Sopir seumuran Roby itu turun dari kendaraannya. Dia ingin memeriksa keadaan korban yang baru saja terserempet taksi. Ternyata ada beberapa saksi yang ikutan mendekat.
Pria berseragam biru donker itu jongkok. Beberapa orang juga melakukan hal yang sama. Si sopir melihat pergerakan di dada Hani.
“Sepertinya cuma pingsan,” ujar si sopir karena melihat Hani hanya lecet-lecet saja di beberapa bagian tubuhnya.
“Tapi tetap harus dibawa ke rumah sakit, Pak. Siapa tahu ada luka dalam,” balas seorang warga.
“Betul, siapa tahu dia gegar otak atau patah tulang. Soalnya kepalanya kan kena aspal.” Temannya menimpali.
“Iya, pasti akan saya bawa ke rumah sakit kok.” Si sopir menunjukkan rasa tanggung jawabnya, “sekarang tolong bawa sa
"Mamaaa...” Zea merintih. Tubuhnya masih lemas. “Mamaaa.” Dia merindukan Hani.“Iya, Sayang.” Tantri dengan perhatian memeluk anak itu. Sementara Panji mengambil tisu untuk mengelap darah yang menetes pada hidung si putri.“Mama mana? Mana?” Zea mendongak sendu pada sang ayah yang mendekapnya. “Mau mama,” ucap bocah itu lirih.Hati Panji bergetar melihatnya.“Coba telpon Hani, Nji.” Tantri yang ikut trenyuh langsung memerintah, “siapa tahu sudah ada di rumah. Ini kan udah malam, jadi nomernya sudah aktif. Sedih aku lihat Zea sakit begini,” sarannya pilu melihat sang keponakan terlihat lemah.“Mau Mama ....” Bocah itu kembali mengharap.&ldquo
Panji baru saja selesai sholat subuh. Dia mengerjakan ibadah dua rakaat tersebut di mushola yang ada di rumah sakit ini. Ketika dia masuk kembali ke kamarnya Zea, Tantri kakaknya masih meringkuk di sofa dengan masih mengenakan mukena.Ketika tadi Panji ajak, wanita itu bilang akan mau beribadah sendiri di kamar. Tantri tidak mau meninggalkan Zea sendiri. Semalam suhu tubuh anak itu kembali naik. Kedua kakak adik itu sampai harus bolak-balik memanggil suster dan dokter.Wajar jika pagi ini Tantri merasa sangat lelah. Perempuan itu sama sekali tidak tertidur. Maka Panji membiarkannya saja sang kakak beristirahat.Entah kenapa hari ini Panji merasa seluruh persendiannya lemas. Pria itu duduk di tepat di hadapan sang putri. Dia meraih jemari mungil nan lentik itu. Beberapa bintik merah memenuhi kulit Zea.Pertaha
Banyu sigap menangkap tubuh Panji yang ambruk. Pria itu merasa kepayahan karena tubuh orang pingsan jauh lebih berat dari biasanya. Dokter muda yang masih menangani Zea ikut menolong Banyu mengangkat tubuh Panji.Ayah Zea itu dibawa ke brankar yang tidak jauh dari ranjang sang putri. Dokter senior mendekat lantas memeriksa kondisi Panji.“Gimana, Dok?” tanya Banyu usai dokter menempelkan stetoskop pada dada Panji.“Bapak Panji cuma kelelahan dan stres,” jawab dokter dengan senyum tipis, “kurangnya asupan makanan dan tidur membuat staminanya menurun. Nanti setelah makan yang teratur dan minuman obat insya Allah kondisi membaik,” paparnya menjelaskan.“Syukurlah,” sahut Banyu lepas dari rasa khawatir.“Biarkan Bapak Panji
“Bu Hani tunggu!”Hani tidak mengindahkan peringatan itu. Dirinya terus memaksa angkat kaki. Hingga akhirnya dirinya yang tergesa-gesa harus terjerembap karena kakinya terantuk batu.“Arghhh!”Hani meringis. Tangannya yang masih terbalut gips harus tertindih badan sendiri. Wanita itu tidak bisa menahan rasa sakit.Hani lantas merengek saking sakitnya. Tulang tangan seolah patah kembali. Untuk bangkit pun ia rasa tak mampu.“Ibu gak papa?” tanya perawat begitu tiba di hadapan Hani. Gadis berseragam putih itu jongkok bersama sang petugas.“Kamu punya mata gak sih?” sindir Hani seraya menahan sakit, “gara-gara kalian ngejar, tanganku harus ketindihan tubuh sendiri,” semburnya deng
