Lelaki itu terpaku di tempat, di matanya terpancar kedamaian. Andai saja aku tidak punya suami sah, tentu akan merasa cemburu melihat pemandangan itu.Seorang suami yang amarahnya reda di pelukan perempuan lain. Tentu, jika aku adalah Nyonya Aluma, mungkin akan mengamuk tanpa mengenal waktu."Lihat, Ed. Kamu begitu damai berada di pelukan Maria."Tuan Edbert menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia tidak bergerak sama sekali atau berusaha memberi penjelasan. Aku memang tidak cemburu, tetapi kesal karena dituduh murahan.Pelukan Maria semakin melingkar erat. Aku iri pada perempuan itu yang dengan mudahnya membungkam Tuan Edbert. Bukan hanya iri, tetapi juga berterimakasih karena telah menyelamatkan nyawaku."M-maria, lepaskan aku!" perintahnya tegas, tetapi seperti menyimpan luka."Dia yang ditakdirkan bersama tidak akan mati sebelum bersatu. Sekalipun kelak jarak membentang memisahkan sepasang kekasih itu, hati tidak akan pernah berubah. Dalam keadaan sadar atau tidak, dia s
Dalam kamar yang sempit ini aku hanya bisa duduk merenung. Beruntung Louis membawakan dress-nya agar aku bisa berganti pakaian. Sebenarnya dia merasa tidak enak membawakan itu, tetapi kamar utama ditutup oleh Tuan Edbert.Dress ini terlihat indah dan mungkin harganya lumayan karena aku tahu Louis di sini tidak benar-benar ada untuk bekerja. Dia pasti keturunan orang berada, terlihat dari penampilan dan parasnya yang ayu.Jam sudah menunjuk pukul dua siang, entah bagaimana situasi di luar sana. Hingga kini pun Maria belum pernah menemuiku. Kabarnya perempuan itu ingin rehat sepanjang hari.Tuan Edbert sepertinya tidak ada di rumah. Lagipula siapa yang peduli dia ada atau tidak. Lelaki itu dingin sekali, aku sampai kesulitan menghadapinya."Nona, Tuan Edbert memanggil Anda." Salah seorang pelayan tiba-tiba membuka pintu, aku terkejut bukan main.Baru saja membicarakan Tuan Edbert, dia sudah mencariku. Apakah ada kesalahan lain atau sudah memberi maaf? Semoga saja ponsel tadi mati total
"Tidak, Ed. Mereka berdua yang telah berbohong. Akan tetapi, aku yakin Mbak Utami bukan maksud menipu, tetapi ingin membelaku."Tuan Edbert menoleh pada Mbak Utami dan juga Sarah. Wajahnya merah padam karena amarah. Kini mereka dalam masalah besar, tetapi aku hanya bisa diam."Sebenarnya aku sudah menebak sejak tadi kalau kalian berdua berbohong. Akan tetapi, mengingat itu untuk keselamatan Tyas karena kekhawatiran kalian maka aku memaafkan. Tyas tidak akan dihukum, tetapi ...."Senyum di wajah Mbak Utami dan Sarah yang baru saja terbit seketika sirna ketika Tuan Edbert menggantung kalimatnya. Aku saja yang dikata tidak akan dihukum merasa khawatir. Pasti ada sesuatu setelah ini.Hening yang mendominasi menjadikan jantung berdegup dua kali lebih cepat. Amarah terbesar adalah diam dan aku merasa itu yang terjadi sekarang."Kalian harus pergi dari sini sekarang karena aku tidak suka melihat wajah pembohong dan ingat satu hal." Telunjuk Tuan Edbert berdiri tegak di depan wajahnya. "Janga
