Malam menyapa dan aku baru saja selesai sarapan bersama Tuan Edbert. Entah apa alasannya pada Nyonya Aluma sehingga bisa leluasa tinggal di rumah ini.Ya, rumah bak istana yang sudah didekorasi sejak pagi hingga sore tadi. Mewah bahkan lebih dari kata itu.Aku yang seharian tadi berada dalam kamar—melakukan berbagai perawatan—hanya bisa menatap takjub."Apa kamu suka dekorasi ini, Tyas?" tanya Tuan Edbert."Tentu, Tuan. Dekorasinya sangat indah dan elegant." Aku menjawab jujur.Mereka pasti menyangka aku sedang bahagia untuk pernikahan besok karena senyuman tidak pernah alpa terukir di bibirku yang ranum.Padahal ada hati yang berkecamuk mencoba marah kepada takdir atau mungkin pada dunia yang sedamg tertawa mengejek. Aku menghela napas panjang mencoba menahan bulir bening."Apa kamu mau melihat kamar pengantin kita atau besok saja biar menjadi surprize?""Besok saja, Tuan. Malam ini kata Maria aku harus kembali luluran agar besok bisa terlihat semakin cantik.""Oh, benar. Aku sampai
Setelah seharian menerima tamu undangan, akhirnya aku bisa merebahkan diri. Memang tidak terlalu ramai, hanya beberapa puluh saja, tetapi acara berlangsung hingga pukul tujuh malam."Nona, Tuan Edbert memintaku menyiapkan Anda," kata Maria yang sedang berdiri bersama Louis.Dengan gerak cepat aku bangun dan meminta mereka masuk. Pintu kamar ditutup rapat, aku melepas gaun pengantin langsung menuju kamar mandi diikuti mereka berdua.Seperti biasa, Maria akan meluluri begitu juga dengan Loius mungkin agar pekerjaannya cepat selesai. "Ada apa denganmu, Maria?""Kenapa, Nona?""Wajahmu terlihat pucat."Maria diam, dia terus melakukan pekerjaannya. Melihat itu Louis memberitahu bahwa temannya itu sedang tidak enak badan."Kalau begitu biar Louis yang melakukan ini untukku. Kamu istirahat saja!""Apa ada yang bisa meredam kemarahan Tuan Edbert jika kita melawan perintahnya, Nona?"Louis benar. Aku saja sampai harus memohon dengan tangisan bahkan merapalkan doa ketika akan bertemu. Sifat Tua
"Hari ini pindahkan semua barang-barangmu. Aku tidak ingin pisah kamar. Kita harus saling terbiasa bersama!" perintah Tuan Edbert menyudahi sarapannya."Iya, Tuan. Aku akan meminta bantuan Maria atau Louis.""Tidak. Saat ini Maria sedang tidak enak badan. Biar Lotus dan Supri saja yang membantumu!"Tuan Edbert berdiri, setelah itu meninggalkan rumah yang seperti istana ini. Mengingat tentang Maria, dia memang perlu beristirahat. Siapa yang tidak lelah dengan pekerjaan penuh penekanan?Pantas saja pagi tadi dia tidak datang ke kamar menata rambut dan merias wajahku. Mungkin itu sedikit lebih baik karena aku bisa belajar melakukannya sendiri. Lagi pun aku sama sekali tidak pernah memiliki niat untuk terlihat cantik di depan Tuan Edbert.Kaki jenjangku melangkah cepat ke kamar untuk memindahkan semua barang diikuti dua pelayan lelaki. Mereka tidak bertanya apa pun melainkan langsung membopong semua barang itu ketika aku meletakkannya di tempat tidur."Letakkan saja di situ, biar aku yang
