Kei menangis terisak di balik selimut tebal yang menutup tubuh polosnya. Beberapa saat yang lalu, Arka kembali memaksakan dirinya, melukai tubuhnya juga hatinya.
Entah apa yang pria itu pikirkan, padahal Arka sendiri sudah berjanji tak akan menyentuh Kei lagi. Ia bahkan mengatakan pada Kei untuk melupakan kejadian malam pertama mereka, tapi malam ini Arka melanggarnya sendiri.Bukannya Kei tak mau melakukan kewajibannya sebagai seorang istri untuk memberikan hak suaminya, tapi cara pria itu lah yang membuatnya merasa marah. Andai Arka memintanya dengan penuh cinta, Kei pun tak akan keberatan. Tapi lagi-lagi Arka melakukannya dengan kasar, ia menambah deretan luka di tubuh istrinya.Dengan menggulung selimut tebal untuk membungkus tubuh polosnya, Kei beranjak tertatih ke kamar mandi. Ia tak perduli dengan Arka yang kini tengah duduk menatapnya dengan tubuh polos karena selimut yang juga menutup tubuhnya Kei bawa.Rasanya sakit, meski ini bukan yang pertama untuk Kei, tapi tetap saja rasanya sangat sakit. Namun rasa sakit di tubuhnya tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya."Akh.." ringisnya, ia menghentikan langkah beberapa saat untuk menetralkan rasa sakitnya. Lalu kembali berjalan ke kamar mandi.Sedangkan Arka, pria itu menatap Kei yang tengah meringis kesakitan. Lalu memungut pakaiannya dan memakainya. Ia beranjak ke balkon untuk merokok.Arka sendiri tak mengerti, kenapa ia bisa lepas kendali? Kenapa ia bisa kembali menyentuh Kei? Padahal ia sudah berjanji untuk tak melakukannya lagi. Apalagi ketika bayangan wajah Clara melintas di benaknya, ia menyesal, tapi juga membenarkan apa yang ia lakukan pada istrinya itu.Dengan gusar, pria itu mengusap wajahnya. Rokok yang baru saja ia nyalakan kembali ia matikan. Perasaannya tak menentu, entah lah, dendam membuatnya membenarkan semua perbuatan kasarnya pada sang istri.Ia menoleh saat mendengar suara pintu tertutup, membuatnya memasuki kamar dan mencari Kei. Perempuan itu tak ada, "Kemana dia?" gumamnya."Persetan dengannya, aku tidak perduli," ucapnya lagi.Meski malam mulai larut, Arka memutuskan untuk keluar rumah, ia butuh bertemu Clara untuk menenangkan hatinya yang gusar.***Kei tengah bersiap saat pintu kamar terdengar di ketuk, ia beranjak untuk membuka pintu kamar. Rumi tersenyum padanya."Nyonya, Tuan sudah menunggu," ucapnya.Kei mengangguk, "Aku akan menemuinya. Terima kasih, Rumi."Malam ini, ia dan Arka akan menghadiri peresmian anak perusahaan milik Cio, kakaknya. Beberapa saat yang lalu, Rumi mengantar gaun yang katanya dari Arka, tak ingin membuat pria itu marah, ia pun memakainya.Gaun panjang berwarna hitam tanpa lengan berleher tinggi yang begitu cocok di tubuh rampingnya. Di padukan dengan hand bag berwarna maroon dan high heels berwarna hitam, Kei terlihat sangat anggun. Rambut panjangnya di biarkan terurai, hanya di tambah aksen Curly di bagian bawah.Menghela nafas panjang untuk menyiapkan diri, Kei pun keluar dari kamar. Ia memang membutuhkan mental yang sehat dan ketenangan untuk berhadapan dengan Arka."Mas.." panggilnya.Arka menoleh, pria itu diam terpaku melihat penampilan anggun istrinya. Kei terlihat berbeda, mungkin karena riasan tipis di wajahnya, Kei tampak lebih segar dari biasanya. Dan entah mengapa, gairahnya kembali bangkit. Namun ia tak akan membiarkan hal itu terjadi lagi, Arka tak mau mengkhianati Clara."Kenapa lama sekali?" Hardik Arka, ia menatap Kei dengan tatapan tajam, menyembunyikan kekaguman yang sempat menyelinap dalam hatinya."Ini belum terlambat," jawab Kei. Karena memang masih ada satu jam lagi untuk acara itu di mulai."Aku paling tidak suka menunggu, dan kamu sudah