POV Edbert AddisonEntah perasaan apa ini, aku merasa tidak bisa jauh dari Tyas. Ketika melihat perempuan itu, selalu ada desiran hebat menjalar ke seluruh tubuh.Selama ini aku selalu berusaha menolak untuk tersenyum dan bersikap hangat padanya, tetapi semua sia-sia. Bahkan diam-diam aku bahagia telah menjadikannya istri kedua walau sekadar simpanan.Sebenarnya aku ingin menceraikan Aluma dan menjadikan Tyas satu-satunya pemilik hati ini, tetapi rasanya terlalu egois jika memaksa seseorang menerima cinta kita. Bagaimana pun, aku ingin membuat perempuan itu nyaman dalam dekapanku.Benarkah aku mencintai Tyas? batinku berkecamuk mencari jawaban."Tuan, kita sudah sampai!" kata supir ketika membuka pintu mobil.Aku menoleh padanya, lalu melangkah cepat ke luar. Hari ini semua tugas kuserahkan pada asisten demi bisa pulang cepat dan bertemu dengan Tyas. Hatiku bergelora begitu sampai di depan pintu yang sedikit terbuka."Aku mencintai suamiku," ucap Tyas.Dia bicara dengan siapa? batinku
POV Tyas AryaniAku heran melihat tingkah Tuan Edbert kini. Lelaki itu terus saja mengacak rambut hingga berantakan. Jujur, tadi aku sempat mendengar gumamanya, tetapi pura-pura tuli. Untung saja sedang menonton televisi."Jangan ganggu aku!" bentaknya entah pada siapa."Siapa yang mengganggumu, Ed?"Lelaki itu tidak menjawab, dia melonggarkan dasi dan melongos pergi. Biarkan saja, aku bahkan bahagia karena tidak harus bersamanya lagi.Televisi kumatikan karena sebenarnya tidak hobi menonton. Tangan hendak membuka laci nakas ketika Maria mengejutkanku. "Kenapa Tuan Edbert semarah itu, Nona?""Masuklah." Maria mengangguk, lalu duduk di kursi besi dekat sofa."Aku lihat dia melangkah tergesa-gesa sambil memarahi semua pelayan yang ditemuinya. Setelah itu mobilnya meninggalkan halaman dengan kecepatan tinggi.""Biarkan saja, mungkin Tuan Edbert ada masalah." Aku menghela napas. "Ngomong-ngomong, aku sedang bosan sekarang.""Aku mengerti, Nona." Maria mengunci pintu kamar khawatir Tuan Ed
Aku duduk sendiri dalam kamar menanti kepulangan Tuan Edbert. Sudah pukul sebelas malam, tetapi batang hidungnya belum juga nampak. Tidak ada yang tahu keberadaannya karena mengemudi sendirian, hati pun dilanda rasa gundah.Rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Aku menekuk lutut dan memeluknya. Suasana malam ini semakin dingin dan mencekam ketika angin berembus kencang.Pintu kamar terbuka lebar, aku terkejut bukan main. Di sana Tuan Edbert berdiri lesu dibopong dua pelayan. Aku segera beranjak dari tempat tidur menghampirinya."Apa yang terjadi?""Maaf, aku juga tidak tahu, Nona. Tuan Edbert pulang dalam keadaan mabuk diantar temannya."Aku semakin mendekat,tercium aroma wine dari mulutnya yang terus bicara tidak jelas. "Baringkan dia!"Kedua pelayan itu menurut, mereka kesulitan membaringkan Tuan Edbert karena terus memberontak. Aku geleng-geleng kepala melihat lelaki itu.Padahal selama ini, aku belum pernah melihat Mas Zaki mabuk-mabukan atau sekadar mencium bau rokok darinya.
