Malam sudah larut, tapi entah mengapa Arka belum juga memejamkan matanya. Ia menatap tempat kosong di sebelahnya, ada rasa aneh yang menjalar di hatinya.
"Shit!" umpatnya. Dengan gusar pria itu mengusap wajah, lalu kembali bangun dan beranjak ke balkon. Ia nyalakan sebatang rokok yang masih tergeletak di atas meja, mungkin kemarin malam tertinggal di sana.Ia nikmati batang panjang yang menghasilkan kepulan asap itu dengan mata terpejam. Samar-samar terdengar suara isak tangis. Ia beranjak ke sisi pagar balkon, sedikit mencondongkan tubuhnya untuk melihat ke balkon sebelah.Kei tengah duduk meringkuk di pojok balkon seraya menelungkupkan wajahnya di atas kedua lengan yang terlipat di atas lutut. Bahu perempuan itu bergetar, di depannya ponselnya tergeletak dan mulai berdering. Namun, perempuan itu tak mengangkat panggilan masuknya sama sekali.Arka terus menatap gadis itu dalam diam. Sesuatu menelusup ke dalam hatinya dan membuat Arka merasa tidak nyaman.Ada perasaan aneh. Hatinya terenyuh mendengar tangisan Kei yang terdengar begitu pilu. Namun, Arka segera menepis perasaan itu. Rencananya untuk membalas dendam sudah sangat matang. Ia tidak akan membiarkan semua itu hancur karena perasaan sesaat.Arka lalu beranjak dari sana. Ia memutuskan untuk menghubungi sahabat yang sekaligus merangkap sebagai asistennya. Arka butuh hiburan.Namun baru saja turun ke lantai bawah, sahabatnya itu ternyata sudah berada di sana sambil tersenyum lebar."Astaga, aku baru saja mau pergi ke apartemenmu."Hiko tersenyum, menghampiri Arka lalu memeluknya."Maaf tidak menghadiri pernikahanmu. Dan aku ucapkan selamat untuk itu."Arka menghela nafas panjang, sahabatnya itu memang tak tahu alasan ia menikah. Hanya Clara yang tahu. Jika Hiko tahu, mungkin pria itu akan melarangnya."Tidak usah berlebihan, Ko. Lagi pula hanya pernikahan," jawab Arka, tampak enggan membahas pernikahannya.Jawaban itu membuat Hiko melepas dekapannya, lalu menatap Arka dengan kenging berkerut."Apa semua baik-baik saja?"Arka mengangguk, lalu menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, "Gimana urusan di sana? Apa semua berjalan lancar?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.Hiko memang dinas ke luar kota selama beberapa minggu terakhir."Ya, semuanya lancar. Seperti yang kita harapkan, mereka setuju dengan harga yang kita tawarkan. Tidak ada tawar menawar yang alot, semuanya mudah." Hiko duduk di sofa yang sama dengan Arka, ia masih merasa ada yang tidak beres dengan Arka.Sebenarnya, ia tak percaya saat Arka mengatakan mengakhiri hubungannya dengan Clara dan memilih menikahi gadis lain. Ia merasa ada sesuatu yang ia tak tahu dari sang sahabat. Karena setahunya, hubungan Arka dan Clara baik-baik saja, mana mungkin Clara mau memutuskan hubungannya dengan Arka begitu saja. Hiko sangat mengenal Clara, ia juga tahu tujuan awal