Tiga hari sebelumnyaSetelah menutup mata hampir dua jam lamanya, Panji akhirnya pun terjaga. Pria itu menatap langit-langit kamar. Terlihat begitu asing.Saat menatap ke samping, tampak seorang wanita yang tengah membelakanginya. Panji mengenal sosok perempuan itu. Seli.Kakak ipar Banyu itu tampak begitu telaten menyuapi Zea putrinya. Seketika Panji sadar jika masih berada di rumah sakit. Angannya melayang pada kejadian tadi pagi. Saat Zea tengah bertarung nyawa.Beruntung setiap doa yang ia dan keluarganya panjatkan didengarkan oleh Sang Pencipta. Zea kembali bernapas. Dirinya jatuh pingsan karena begitu terharu serta daya tahan tubuh yang menurun.“Ayah.”Ternyata Zea menyadari ayahnya sudah terbangun. Gadis itu menunjuk
“Mas, kamu sedang bercanda kan?” cecar Hani tidak percaya. Perempuan itu langsung berlutut dan meraih tangan Panji.“Lepas!” Panji menepis tangan Hani, “talak aku sudah jatuh satu padamu, Han. Kita sudah tidak boleh lagi bersentuhan kulit,” tuturnya datar.“Kenapa tidak boleh? Kita masih sah sebagai suami dan istri kok,” tukas Hani mengelak.Panji dan Tantri sama-sama menggeleng. Keduanya juga kompak membuang napas.“Hani mana paham ilmu agama, Nji,” ujar Tantri sedikit meremehkan. “Mau kamu jabarin sepanjang jalan kereta api pun, dia juga bakalan nyampe. Di otaknya cuma ada uang dan Atha saja.” Perempuan itu tersenyum mengejek.Hani kini berpaling pada Tantri. “Mbak, aku tahu kamu kakak kandungn
“Lho... Bu Hani kok bawa-bawa koper, emang mau ke mana, Bu?”Langkah Hani tertahan saat berpapasan dengan beberapa tetangganya di jalanan kompleks.“Bukannya Adek Zea baru saja pulang dari rumah sakit, ya?” Seorang tetangganya bertanya lagi.“Kita ini mau tengok Dek Zea ke rumah, lha kok Bu Hani malah mau pergi,” ujar yang lain.“Iya, kemarin-kemarin gak sempat membesuk waktu Dek Zea masih di rumah sakit,” timpal tetangga yang rumahnya selisih tiga nomor itu.Hani sendiri tidak bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin juga dia harus jujur kalau baru saja kena usir suami dan kakak iparnya.“Tapi ... bukannya ini saat yang tepat untuk menghancurkan citra Mas Panji dan
Mata Hani merebak melihat nasi kotaknya terjatuh. Perutnya sudah melilit lapar. Tadi pagi perempuan itu hanya mengganjal perutnya dengan segelas teh tawar dan sebungkus roti saja. Hingga kini dia belum mengisi bahan makanan lagi ke perutnya.Andai saja nasi kotak tersebut jatuhnya tidak berantakan, Hani tidak ragu untuk memungutnya. Sayang nasi dan lauk-pauknya berserakan di jalanan.“Hani!”Hani tersentak. Dia tidak menduga jika Layla sungguhan mengejar. Takut mantan istri Panji menghina keadaannya yang sekarang, Hani memilih lekas angkat kaki seribu.Sikap buruk Hani di masa lalu membuatnya selalu berpikiran buruk. Dia selalu berpikiran bahwa mereka yang pernah disakiti akan menuntut balas atau menghujat keadaannya yang sekarang.“Ck. H
Besok pagi adalah pesta ulang tahun Azriel yang kesebelas. Tumben-tumbennya bocah yang sudah mulai beranjak gede itu minta pada ayahnya untuk diadakan pesta. Padahal selama ini Azriel tidak pernah mau jika hari lahirnya dirayakan. Walaupun berkali-kali dulu sudah dibujuk oleh Layla, Panji ataupun Banyu.Bukannya Layla tidak mau menuruti keinginan Azriel. Namun, kondisi tubuh wanita itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengurus persiapan pesta. Hari perkiraan lahir tinggal seminggu lagi. Badannya juga terasa amat berat. Malah sedari pagi sebenarnya dia sudah merasakan mulas-mulas ringan.Kehamilan kali ini membuat berat badan Layla naik lumayan drastis. Jika sebelum hamil bobot tubuhnya paling berat hanya lima puluh kilogram. Sekarang sudah mencapai enam puluh delapan. Hampir dua puluh kilogram penambahannya.Anehnya banyak yang bilang jika hanya bagian perut dan pipi saja yang mengalami peningkatan. Lainnya tetap terlihat normal. Dan yang membuat
