"Tyas!"Aku yang hendak turun makan terkejut ketika Tuan Edbert tiba-tiba berdiri di pintu. Kedua tangannya terkepal kuat, ada rasa gamang yang tiba-tiba hadir.Langkahnya mendekat mengikis jarak, sementara aku mundur hingga belakang menyentuh tembok kamar. Lelaki itu semakin dekat, tanpa senyum di wajah tampannya."Apa yang kamu lakukan?""Melakukan apa, Ed?" Suaraku terdengar gugup.Tuan Edbert menyeringai tajam sambil membuang pandangan sekilas. Dirogohnya kantong celana bahan itu dan mengeluarkan ponsel berlogo apel.Dengan lincah dia mengotak-atik, dalam hitungan detik sebuah foto kini terpampang jelas di layar ponsel yang diarahkan tepat di depan wajahku.Tepatnya foto saat memakai pakaian pelayan tadi serta menyapu bagian dapur. Bukan hanya itu, sebuah rekaman video pun ditunjukkan."Itu ...." Aku tidak habis pikir akan tertangkap basah. Berarti benar bahwa di rumah ini ada beberapa pasang mata yang ditugaskan untuk mengintai."Kamu, Louis dan Maria. Ada apa ini?!" Tuan Edbert
Aku tidak menyangka dia akan secepat itu keluar dari kamar mandi. Jika pun dilihat rambutnya belum basah, mungkin hanya merenung di dalam ruangan yang terbilang mewah itu."Di kamar mandi aku menyesali kesalahan tadi malam karena sudah menampar dengan kasar. Hari ini aku berencana mengajakmu belanja di mall sepuas hati, tetapi apa yang aku dengar? Kamu menelepon seorang lelaki. Siapa dia?""E-ed?" Aku melangkah mundur ketakutan."Siapa dia?!" Teriakannya kini memekakkan telinga. "Apa dia pacarmu?!""Teman, hanya seorang teman."Rahang Tuan Edbert mengeras, tangan kiri itu dengan cepat meraih vas bunga putih bening dan melemparnya asal ke lantai. Aku terkejut bukan main.Selain menelan saliva, aku tidak tahu harus berbuat apa. Hidupku kini bagai dalam neraka yang penuh dengan siksaan. Akan tetapi, sangat tidak pantas apabila menyalahkan Tuhan atas kebodohan yang aku lakukan.Lelaki kejam itu melangkah ke pintu dengan kimono panjang yang membalut tubuhnya. Begitu daun pintu terbuka leba
Lelaki itu terpaku di tempat, di matanya terpancar kedamaian. Andai saja aku tidak punya suami sah, tentu akan merasa cemburu melihat pemandangan itu.Seorang suami yang amarahnya reda di pelukan perempuan lain. Tentu, jika aku adalah Nyonya Aluma, mungkin akan mengamuk tanpa mengenal waktu."Lihat, Ed. Kamu begitu damai berada di pelukan Maria."Tuan Edbert menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia tidak bergerak sama sekali atau berusaha memberi penjelasan. Aku memang tidak cemburu, tetapi kesal karena dituduh murahan.Pelukan Maria semakin melingkar erat. Aku iri pada perempuan itu yang dengan mudahnya membungkam Tuan Edbert. Bukan hanya iri, tetapi juga berterimakasih karena telah menyelamatkan nyawaku."M-maria, lepaskan aku!" perintahnya tegas, tetapi seperti menyimpan luka."Dia yang ditakdirkan bersama tidak akan mati sebelum bersatu. Sekalipun kelak jarak membentang memisahkan sepasang kekasih itu, hati tidak akan pernah berubah. Dalam keadaan sadar atau tidak, dia s
Dalam kamar yang sempit ini aku hanya bisa duduk merenung. Beruntung Louis membawakan dress-nya agar aku bisa berganti pakaian. Sebenarnya dia merasa tidak enak membawakan itu, tetapi kamar utama ditutup oleh Tuan Edbert.Dress ini terlihat indah dan mungkin harganya lumayan karena aku tahu Louis di sini tidak benar-benar ada untuk bekerja. Dia pasti keturunan orang berada, terlihat dari penampilan dan parasnya yang ayu.Jam sudah menunjuk pukul dua siang, entah bagaimana situasi di luar sana. Hingga kini pun Maria belum pernah menemuiku. Kabarnya perempuan itu ingin rehat sepanjang hari.Tuan Edbert sepertinya tidak ada di rumah. Lagipula siapa yang peduli dia ada atau tidak. Lelaki itu dingin sekali, aku sampai kesulitan menghadapinya."Nona, Tuan Edbert memanggil Anda." Salah seorang pelayan tiba-tiba membuka pintu, aku terkejut bukan main.Baru saja membicarakan Tuan Edbert, dia sudah mencariku. Apakah ada kesalahan lain atau sudah memberi maaf? Semoga saja ponsel tadi mati total
