"Hari ini pindahkan semua barang-barangmu. Aku tidak ingin pisah kamar. Kita harus saling terbiasa bersama!" perintah Tuan Edbert menyudahi sarapannya."Iya, Tuan. Aku akan meminta bantuan Maria atau Louis.""Tidak. Saat ini Maria sedang tidak enak badan. Biar Lotus dan Supri saja yang membantumu!"Tuan Edbert berdiri, setelah itu meninggalkan rumah yang seperti istana ini. Mengingat tentang Maria, dia memang perlu beristirahat. Siapa yang tidak lelah dengan pekerjaan penuh penekanan?Pantas saja pagi tadi dia tidak datang ke kamar menata rambut dan merias wajahku. Mungkin itu sedikit lebih baik karena aku bisa belajar melakukannya sendiri. Lagi pun aku sama sekali tidak pernah memiliki niat untuk terlihat cantik di depan Tuan Edbert.Kaki jenjangku melangkah cepat ke kamar untuk memindahkan semua barang diikuti dua pelayan lelaki. Mereka tidak bertanya apa pun melainkan langsung membopong semua barang itu ketika aku meletakkannya di tempat tidur."Letakkan saja di situ, biar aku yang
[Tunggu sebentar, Mbak. Aku selesaikan pekerjaan dulu. Sampaikan pada Mas Zaki, aku akan menelepon dalam sepuluh menit.][Oke.]Aku bingung sendiri mengingat rambut sudah beda warna apalagi sekarang sedang memakai dress selutut. Kaki bergerak cepat melangkah mencari sesuatu yang bisa menutupi kebohongan ini.Aku membuka laci demi laci setelah mengunci pintu kamar dari dalam. Beberapa menit berlalu sampai aku masuk kamar mandi saking bingungnya, beruntung ada plastik penutup rambut dan hair bando.Dengan gerak cepat aku memakainya, kemudian menyambar handuk putih untuk menutupi dada. Aku duduk bersandar dekat bad spa dan melakukan panggilan video."Mas Zaki," sapaku ketika melihat Mas Zaki yang sudah rapi. Dia duduk di samping Lia yang sedang tertidur."Tyas? Kenapa dengan kepalamu dan itu handuk?" tanya Mas Zaki ketika menyadari penampilanku.Tanpa perlu berpikir lama lagi, aku segera meletakkan telunjuk kanan di bibir memintanya diam. "Aku pura-pura kebelet, Mas makanya memakai ini b
Aku hanya diam menanti kalimat selanjutnya. Maria kelihatan sangat terluka. Aku begitu iba dan seandainya pernah bertemu kekasih Maria, mungkin bisa memberitahu bahwa kekasihnya sangat menderita."Apa Anda tahu siapa nama kekasihku?""Tidak.""Marlon Addison."Bola mataku membulat sempurna ketika mendengar nama Addison. Apakah mungkin kekasih Maria adalah saudara kandung Tuan Edbert sehingga rela bekerja di sini demi mencapai sebuah misi?"Anda tidak perlu terkejut. Hanya nama belakang saja yang sama. Tuan Edbert adalah milik Anda, Nona." Maria mengulum senyum seperti berusaha membaca pikiranku."Bukan itu, Maria. Maksudku apa kekasihmu adalah saudara Tuan Edbert Addison?"Maria mengangguk. Ini sungguh fakta mengejutkan. "Dan kemarin Marlon kembali menikah untuk kedua kalinya.""Bersamaan dengan pernikahan Tuan Edbert?"Sekali lagi perempuan itu mengangguk. Dia menceritakan dengan jujur alasan kemarin tidak bisa fokus bekerja sampai mata bengkak seperti itu. Dia bilang mendengar kabar
"Bagaimana kamu tahu, Maria? Apa mungkin kamu mengenal Mas Zaki?""Dia lelaki yang lumpuh," lirih Maria membuang pandangan dariku."Ya, benar. Mas Zaki lelaki lumpuh, hanya mampu duduk di kursi roda." Kedua bahu Maria kucengkram kuat. "Katakan, bagaimana kamu mengenal Mas Zaki?"Perempuan itu menunduk lesu, tangannya gemetar. Tidak lama kemudian dia menggigit bibir, lalu berlalu ke luar tanpa mampu aku kejar.Ada apa dengan Maria? Mungkinkah ada kaitannya dengan kelumpuhan Mas Zaki ataukah mereka sempat bermain api?Astagfirullah, tidak mungkin. Maria bilang punya kekasih sampai rela jadi pelayan di sini. Lagi pula sebelum kecelakaan itu terjadi, Mas Zaki sedang lembur di kantor."Sudah jam tiga sore," gumamku ketika melihat jam dinding. Tanpa sadar aku telah lama merenung dalam kamar, enggan untuk beranjak atau sekadar mengisi perut yang kosong.Ketika pikiran terusik, sesuap nasi pun aku tak sanggup menelannya. Biar saja para pelayan itu makan sendiri, aku tidak lagi peduli."Nona T
