"Apa?!" Aku dan Tuan Edbert terkejut bersamaan.Tidak mungkin, seingatku sejak kecil memang tinggal bersama ibu sekeluarga. Lagi pula wajah kami tidak mirip, dia bule sementara aku asli Indonesia.Muhammad Zaki dan Edbert Addison. Ah, itu suatu kemustahilan. Ibu melalukan ini pasti karena ingin mendapat belas kasihan demi anak dan menantunya."Kamu adalah saudara Tuan Edbert. Itu rahasia yang selama ini ibu simpan sesuai amanah ayahmu," kata ibu lagi."Amanah?""Ya, sebenarnya kamu memang bukan anak kandung ibu sama ayah. Kami mengangkatmu sebagai anak karena satu alasan. Amanah mendiang ayahmu adalah agar tidak pernah memberi tahu perkara ini sampai kapan pun. Akan tetapi, ini situasinya darurat.""Maksud Anda apa? Aku hanya dua bersaudara dan tidak ada yang namanya Zaki." Tuan Edbert ikut bersuara.Aku yakin dia juga sama terkejutnya karena tidak pernah tahu hal ini. Jangan sampai ibu hanya bersandiwara berujung penyesalan. Tuan Edbert bisa marah kalau dipermainkan."Aku memang tida
POV AUTHOR-Tahun 1987-Darma sedang sibuk dengan pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga. Dia tinggal bersama seorang majikan yang siap menampungnya dengan suami dan anak sekalian.Suaminya bekerja jadi supir di rumah itu, sementara anaknya sering dibelikan mainan. Hidup Darma berangsur baik selama tiga tahun ini.Yolanda menghampiri Darma yang baru saja selesai menjemur pakaian pada tali yang digantung di belakang rumah sekitar lima meter panjangnya. Perempuan keturunan Skotlandia itu melipat bibir ragu."Bu Yola?" Darma sedikit terkejut ketika perempuan itu memberi sebuah amplop berwarna cokelat. Dia mengira dirinya akan dipecat. "Ini uang apa?"Yolanda menarik tangan Darma melewati pintu dan berhenti di meja makan. Di rumah itu hanya ada mereka berdua karena suaminya pergi ke kantor di antar Santoso sang supir."Kamu tahu suamiku menikah lagi, kan?"Darma mengangguk ragu, dia berusaha menebak apa yang akan disampaikan majikannya itu karena sudah memberi uang yang jumlahnya tidak
Hari yang dinanti-nanti tiba. Darma menggendong Zaki sementara anak kandungnya dibawa oleh Santoso. Mereka tergesa-gesa memasukkan barang ke dalam mobil Toyota Corolla yang entah milik siapa. Darma melambaikan tangan penuh kesedihan. Dia tidak tega juga memisahkan anak dari ibunya. Mobil melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah yang menjadi tempatnya mengais rezeki. "Apa Pak Abdullah akan tahu kita membawa anaknya sekalian?" Santoso ragu, ada rasa takut dalam hatinya. Bagaimana pun juga selama ini majikannya terlampau baik. Mereka merasa sudah bersalah karena menuruti keinginan Yola. Akan tetapi, apa mau dikata karena mereka orang miskin dan tentu saja membutuhkan uang dan rumah itu. Perjalanan yang begitu panjang harus mereka lalui. Untung saja tersedia bekal makanan sehingga tidak perlu singgah ke warung. Beberapa tetangga melihat mereka tadi, lalu tersenyum ramah. "Zaki akan membawa keberuntungan pada kita, Mas. Kalau Bu Yola mengirim uang, tentu saja Bayu mendapat jat