Clara saat gadis itu mendekati Arka. Namun Arka seolah menutup mata, tak mau mendengarnya."Baguslah, aku puas dengan cara kerjamu. Untuk merayakannya, apa kita harus minum?" Arka menyeringai, ia menepuk pundak Hiko agar pria itu mau.Namun, Hiko menggeleng. "Kamu tahu sendiri aku tidak minum. Oiya, mana istrimu? Aku juga ingin mengucapkan selamat padanya. Ada hadiah kecil yang akan aku berikan pada istrimu.""Dia di kamar, mungkin sudah tidur. Sudah lah, lebih baik kita pergi ke suatu tempat untuk merayakan keberhasilanmu," Arka masih berusaha berkilah. Tapi penolakan itu justru membuat Hiko semakin curiga.Belum sempat Hiko mengatakan sesuatu, kemunculan Kei dari arah tangga mengejutkannya."Loh, Kei? Kamu Kei kan?"Arka menoleh, ternyata Kei memang ada disana. Kenapa perempuan itu turun? Bukankah tadi ia sedang menangis?"Aku ingat betul, kamu Shaletta Kei kan?" ulang Hiko.Kei diam saja, ia menatap Hiko dengan mata memicing. Membuat bola matanya semakin tenggelam tak terlihat karena kelopak matanya sembab dan sedikit membengkak karena terus menangis.Tak mendapat jawaban dari Kei, Hiko beranjak menghampiri perempuan itu. Semakin dekat ia semakin yakin bahwa ia tak salah mengenali orang, itu memang Kei. "Benar, ternyata beneran kamu. Apa kamu ingat aku?""Eh... siapa? Maaf, aku tidak begitu ingat..." jawab Kei bingung. Ia mulai merasa tidak nyaman karena tatapan pria asing itu melekat padanya."Ini aku, aku...""Hiko," potong Arka. Ia menghampiri Kei dan Hiko lalu melingkarkan tangannya di pinggang ramping Kei, merengkuh perempuan itu dengan posesif. "Dia sahabatku, namanya Hiko. Apa kamu mengenalnya, Sayang?" Arka menatap Kei sambil tersenyum. Tatapan matanya seolah menyiratkan suatu ancaman agar Kei mengikuti sandiwaranya."M-maaf. Aku benar-benar lupa," ucap Kei dengan suara pelan."Kalau begitu, mari kita berkenalan ulang." Hiko mengulurkan tangannya, "Aku Ahiko Daniel, murid kelas 10 IPA 1 di sekolah Bina Bangsa," ucapnya dengan sumringah."Astaga, Hiko? Hiko yang...""Yang dulu gendut dan berkaca mata. Yang dulu dijauhi semua orang dan hanya Shaletta Kei lah yang berbaik hati mau berteman dengannya," potong Hiko.Kei seketika menatap Hiko dengan mata berbinar, tak menyangka bisa kembali bertemu dengan teman lamanya. Teman saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas.Tanpa Kei sadari, Arka memperhatikan semua gerak-geriknya dengan bibir terkatup rapat. Ada perasaan aneh yang sulit untuk ia jabarkan. Rasa tak nyaman yang membuat Arka gelisah. Apalagi ketika tiba-tiba Kei memeluk Hiko di hadapannya. Hatinya bergejolak, ada rasa panas yang menjalari tubuhnya.Berani-beraninya wanita itu bertindak sesukanya?!
Arka berdeham keras, membuat Kei seketika sadar dan melepas pelukan rindunya pada sang teman lama.
Kei terlihat agak salah tingkah, sebelum bertanya pada Hiko. "Bagaimana kabarmu?"
