Malam sudah larut, lalu lalang kendaraan pun sudah berkurang. Di pinggir jalan yang di terangi cahaya remang-remang dari lampu jalan seorang gadis tengah berdiri tak tenang. Sudah beberapa kali mencoba menghentikan taksi untuk ia tumpangi, tapi sayang semua taksi berpenumpang.Adalah Starla, beberapa saat yang lalu, ia menemui dokter psikolognya untuk berkonsultasi tentang kesehatannya. Namun saat hendak pulang, hujan turun begitu lebat, ia mengurungkan niatnya untuk pulang. Karena hujan cukup lama, sudah larut begini ia baru bisa pulang. Sayangnya, ia tak membawa mobil sendiri karena mobilnya tengah di service."Astaga, kenapa begitu sulit mendapatkan taksi?" gumamnya. Hawa dingin dari sisa-sisa hujan membuatnya merinding dan memeluk dirinya sendiri. "Apa aku memberi tahu kakak saja? Tapi dia pasti sedang menjaga Kei," Starla terus bergumam, ia tak menyadari dua orang pria asing mendekat padanya."Kenapa wanita secantik kamu ada di pinggir jalan malam-malam begini?" Ucap salah satu
Pagi-pagi sekali Hiko sudah berada di rumah Arka. Seperti yang Kei katakan kemarin sore, pagi ini ia akan memeriksakan kandungannya. Dan Hiko yang akan mengantar.Arka dan Kei tengah sarapan saat Hiko tiba."Hiko, sarapan lah dulu," kata Kei. Sedangkan Arka hanya diam.Sungguh, Arka sangat cemburu pada Hiko. Hiko yang bukan siapa-siapa Kei bisa menemani perempuan itu memeriksakan kandungan. Sedangkan dirinya? Suami sekaligus ayah anak yang Kei kandung, tapi tak di beri kesempatan melihat calon anaknya.Jika ia tak ingat betapa besar kesalahan yang sudah ia lakukan pada Kei, mungkin Arka akan mengamuk dan memaksa ikut menemani perempuan itu.Tapi lagi-lagi ia tak berdaya, dosa-dosa yang sudah ia lakukan pada istrinya membuat pria itu tak bisa berkutik. Bahkan untuk sekedar menunjukan kecemburuannya saja, ia merasa tak berhak."Aku sudah sarapan, Kei. Kamu yang harus makan banyak, supaya tetap sehat dan calon keponakan ku juga sehat," kata Hiko. Ia lalu mengambil buah apel, mengupasnya
"Kei, aku tunggu kamu di luar," kata Hiko saat Kei akan memasuki ruang pemeriksaan.Kei mengangguk, ia lalu memasuki ruangan itu. Mana mungkin juga ia meminta Hiko menemaninya ke dalam, meski Hiko sahabatnya, tapi ia tahu betul perasaan pria itu padanya. Ia tak mau terlalu memberi harapan pada pria itu.Untuk menerima tawarannya mengantar memeriksakan kandungan saja, Kei ragu. Tapi Hiko memaksa, pria itu tahu Kei tak mungkin mau di antar Arka. Apalagi Cio memintanya menemani Kei karena ia dan kedua orang tuanya tak bisa mengantar. Mereka pergi ke Bandung untuk menghadiri acara rekan bisnis mereka.Hiko tersenyum, lalu duduk di kursi tunggu. Helaan nafas panjang terdengar berhembus dari bibirnya, ia lalu berkata, "Tidak usah sembunyi lagi. Kemari lah!"Arka yang bersembunyi di balik tiang berdecak, ia kira ia berhasil bersembunyi, nyatanya Hiko tahu. Ia lalu menghampiri Hiko dan duduk di samping pria itu, "Apa Kei juga tahu aku disini?" "Mungkin. Kamu memang cerdas Arka, tapi kamu bod
Cahaya matahari baru saja menyapa bumi, namun sejak pagi buta, seorang pria tampan yang perasaannya tengah resah sudah tampak terjaga.Beberapa kali mengusap wajahnya dengan gusar, saat terbayang wajah perempuan cantik yang beberapa hari lalu ia tolong dari gangguan beberapa preman."Ada apa denganku? Kenapa aku terus mengingatnya?" Perasaan bersalah menyusup begitu saja saat ia kembali mengingat kata-kata yang terlontar dari bibir perempuan itu. 'Seburuk itukah aku di matamu?'Adalah Cio, entah mengapa ia begitu resah karena merasa sikapnya sudah keterlaluan pada perempuan bernama Starla beberapa hari yang lalu. Perempuan itu memang sudah melakukan kesalahan di masa lalu, membuat sang adik menjadi korban balas dendam, tapi bukankah setiap manusia berhak mendapat kesempatan kedua?Raut sendu perempuan itu terus terbayang, menghantuinya setiap kali ia memejamkan mata. Cio bahkan tak berkonsentrasi dalam pekerjaannya. Ia ingin segera pulang ke ibu kota dan menemui Starla."Nak, sepertin