Pukul empat sore baru aku melangkah ke ruang kerja Tuan Edbert karena disuruh makan lebih dulu. Rambut hanya terurai tanpa hiasan apa-apa. Dada yang bergemuruh hebat pun pipi yang bersemu merah membuatku semakin salah tingkah. Bagaimana tidak, ketika berpapasan dengan Lotus, dia tidak sengaja memuji kecantikanku. Baru saja ingin mengetuk pintu yang setengah terbuka, aku mendengar suara Maria dari dalam. Gegas aku bersandar pada tembok ingin menguping pembicaraan mereka. "True love will restore your memory!" seru Maria. "What memories, Maria? I have said many times that I am Edbert Addison and not Marlon. Marlon is gone and let's not talk about it anymore!" Aku mencoba menerjemahkan, tetapi gagal. Hanya bisa menangkap sedikit bahwa Tuan Edbert bukan Marlon Addison. Maksudnya apa, ya? "Don't try to lie to me. Everyone in Detroit knows that you are Marlon! After all, what was missing was Edbert. Hadn't he left the house because he didn't have Mr Addison's blessing?" "Don't tel
"Maria!" panggilku pada perempuan yang baru saja lewat di depanku tanpa menoleh. Sejak dua hari lalu aku tidak pernah melihatnya bahkan rambut ini tidak lagi ditata. Penampilannya kembali seperti dulu. Aku merasa bersalah, tetapi bingung karena apa. Tuan Edbert memang sudah mulai bicara baik padaku, tetap saja dia enggan makan bersama bahkan tadi malam dia ke rumah Nyonya Aluma. Memang satu kewajaran karena memiliki dua istri. Perempuan yang sejak tadi terdiam itu baru saja menoleh. "Ada yang bisa aku bantu, Nona?" Tidak ada senyum di wajahnya. "Kemarilah, ada hal yang harus aku ketahui!" Tanpa penolakan, Maria justru langsung mengikutiku masuk kamar. Kami duduk berhadapan di sofa layaknya seorang teman. "Lelaki yang menikahiku ... apakah dia Marlon Addison?" Maria membulatkan kedua mata indahnya. Dia termangu, tatapan itu seperti menyimpan banyak tanya dan prasangka. Dua detik kemudian, Maria memalingkan wajah seraya menghapus bulir bening pada pipi. Kepala itu menunduk dalam,
"Iya, Tuan?" sahutku gugup.Tuan Edbert berdecih. "Lihat, kamu bahkan memanggilku seperti itu lagi. Aku sudah memaafkanmu, jadi bersikap biasa sajalah!""Maaf, Ed. Aku gugup, jadi tidak sengaja memanggilmu tuan." Dengan sangat berusaha aku tersenyum manis."Turunlah, ada tamu penting yang harus berkenalan denganmu!"Aku mengangguk, kemudian mengikuti langkah Tuan Edbert menuruni anak tangga. Tidak perlu berganti pakaian karena sekarang pun sudah lebih baik. Secara kebetulan hari ini aku memakai anting juga cincin berlian.Sekalipun rambut hanya terurai, semoga tidak mengurangi kadar kecantikan. Tamu Tuan Edbert tentu saja orang penting sehingga aku harus tampil penuh wibawa. Entah siapa dia, semoga bukan Mas Bayu atau sejenisnya.Setibanya di ruang tamu, aku memasang raut wajah bingung karena baru pertama kali melihat lelaki itu. Dia bersama seorang perempuan yang kutaksir seusia Mas Zaki. Mungkin saja suami istri.Setelah memperkenalkan diri, aku langsung duduk di sisi Tuan Edbert den
Aku tidak mengerti kenapa Tuan Edbert bisa leluasa pulang ke rumah di kerja. Akan tetapi, sekarang malah kembali pergi setelah mendapat telepon. Kekhawatiran terbesar setelah kejadian tadi adalah Nyonya Aluma datang ke sini. Tidak, semoga itu tidak pernah terjadi! batinku penuh harap. Saat hendak menuruni anak tangga, aku melihat seorang perempuan termenung di bawah sana. Dia memeluk kedua kakinya begitu erat. "Nona, jika Anda berniat mendekati Maria sekarang, maka lebih baik jangan!" Bisikan lembut itu dari Louis. "Kenapa?" "Suasana hatinya sedang kacau, tolong jangan menambahnya dengan banyak pertanyaan." "Memangnya kamu tahu kalau aku akan turun menemuinya?" "Aku tahu pikiran Anda, Nona." "Apa yang aku pikirkan, katakan!" Louis terdiam. Dia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Mata indah itu berubah sendu. Aku bisa merasakan luka yang dialaminya kini. Sementara di bawah sana, Maria menundukkan kepala begitu dalam. Pasti pundaknya menyimpan banyak beban yang eng