"Apa yang kamu lakukan di sini, Tyas? Bukankah aku meminta Maria agar kamu bersiap?""Tadi aku ...." Aku menoleh pada Pak Damar berharap dibantu menjawab."Maaf, Tuan. Nona Tyas memintaku membeli minuman dingin untuknya.""Di rumah ini tersedia, kenapa mencari ke luar?" Tuan Edbert menaikkan kedua alisnya. Aku yakin, dia tidak percaya."Aku tidak tahu kalau minuman dingin juga tersedia di sini, Tuan." Kali ini aku tidak membiarkan Pak Damar meneruskan sandiwaranya.Tuan Edbert terkekeh pelan, kemudian merangkulku masuk rumah. "Lain kali kalau menginginkan sesuatu, panggil saja pelayan. Jumlah mereka banyak, kenapa harus menemui Pak Damar?""Maafkan aku," lirihku.Sesampainya di kamar, Tuan Edbert menatapku lekat. Dia memindai tubuh ini dari bawah ke atas. "Kamu habis menangis?""Tidak. Maksudku, iya.""Kenapa kamu menangis. Ada yang melukaimu?" tanya Tuan Edbert penuh kelembutan."Tidak, Tuan. Aku hanya ingin minuman dingin." Sekali lagi alasan konyol itu kembali kulontarkan.Tuan Edb
Selesai melakukan tugas sebagai istri walau hanya simpanan, aku langsung menutup mata bersembunyi di dalam selimut. Diam-diam memutar ingatan ketika sekolah dulu di mana teman-teman berdiskusi masalah rumah tangga."Aku menentang poligami!" tegas Amira begitu Fadil mengaku kelak akan berpoligami padahal pacar saja tidak punya."Kenapa kamu menentang poligami? Itu kan sunnah!" pungkas Aldi yang setuju dengan sahabatnya."Aku juga tahu hukum poligami, Di. Cuman gak mau diduakan. Ini bukan berarti mengharamkan, ya!""Karena yang haram itu poliandri alias bersuami dua!" timpaku sambil bertopang dagu.Mereka bertiga terkekeh pelan sementara aku memanyunkan bibir. Entah kenapa padahal kurasa tidak ada hal lucu."Nah, coba kalian para lelaki seandainya poliandri itu diperbolehkan apakah rela jika istri membagi cinta kalian?" tanya Amira penuh percaya diri."Ya enggaklah! Gak enak banget kalau misalkan istri kita harus melayani laki-laki lain. Jangankan menikah lagi, boncengan pun bakal gue l
Setelah pelayan perempuan yang diminta Maria membersihkan serpihan kaca tadi pergi, mereka berdua mendekat dengan tatapan yang sulit di artikan. Sebenarnya aku gugup jangan sampai dibunuh, tetapi berusaha bersikap santai."Ada apa?" tanyaku ketus."Jangan sampai karena tindakan ceroboh Anda menghilangkan nyawa seseorang, Nona. Anda harus berpikir jernih jika ingin melakukan sesuatu," ucap Louis."Apa Anda tahu resiko bagi kami jika tadi Anda berhasil meminum racun itu?!" tambah Maria sedikit berteriak.Memang statusku sebagai istri Tuan Edbert, tetapi mereka ada untuk sebuah misi. Tentu dengan persiapan yang sangat matang sehingga berani meninggikan suara."Apa yang akan terjadi?""Louis!" Telunjuk Maria mengarah pada temannya itu. "Dia akan membayar nyawa Anda bahkan mungkin keluarganya. Anda belum mengenal Tuan Edbert dengan baik, jadi tolong jangan berbuat sesuka hati!"Louis menunduk. "Sementara aku di sini bekerja bukan sepenuhnya keinginan hati," lirihnya.Aku beringsut mundur d
"Anda istri Zaki?" Maria menatap tidak percaya."Tuan Edbert pernah mengundang Bayu ke sini. Dia merasa belum sepenuhnya bertanggungjawab," jelas Louis. Dia menghela napas panjang. "Tuan Edbert meminta Bayu agar menikahkan dia dengan adik perempuannya jika ada. Katanya sebagai bentuk penyesalan.""Bayu bilang dia memiliki adik perempuan, adik bungsu. Dia menyebut nama Anda, Nona. Kala itu Tuan Edbert langsung sepakat, kemudian berjanji akan membahagiakan Anda," tambah Maria.Berbagai kejutan telah terungkap. Tanganku mengepal karena kelakuan Mas Bayu. Ternyata dialah dalang dari semua ini. Mas Bayu memanfaatkanku demi kesejahteraan dirinya."Aku terkejut ketika Anda mengaku sebagai kekasih Zaki, Nona," ucap Maria."Aku istri Mas Zaki, kami sudah punya satu anak namanya Lia. Sejak suamiku lumpuh, mertua dan kakak ipar sangat membenci dan tidak segan mengomeli kami. Semua pekerjaan rumah beres oleh tanganku," lirihku seraya menitikkan air mata.Luka yang perlahan kutepis kembali merajai