Hiko terkekeh, Kei masih sebaik dulu, "Baik, tentu saja aku baik. Aku tidak menyangka ternyata kamu istri dari Arka, sahabatku."Kei pun melirik Arka yang kini menatapnya dengan tajam. Ada rasa takut yang kembali menyusup. Ia takut Arka kasar lagi padanya."Arka, aku ikut bahagia. Kamu beruntung mendapatkan Kei, gadis paling baik hati yang pernah aku kenal," kata Hiko. Ia menepuk bahu Arka beberapa kali, senyum tulus terpatri di wajah tampannya.Arka mengangguk tipis sambil tersenyum. "Aku memang beruntung menikahinya."Entah mengapa kalimat itu terdengar berbeda di telinga Kei, bukan terdengar seperti kalimat pujian. Namun terdengar seperti kalimat ancaman yang penuh dengan misteri. Apalagi tatapan tajam pria itu masih tertuju padanya, seolah mengingatkan Kei agar tidak bertindak sesuka hati."Oiya, Kei. Aku sampai lupa, aku bawakan hadiah kecil untukmu. Sebagai permintaan maafku karena aku tidak bisa hadir ke pernikahan kalian. Sebentar, aku ambilkan," Hiko tampak semangat, ia mengambil paperbag kecil yang ia simpan di dekat sofa.Sepeninggal Hiko, Arka kembali merangkul pinggang Kei. Kali ini rangkulan itu bukan hanya erat saja, tapi juga menyakiti Kei. Arka sengaja menekan pinggang Kei dengan keras, membuat perempuan itu meringis dan berusaha menjauhkan dirinya."Mas!" protes Kei dengan suara berbisik.Alih-alih melepasnya, Arka justru menyeringai. Ia tampak puas sudah menyakiti Kei. Sampai akhirnya Hiko kembali, Arka pun melonggarkan lingkaran tangannya di pinggang perempuan itu.Kei menggigit bibir bawahnya, menahan sakit yang masih terasa. Ia tak mau Hiko melihatnya dan curiga dengan keadaan rumah tangganya."Ini hadiah untuk kalian, buka ini saat aku sudah pulang nanti," ucap Hiko seraya memberikan paperbag kecil itu pada Kei."Terima kasih, Hiko. Kenapa kamu repot-repot? Sebuah doa saja sudah cukup untukku," ucap Kei, berusaha terlihat biasa saja.Hiko agak mengernyit mendengar ucapan gadis itu. Ia menatap Kei yang berdiri canggung dalam dekapan tangan Arka yang menampilkan ekspresi datar. Situasi itu... cukup janggal untuk pasangan suami istri yang baru menikah.Tapi Hiko memutuskan untuk membuang pemikiran itu dari kepalanya.
"Ini tidak merepotkan, Kei. Aku ikhlas, apalagi kalian adalah temanku." Hiko kembali tersenyum, menatap keduanya bergantian.Lagi-lagi ia menangkap tatapan berbeda dari Arka untuk Kei. Mungkinkah...
"Sudah malam. Apa kau berencana menginap di sini?" tanya Arka tiba-tiba, menyentak Hiko dari lamunan.
Pria itu tertawa canggung. "Ah ya, aku harus pulang. Aku tidak mau mengganggu pengantin baru," goda Hiko sambil mengerling.
Arka menarik salah satu ujung bibirnya ke atas. Ia lantas merangkul Hiko dan mengantar pria itu ke pintu utama. Mereka berbincang ringan, sedangkan Kei hanya bisa mengikuti mereka dari belakang.
Ingin rasanya Kei berteriak minta tolong pada Hiko, tapi ia tak seberani itu. Kei juga tak mau aib dalam rumah tangganya diketahui orang lain.Saat tengah tenggelam dalam lamunan, Arka tiba-tiba saja sudah kembali dan menarik tangan Kei dengan kasar.
"Berani-beraninya kamu bermesraan dengan pria lain di hadapanku?!"