[Tunggu sebentar, Mbak. Aku selesaikan pekerjaan dulu. Sampaikan pada Mas Zaki, aku akan menelepon dalam sepuluh menit.][Oke.]Aku bingung sendiri mengingat rambut sudah beda warna apalagi sekarang sedang memakai dress selutut. Kaki bergerak cepat melangkah mencari sesuatu yang bisa menutupi kebohongan ini.Aku membuka laci demi laci setelah mengunci pintu kamar dari dalam. Beberapa menit berlalu sampai aku masuk kamar mandi saking bingungnya, beruntung ada plastik penutup rambut dan hair bando.Dengan gerak cepat aku memakainya, kemudian menyambar handuk putih untuk menutupi dada. Aku duduk bersandar dekat bad spa dan melakukan panggilan video."Mas Zaki," sapaku ketika melihat Mas Zaki yang sudah rapi. Dia duduk di samping Lia yang sedang tertidur."Tyas? Kenapa dengan kepalamu dan itu handuk?" tanya Mas Zaki ketika menyadari penampilanku.Tanpa perlu berpikir lama lagi, aku segera meletakkan telunjuk kanan di bibir memintanya diam. "Aku pura-pura kebelet, Mas makanya memakai ini b
Aku hanya diam menanti kalimat selanjutnya. Maria kelihatan sangat terluka. Aku begitu iba dan seandainya pernah bertemu kekasih Maria, mungkin bisa memberitahu bahwa kekasihnya sangat menderita."Apa Anda tahu siapa nama kekasihku?""Tidak.""Marlon Addison."Bola mataku membulat sempurna ketika mendengar nama Addison. Apakah mungkin kekasih Maria adalah saudara kandung Tuan Edbert sehingga rela bekerja di sini demi mencapai sebuah misi?"Anda tidak perlu terkejut. Hanya nama belakang saja yang sama. Tuan Edbert adalah milik Anda, Nona." Maria mengulum senyum seperti berusaha membaca pikiranku."Bukan itu, Maria. Maksudku apa kekasihmu adalah saudara Tuan Edbert Addison?"Maria mengangguk. Ini sungguh fakta mengejutkan. "Dan kemarin Marlon kembali menikah untuk kedua kalinya.""Bersamaan dengan pernikahan Tuan Edbert?"Sekali lagi perempuan itu mengangguk. Dia menceritakan dengan jujur alasan kemarin tidak bisa fokus bekerja sampai mata bengkak seperti itu. Dia bilang mendengar kabar
"Bagaimana kamu tahu, Maria? Apa mungkin kamu mengenal Mas Zaki?""Dia lelaki yang lumpuh," lirih Maria membuang pandangan dariku."Ya, benar. Mas Zaki lelaki lumpuh, hanya mampu duduk di kursi roda." Kedua bahu Maria kucengkram kuat. "Katakan, bagaimana kamu mengenal Mas Zaki?"Perempuan itu menunduk lesu, tangannya gemetar. Tidak lama kemudian dia menggigit bibir, lalu berlalu ke luar tanpa mampu aku kejar.Ada apa dengan Maria? Mungkinkah ada kaitannya dengan kelumpuhan Mas Zaki ataukah mereka sempat bermain api?Astagfirullah, tidak mungkin. Maria bilang punya kekasih sampai rela jadi pelayan di sini. Lagi pula sebelum kecelakaan itu terjadi, Mas Zaki sedang lembur di kantor."Sudah jam tiga sore," gumamku ketika melihat jam dinding. Tanpa sadar aku telah lama merenung dalam kamar, enggan untuk beranjak atau sekadar mengisi perut yang kosong.Ketika pikiran terusik, sesuap nasi pun aku tak sanggup menelannya. Biar saja para pelayan itu makan sendiri, aku tidak lagi peduli."Nona T
"Apa yang kamu lakukan di sini, Tyas? Bukankah aku meminta Maria agar kamu bersiap?""Tadi aku ...." Aku menoleh pada Pak Damar berharap dibantu menjawab."Maaf, Tuan. Nona Tyas memintaku membeli minuman dingin untuknya.""Di rumah ini tersedia, kenapa mencari ke luar?" Tuan Edbert menaikkan kedua alisnya. Aku yakin, dia tidak percaya."Aku tidak tahu kalau minuman dingin juga tersedia di sini, Tuan." Kali ini aku tidak membiarkan Pak Damar meneruskan sandiwaranya.Tuan Edbert terkekeh pelan, kemudian merangkulku masuk rumah. "Lain kali kalau menginginkan sesuatu, panggil saja pelayan. Jumlah mereka banyak, kenapa harus menemui Pak Damar?""Maafkan aku," lirihku.Sesampainya di kamar, Tuan Edbert menatapku lekat. Dia memindai tubuh ini dari bawah ke atas. "Kamu habis menangis?""Tidak. Maksudku, iya.""Kenapa kamu menangis. Ada yang melukaimu?" tanya Tuan Edbert penuh kelembutan."Tidak, Tuan. Aku hanya ingin minuman dingin." Sekali lagi alasan konyol itu kembali kulontarkan.Tuan Edb