"Tidak, Ed. Mereka berdua yang telah berbohong. Akan tetapi, aku yakin Mbak Utami bukan maksud menipu, tetapi ingin membelaku."Tuan Edbert menoleh pada Mbak Utami dan juga Sarah. Wajahnya merah padam karena amarah. Kini mereka dalam masalah besar, tetapi aku hanya bisa diam."Sebenarnya aku sudah menebak sejak tadi kalau kalian berdua berbohong. Akan tetapi, mengingat itu untuk keselamatan Tyas karena kekhawatiran kalian maka aku memaafkan. Tyas tidak akan dihukum, tetapi ...."Senyum di wajah Mbak Utami dan Sarah yang baru saja terbit seketika sirna ketika Tuan Edbert menggantung kalimatnya. Aku saja yang dikata tidak akan dihukum merasa khawatir. Pasti ada sesuatu setelah ini.Hening yang mendominasi menjadikan jantung berdegup dua kali lebih cepat. Amarah terbesar adalah diam dan aku merasa itu yang terjadi sekarang."Kalian harus pergi dari sini sekarang karena aku tidak suka melihat wajah pembohong dan ingat satu hal." Telunjuk Tuan Edbert berdiri tegak di depan wajahnya. "Janga
Pukul empat sore baru aku melangkah ke ruang kerja Tuan Edbert karena disuruh makan lebih dulu. Rambut hanya terurai tanpa hiasan apa-apa. Dada yang bergemuruh hebat pun pipi yang bersemu merah membuatku semakin salah tingkah. Bagaimana tidak, ketika berpapasan dengan Lotus, dia tidak sengaja memuji kecantikanku. Baru saja ingin mengetuk pintu yang setengah terbuka, aku mendengar suara Maria dari dalam. Gegas aku bersandar pada tembok ingin menguping pembicaraan mereka. "True love will restore your memory!" seru Maria. "What memories, Maria? I have said many times that I am Edbert Addison and not Marlon. Marlon is gone and let's not talk about it anymore!" Aku mencoba menerjemahkan, tetapi gagal. Hanya bisa menangkap sedikit bahwa Tuan Edbert bukan Marlon Addison. Maksudnya apa, ya? "Don't try to lie to me. Everyone in Detroit knows that you are Marlon! After all, what was missing was Edbert. Hadn't he left the house because he didn't have Mr Addison's blessing?" "Don't tel
"Maria!" panggilku pada perempuan yang baru saja lewat di depanku tanpa menoleh. Sejak dua hari lalu aku tidak pernah melihatnya bahkan rambut ini tidak lagi ditata. Penampilannya kembali seperti dulu. Aku merasa bersalah, tetapi bingung karena apa. Tuan Edbert memang sudah mulai bicara baik padaku, tetap saja dia enggan makan bersama bahkan tadi malam dia ke rumah Nyonya Aluma. Memang satu kewajaran karena memiliki dua istri. Perempuan yang sejak tadi terdiam itu baru saja menoleh. "Ada yang bisa aku bantu, Nona?" Tidak ada senyum di wajahnya. "Kemarilah, ada hal yang harus aku ketahui!" Tanpa penolakan, Maria justru langsung mengikutiku masuk kamar. Kami duduk berhadapan di sofa layaknya seorang teman. "Lelaki yang menikahiku ... apakah dia Marlon Addison?" Maria membulatkan kedua mata indahnya. Dia termangu, tatapan itu seperti menyimpan banyak tanya dan prasangka. Dua detik kemudian, Maria memalingkan wajah seraya menghapus bulir bening pada pipi. Kepala itu menunduk dalam,
"Iya, Tuan?" sahutku gugup.Tuan Edbert berdecih. "Lihat, kamu bahkan memanggilku seperti itu lagi. Aku sudah memaafkanmu, jadi bersikap biasa sajalah!""Maaf, Ed. Aku gugup, jadi tidak sengaja memanggilmu tuan." Dengan sangat berusaha aku tersenyum manis."Turunlah, ada tamu penting yang harus berkenalan denganmu!"Aku mengangguk, kemudian mengikuti langkah Tuan Edbert menuruni anak tangga. Tidak perlu berganti pakaian karena sekarang pun sudah lebih baik. Secara kebetulan hari ini aku memakai anting juga cincin berlian.Sekalipun rambut hanya terurai, semoga tidak mengurangi kadar kecantikan. Tamu Tuan Edbert tentu saja orang penting sehingga aku harus tampil penuh wibawa. Entah siapa dia, semoga bukan Mas Bayu atau sejenisnya.Setibanya di ruang tamu, aku memasang raut wajah bingung karena baru pertama kali melihat lelaki itu. Dia bersama seorang perempuan yang kutaksir seusia Mas Zaki. Mungkin saja suami istri.Setelah memperkenalkan diri, aku langsung duduk di sisi Tuan Edbert den