"Berani-beraninya kamu bermesraan dengan pria lain di hadapanku?!" Cecar Arka, ia mengeratkan genggaman tangannya di pergelangan tangan Kei. Padahal luka memar di tangan Kei belum memudar sepenuhnya, tapi kini Arka kembali membuat luka baru."Lepas, mas. Kamu menyakitiku," ucap Kei dengan lirih. Matanya berembun, setiap pria itu kasar, hatinya terasa sakit."Ini pantas kamu dapatkan, kamu harus aku beri pelajaran agar tidak bertindak sesukamu! Kenapa kamu memeluk pria lain, hah?" Sentak Arka.Kei memejamkan matanya saat suara bentakan pria itu terdengar memekakkan telinganya. Air mata yang sedari tadi menggenang kini meluruh sudah. "Dia hanya temanku, mas. Bukan kah dia juga sahabat mu?" Ucap Kei. Perempuan itu mulai terisak. Sakit di pergelangan tangannya tak seberapa jika di bandingkan dengan rasa sakit yang hatinya rasakan karena perlakuan pria itu."Teman? Aku meragukan itu! Apa dia juga sudah menikmati tubuhmu?! Apa kamu juga merayunya? Aku percaya padanya, tapi kamu? Jalang sepe
"Sial!" Umpatnya, ia lalu kembali memasuki kamar dan meminta Rumi mengatakan pada tamunya bahwa ia dan Kei akan segera turun.Dengan cepat Arka kembali memasuki kamar, menutup pintunya lalu menguncinya. Ia menghampiri Kei dan duduk di hadapan perempuan itu."Bersiaplah, di bawah ada orang tua mu. Dan ingat satu hal Kei, jika kamu mengatakan semua yang sudah terjadi, bukan hanya kamu yang akan celaka, tapi juga mereka! mengerti?" Ancamnya.Kei tersenyum sinis, ia menyembunyikan ketakutannya dan memberanikan diri menatap mata tajam suaminya, "Kamu tenang saja, Arka. Aku juga tidak akan membiarkan mereka tahu nasib buruk putrinya. Jangan khawatir, kebusukan mu tidak akan terbongkar. Aku masih punya hati nurani untuk menjunjung dan menghormati suamiku di hadapan keluargaku!" ucap Kei dengan tegas.Mendengar Kei memanggil namanya saja, entah mengapa Arka merasa tak suka. Tapi tak ada waktu untuk kembali memberi Kei pelajaran, di bawah ada kedua orang tua Kei, mereka harus menyiapkan diri u
Kei menangis terisak di balik selimut tebal yang menutup tubuh polosnya. Beberapa saat yang lalu, Arka kembali memaksakan dirinya, melukai tubuhnya juga hatinya.Entah apa yang pria itu pikirkan, padahal Arka sendiri sudah berjanji tak akan menyentuh Kei lagi. Ia bahkan mengatakan pada Kei untuk melupakan kejadian malam pertama mereka, tapi malam ini Arka melanggarnya sendiri.Bukannya Kei tak mau melakukan kewajibannya sebagai seorang istri untuk memberikan hak suaminya, tapi cara pria itu lah yang membuatnya merasa marah. Andai Arka memintanya dengan penuh cinta, Kei pun tak akan keberatan. Tapi lagi-lagi Arka melakukannya dengan kasar, ia menambah deretan luka di tubuh istrinya.Dengan menggulung selimut tebal untuk membungkus tubuh polosnya, Kei beranjak tertatih ke kamar mandi. Ia tak perduli dengan Arka yang kini tengah duduk menatapnya dengan tubuh polos karena selimut yang juga menutup tubuhnya Kei bawa.Rasanya sakit, meski ini bukan yang pertama untuk Kei, tapi tetap saja ra