Selesai melakukan tugas sebagai istri walau hanya simpanan, aku langsung menutup mata bersembunyi di dalam selimut. Diam-diam memutar ingatan ketika sekolah dulu di mana teman-teman berdiskusi masalah rumah tangga."Aku menentang poligami!" tegas Amira begitu Fadil mengaku kelak akan berpoligami padahal pacar saja tidak punya."Kenapa kamu menentang poligami? Itu kan sunnah!" pungkas Aldi yang setuju dengan sahabatnya."Aku juga tahu hukum poligami, Di. Cuman gak mau diduakan. Ini bukan berarti mengharamkan, ya!""Karena yang haram itu poliandri alias bersuami dua!" timpaku sambil bertopang dagu.Mereka bertiga terkekeh pelan sementara aku memanyunkan bibir. Entah kenapa padahal kurasa tidak ada hal lucu."Nah, coba kalian para lelaki seandainya poliandri itu diperbolehkan apakah rela jika istri membagi cinta kalian?" tanya Amira penuh percaya diri."Ya enggaklah! Gak enak banget kalau misalkan istri kita harus melayani laki-laki lain. Jangankan menikah lagi, boncengan pun bakal gue l
Mas Bayu sudah dibawa oleh pihak berwajib kemarin sementara Tuan Edbert baru saja dimakamkan. Aku tidak tega melihat Nyonya Aluma terus menangis di atas gundukan tanah itu.Akan tetapi, lebih menyakitkan lagi melihat Maria yang tersenyum padahal matanya menampilkan binar luka. Aku tidak sanggup menyaksikan pemandangan ini."Aku harus kembali ke Detroit untuk memulai lembaran baru. Tenang saja, Islam sudah ada dalam hatiku, aku tidak akan melakukan hal yang dilarang dalam agama," tutur Maria.Mendengar itu aku langsung memeluknya penuh haru. Rasa rindu seketika menyeruak dalam dada padahal aku sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan Maria. Dia perempuan baik, mungkin itu yang bisa menjadi alasan."Terimakasih atas bantuan kamu selama ini, Maria!" balasku.Perempuan itu tersenyum, kemudian menaiki mobil alphard hitam dan meninggalkan lokasi pemakaman yang sudah mulai sepi. Mbak Utami tidak ada di sini karena dia pulang ke rumah orangtuanya mengadu nasib di sana.Sementara ibu m
"Ya, dia ibu kita, Zaki.""Kenapa ibu seperti itu?""Aku menyandranya di rumah ini karena sudah menduga banyak kemungkinan. Andai kamu tahu dalam beberapa hari saja dia sudah serusak itu karena aku terus menyuntikkan racun dalam tubuhnya yang tua itu!""Apa?""Sekarang kamu harus memilih antara menyelamatkan ibu kandungmu atau melepas Tyas untukku!" Tuan Edbert melipat kedua tangan di depan dada.Setelah itu matanya memberi isyarat yang tidak kami mengerti pada Mas Bayu. Di detik yang sama lelaki yang menjadi suami Mbak Utami itu mengeluarkan pistol dan mengarahkannya di kepala Bu Yola.Kami semua tercengang. Aku ingin melarang, tetapi bibir terlalu kaku untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Bukan hanya aku, bahkan Mbak Utami pun hanya bisa melotot sembari membekap mulut dengan kedua tangannya."Tidak ada hakmu untuk melakukan ini, Ed! Bu Yola adalah ibumu sementara Tyas adalah istri dari kakak kandung kamu!" sentak Maria dengan emosi yang meluap-luap."Kenapa aku tidak memiliki hak? K
