "Masuk!"Bi Inah memasuki kamar, membawa sebuah nampan y