"Hiko?" Kei tampak antusias, melupakan tatapan tajam Arka yang seolah siap menghunusnya. "Waw, Kei. Kamu terlihat sangat berbeda malam ini," puji Hiko. "Biasa saja, Hiko." Kei tersipu, sikap malu-maluKei membuat Arka semakin kesal. Mungkin jika dapat terlihat, ada kobaran api yang keluar dari hidung dan telinganya. "Untuk apa kamu kesini? Kita mau pergi," ucap Arka dengan ketus."Mau jemput kalian, kita akan pergi bersama ke peresmian perusahaan pak Cio," ucap Hiko dengan santai. Ia menggelengkan kepalanya melihat sikap Arka, dan Hiko semakin ingin membuat sahabatnya itu cemburu."Kamu juga kesana?" Tanya Kei, ia tersenyum lebar saat Hiko mengangguk mengiyakan."Aku Cio mengundangku. Ternyata dia masih mengingatku Kei, tidak seperti kamu. Kamu bahkan tidak mengenaliku saat kita bertemu lagi," Hiko menggerutu, membuat Kei tertawa lalu menggandeng tangan Hiko."Maaf.." rengek Kei."Ekhemmm." Arka berdehem, ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Kei dan Hiko bergantian. Ta
"Ya sayang? Disini membosankan, aku merindukanmu."Kei menghela nafas dalam, ternyata mengikuti Arka ke toilet adalah kesalahan. Hatinya sakit saat ia mendengar Arka bicara mesra dengan Clara.Pria itu tak pergi ke toilet, melainkan mencari tempat sepi untuk menghubungi kekasihnya."Sepulang dari sini, aku pasti ke apartemen kamu, apa kamu mau aku belikan sesuatu? Spaghetti kesukaanmu misal?" Tanya Arka, ia tampak tersenyum, sesekali merayu Clara, sesekali mengucapkan kata cinta.Kei tak sanggup lagi, ia memutuskan untuk kembali ke ballroom. Pandangannya mulai kabur karena air mata mendesak keluar dari kedua netranya.BUGKei nyaris jatuh terduduk saat tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Karena tak fokus, ia tak melihat ada seseorang yang datang dan tanpa sengaja ia tabrak."Kei, dari mana?"Kei mendongak, "Maaf, aku tidak sengaja. Aku..""Kenapa, Kei?"Kei tak menjawab, ia yang tak tahan ingin menangis semakin ingin menangis saat Hiko bertanya padanya."Hiko, aku.."Tumpah lah air m
Arka celingukan mencari Kei, ia kira Kei kembali ke ballroom tempat acara Cio, tapi ternyata perempuan itu tak berada disana. Beruntung keluarga Kei tak melihatnya, jika tidak, pasti akan banyak pertanyaan yang di layangkan padanya. Ia pun memutuskan untuk pulang, sepertinya Kei juga sudah pulang, begitu pikirnya.Pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, hanya sepuluh menit saja, ia sudah sampai di rumahnya. Langkah lebar membawanya ke kamar, ia buka pintu kamar itu dengan keras, "Kei!" Panggilnya."Kemana dia?!" Ucapnya dengan kesal, Kei tak berada di kamar, ia lalu menuju kamar sebelah, kamar yang terkadang Kei tempati. Hendak langsung membukanya, namun ternyata pintu itu terkunci. "Kei, aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya!"Bukan lagi hanya ketukan, tapi Arka menggedor pintu di depannya dengan keras. Menimbulkan suara gaduh yang membuat Kei segera beranjak untuk membukanya. Padahal ia baru saja hendak berganti pakaian, tapi Arka datang dengan tak sabar.CEKLEK"
Kei mengerjapkan matanya saat cahaya lampu yang bersinar tepat di atasnya terasa menusuk kedua netranya yang baru saja terbuka. Ia mengedarkan pandangannya, ruangan bernuansa putih itu terasa asing baginya, bau menyengat khas tempat itu menyeruak menusuk indera penciumannya, bau yang sangat tak ia sukai dan membuat keningnya berkerut tajam.“Mama..” lirihnya dengan suara serak. Ia berusaha memutar memorynya, mengingat kejadian apa yang menyebabkannya terbaring di tempat itu. Air matanya kembali mengalir saat rangkaian kejadian buruk yang sudah ia lalui kembali berputar dengan jelas di benaknya. “Mama..” lirihnya lagi seraya terisak. Menyedihkan, itu lah kata yang pantas untuknya saat ini.Kerongkongan yang terasa kering membuatnya terbatuk, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari air untuk ia minum. Lehernya sakit, dadanya sesak, namun ia berusaha bangun untuk mengambil segelas air putih di atas nakas sebelah kanan. Sayangnya, hal itu terasa sulit. Pergerakannya terbatas. Tubuhnya te