POV Tyas Aryani "Kenapa ibu tidak mau jujur kalau Mas Zaki anaknya Bu Yolanda?" tanyaku setelah diberitahu cerita masa lalunya. "Sudah ibu bilang kan kalau ibu sebenarnya sayang sama Zaki." "Tapi kan Mas Zaki juga perlu tahu siapa ibu kandungnya, Bu. Lagi pula bukan dibuang hanya dititip saja." "Tidak perlu sok peduli padaku kalau nyatanya kamu sudah selingkuh!" ketus Mas Zaki tiba-tiba. Aku hanya diam, sudah dua hari sejak kejadian itu, tetapi Mas Zaki masih belum mau memberi maaf. Padahal dia tahu kalau aku bekerja itu murni karena paksaan. Bukan hanya ibu, Mas Bayu dan istrinya juga mengakui kesalahan mereka bahkan ikut ke rumah Tuan Edbert untuk melunasi hutang. Huh, entah harus bagaimana lagi untuk mendapat rida suami. "Mas, masih belum mau memaafkan aku?" Mas Zaki diam, dia membuang pandangan ke layar televisi ikut menyaksikan acara sinetron. Sialnya karena film itu seperti menyindirku, mengisahkan tentang perempuan yang selingkuh karena suaminya bangkrut. Memang benar s
"Mas, aku ada uang tujuh juta di rekening, mau usaha pakai uang itu gak?" tanyaku begitu selesai membantu Mas Zaki mengenakan pakaian.Dia mendongak. "Uang dari Tuan Edbert?" telisiknya.Aku menggeleng cepat seraya menampilkan senyum manis. "Bukan, tapi dari Maria, Mas. Dia pernah memberiku uang itu karena tahu semua uang uang diberi Tuan Edbert dikuras habis oleh ibu dan Mbak Utami.""Boleh sih, tapi usaha apa? Mas gak bisa gunakan kaki ini.""Kita bikin salad buah dan buko pandan yuk, Mas. Kebetulan waktu kuliah dulu sering acara bareng temen.""Tapi kan di sekitar sini ada yang jualan itu apalagi di FB, banyak banget, saingannya berat.""Gak apa saingan banyak atau jualan sama karena rezeki tiap orang sudah ditakar. Ayolah, Mas!" rengekku dengan wajah sok manja.Mas Zaki terkekeh, lalu mengangguk pelan. Gegas aku menghambur dalam pelukannya. Desiran hebat kembali terasa, aku merindukan momen bahagia ini.Sementara Lia, dia selalu sibuk mengganggu neneknya. Ibu mertua sudah kembali
"Boleh-boleh buat nambah cucu!" seru ibu. Aku mengerutkan kening tanda tidak mengerti, lalu beralih menatap Mas Zaki lagi. Dia menyeringai aneh, tetapi aku berusaha mengulum senyum semanis mungkin. Bagaimana mungkin dia bisa memberiku nafkah batin dalam keadaannya yang seperti itu? Ataukah selama ini dia hanya pura-pura lumpuh dan hanya ibu yang tahu? Ibu memegang tanganku lembut. Ketika menoleh padanya, dia berkata, "jangan meragukan kemampuan suamimu. Percayalah, dia masih bisa melakukan itu!" "Tentu saja, Bu," balasku. Sekalipun masih bingung bagaimana caranya, aku akan selalu memasang wajah bahagia agar Mas Zaki tidak tersinggung. Dia lumpuh, rasanya sulit untuk melakukan hubungan itu. Aku kembali menyendokkan nasi ke mulut sambil terus menerka-nerka apakah ada sesuatu yang tidak aku ketahui. Kurasa Mas Zaki yang lumpuh itu benar karena setiap pulang ke rumah, dia selalu duduk di kursi roda. Pukul dua siang aku tidak bisa tidur, begitu juga dengan Mas Zaki. Dia menatap nanar
Hari sudah beranjak siang, sejak tadi aku sibuk berkutat dengan ponsel. Memposting gambar salad buah dan buko pandan di akun Facebook tepatnya berbagai grup dagang.Sudah ada lima cup yang laku alhamdulillah. Teman SMA dulu memesan salad buah 2000 ml yang harganya 125 ribu sementara tiga lainnya sama-sama memesan buko pandan 1000 ml.Matahari semakin panas saja, untung mudah mendapat kurir karena memang sudah langganan waktu sering belanja online dulu. Aku tersenyum karena awal usaha ini dirintis sudah ada pembeli."Tyas!" panggil Mas Zaki."Iya, Mas?""Ke sini!" Mas Zaki memanggil masuk kamar.Sekalipun sedikit malas karena sudah keenakan rebahan, akhirnya aku menurut juga melihat air muka serius yang ditampakkan. Ketika sudah saling berhadapan, aku mengulum senyum.Namun, tidak terbalas. Hati langsung merasa resah."Mas mau tanya sama kamu, tapi harus dijawab jujur!" tekannya."Apa itu, Mas? Kok kayak serius amat?"Ponselku berdering, ada panggilan dari nomor tidak dikenal padahal M