berani membuat aku menunggu!"Kei menghela nafas panjang, mengumpulkan kesabaran yang sudah setipis tissue. Ia tak boleh terpancing. Tak menjawab apapun, Kei memilih pergi dan membiarkan Arka menggerutu sendiri."Hei, beraninya kau meninggalkan aku? Aku sudah menunggumu dan sekarang kamu pergi begitu saja?!" Arka terus menggerutu, membuat Kei menghentikan langkah lalu menoleh."Jika kamu mau, dari tadi kamu bisa pergi sendiri. Aku juga tidak masalah harus pergi sendiri," jawab Kei.Arka mengepalkan tangannya, menatap Kei dengan tajam. Kebenciannya kembali mencuat, andai tak akan pergi, mungkin ia sudah kembali menghukum Kei."Jangan lancang kamu, Kei!" ucapnya dengan penuh kebencian. Ia menghampiri Kei, merengkuh pinggang ramping perempuan itu dengan kencang.Membuat Kei meringis dan berusaha menyingkirkan tangan pria itu. "Lepas, Arka. Kamu menyakitiku!"Arka semakin kesal saat Kei kembali memanggilnya dengan namanya saja, ia semakin merengkuh pinggang Kei sampai perempuan itu merapat padanya."Jangan berani-berani melawanku!" Bisik Arka dengan penuh penekanan, suara yang terdengar mengerikan di telinga Kei. Arka sedikit menyeret Kei, membuat Kei mau tak mau mengikutinya."Arka, Kei..""Hiko?" Kei tampak antusias, melupakan tatapan tajam Arka yang seolah siap menghunusnya. "Waw, Kei. Kamu terlihat sangat berbeda malam ini," puji Hiko. "Biasa saja, Hiko." Kei tersipu, sikap malu-maluKei membuat Arka semakin kesal. Mungkin jika dapat terlihat, ada kobaran api yang keluar dari hidung dan telinganya. "Untuk apa kamu kesini? Kita mau pergi," ucap Arka dengan ketus."Mau jemput kalian, kita akan pergi bersama ke peresmian perusahaan pak Cio," ucap Hiko dengan santai. Ia menggelengkan kepalanya melihat sikap Arka, dan Hiko semakin ingin membuat sahabatnya itu cemburu."Kamu juga kesana?" Tanya Kei, ia tersenyum lebar saat Hiko mengangguk mengiyakan."Aku Cio mengundangku. Ternyata dia masih mengingatku Kei, tidak seperti kamu. Kamu bahkan tidak mengenaliku saat kita bertemu lagi," Hiko menggerutu, membuat Kei tertawa lalu menggandeng tangan Hiko."Maaf.." rengek Kei."Ekhemmm." Arka berdehem, ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Kei dan Hiko bergantian. Ta
"Ya sayang? Disini membosankan, aku merindukanmu."Kei menghela nafas dalam, ternyata mengikuti Arka ke toilet adalah kesalahan. Hatinya sakit saat ia mendengar Arka bicara mesra dengan Clara.Pria itu tak pergi ke toilet, melainkan mencari tempat sepi untuk menghubungi kekasihnya."Sepulang dari sini, aku pasti ke apartemen kamu, apa kamu mau aku belikan sesuatu? Spaghetti kesukaanmu misal?" Tanya Arka, ia tampak tersenyum, sesekali merayu Clara, sesekali mengucapkan kata cinta.Kei tak sanggup lagi, ia memutuskan untuk kembali ke ballroom. Pandangannya mulai kabur karena air mata mendesak keluar dari kedua netranya.BUGKei nyaris jatuh terduduk saat tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Karena tak fokus, ia tak melihat ada seseorang yang datang dan tanpa sengaja ia tabrak."Kei, dari mana?"Kei mendongak, "Maaf, aku tidak sengaja. Aku..""Kenapa, Kei?"Kei tak menjawab, ia yang tak tahan ingin menangis semakin ingin menangis saat Hiko bertanya padanya."Hiko, aku.."Tumpah lah air m