"Assalamu'alaikum, Mas, aku pulang!" teriakku sambil mengetuk pintu rumah."Wa'alaikumussalam, Tyas?" Ibu mertua membuka pintu dengan wajah berbinar. "Ibu tahu kamu akan datang karena mendengar pembicaran kalian di telepon.""Ibu menguping?""Tidak, ibu cuma kebetulan mendengar saja. Gimana, apa kamu bawa uang?"Aku memutar bola mata malas. Baru sampai sudah ditodong pertanyaan murahan seperti itu. Tanpa menjawab aku malah masuk rumah mencari keberadaan Mas Zaki."Mas, kamu di kamar ya?"Pintu kamar terbuka, seorang gadis kecil berlari ke luar. "Mama!" serunya menghamburkan diri dalam pelukanku. "Akhirnya Mama datang juga!""Mama kan sudah janji!" balasku. Bulir bening mulai jatuh menghias pipi."Tyas, rambut kamu kok gitu?"Untung sekali kemarin Maria dan Louis mengajakku foto bersama agar punya alasan ketika diintrogasi Mas Zaki."Semua pelayan di sana yang bertugas sebagai hairstyle's atau bersih-bersih memang menjaga penampilan, Mas." Aku merogoh ponsel dan menunjukkan foto pada M
Tiba-tiba air mata menetes begitu deras karena perih kembali hadir. Sekarang aku bukanlah milik Mas Zaki seutuhnya karena ada Tuan Edbert sekalipun pernikahan kedua tidak sah dalam agama.Aku menelan saliva ketika membayangkan berada di posisi Mas Zaki. Jika saja aku yang dimadu, pasti stress atau ada keinginan mengakhiri hidup. Sudah banyak perempuan yang hilang kewarasan gara-gara diselingkuhi."Kuyakin kau dikirim Tuhan untukku tuk bahagiakanku selamanya. Hanya ada kita yang saling menjaga cinta tak kan pernah berakhir." Mas Zaki menyanyi dengan suara lirih.Air mata yang terus mengalir pada pipi diseka dengan lembut. Aku tidak kuasa menahan kesedihan ini terus-menerus apalagi setelah mendengar lirik lagu itu."Ada apa, Dek?""Tidak apa-apa, Mas. Aku sedang menangis bahagia," jawabku kembali berbohong.Pekerjaan sebagai istri simpanan sangat menyiksa. Aku tidak tahu bagaimana hancurnya hati Mas Zaki jika kebenaran terungkap. Akankah air matanya luruh atau langsung meledakkan amarah
Malam hari ketika hendak tidur, aku merebahkan diri di samping Lia. Gadis kecil yang terlelap di tengah-tengah orangtuanya. Mas Zaki menutup matanya rapat sejak tadi."Mas," lirihku.Spontan Mas Zaki memunggungi kami. Aku tahu hatinya masih merasa kesal. Ketika makan malam bersama pun dia mengambil nasi sendiri, lalu menjauh. Tatapannya kosong seperti menyimpan beban.Aku khawatir ketahuan. Rasa gundah menyelimuti jiwa."Mas, ada apa denganmu?"Tetap saja tidak ada jawaban. Hati berdenyut nyeri, aku pun membalikkan badan memunggungi Lia. Cahaya lampu tidur yang remang semakin menambah kegalauan.Aku menahan tangis, sesak rasanya dan begitu sakit. Mas Zaki tidak boleh tahu kesedihan ini. Tangan kananku membekap mulut agar tetap diam tenggelam dalam luka yang enggan menepi."Andai kamu mengerti kesedihan hatiku, Mas," kataku kecoplosan."Kesedihan apa yang sedang melanda hatimu?" tanya Mas Zaki membuatku terkejut."Aku sedih karena harus jauh darimu, Mas.""Dusta! Kamu yang tidak menger
Saat tiba di depan rumah, mataku tertuju pada seorang perempuan yang tengah sibuk mengobrol dengan Mbak Utami. Mungkin mereka sebaya."Tyas, ini Rahayu." Mbak Utami memperkenalkan. Aku hanya bisa tersenyum kikuk.Aneh, masa iya datang menagih hutang sementara kami tidak saling kenal?"Jadi kapan melunasi semua hutangmu?""Hah?" Aku semakin terkejut. Entah berapa jumlahnya. Aku melirik pada ibu dan juga Mbak Utami yang hanya memasang wajah datar."Kenapa malah heran? Kamu kan yang nyuruh mertua sama ipar suamimu buat ngutang?""Kapan, Mbak?""Sudah beberapa kali pun dalam jumlah yang tidak sedikit. Katanya buat kebutuhan suami dan anakmu.""Berapa?""Tiga kali. Setiap minjam lima juta. Total 15 juta, tetapi perjanjian adalah dikembalikan 20 jt karena kita tidak saling kenal apalagi gak ada jaminan."Jantungku seakan ingin melompat ke luar. Aku tidak habis pikir dengan tingkah mereka. Sudah dikirimkan uang masih saja mengutang. Apa selama ini aku benar-benar tidak dianggap meski sudah m
Jam sudah menunjuk pukul dua siang, tetapi Mbak Utami belum juga kembali. Aku penasaran dia pergi ke mana dengan kartu ATM itu. Pikiran terus melayang entah harus ke mana lagi, aku khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Mama lagi apa?" tanya Lia. Aku yang sedang duduk bersandar pada tembok menoleh dan tersenyum."Lia mau makan?"Gadis kecilku menggeleng pelan. Sejak tadi dia menolak untuk makan, tetapi kali ini harus dipaksa. Aku berdiri, membawanya ke dapur untuk mengisi perut."Mau apa?"Aku menoleh. "Mau kasih makan Lia, Bu. Sejak tadi dia belum makan."Piring kecil yang ada di tanganku dirampas kasar oleh ibu. "Biar ibu yang suapin, kamu urus gih suamimu itu! Tadi ibu dengar dia merintih!""Merintih?" Tanpa menunggu jawaban aku langsung melangkah cepat menuju kamar yang pintunya tertutup rapat."Mas?" Aku terkejut begitu melihat Mas Zaki duduk di lantai."Ada apa?""Harusnya aku yang nanya, ada apa, Mas?"Mas Zaki menggeleng pelan, dia kemudian tersenyum kikuk. Wajahnya