Hari yang dinanti-nanti tiba. Darma menggendong Zaki sementara anak kandungnya dibawa oleh Santoso. Mereka tergesa-gesa memasukkan barang ke dalam mobil Toyota Corolla yang entah milik siapa. Darma melambaikan tangan penuh kesedihan. Dia tidak tega juga memisahkan anak dari ibunya. Mobil melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah yang menjadi tempatnya mengais rezeki. "Apa Pak Abdullah akan tahu kita membawa anaknya sekalian?" Santoso ragu, ada rasa takut dalam hatinya. Bagaimana pun juga selama ini majikannya terlampau baik. Mereka merasa sudah bersalah karena menuruti keinginan Yola. Akan tetapi, apa mau dikata karena mereka orang miskin dan tentu saja membutuhkan uang dan rumah itu. Perjalanan yang begitu panjang harus mereka lalui. Untung saja tersedia bekal makanan sehingga tidak perlu singgah ke warung. Beberapa tetangga melihat mereka tadi, lalu tersenyum ramah. "Zaki akan membawa keberuntungan pada kita, Mas. Kalau Bu Yola mengirim uang, tentu saja Bayu mendapat jat
POV Tyas Aryani "Kenapa ibu tidak mau jujur kalau Mas Zaki anaknya Bu Yolanda?" tanyaku setelah diberitahu cerita masa lalunya. "Sudah ibu bilang kan kalau ibu sebenarnya sayang sama Zaki." "Tapi kan Mas Zaki juga perlu tahu siapa ibu kandungnya, Bu. Lagi pula bukan dibuang hanya dititip saja." "Tidak perlu sok peduli padaku kalau nyatanya kamu sudah selingkuh!" ketus Mas Zaki tiba-tiba. Aku hanya diam, sudah dua hari sejak kejadian itu, tetapi Mas Zaki masih belum mau memberi maaf. Padahal dia tahu kalau aku bekerja itu murni karena paksaan. Bukan hanya ibu, Mas Bayu dan istrinya juga mengakui kesalahan mereka bahkan ikut ke rumah Tuan Edbert untuk melunasi hutang. Huh, entah harus bagaimana lagi untuk mendapat rida suami. "Mas, masih belum mau memaafkan aku?" Mas Zaki diam, dia membuang pandangan ke layar televisi ikut menyaksikan acara sinetron. Sialnya karena film itu seperti menyindirku, mengisahkan tentang perempuan yang selingkuh karena suaminya bangkrut. Memang benar s
"Mas, aku ada uang tujuh juta di rekening, mau usaha pakai uang itu gak?" tanyaku begitu selesai membantu Mas Zaki mengenakan pakaian.Dia mendongak. "Uang dari Tuan Edbert?" telisiknya.Aku menggeleng cepat seraya menampilkan senyum manis. "Bukan, tapi dari Maria, Mas. Dia pernah memberiku uang itu karena tahu semua uang uang diberi Tuan Edbert dikuras habis oleh ibu dan Mbak Utami.""Boleh sih, tapi usaha apa? Mas gak bisa gunakan kaki ini.""Kita bikin salad buah dan buko pandan yuk, Mas. Kebetulan waktu kuliah dulu sering acara bareng temen.""Tapi kan di sekitar sini ada yang jualan itu apalagi di FB, banyak banget, saingannya berat.""Gak apa saingan banyak atau jualan sama karena rezeki tiap orang sudah ditakar. Ayolah, Mas!" rengekku dengan wajah sok manja.Mas Zaki terkekeh, lalu mengangguk pelan. Gegas aku menghambur dalam pelukannya. Desiran hebat kembali terasa, aku merindukan momen bahagia ini.Sementara Lia, dia selalu sibuk mengganggu neneknya. Ibu mertua sudah kembali
"Boleh-boleh buat nambah cucu!" seru ibu. Aku mengerutkan kening tanda tidak mengerti, lalu beralih menatap Mas Zaki lagi. Dia menyeringai aneh, tetapi aku berusaha mengulum senyum semanis mungkin. Bagaimana mungkin dia bisa memberiku nafkah batin dalam keadaannya yang seperti itu? Ataukah selama ini dia hanya pura-pura lumpuh dan hanya ibu yang tahu? Ibu memegang tanganku lembut. Ketika menoleh padanya, dia berkata, "jangan meragukan kemampuan suamimu. Percayalah, dia masih bisa melakukan itu!" "Tentu saja, Bu," balasku. Sekalipun masih bingung bagaimana caranya, aku akan selalu memasang wajah bahagia agar Mas Zaki tidak tersinggung. Dia lumpuh, rasanya sulit untuk melakukan hubungan itu. Aku kembali menyendokkan nasi ke mulut sambil terus menerka-nerka apakah ada sesuatu yang tidak aku ketahui. Kurasa Mas Zaki yang lumpuh itu benar karena setiap pulang ke rumah, dia selalu duduk di kursi roda. Pukul dua siang aku tidak bisa tidur, begitu juga dengan Mas Zaki. Dia menatap nanar