Pagi harinya, Kei di perbolehkan pulang. Itu pun karena Kei memaksa pada Hiko, Hiko yang tak bisa menolak terpaksa memohon pada dokter agar Kei di perbolehkan pulang dan berobat jalan. Meski dokter awalnya tak mengizinkan, namun karena Hiko memaksa, akhirnya dokter juga pasrah. Sebenarnya, ada berbagai pertanyaan dan kecurigaan tentang kondisi Kei. Dokter ingin mencari tahu dan menyarankan Kei berobat lebih serius. Pasalnya, bekas luka cekikan di leher Kei membuat tanda tanya besar, antara perempuan itu mencoba melukai dirinya sendiri atau di lukai seseorang. Namun opsi pertama rasanya tak mungkin, dokter curiga Kei di lukai seseorang.Tak hanya leher Kei yang memerah dan berbekas, di kedua pergelangan tangan perempuan itu pun terdapat luka memar."Sudah siap?" Tanya Hiko yang baru saja muncul, pria itu membawa beberapa obat yang tadi dokter resepkan, juga surat izin kepulangan Kei dari rumah sakit.Kei mengangguk, karena memang tak ada barang-barang yang Kei bereskan mengingat kedat
Sudah larut malam, tapi Kei belum juga bisa terlelap. Beberapa kali ia mengubah posisi tidur, miring ke kanan miring ke kiri, semuanya tak membuatnya nyaman.Entah mengapa perasannya mendadak tak karuan, pikirannya terus tertuju pada Arka yang beberapa jam yang lalu mengirimnya sebuah pesan, bahwa pria itu akan pulang larut malam. Entah ada apa, mungkin pekerjaannya sedang banyak, atau mungkin juga menghindari Kei karena Kei tak juga mau memberi jawaban atas permintaannya.Terbersit sebuah ide, "Apa aku harus melakukan itu?" gumamnya.Seperti ada sebuah dorongan, Kei pun bangkit dari pembaringan, lalu beranjak keluar kamar.Sepi, bahkan lampu di beberapa ruangan sudah padam, tapi Arka belum juga pulang. Kei tak tenang, tapi Kei enggan mengirim pria itu pesan untuk sekedar bertanya kapan pulang?Perempuan itu menghela nafas panjang, menguatkan tekad untuk melakukan ide yang beberapa saat lalu terbersit dalam benaknya.***Arka menghela nafas panjang saat melangkah memasuki rumah. Sebag
Jam makan siang tiba, tapi Starla masih tak keluar dari kamarnya. Mungkin karena kakinya masih sakit, meski tak sesakit tadi sebelum Cio membantunya."Bi, Starla belum makan siang?" Tanya Kei yang baru saja tiba di ruang makan. "Belum nyonya, mungkin kakinya masih sakit," jawab Bi Inah.Kei menghela nafas panjang, tadi ia sempat mencurigai Starla. Kepercayaannya pada perempuan itu tak mudah untuk kembali seperti dulu, tapi sepertinya Starla memang tak berbohong, sesuai dengan yang Cio katakan tadi."Biar aku saja yang membawakannya makan siang bi, bibi tolong siapkan yah," kata Kei lagi. Mungkin ia harus meminta maaf pada Starla.Bi Inah mengangguk, "Baik Nyonya," jawabnya.Sembari menunggu makanan untuk Starla siap, Kei meminum jus alpukat kesukaannya, lalu menusuk buah melon yang sudah di potong kecil-kecil dengan garpu. Rasanya manis, Kei sangat menyukainya, apalagi buah melon itu mampu mengusir rasa mualnya ketika makan.Beberapa saat kemudian, nampan berisi makanan untuk Starla