"Tidak, kamu salah! Aluma sendiri yang tidak pernah menginginkan anak dariku makanya aku sampai mencari istri simpanan," elak Tuan Edbert."Bagaimana mungkin dia tidak menginginkan anak dari lelaki yang dia cintai, Ed. Apa kamu lupa kalau Aluma merebut kamu dariku?""Dia hanya menginginkan aku, tetapi tidak sampai memiliki anak.""Dia menginginkan anak darimu, Ed. Aluma tidak ingin perempuan lain melahirkan anakmu," selaku.Tuan Edbert membuang pandangan. Dia bersikukuh kalau Nyonya Aluma sama sekali tidak mau melahirkan anak karena bisa merusak postur tubuhnya yang indah.Sementara itu aku terus menentang karena yakin Nyonya Aluma sebenarnya ingin, tetapi Tuan Edbert yang selalu menolak. Bagaimana pun lelaki itu tidak pernah mencintai istrinya.Padahal memang bagus mencintai lelaki yang memikat hati, tetapi lebih bagus lagi mencintai lelaki yang telah menikahi kita. Cinta itu agung dan luas maknanya, tidak boleh disalahgunakan oleh mereka yang hanya mengedepankan ego dan nafsu belaka
Kembali aku merasa lega ketika Tuan Edbert kembali ke kamar utamanya. Dia pasti bahagia karena sudah melakukan permainan selama dua jam lebih menurut cerita Nyonya Aluma yang kini bersembunyi di kamar sebelah.Dia mengaku lelah dan lekas tidur, untung saja tadi malam dia tidak ketiduran sampai pagi atau Tuan Edbert akan marah besar. Aku kasihan karena ternyata perempuan itu menunggu fajar.Untung saja Tuan Edbert tidak banyak bertanya ketika melihatku sudah duduk di meja rias padahal baru pukul enam pagi. Aku tidak mandi melainkan hanya mencuci muka saja karena khawatir dia menyusul dan mengulangi permainan tadi malam."Nona, ada seseorang yang mencari Anda!" kata salah seorang pelayan."Siapa?""Aku melihat Maria, Utami dan seorang lelaki, Nona." Pelayan itu menjawab dengan suara pelan.Aku langsung beranjak dari tempat duduk untuk menemui mereka. Tidak butuh waktu lama karena aku menuruni anak tangga dengan langkah tergesa. Mas Zaki sepertinya rindu berat sehingga langsung membawaku
PoV Tyas AryaniBahkan hingga matahari sudah berada di ufuk barat pun aku tetap tidak menemukan ide untuk pergi dari sini. Terutama karena Mbak Utami sudah tidak bekerja sebagai pelayan. Ingin mengobrol dengan Mas Bayu juga enggan.Entah Tuan Edbert ada di mana karena sejak tadi aku menolak ke luar kamar ketika dipanggil pelayan untuk makan siang. Mereka malah langsung membawa makanan itu ketika aku perintahkan.Rasa malas beranjak menguasai jiwa. Bahkan untuk menoleh pun aku enggan. Akan tetapi, ketukan di pintu berhasil membuatku terusik."Pergi atau kuhabisi kau!" teriakku penuh emosi."Keluar jika kamu berani!" sentak suara itu.Aku terkejut bukan main. Ternyata Nyonya Aluma kembali datang padahal aku berharap dia sudah meninggal dunia. Kedatangannya ke sini begitu menganggu, dengan cepat aku beranjak melangkah cepat menujunya.Mata kami saling beradu. Kini tidak ada rasa takut dalam jiwa ketika bertemu Nyonya Aluma. Sekalipun dia tetap sekeji dulu, aku tidak akan mundur walau sel
Setelah kepergian Zaki, Utami lekas membuka pintu kamar itu dan menyambar ponsel yang tergeletak manja di nakas. Dia mulai mengotak-atik kontak mencari nama Maria di sana. Tidak lama karena hanya ada sedikit kontak, itu pun tertera dengan nama Veriel Maria. Untung saja nama itu pernah didengar langsung oleh Utami. Dia menyalin kontak Maria ke dalam ponselnya, kemudian melakukan panggilan telepon. Hanya berdering, tanpa ada jawaban. Namun, Utami tidak ingin putus asa sehingga dia terus menelepon. "Halo?" sapa Maria di balik telepon setelah panggilan ke delapan. "Ini Maria, kan? Aku Utami." "Ada apa?" "Kamu harus membantuku menemukan Tyas. Apa kamu bisa ke sini sekarang? Aku tidak bisa menjelaskannya via telepon. Aku mohon." "Ke mana?" "Rumah ibu mertuaku." Sedikit lama mereka berbincang sebelum akhirnya menutup telepon. Utami bernapas lega begitu Maria setuju akan membantu sampai menemukan titik terang. Dua jam menunggu dengan gamang, akhirnya Maria datang juga. Dia cantik sep