Arka celingukan mencari Kei, ia kira Kei kembali ke ballroom tempat acara Cio, tapi ternyata perempuan itu tak berada disana. Beruntung keluarga Kei tak melihatnya, jika tidak, pasti akan banyak pertanyaan yang di layangkan padanya. Ia pun memutuskan untuk pulang, sepertinya Kei juga sudah pulang, begitu pikirnya.Pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, hanya sepuluh menit saja, ia sudah sampai di rumahnya. Langkah lebar membawanya ke kamar, ia buka pintu kamar itu dengan keras, "Kei!" Panggilnya."Kemana dia?!" Ucapnya dengan kesal, Kei tak berada di kamar, ia lalu menuju kamar sebelah, kamar yang terkadang Kei tempati. Hendak langsung membukanya, namun ternyata pintu itu terkunci. "Kei, aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya!"Bukan lagi hanya ketukan, tapi Arka menggedor pintu di depannya dengan keras. Menimbulkan suara gaduh yang membuat Kei segera beranjak untuk membukanya. Padahal ia baru saja hendak berganti pakaian, tapi Arka datang dengan tak sabar.CEKLEK"
Kei mengerjapkan matanya saat cahaya lampu yang bersinar tepat di atasnya terasa menusuk kedua netranya yang baru saja terbuka. Ia mengedarkan pandangannya, ruangan bernuansa putih itu terasa asing baginya, bau menyengat khas tempat itu menyeruak menusuk indera penciumannya, bau yang sangat tak ia sukai dan membuat keningnya berkerut tajam.“Mama..” lirihnya dengan suara serak. Ia berusaha memutar memorynya, mengingat kejadian apa yang menyebabkannya terbaring di tempat itu. Air matanya kembali mengalir saat rangkaian kejadian buruk yang sudah ia lalui kembali berputar dengan jelas di benaknya. “Mama..” lirihnya lagi seraya terisak. Menyedihkan, itu lah kata yang pantas untuknya saat ini.Kerongkongan yang terasa kering membuatnya terbatuk, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari air untuk ia minum. Lehernya sakit, dadanya sesak, namun ia berusaha bangun untuk mengambil segelas air putih di atas nakas sebelah kanan. Sayangnya, hal itu terasa sulit. Pergerakannya terbatas. Tubuhnya te
Pagi harinya, Kei di perbolehkan pulang. Itu pun karena Kei memaksa pada Hiko, Hiko yang tak bisa menolak terpaksa memohon pada dokter agar Kei di perbolehkan pulang dan berobat jalan. Meski dokter awalnya tak mengizinkan, namun karena Hiko memaksa, akhirnya dokter juga pasrah. Sebenarnya, ada berbagai pertanyaan dan kecurigaan tentang kondisi Kei. Dokter ingin mencari tahu dan menyarankan Kei berobat lebih serius. Pasalnya, bekas luka cekikan di leher Kei membuat tanda tanya besar, antara perempuan itu mencoba melukai dirinya sendiri atau di lukai seseorang. Namun opsi pertama rasanya tak mungkin, dokter curiga Kei di lukai seseorang.Tak hanya leher Kei yang memerah dan berbekas, di kedua pergelangan tangan perempuan itu pun terdapat luka memar."Sudah siap?" Tanya Hiko yang baru saja muncul, pria itu membawa beberapa obat yang tadi dokter resepkan, juga surat izin kepulangan Kei dari rumah sakit.Kei mengangguk, karena memang tak ada barang-barang yang Kei bereskan mengingat kedat
"Apa yang kalian lakukan semalam? Wanita murahan!" Cercah Arka sesaat setelah mereka memasuki kamar.Kei menatap Arka dengan tatapan tak percaya, bukannya bertanya perihal keadaannya yang nyaris mati, Arka justru kembali berbuat ulah dengan cara menuduhnya. Sungguh, Kei benar-benar tak mengenali Arka."Apa kamu tidak mau tahu keadaanku mas? Aku hampir mati karena kamu," ucap Kei dengan lirih. Rasanya ia sungguh lelah dengan sikap Arka."Untuk apa? Jika pun kamu benar-benar mati, aku tidak perduli Shaletta Kei!"Menetes susah air mata Kei, meski ia tak mau menangis lagi, tapi ternyata ia tak bisa berpura-pura kuat. "Kalau begitu, kenapa kamu tidak membunuhku saja sekarang? Lagi pula aku sudah benar-benar muak dengan hidupku. Aku tidak percaya lagi dengan takdir, aku lelah mengharap kebahagiaan. Mungkin dengan cara aku mati, aku tidak akan merasakan sakit lagi!!"Mendengar kalimat itu, entah mengapa Arka sedikit terkejut. Ia tak suka Kei menyerah begitu saja, mungkin karena ia belum pua