POV Author Satu cup dibawa pulang oleh Maya dengan tergesa-gesa sementara Darma menatap penuh kekhawatiran, dia berdoa dalam hati agar perempuan tadi percaya dengan akting anak dan menantunya. Di jalan, Maya bertemu Nadia yang merupakan pakar tukang gosip. Dia melambai, lalu mendekat dengan tampang serius. "Tyas hamil tau!" "Hah?" Nadia membekap mulut sekilas. "Tau dari mana?" "Dia hamil anak orang, bukan dari suaminya. Tadi aku ke sana beli salad buah dan mendengar Zaki berteriak menyuruh Tyas keluar. Waktu Bu Darma mendekat ke pintu kamar, aku mengekor di belakang," jelas Maya berapi-api. Dia bagai manusia tanpa kesalahan. Dalan pikirannya saat ini adalah bagaimana cara agar kabar itu tersebar luas bahkan sampai di telinga Pak RT. Maya melakukan itu bukan tanpa sebab, tetapi sempat menyukai Zaki dan mengutarakan perasaannya lewat surat. Akan tetapi, nasib buruk menimpa karena surat yang dititip lewat anak sekolah yang kebetulan lewat itu dirobek. Sebut saja bagian dari pembala
Mas Bayu sudah dibawa oleh pihak berwajib kemarin sementara Tuan Edbert baru saja dimakamkan. Aku tidak tega melihat Nyonya Aluma terus menangis di atas gundukan tanah itu.Akan tetapi, lebih menyakitkan lagi melihat Maria yang tersenyum padahal matanya menampilkan binar luka. Aku tidak sanggup menyaksikan pemandangan ini."Aku harus kembali ke Detroit untuk memulai lembaran baru. Tenang saja, Islam sudah ada dalam hatiku, aku tidak akan melakukan hal yang dilarang dalam agama," tutur Maria.Mendengar itu aku langsung memeluknya penuh haru. Rasa rindu seketika menyeruak dalam dada padahal aku sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan Maria. Dia perempuan baik, mungkin itu yang bisa menjadi alasan."Terimakasih atas bantuan kamu selama ini, Maria!" balasku.Perempuan itu tersenyum, kemudian menaiki mobil alphard hitam dan meninggalkan lokasi pemakaman yang sudah mulai sepi. Mbak Utami tidak ada di sini karena dia pulang ke rumah orangtuanya mengadu nasib di sana.Sementara ibu m
"Ya, dia ibu kita, Zaki.""Kenapa ibu seperti itu?""Aku menyandranya di rumah ini karena sudah menduga banyak kemungkinan. Andai kamu tahu dalam beberapa hari saja dia sudah serusak itu karena aku terus menyuntikkan racun dalam tubuhnya yang tua itu!""Apa?""Sekarang kamu harus memilih antara menyelamatkan ibu kandungmu atau melepas Tyas untukku!" Tuan Edbert melipat kedua tangan di depan dada.Setelah itu matanya memberi isyarat yang tidak kami mengerti pada Mas Bayu. Di detik yang sama lelaki yang menjadi suami Mbak Utami itu mengeluarkan pistol dan mengarahkannya di kepala Bu Yola.Kami semua tercengang. Aku ingin melarang, tetapi bibir terlalu kaku untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Bukan hanya aku, bahkan Mbak Utami pun hanya bisa melotot sembari membekap mulut dengan kedua tangannya."Tidak ada hakmu untuk melakukan ini, Ed! Bu Yola adalah ibumu sementara Tyas adalah istri dari kakak kandung kamu!" sentak Maria dengan emosi yang meluap-luap."Kenapa aku tidak memiliki hak? K