Kei menggeleng saat Arka hendak menyuapinya, ia sangat malas makan, karena selesai makan, ia pasti akan memuntahkannya kembali. Hal itu membuatnya lelah dan lemas."Makan sedikit saja, Kei. Demi anak kita," bujuk Arka. Keningnya berkerut, menatap Kei dengan tatapan iba dan memohon. Bukan hanya mencemaskan calon anaknya, Arka juga mencemaskan keadaan Kei. Jika terus seperti ini, ia takut Kei sakit."Aku tidak mau, apa kamu tidak dengar? Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan, aku lelah. Percuma aku makan, ujung-ujungnya akan aku muntahkan lagi, jangan memaksaku!" Kei sedikit meninggikan suaranya. Moodnya sangat mudah berubah."Iya, aku memang tidak tahu apa yang kamu rasakan. Tapi aku menyayangimu, aku juga mencintaimu, aku tidak mau terjadi hal buruk denganmu dan anak kita. Karena itu aku memaksa. Bagiku, tidak ada yang lebih penting dari dirimu, aku benar-benar tidak mau terjadi sesuatu padamu dan calon anak kita. Tolong Kei, makanlah demi anak kita, dia membutuhkan nutrisi darimu
"Ini berkas kerja samanya, silahkan pak Cio tinjau dulu sebelum kita mencapai kesepakatan," kata Starla. Ia berusaha bersikap profesional. Bahkan Starla menggunakan bahasa formal.Cio tak menjawab, tak juga mengambil berkas yang sudah ada di hadapannya, pria itu justru diam dan terus menatap Starla.Starla berusaha tak memperdulikan itu, ia menoleh dan menegur Cio, "Maaf pak Cio, apa yang saya katakan kurang jelas? Atau ada sesuatu yang aneh dalam diri saya?""Star, boleh aku bicara sesuatu?""Maaf pak, ini jam kerja. Sebaiknya anda profesional!" Tegas Starla, kilasan kata-kata Cio membuat Starla sesak. Pria itu menuduhnya tanpa tahu apa yang malam itu ia lakukan."Aku cuma mau ...""Kalau anda terus seperti ini, lebih baik saya pergi. Saya tinggalkan berkas ini dan nanti akan ada orang yang mengambilnya, permisi pak!"Starla beranjak, mengambil tasnya hendak pergi. Namun Cio menahannya. Pria itu menggenggam tangannya dan memintanya kembali duduk."Duduklah, maafkan aku ..." lirih Cio
Siang ini Kei hanya berbaring di atas ranjang, entah mengapa perutnya beberapa kali mengalami kram.Biasanya Arka akan pulang untuk memastikannya makan siang dengan benar, tapi siang ini pria itu tak menampakan batang hidungnya. Kei kesal, kenapa di saat ia membutuhkan pria itu, Arka tak pulang. Saat ia tak ingin berdekatan dengan Arka, Arka justru kerap memaksa dan terus berada di sampingnya. Itu lah alasan kenapa Kei bersikap ketus pada Arka saat pria itu mendekatinya. Selain karena kekecewaannya pada pria itu masih ada, ia juga kerap merasa kesal pada Arka tanpa sebab, mungkin bawaan bayi."Aw, kok sakit lagi sih? Apa aku harus menghubunginya? Tidak tidak tidak, nanti dia besar kepala," Kei terus bermonolog, sesekali tampak meringis menahan sakit."Hiko, apa aku menghubunginya saja?" Kei menggigit bibir bawahnya, menahan sakit yang kian terasa. Bersamaan dengan itu, pintu kamar di ketuk, Kei pun menyahut dengan suara berat, "Masuk!"Bi Inah memasuki kamar, membawa sebuah nampan y
"Apa sudah lebih baik?" Tanya Arka, ia tersenyum saat Kei mengangguk, "Mungkin anak kita merindukan papanya," kata Arka lagi, ia kembali tersenyum meski Kei tak menjawabnya.Kei hendak bangun, dan Arka sigap membantunya. Pria itu menumpuk bantal di belakang punggung istrinya, agar perempuan itu duduk bersandar dengan nyaman."Terima kasih," lirih Kei. Ia memejamkan mata sejenak, bersyukur kini perutnya tak terasa sakit lagi."Jangan berterima kasih, apa pun yang yang aku lakukan untukmu, adalah kewajiban ku sebagai seorang suami. Aku senang bisa merawat mu dan anak kita. Dengan kamu tidak menolak ku saja, sudah cukup untukku. Karena aku tidak mau lagi berjauhan denganmu, apalagi kamu sedang mengandung anakku," jelas Arka, siapa tahu Kei menerimanya kembali setelah ini.Kei memalingkan wajahnya, entahlah, apa ia bisa seperti dulu lagi? Menerima pria itu dengan sepenuh hati setelah semua perbuatan yang pria itu lakukan padanya. Setelah merasakan rasa sakit yang teramat dalam karena ulah