Rasa lapar membuat Kei harus keluar dari persembunyiannya. Sudah berjam-jam, ia bahkan sempat tertidur di ruang ganti, dan terbangun karena perutnya keroncongan.Dengan langkah pelan, ia menuruni anak tangga satu per satu. Harusnya ia cukup makan dan beristirahat, tubuhnya bahkan masih lemah, tapi pulang ke rumah ia justru mendapatkan drama terbaru dari Arka dan kekasihnya.Suara tawa Clara dan Arka terdengar bersahutan. Mereka terlihat begitu bahagia, tak memperdulikan Kei yang kini tengah menatap ke arah mereka.Kei kita Clara sudah pulang, ternyata perempuan itu masih berada disana. Ia mencoba tak perduli meski pemandangan itu begitu menyakitkan, ia acuhkan dengan terus melangkah menuju dapur."Heh, Jalang! Siapa yang menyuruhmu keluar?!" Teriak Clara, karena Arka mengatakan padanya Kei di kurung agar tak menampakkan dirinya pada Clara yang akan membuat mood perempuan itu berubah buruk.Kei terus melangkah, ia berpura-pura tak mendengar teriakan Clara. "Wanita sialan! Dia harus ak
Hiko mengepalkan tangannya saat ia melihat Clara berada di rumah Arka, lagi-lagi Arka pasti menyakiti Kei. Ia mengedarkan pandangannya, tak ada Kei di sana. Ia pun masuk meski Arka tak menyadari kedatangannya.“Dimana Kei?”Pertanyaan itu membuat Arka menoleh, raut wajahnya tampak terkejut dengan kedatangan Hiko. Ia berdiri, menghampiri Hiko dan berdiri di hadapan pria itu, “Untuk apa menanyakannya. Duduklah dulu, sudah lama kita tidak duduk bersama.” Ucapnya, kerena sejak Hiko tahu Arka kerap menyakiti Kei, Hiko tak seperti dulu. Persahabatan mereka merenggang, Hiko pun bicara pada Arka hanya seperlunya saja, sebatas membicarakan pekerjaan mereka. Di luar dari pekerjaan, Hiko menghindarinya.“Aku datang kesini untuk Kei, bukan untukmu atau perempuan simpananmu,” ucap Hiko.Arka tentu tak suka dengan jawaban Hiko, tatapannya menajam, apalagi Hiko bicara tegas bahwa Hiko datang hanya untuk Kei, ada rasa panas yang menjalar di hatinya. “Dia istriku!” ucapnya dengan penuh penekanan, ia b
Sudah larut malam, tapi Kei belum juga bisa terlelap. Beberapa kali ia mengubah posisi tidur, miring ke kanan miring ke kiri, semuanya tak membuatnya nyaman.Entah mengapa perasannya mendadak tak karuan, pikirannya terus tertuju pada Arka yang beberapa jam yang lalu mengirimnya sebuah pesan, bahwa pria itu akan pulang larut malam. Entah ada apa, mungkin pekerjaannya sedang banyak, atau mungkin juga menghindari Kei karena Kei tak juga mau memberi jawaban atas permintaannya.Terbersit sebuah ide, "Apa aku harus melakukan itu?" gumamnya.Seperti ada sebuah dorongan, Kei pun bangkit dari pembaringan, lalu beranjak keluar kamar.Sepi, bahkan lampu di beberapa ruangan sudah padam, tapi Arka belum juga pulang. Kei tak tenang, tapi Kei enggan mengirim pria itu pesan untuk sekedar bertanya kapan pulang?Perempuan itu menghela nafas panjang, menguatkan tekad untuk melakukan ide yang beberapa saat lalu terbersit dalam benaknya.***Arka menghela nafas panjang saat melangkah memasuki rumah. Sebag
Jam makan siang tiba, tapi Starla masih tak keluar dari kamarnya. Mungkin karena kakinya masih sakit, meski tak sesakit tadi sebelum Cio membantunya."Bi, Starla belum makan siang?" Tanya Kei yang baru saja tiba di ruang makan. "Belum nyonya, mungkin kakinya masih sakit," jawab Bi Inah.Kei menghela nafas panjang, tadi ia sempat mencurigai Starla. Kepercayaannya pada perempuan itu tak mudah untuk kembali seperti dulu, tapi sepertinya Starla memang tak berbohong, sesuai dengan yang Cio katakan tadi."Biar aku saja yang membawakannya makan siang bi, bibi tolong siapkan yah," kata Kei lagi. Mungkin ia harus meminta maaf pada Starla.Bi Inah mengangguk, "Baik Nyonya," jawabnya.Sembari menunggu makanan untuk Starla siap, Kei meminum jus alpukat kesukaannya, lalu menusuk buah melon yang sudah di potong kecil-kecil dengan garpu. Rasanya manis, Kei sangat menyukainya, apalagi buah melon itu mampu mengusir rasa mualnya ketika makan.Beberapa saat kemudian, nampan berisi makanan untuk Starla