"Tidak, kamu salah! Aluma sendiri yang tidak pernah menginginkan anak dariku makanya aku sampai mencari istri simpanan," elak Tuan Edbert."Bagaimana mungkin dia tidak menginginkan anak dari lelaki yang dia cintai, Ed. Apa kamu lupa kalau Aluma merebut kamu dariku?""Dia hanya menginginkan aku, tetapi tidak sampai memiliki anak.""Dia menginginkan anak darimu, Ed. Aluma tidak ingin perempuan lain melahirkan anakmu," selaku.Tuan Edbert membuang pandangan. Dia bersikukuh kalau Nyonya Aluma sama sekali tidak mau melahirkan anak karena bisa merusak postur tubuhnya yang indah.Sementara itu aku terus menentang karena yakin Nyonya Aluma sebenarnya ingin, tetapi Tuan Edbert yang selalu menolak. Bagaimana pun lelaki itu tidak pernah mencintai istrinya.Padahal memang bagus mencintai lelaki yang memikat hati, tetapi lebih bagus lagi mencintai lelaki yang telah menikahi kita. Cinta itu agung dan luas maknanya, tidak boleh disalahgunakan oleh mereka yang hanya mengedepankan ego dan nafsu belaka
Kembali aku merasa lega ketika Tuan Edbert kembali ke kamar utamanya. Dia pasti bahagia karena sudah melakukan permainan selama dua jam lebih menurut cerita Nyonya Aluma yang kini bersembunyi di kamar sebelah.Dia mengaku lelah dan lekas tidur, untung saja tadi malam dia tidak ketiduran sampai pagi atau Tuan Edbert akan marah besar. Aku kasihan karena ternyata perempuan itu menunggu fajar.Untung saja Tuan Edbert tidak banyak bertanya ketika melihatku sudah duduk di meja rias padahal baru pukul enam pagi. Aku tidak mandi melainkan hanya mencuci muka saja karena khawatir dia menyusul dan mengulangi permainan tadi malam."Nona, ada seseorang yang mencari Anda!" kata salah seorang pelayan."Siapa?""Aku melihat Maria, Utami dan seorang lelaki, Nona." Pelayan itu menjawab dengan suara pelan.Aku langsung beranjak dari tempat duduk untuk menemui mereka. Tidak butuh waktu lama karena aku menuruni anak tangga dengan langkah tergesa. Mas Zaki sepertinya rindu berat sehingga langsung membawaku
PoV Tyas AryaniBahkan hingga matahari sudah berada di ufuk barat pun aku tetap tidak menemukan ide untuk pergi dari sini. Terutama karena Mbak Utami sudah tidak bekerja sebagai pelayan. Ingin mengobrol dengan Mas Bayu juga enggan.Entah Tuan Edbert ada di mana karena sejak tadi aku menolak ke luar kamar ketika dipanggil pelayan untuk makan siang. Mereka malah langsung membawa makanan itu ketika aku perintahkan.Rasa malas beranjak menguasai jiwa. Bahkan untuk menoleh pun aku enggan. Akan tetapi, ketukan di pintu berhasil membuatku terusik."Pergi atau kuhabisi kau!" teriakku penuh emosi."Keluar jika kamu berani!" sentak suara itu.Aku terkejut bukan main. Ternyata Nyonya Aluma kembali datang padahal aku berharap dia sudah meninggal dunia. Kedatangannya ke sini begitu menganggu, dengan cepat aku beranjak melangkah cepat menujunya.Mata kami saling beradu. Kini tidak ada rasa takut dalam jiwa ketika bertemu Nyonya Aluma. Sekalipun dia tetap sekeji dulu, aku tidak akan mundur walau sel
Setelah kepergian Zaki, Utami lekas membuka pintu kamar itu dan menyambar ponsel yang tergeletak manja di nakas. Dia mulai mengotak-atik kontak mencari nama Maria di sana. Tidak lama karena hanya ada sedikit kontak, itu pun tertera dengan nama Veriel Maria. Untung saja nama itu pernah didengar langsung oleh Utami. Dia menyalin kontak Maria ke dalam ponselnya, kemudian melakukan panggilan telepon. Hanya berdering, tanpa ada jawaban. Namun, Utami tidak ingin putus asa sehingga dia terus menelepon. "Halo?" sapa Maria di balik telepon setelah panggilan ke delapan. "Ini Maria, kan? Aku Utami." "Ada apa?" "Kamu harus membantuku menemukan Tyas. Apa kamu bisa ke sini sekarang? Aku tidak bisa menjelaskannya via telepon. Aku mohon." "Ke mana?" "Rumah ibu mertuaku." Sedikit lama mereka berbincang sebelum akhirnya menutup telepon. Utami bernapas lega begitu Maria setuju akan membantu sampai menemukan titik terang. Dua jam menunggu dengan gamang, akhirnya Maria datang juga. Dia cantik sep