Starla menepis tangan Cio saat pria itu hendak memapahnya dan membantunya berjalan, “Aku bisa sendiri,” katanya dengan sedikit ketus.Cio mengerutkan dahinya, bukankah beberapa saat yang lalu sikap gadis itu sudah sedikit mencair? Atau karena ada hal urgent saja Starla mau bicara dengannya?“Kaki kamu terkilir, aku hanya ingin membantumu,” ucap Cio. Pria itu mengerutkan dahi saat Starla memanggil pak Bimo yang masih berbicara dengan petugas pemadam kebakaran yang berhasil menaklukan ular cobra di sana.“Pak, tolong banti saja ke sana,” Starla menunjuk sebuah bangku, kakinya benar-benar sakit, sepertinya ia harus beristirahat sebentar.Pak Bimo menatap Cio, ia tak mengerti dengan situasi antara Cio dan Starloa. Tapi taka da salahnya ia bertanya pada Cio lewat tatapan mata. Dan cio memberikan jawaban dengan gelengan kepala, Bimo yang mengerti pun menjawab, “Maaf bu, tapi tangan saya kotor. Tadi saya sempat memegang ular itu.”Cio bersorak dalam hati, Bimo bisa ia ajak berkompromi meski
Cio mengambil payung dari jok belakang, ia buka lalu ia gunakan untuk memayunginya dan Starla. Membuat gadis itu memutar bola matanya dengan malas."Tidak perlu menggunakan payung, aku sudah terbiasa dengan panas," Starla menolak, ia menjauh dari Cio, tapi Cio tak menyerah dan kembali melindungi gadis itu dengan payung."Kalau tidak memakai payung, kepala kamu bisa pusing. Panasnya lagi terik, sudahlah, apa susahnya menurut?"Starla berdecak, tapi ia tak menolak lagi. Mungkin Cio salah meminum obat, kenapa pria itu menjadi sangat perhatian padanya? Biasanya Cio tak akan perduli apapun tentangnya, apalagi sejak kejadian di villa dulu, pria itu bersikap seperti tak mengenalnya.Dulu, ketika mereka bersahabat, Cio memang sangat perhatian, melindungi Starla seperti layaknya melindungi Kei. Tapi setelah kejadian di villa, Cio seperti orang asing. Apalagi Kei menjadi objek balas dendam Arka, Cio semakin membencinya.Lalu kenapa sekarang Cio kembali bersikap baik? Apa pria itu ingin menjalin
Beberapa saat berdiam diri di balik pintu sebuah ruangan, helaan nafas panjang terdengar berhembus dari mulutnya. Setelah benar-benar siap, tangannya terangkat mengetuk pintu di hadapannya."Masuk," sahutan dari dalam sana.Sekali lagi Starla menghela nafas panjang, kemudian ia hembuskan dengan sedikit kasar, jika bukan karena paksaan sang kakak, ia malas menemui Cio lagi. Bukan karena benci, tapi kata-kata pria itu seketika berputar begitu saja ketika ia melihat wajah Cio. Dan hal itu membuat hatinya kecewa."Selamat pagi pak."Suara itu membuat Cio sontak mengalihkan pandangan, tanpa ia sadari, bibirnya melengkung mengukir senyum, "Starla?" sapanya."Maaf pak, saya kesini ingin melakukan peninjauan proyek, apa Zifa bisa menemani saya?" Starla tak ingin berbasa-basi bicara, ia langsung membicarakan tujuannya datang kesana."Zifa?" ulang Cio, mungkin ia ingin mengatakan, KENAPA HARUS ZIFA? AKU ADA DI SINI!Starla mengangguk, "Kalau begitu, saya langsung ke ruangan Zifa saja. Permisi,
"Kenapa aku lagi kak? Kakak saja, aku sibuk," tolak Starla saat Arka kembali memintanya bertemu dengan Cio untuk meninjau proyek mereka."Kakak lebih sibuk darimu, ayolah Star, kakak akan memberikan tanggung jawab penuh untukmu di proyek ini. Bukankah ini jalan yang menguntungkan untuk karirmu? Ini proyek pertamamu, dan ini bukan proyek abal-abal, Star. Proyek besar loh, kalau kamu berhasil, kemampuan kamu akan di perhitungkan banyak lawan," Arka terus membujuk. Melihat perkembangan mental sang adik yang sudah sangat baik, ia ingin Starla juga bisa seperti dirinya, berdamai dengan masa lalu lalu hidup lebih tenang dan bahagia. "Kakak, aku tidak perduli dengan karirku, aku bekerja hanya untuk belajar dan juga membantumu. Jadi kakak saja yang pergi," tolak Starla lagi, ia enggan bertemu dengan Cio. "Tapi kamu sudah pintar, kamu tidak perlu belajar lagi. Kamu hanya perlu menunjukkan kemampuanmu pada semua orang. Star, kelak yang akan memegang perusahaan ini juga kamu, kamu harus mencar