Starla menepis tangan Cio saat pria itu hendak memapahnya dan membantunya berjalan, “Aku bisa sendiri,” katanya dengan sedikit ketus.Cio mengerutkan dahinya, bukankah beberapa saat yang lalu sikap gadis itu sudah sedikit mencair? Atau karena ada hal urgent saja Starla mau bicara dengannya?“Kaki kamu terkilir, aku hanya ingin membantumu,” ucap Cio. Pria itu mengerutkan dahi saat Starla memanggil pak Bimo yang masih berbicara dengan petugas pemadam kebakaran yang berhasil menaklukan ular cobra di sana.“Pak, tolong banti saja ke sana,” Starla menunjuk sebuah bangku, kakinya benar-benar sakit, sepertinya ia harus beristirahat sebentar.Pak Bimo menatap Cio, ia tak mengerti dengan situasi antara Cio dan Starloa. Tapi taka da salahnya ia bertanya pada Cio lewat tatapan mata. Dan cio memberikan jawaban dengan gelengan kepala, Bimo yang mengerti pun menjawab, “Maaf bu, tapi tangan saya kotor. Tadi saya sempat memegang ular itu.”Cio bersorak dalam hati, Bimo bisa ia ajak berkompromi meski
Cio mengambil payung dari jok belakang, ia buka lalu ia gunakan untuk memayunginya dan Starla. Membuat gadis itu memutar bola matanya dengan malas."Tidak perlu menggunakan payung, aku sudah terbiasa dengan panas," Starla menolak, ia menjauh dari Cio, tapi Cio tak menyerah dan kembali melindungi gadis itu dengan payung."Kalau tidak memakai payung, kepala kamu bisa pusing. Panasnya lagi terik, sudahlah, apa susahnya menurut?"Starla berdecak, tapi ia tak menolak lagi. Mungkin Cio salah meminum obat, kenapa pria itu menjadi sangat perhatian padanya? Biasanya Cio tak akan perduli apapun tentangnya, apalagi sejak kejadian di villa dulu, pria itu bersikap seperti tak mengenalnya.Dulu, ketika mereka bersahabat, Cio memang sangat perhatian, melindungi Starla seperti layaknya melindungi Kei. Tapi setelah kejadian di villa, Cio seperti orang asing. Apalagi Kei menjadi objek balas dendam Arka, Cio semakin membencinya.Lalu kenapa sekarang Cio kembali bersikap baik? Apa pria itu ingin menjalin
Beberapa saat berdiam diri di balik pintu sebuah ruangan, helaan nafas panjang terdengar berhembus dari mulutnya. Setelah benar-benar siap, tangannya terangkat mengetuk pintu di hadapannya."Masuk," sahutan dari dalam sana.Sekali lagi Starla menghela nafas panjang, kemudian ia hembuskan dengan sedikit kasar, jika bukan karena paksaan sang kakak, ia malas menemui Cio lagi. Bukan karena benci, tapi kata-kata pria itu seketika berputar begitu saja ketika ia melihat wajah Cio. Dan hal itu membuat hatinya kecewa."Selamat pagi pak."Suara itu membuat Cio sontak mengalihkan pandangan, tanpa ia sadari, bibirnya melengkung mengukir senyum, "Starla?" sapanya."Maaf pak, saya kesini ingin melakukan peninjauan proyek, apa Zifa bisa menemani saya?" Starla tak ingin berbasa-basi bicara, ia langsung membicarakan tujuannya datang kesana."Zifa?" ulang Cio, mungkin ia ingin mengatakan, KENAPA HARUS ZIFA? AKU ADA DI SINI!Starla mengangguk, "Kalau begitu, saya langsung ke ruangan Zifa saja. Permisi,