PoV AUTHORBahkan sudah tengah malam, Haura masih terus berbalas pesan dengan Tyas. Dia memaksa perempuan itu keluar rumah untuk membicarakan hal penting.Awalnya Tyas menolak karena takut diculik, tetapi Haura bilang datang seorang diri diantar Pak Damar. Akhirnya, perempuan malang itu keluar juga.Mereka bertemu di depan rumah, Haura terus mengalihkan perhatian Tyas agar tidak melihat seorang pelayan perempuan menyelinap masuk rumah menuju kamar dan meletakkan secarik kertas di sana.Setelah pelayan itu keluar, Haura tersenyum ramah. "Baiklah, jadi aku harus bilang pada Edbert kalau kamu belum mendapat izin suami?""Betul. Katakan seperti itu saja.""Baiklah. Kalau begitu aku pamit." Haura masuk ke mobil, kemudian meninggalkan Tyas seorang diri.Perempuan itu tersenyum lega, tetapi hanya sesaat karena kini tangannya dicekal kuat oleh seseorang sementara mulutnya dibekap. Dia ingin meminta tolong, tetapi sudah pingsan oleh obat bius.Mereka membawa Tyas pergi dari sana dan tentu saja
Mbak, aku gak bisa mengkhianati Mas Zaki untuk kedua kalinya. Kita harus menemukan cara lain untuk bisa lepas dari sini. Kebohongan seapik gimana pun kita sembunyikan, tetap saja akan ketahuan nantinya.""Tidak jika Tuan Edbert campur tangan!""Bagaimana dengan Abel, Mbak? Bukannya kemarin Tuan Edbert campur tangan, kemudian dia sendiri yang membeberkan hal itu pada Mas Zaki? Aku sudah mendapatkan ridha dan kepercayaannya, mana mungkin mau merusak lagi.""Kalau begitu ... kita coba berpikir cara lain. Jika aku bisa membantumu, maka kamu harus membantuku keluar dari sini. Gimana?""Oke."Mbak Utami memutar otak sementara aku merebahkan diri di tempat tidur. Ingin mengabari Mas Zaki, tetapi ponsel tertinggal di rumah. Memang bisa meminjam, tetapi prasangka lain kembali hadir.Kalau aku mengabari Mas Zaki bahwa kemarin itu orang suruhan Tuan Edbert, tentu dia akan semakin marah dan bisa jadi mengira aku telah bersekongkol dengan mereka.Sementara matahari sudah semakin dekat ke peraduan,
Sesampainya di rumah sakit, Haura tidak pernah melepas cekalan tangannya. Untung saja tadi aku sempat berganti pakaian sekalipun hanya memakai sandal rumahan. Kami menuju ke ruang perawatan bayi. Beberapa orang melirik kami, mungkin menyangka aku perempuan yang kurang waras karena belum mandi juga tidak menyisir rambut. "Tyas!" Tuan Edbert langsung menarikku dari Haura dan membawa tubuh ini dalam pelukannya. Aku ingin melepaskan pelukan itu, tetapi Tuan Edbert menangis pilu. Rasa iba menyeruak dalam dada hingga aku balas memeluk berusaha menenangkannya. Memang sedikit risih dan takut karena kembali berkhianat, tetapi Tuan Edbert membutuhkan pelukanku. Dia sedang rapuh melihat anak kami sedang dirawat. "Abel sakit apa, Ed?" tanyaku setelah dia mengurai pelukan. Mata yang biasa menyalak tajam itu berubah teduh. Bulir bening tidak berhenti mengalir di sana. Aku bisa merasakan bagaiman sakitnya hati Tuan Edbert kini. "Meningitis," jawabnya pelan. Kedua mataku membola mendengar itu.