"Kami pergi dulu!" pamit Maria dan juga Louis."Kalian boleh pergi, tetapi kembali dalam waktu dua menit!" seru Tuan Edbert yang mendengar suara mereka padahal seperti gumaman.Louis dan Maria saling pandang, lalu melangkah menjauh. Sementara itu Tuan Edbert tersenyum manis, membawa tubuh kecil ini dalam pelukannya.Aku ragu, ingin menolak, tetapi takut. Tuan Edbert malah semakin mengeratkan pelukan. Dia mengaku sedang bahagia entah kenapa. Lelaki aneh yang kadang sehangat mentari, pun kerapkali sedingin kutub utara.Saat mengurai pelukan, aku bernapas lega. Tuan Edbert pun mengeluarkan benda pipih dari kantong celananya. Warna merah muda berlogo apel."Ponsel ini untukmu biar aku tidak kesulitan memberi kabar. Ini juga sebagai permintaan maaf karena merusak milikmu kemarin." Tuan Edbert tanpa beban menyerahkan benda mahal itu."Tidak, Ed. Ponsel itu terlalu mahal sementara milikku berkisar dua juta saja."Bukan mendebat, Tuan Edbert malah meraih tanganku memaksa menggenggam benda pip
Mas Bayu sudah dibawa oleh pihak berwajib kemarin sementara Tuan Edbert baru saja dimakamkan. Aku tidak tega melihat Nyonya Aluma terus menangis di atas gundukan tanah itu.Akan tetapi, lebih menyakitkan lagi melihat Maria yang tersenyum padahal matanya menampilkan binar luka. Aku tidak sanggup menyaksikan pemandangan ini."Aku harus kembali ke Detroit untuk memulai lembaran baru. Tenang saja, Islam sudah ada dalam hatiku, aku tidak akan melakukan hal yang dilarang dalam agama," tutur Maria.Mendengar itu aku langsung memeluknya penuh haru. Rasa rindu seketika menyeruak dalam dada padahal aku sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan Maria. Dia perempuan baik, mungkin itu yang bisa menjadi alasan."Terimakasih atas bantuan kamu selama ini, Maria!" balasku.Perempuan itu tersenyum, kemudian menaiki mobil alphard hitam dan meninggalkan lokasi pemakaman yang sudah mulai sepi. Mbak Utami tidak ada di sini karena dia pulang ke rumah orangtuanya mengadu nasib di sana.Sementara ibu m
"Ya, dia ibu kita, Zaki.""Kenapa ibu seperti itu?""Aku menyandranya di rumah ini karena sudah menduga banyak kemungkinan. Andai kamu tahu dalam beberapa hari saja dia sudah serusak itu karena aku terus menyuntikkan racun dalam tubuhnya yang tua itu!""Apa?""Sekarang kamu harus memilih antara menyelamatkan ibu kandungmu atau melepas Tyas untukku!" Tuan Edbert melipat kedua tangan di depan dada.Setelah itu matanya memberi isyarat yang tidak kami mengerti pada Mas Bayu. Di detik yang sama lelaki yang menjadi suami Mbak Utami itu mengeluarkan pistol dan mengarahkannya di kepala Bu Yola.Kami semua tercengang. Aku ingin melarang, tetapi bibir terlalu kaku untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Bukan hanya aku, bahkan Mbak Utami pun hanya bisa melotot sembari membekap mulut dengan kedua tangannya."Tidak ada hakmu untuk melakukan ini, Ed! Bu Yola adalah ibumu sementara Tyas adalah istri dari kakak kandung kamu!" sentak Maria dengan emosi yang meluap-luap."Kenapa aku tidak memiliki hak? K