Hari sudah beranjak siang, sejak tadi aku sibuk berkutat dengan ponsel. Memposting gambar salad buah dan buko pandan di akun Facebook tepatnya berbagai grup dagang.Sudah ada lima cup yang laku alhamdulillah. Teman SMA dulu memesan salad buah 2000 ml yang harganya 125 ribu sementara tiga lainnya sama-sama memesan buko pandan 1000 ml.Matahari semakin panas saja, untung mudah mendapat kurir karena memang sudah langganan waktu sering belanja online dulu. Aku tersenyum karena awal usaha ini dirintis sudah ada pembeli."Tyas!" panggil Mas Zaki."Iya, Mas?""Ke sini!" Mas Zaki memanggil masuk kamar.Sekalipun sedikit malas karena sudah keenakan rebahan, akhirnya aku menurut juga melihat air muka serius yang ditampakkan. Ketika sudah saling berhadapan, aku mengulum senyum.Namun, tidak terbalas. Hati langsung merasa resah."Mas mau tanya sama kamu, tapi harus dijawab jujur!" tekannya."Apa itu, Mas? Kok kayak serius amat?"Ponselku berdering, ada panggilan dari nomor tidak dikenal padahal M
POV Author Satu cup dibawa pulang oleh Maya dengan tergesa-gesa sementara Darma menatap penuh kekhawatiran, dia berdoa dalam hati agar perempuan tadi percaya dengan akting anak dan menantunya. Di jalan, Maya bertemu Nadia yang merupakan pakar tukang gosip. Dia melambai, lalu mendekat dengan tampang serius. "Tyas hamil tau!" "Hah?" Nadia membekap mulut sekilas. "Tau dari mana?" "Dia hamil anak orang, bukan dari suaminya. Tadi aku ke sana beli salad buah dan mendengar Zaki berteriak menyuruh Tyas keluar. Waktu Bu Darma mendekat ke pintu kamar, aku mengekor di belakang," jelas Maya berapi-api. Dia bagai manusia tanpa kesalahan. Dalan pikirannya saat ini adalah bagaimana cara agar kabar itu tersebar luas bahkan sampai di telinga Pak RT. Maya melakukan itu bukan tanpa sebab, tetapi sempat menyukai Zaki dan mengutarakan perasaannya lewat surat. Akan tetapi, nasib buruk menimpa karena surat yang dititip lewat anak sekolah yang kebetulan lewat itu dirobek. Sebut saja bagian dari pembala
"Tidak!" tegas Zaki. Bahu Tyas semakin luruh, kini dia pasrah pada apa pun yang terjadi nanti. Untuk bertahan juga tidak mungkin karena memang telah melakukan kesalahan. Andai Zaki mau melapangkan sabarnya, tentu masalah tidak sampai serumit ini. Dia tahu dan sangat mengerti kalau kesalahan itu bukan dari Tyas, tetapi terlalu berat menerima fakta bahwa istri mengandung bayi orang lain. Bukan orang lain, tepatnya saudara ipar sendiri. Zaki tersenyum miring merutuki diri yang bernasib semalang itu. Kaki yang lumpuh sebab ditabrak, pun istri hamil anak orang. Lelaki yang menjadi perantara nasib tersebut adalah adik seibunya sendiri. "Kamu lebih baik pergi dari hadapanku!" tegas Zaki sesaat setelah membuang napas kasar. Bukan dia tidak ingin memaafkan, tetapi pikirannya sedang kacau. Zaki tidak bisa membayangkan bagaimana bisa Tyas hamil anak Tuan Edbert. Dia berpikir sesering itu mereka melakukannya. "Kenapa tidak pakai alat kontrasepsi?" tanya Zaki kemudian. "Pernah, Mas. Cuma aku
Tanpa mereka sadari bahwa di luar rumah Tuan Edbert berdiri sambil memasang telinga mendengar apa yang dua anak manusia itu bicarakan. Senyum manis terbit di bibirnya yang tipis ketika tahu bahwa Tyas hamil.Dia semakin urung mengetuk pintu rumah lebih awal karena memang niat awalnya berkunjung adalah untuk mencaritahu tentang Tyas. Bagaimana pun juga dia merasa nyaman dekat dengan perempuan itu.Apalagi setelah kepergian Veriel tanpa alasan. Tuan Edbert pun berjanji tidak ingin mengingat siapa dia sebenarnya."Mas, aku mohon jangan beritahu Tuan Edbert!" mohon Tyas dari dalam rumah."Kenapa? Bukannya seharusnya kamu senang kalau dia tahu?"Tidak ada jawaban lagi yang bisa didengar Tuan Edbert. Akan tetapi, ide baru muncul. Lelaki bule itu bersikukuh ingin merebut Tyas kembali tanpa pemaksaan.Lima menit kemudian, tangan kanannya mengetuk pintu perlahan. Tyas dan Zaki sedikit terkejut begitu melihat siapa yang datang."Masuk, Tuan!" Zaki yang menyilakan karena Tyas hanya bisa mengatup