"Kenapa aku lagi kak? Kakak saja, aku sibuk," tolak Starla saat Arka kembali memintanya bertemu dengan Cio untuk meninjau proyek mereka."Kakak lebih sibuk darimu, ayolah Star, kakak akan memberikan tanggung jawab penuh untukmu di proyek ini. Bukankah ini jalan yang menguntungkan untuk karirmu? Ini proyek pertamamu, dan ini bukan proyek abal-abal, Star. Proyek besar loh, kalau kamu berhasil, kemampuan kamu akan di perhitungkan banyak lawan," Arka terus membujuk. Melihat perkembangan mental sang adik yang sudah sangat baik, ia ingin Starla juga bisa seperti dirinya, berdamai dengan masa lalu lalu hidup lebih tenang dan bahagia. "Kakak, aku tidak perduli dengan karirku, aku bekerja hanya untuk belajar dan juga membantumu. Jadi kakak saja yang pergi," tolak Starla lagi, ia enggan bertemu dengan Cio. "Tapi kamu sudah pintar, kamu tidak perlu belajar lagi. Kamu hanya perlu menunjukkan kemampuanmu pada semua orang. Star, kelak yang akan memegang perusahaan ini juga kamu, kamu harus mencar
"Aku sudah kenyang, Mas ..." Kei menghindar saat Arka hendak kembali menyuapinya, perutnya terasa penuh.Bagaimana tidak, satu suap nasi yang ia kunyah, akan di barengi dengan potongan buah melon juga. Ia benar-benar kekenyangan, belum lagi jus alpukat yang harus ia habiskan, Kei benar-benar tak sanggup lagi menelannya."Tinggal dua suap lagi sayang," Arka masih mencoba membujuk.Kei menggeleng, "Aku benar-benar tidak sanggup."Arka mengusap puncak kepala perempuan itu dengan lembut, "Ya sudah, aku ke bawah dulu. Aku juga mau ganti pakaian," ucapnya seraya mengambil nampan yang isinya nyaris tandas."Kamu tidak kembali ke kantor?" Arka menggeleng, "Aku di rumah saja, menjagamu dan anak kita. Tunggu sebentar, nanti aku kembali lagi," jawabnya.Kei hanya mengangguk sebagai jawaban. Sepeninggal Arka, Kei kembali merenung, sudah benarkah keputusannya memberi kesempatan kembali pada Arka?Pertanyaan yang sama yang terus berulang-ulang dalam hatinya, membuat kepalanya pusing dan ia memutus
"Apa sudah lebih baik?" Tanya Arka, ia tersenyum saat Kei mengangguk, "Mungkin anak kita merindukan papanya," kata Arka lagi, ia kembali tersenyum meski Kei tak menjawabnya.Kei hendak bangun, dan Arka sigap membantunya. Pria itu menumpuk bantal di belakang punggung istrinya, agar perempuan itu duduk bersandar dengan nyaman."Terima kasih," lirih Kei. Ia memejamkan mata sejenak, bersyukur kini perutnya tak terasa sakit lagi."Jangan berterima kasih, apa pun yang yang aku lakukan untukmu, adalah kewajiban ku sebagai seorang suami. Aku senang bisa merawat mu dan anak kita. Dengan kamu tidak menolak ku saja, sudah cukup untukku. Karena aku tidak mau lagi berjauhan denganmu, apalagi kamu sedang mengandung anakku," jelas Arka, siapa tahu Kei menerimanya kembali setelah ini.Kei memalingkan wajahnya, entahlah, apa ia bisa seperti dulu lagi? Menerima pria itu dengan sepenuh hati setelah semua perbuatan yang pria itu lakukan padanya. Setelah merasakan rasa sakit yang teramat dalam karena ulah
Siang ini Kei hanya berbaring di atas ranjang, entah mengapa perutnya beberapa kali mengalami kram.Biasanya Arka akan pulang untuk memastikannya makan siang dengan benar, tapi siang ini pria itu tak menampakan batang hidungnya. Kei kesal, kenapa di saat ia membutuhkan pria itu, Arka tak pulang. Saat ia tak ingin berdekatan dengan Arka, Arka justru kerap memaksa dan terus berada di sampingnya. Itu lah alasan kenapa Kei bersikap ketus pada Arka saat pria itu mendekatinya. Selain karena kekecewaannya pada pria itu masih ada, ia juga kerap merasa kesal pada Arka tanpa sebab, mungkin bawaan bayi."Aw, kok sakit lagi sih? Apa aku harus menghubunginya? Tidak tidak tidak, nanti dia besar kepala," Kei terus bermonolog, sesekali tampak meringis menahan sakit."Hiko, apa aku menghubunginya saja?" Kei menggigit bibir bawahnya, menahan sakit yang kian terasa. Bersamaan dengan itu, pintu kamar di ketuk, Kei pun menyahut dengan suara berat, "Masuk!"Bi Inah memasuki kamar, membawa sebuah nampan y