"Tidak, kamu salah! Aluma sendiri yang tidak pernah menginginkan anak dariku makanya aku sampai mencari istri simpanan," elak Tuan Edbert."Bagaimana mungkin dia tidak menginginkan anak dari lelaki yang dia cintai, Ed. Apa kamu lupa kalau Aluma merebut kamu dariku?""Dia hanya menginginkan aku, tetapi tidak sampai memiliki anak.""Dia menginginkan anak darimu, Ed. Aluma tidak ingin perempuan lain melahirkan anakmu," selaku.Tuan Edbert membuang pandangan. Dia bersikukuh kalau Nyonya Aluma sama sekali tidak mau melahirkan anak karena bisa merusak postur tubuhnya yang indah.Sementara itu aku terus menentang karena yakin Nyonya Aluma sebenarnya ingin, tetapi Tuan Edbert yang selalu menolak. Bagaimana pun lelaki itu tidak pernah mencintai istrinya.Padahal memang bagus mencintai lelaki yang memikat hati, tetapi lebih bagus lagi mencintai lelaki yang telah menikahi kita. Cinta itu agung dan luas maknanya, tidak boleh disalahgunakan oleh mereka yang hanya mengedepankan ego dan nafsu belaka
Kembali aku merasa lega ketika Tuan Edbert kembali ke kamar utamanya. Dia pasti bahagia karena sudah melakukan permainan selama dua jam lebih menurut cerita Nyonya Aluma yang kini bersembunyi di kamar sebelah.Dia mengaku lelah dan lekas tidur, untung saja tadi malam dia tidak ketiduran sampai pagi atau Tuan Edbert akan marah besar. Aku kasihan karena ternyata perempuan itu menunggu fajar.Untung saja Tuan Edbert tidak banyak bertanya ketika melihatku sudah duduk di meja rias padahal baru pukul enam pagi. Aku tidak mandi melainkan hanya mencuci muka saja karena khawatir dia menyusul dan mengulangi permainan tadi malam."Nona, ada seseorang yang mencari Anda!" kata salah seorang pelayan."Siapa?""Aku melihat Maria, Utami dan seorang lelaki, Nona." Pelayan itu menjawab dengan suara pelan.Aku langsung beranjak dari tempat duduk untuk menemui mereka. Tidak butuh waktu lama karena aku menuruni anak tangga dengan langkah tergesa. Mas Zaki sepertinya rindu berat sehingga langsung membawaku
PoV Tyas AryaniBahkan hingga matahari sudah berada di ufuk barat pun aku tetap tidak menemukan ide untuk pergi dari sini. Terutama karena Mbak Utami sudah tidak bekerja sebagai pelayan. Ingin mengobrol dengan Mas Bayu juga enggan.Entah Tuan Edbert ada di mana karena sejak tadi aku menolak ke luar kamar ketika dipanggil pelayan untuk makan siang. Mereka malah langsung membawa makanan itu ketika aku perintahkan.Rasa malas beranjak menguasai jiwa. Bahkan untuk menoleh pun aku enggan. Akan tetapi, ketukan di pintu berhasil membuatku terusik."Pergi atau kuhabisi kau!" teriakku penuh emosi."Keluar jika kamu berani!" sentak suara itu.Aku terkejut bukan main. Ternyata Nyonya Aluma kembali datang padahal aku berharap dia sudah meninggal dunia. Kedatangannya ke sini begitu menganggu, dengan cepat aku beranjak melangkah cepat menujunya.Mata kami saling beradu. Kini tidak ada rasa takut dalam jiwa ketika bertemu Nyonya Aluma. Sekalipun dia tetap sekeji dulu, aku tidak akan mundur walau sel
Setelah kepergian Zaki, Utami lekas membuka pintu kamar itu dan menyambar ponsel yang tergeletak manja di nakas. Dia mulai mengotak-atik kontak mencari nama Maria di sana. Tidak lama karena hanya ada sedikit kontak, itu pun tertera dengan nama Veriel Maria. Untung saja nama itu pernah didengar langsung oleh Utami. Dia menyalin kontak Maria ke dalam ponselnya, kemudian melakukan panggilan telepon. Hanya berdering, tanpa ada jawaban. Namun, Utami tidak ingin putus asa sehingga dia terus menelepon. "Halo?" sapa Maria di balik telepon setelah panggilan ke delapan. "Ini Maria, kan? Aku Utami." "Ada apa?" "Kamu harus membantuku menemukan Tyas. Apa kamu bisa ke sini sekarang? Aku tidak bisa menjelaskannya via telepon. Aku mohon." "Ke mana?" "Rumah ibu mertuaku." Sedikit lama mereka berbincang sebelum akhirnya menutup telepon. Utami bernapas lega begitu Maria setuju akan membantu sampai menemukan titik terang. Dua jam menunggu dengan gamang, akhirnya Maria datang juga. Dia cantik sep