"Aku sudah kenyang, Mas ..." Kei menghindar saat Arka hendak kembali menyuapinya, perutnya terasa penuh.Bagaimana tidak, satu suap nasi yang ia kunyah, akan di barengi dengan potongan buah melon juga. Ia benar-benar kekenyangan, belum lagi jus alpukat yang harus ia habiskan, Kei benar-benar tak sanggup lagi menelannya."Tinggal dua suap lagi sayang," Arka masih mencoba membujuk.Kei menggeleng, "Aku benar-benar tidak sanggup."Arka mengusap puncak kepala perempuan itu dengan lembut, "Ya sudah, aku ke bawah dulu. Aku juga mau ganti pakaian," ucapnya seraya mengambil nampan yang isinya nyaris tandas."Kamu tidak kembali ke kantor?" Arka menggeleng, "Aku di rumah saja, menjagamu dan anak kita. Tunggu sebentar, nanti aku kembali lagi," jawabnya.Kei hanya mengangguk sebagai jawaban. Sepeninggal Arka, Kei kembali merenung, sudah benarkah keputusannya memberi kesempatan kembali pada Arka?Pertanyaan yang sama yang terus berulang-ulang dalam hatinya, membuat kepalanya pusing dan ia memutus
"Apa sudah lebih baik?" Tanya Arka, ia tersenyum saat Kei mengangguk, "Mungkin anak kita merindukan papanya," kata Arka lagi, ia kembali tersenyum meski Kei tak menjawabnya.Kei hendak bangun, dan Arka sigap membantunya. Pria itu menumpuk bantal di belakang punggung istrinya, agar perempuan itu duduk bersandar dengan nyaman."Terima kasih," lirih Kei. Ia memejamkan mata sejenak, bersyukur kini perutnya tak terasa sakit lagi."Jangan berterima kasih, apa pun yang yang aku lakukan untukmu, adalah kewajiban ku sebagai seorang suami. Aku senang bisa merawat mu dan anak kita. Dengan kamu tidak menolak ku saja, sudah cukup untukku. Karena aku tidak mau lagi berjauhan denganmu, apalagi kamu sedang mengandung anakku," jelas Arka, siapa tahu Kei menerimanya kembali setelah ini.Kei memalingkan wajahnya, entahlah, apa ia bisa seperti dulu lagi? Menerima pria itu dengan sepenuh hati setelah semua perbuatan yang pria itu lakukan padanya. Setelah merasakan rasa sakit yang teramat dalam karena ulah
Siang ini Kei hanya berbaring di atas ranjang, entah mengapa perutnya beberapa kali mengalami kram.Biasanya Arka akan pulang untuk memastikannya makan siang dengan benar, tapi siang ini pria itu tak menampakan batang hidungnya. Kei kesal, kenapa di saat ia membutuhkan pria itu, Arka tak pulang. Saat ia tak ingin berdekatan dengan Arka, Arka justru kerap memaksa dan terus berada di sampingnya. Itu lah alasan kenapa Kei bersikap ketus pada Arka saat pria itu mendekatinya. Selain karena kekecewaannya pada pria itu masih ada, ia juga kerap merasa kesal pada Arka tanpa sebab, mungkin bawaan bayi."Aw, kok sakit lagi sih? Apa aku harus menghubunginya? Tidak tidak tidak, nanti dia besar kepala," Kei terus bermonolog, sesekali tampak meringis menahan sakit."Hiko, apa aku menghubunginya saja?" Kei menggigit bibir bawahnya, menahan sakit yang kian terasa. Bersamaan dengan itu, pintu kamar di ketuk, Kei pun menyahut dengan suara berat, "Masuk!"Bi Inah memasuki kamar, membawa sebuah nampan y