PoV AUTHORBahkan sudah tengah malam, Haura masih terus berbalas pesan dengan Tyas. Dia memaksa perempuan itu keluar rumah untuk membicarakan hal penting.Awalnya Tyas menolak karena takut diculik, tetapi Haura bilang datang seorang diri diantar Pak Damar. Akhirnya, perempuan malang itu keluar juga.Mereka bertemu di depan rumah, Haura terus mengalihkan perhatian Tyas agar tidak melihat seorang pelayan perempuan menyelinap masuk rumah menuju kamar dan meletakkan secarik kertas di sana.Setelah pelayan itu keluar, Haura tersenyum ramah. "Baiklah, jadi aku harus bilang pada Edbert kalau kamu belum mendapat izin suami?""Betul. Katakan seperti itu saja.""Baiklah. Kalau begitu aku pamit." Haura masuk ke mobil, kemudian meninggalkan Tyas seorang diri.Perempuan itu tersenyum lega, tetapi hanya sesaat karena kini tangannya dicekal kuat oleh seseorang sementara mulutnya dibekap. Dia ingin meminta tolong, tetapi sudah pingsan oleh obat bius.Mereka membawa Tyas pergi dari sana dan tentu saja
Mbak, aku gak bisa mengkhianati Mas Zaki untuk kedua kalinya. Kita harus menemukan cara lain untuk bisa lepas dari sini. Kebohongan seapik gimana pun kita sembunyikan, tetap saja akan ketahuan nantinya.""Tidak jika Tuan Edbert campur tangan!""Bagaimana dengan Abel, Mbak? Bukannya kemarin Tuan Edbert campur tangan, kemudian dia sendiri yang membeberkan hal itu pada Mas Zaki? Aku sudah mendapatkan ridha dan kepercayaannya, mana mungkin mau merusak lagi.""Kalau begitu ... kita coba berpikir cara lain. Jika aku bisa membantumu, maka kamu harus membantuku keluar dari sini. Gimana?""Oke."Mbak Utami memutar otak sementara aku merebahkan diri di tempat tidur. Ingin mengabari Mas Zaki, tetapi ponsel tertinggal di rumah. Memang bisa meminjam, tetapi prasangka lain kembali hadir.Kalau aku mengabari Mas Zaki bahwa kemarin itu orang suruhan Tuan Edbert, tentu dia akan semakin marah dan bisa jadi mengira aku telah bersekongkol dengan mereka.Sementara matahari sudah semakin dekat ke peraduan,
Sesampainya di rumah sakit, Haura tidak pernah melepas cekalan tangannya. Untung saja tadi aku sempat berganti pakaian sekalipun hanya memakai sandal rumahan. Kami menuju ke ruang perawatan bayi. Beberapa orang melirik kami, mungkin menyangka aku perempuan yang kurang waras karena belum mandi juga tidak menyisir rambut. "Tyas!" Tuan Edbert langsung menarikku dari Haura dan membawa tubuh ini dalam pelukannya. Aku ingin melepaskan pelukan itu, tetapi Tuan Edbert menangis pilu. Rasa iba menyeruak dalam dada hingga aku balas memeluk berusaha menenangkannya. Memang sedikit risih dan takut karena kembali berkhianat, tetapi Tuan Edbert membutuhkan pelukanku. Dia sedang rapuh melihat anak kami sedang dirawat. "Abel sakit apa, Ed?" tanyaku setelah dia mengurai pelukan. Mata yang biasa menyalak tajam itu berubah teduh. Bulir bening tidak berhenti mengalir di sana. Aku bisa merasakan bagaiman sakitnya hati Tuan Edbert kini. "Meningitis," jawabnya pelan. Kedua mataku membola mendengar itu.