PoV AUTHORBahkan sudah tengah malam, Haura masih terus berbalas pesan dengan Tyas. Dia memaksa perempuan itu keluar rumah untuk membicarakan hal penting.Awalnya Tyas menolak karena takut diculik, tetapi Haura bilang datang seorang diri diantar Pak Damar. Akhirnya, perempuan malang itu keluar juga.Mereka bertemu di depan rumah, Haura terus mengalihkan perhatian Tyas agar tidak melihat seorang pelayan perempuan menyelinap masuk rumah menuju kamar dan meletakkan secarik kertas di sana.Setelah pelayan itu keluar, Haura tersenyum ramah. "Baiklah, jadi aku harus bilang pada Edbert kalau kamu belum mendapat izin suami?""Betul. Katakan seperti itu saja.""Baiklah. Kalau begitu aku pamit." Haura masuk ke mobil, kemudian meninggalkan Tyas seorang diri.Perempuan itu tersenyum lega, tetapi hanya sesaat karena kini tangannya dicekal kuat oleh seseorang sementara mulutnya dibekap. Dia ingin meminta tolong, tetapi sudah pingsan oleh obat bius.Mereka membawa Tyas pergi dari sana dan tentu saja
Mbak, aku gak bisa mengkhianati Mas Zaki untuk kedua kalinya. Kita harus menemukan cara lain untuk bisa lepas dari sini. Kebohongan seapik gimana pun kita sembunyikan, tetap saja akan ketahuan nantinya.""Tidak jika Tuan Edbert campur tangan!""Bagaimana dengan Abel, Mbak? Bukannya kemarin Tuan Edbert campur tangan, kemudian dia sendiri yang membeberkan hal itu pada Mas Zaki? Aku sudah mendapatkan ridha dan kepercayaannya, mana mungkin mau merusak lagi.""Kalau begitu ... kita coba berpikir cara lain. Jika aku bisa membantumu, maka kamu harus membantuku keluar dari sini. Gimana?""Oke."Mbak Utami memutar otak sementara aku merebahkan diri di tempat tidur. Ingin mengabari Mas Zaki, tetapi ponsel tertinggal di rumah. Memang bisa meminjam, tetapi prasangka lain kembali hadir.Kalau aku mengabari Mas Zaki bahwa kemarin itu orang suruhan Tuan Edbert, tentu dia akan semakin marah dan bisa jadi mengira aku telah bersekongkol dengan mereka.Sementara matahari sudah semakin dekat ke peraduan,
Sesampainya di rumah sakit, Haura tidak pernah melepas cekalan tangannya. Untung saja tadi aku sempat berganti pakaian sekalipun hanya memakai sandal rumahan. Kami menuju ke ruang perawatan bayi. Beberapa orang melirik kami, mungkin menyangka aku perempuan yang kurang waras karena belum mandi juga tidak menyisir rambut. "Tyas!" Tuan Edbert langsung menarikku dari Haura dan membawa tubuh ini dalam pelukannya. Aku ingin melepaskan pelukan itu, tetapi Tuan Edbert menangis pilu. Rasa iba menyeruak dalam dada hingga aku balas memeluk berusaha menenangkannya. Memang sedikit risih dan takut karena kembali berkhianat, tetapi Tuan Edbert membutuhkan pelukanku. Dia sedang rapuh melihat anak kami sedang dirawat. "Abel sakit apa, Ed?" tanyaku setelah dia mengurai pelukan. Mata yang biasa menyalak tajam itu berubah teduh. Bulir bening tidak berhenti mengalir di sana. Aku bisa merasakan bagaiman sakitnya hati Tuan Edbert kini. "Meningitis," jawabnya pelan. Kedua mataku membola mendengar itu.