Tiga hari kemudianLayla tengah mematutkan diri di cermin. Siang itu dia akan pergi periksa kandungan. Usia kandunganku sudah memasuki minggu ketiga puluh lima.Detik-detik menanti kelahiran. Layla sudah harus cek kandungan seminggu sekali. Beruntung Banyu selalu bersedia menemaninya untuk check up. Sesibuk apapun dirinya tidak pernah absen.Ketika Layla baru saja memoles bibirnya dengan lipstik terdengar derit pintu kamar. Perempuan itu menoleh. Seraut wajah kusut datang. Banyu suami tercinta melangkah masuk dengan gontai.Pria itu melempar begitu saja tubuhnya ke ranjang dengan tengkurap. Wajah Banyu terbenam pada bantal bersarung warna putih tersebut. Mau tak mau aku harus menghampiri sang suami."Ayang Mbep, ada apa ini?" tanya Layla lembut. Perlahan dia memegang pundak suami tercinta. "Dateng-dateng kok mukanya ditekuk gitu?" tegurnya perhatian.Banyu membalikkan badan. Wajah pria yang sehari-hari tampak tenang kini terlihat keruh. "Bu
Layla dan Banyu tengah jalan pagi mengitari komplek. Aktivitas menyehatkan itu sudah Layla jalani dari awal hamil. Syukurnya Banyu selalu setia menemani.Padahal Layla tidak pernah mengajak sang suami. Namun, Banyu punya kesadaran untuk melakukan olahraga tersebut. Karena kata Banyu, jalan pagi itu selain mudah, murah, juga kaya manfaat yang baik untuk kesehatan tubuh.Banyu sendiri berusaha menjadi suami yang siaga. Jadi setiap pagi sebelum berangkat kerja, dia menyempatkan diri untuk menemani sang istri jalan pagi. Selain itu dirinya juga sekalian berolahraga untuk kebugaran tubuh.Jalan kaki dipilih karena dapat menjaga berat badan, menurunkan kadar kolesterol, serta menyeimbangkan tingkat tekanan darah. Sehingga mengurangi resiko kelahiran prematur.Satu jam berlalu. Layla merasa cukup berolahraga. Peluh sudah mulai membanjiri badan. Belum lagi cacing di dalam perut sana meminta jatah makan pagi. Akhirnya wanita itu pun mengajak sang suami untuk
"Hani hamil anakku?” gumam Panji tidak percaya. Pria itu tertawa sumbang, “kami bahkan sudah berpisah hampir dua bulan, Pak. Dan sebelum itu, aku dan Hani juga sudah pisah ranjang,” papar Panji menerangkan keraguan hatinya. “Terus kalo bukan anak kamu, itu anaknya sapa?” sergah Bapaknya Hani mulai meradang, “Hani memang bukan wanita yang alim, tapi saya bisa menjamin kalo dia gak akan mungkin murahan menjajakan diri,” semburnya cukup lantang. “Ayah!” Dari dalam menghambur Zea yang diikuti oleh Bik Ijah dan Tantri. Kakak Panji itu sengaja mampir begitu pulang dari kantor. Perempuan itu ingin mendengar jalannya sidang perdana perceraian sang adik. “Pak Hadi?” sapa Tantri begitu sadar akan kehadiran mertua adiknya, “dari Bogor langsung ke sini kah?” “Gak,” sahut
“Dia bukan istri saya,” tampik Bapak Beni begitu dokter menyangka Hani adalah istrinya.“Oh bukan? Lantas adiknya?” Dokter bertanya seraya membetulkan letak kaca matanya.“Bukan adik saya juga.” Pak Beni kembali menggeleng.Dokter seumuran Pak Beni itu tersenyum. “Oke ... entah itu teman, saudara atau pun tetangga, saya cuma mau menjelaskan kalo ibu ini lagi hamil. Dan sekarang sudah menginjak minggu ke delapan.”Bapak Beni hanya mengangguk.
Ibu Lia menyeringai puas. Hatinya cukup merasa bahagia melihat Hani beranjak pergi dengan menarik dua kopernya. Wanita itu lantas memotret Hani dari belakang.Walau pun tidak terlihat jelas wajah Hani, tetapi Ibu Hani tetap akan menyebarkan foto Hani yang mengenaskan tersebut. Jika dituruti hawa nafsunya, wanita itu ingin sekali melihat Hani menangis berdarah-darah di hadapannya.Perempuan itu lantas mengeluarkan satu gepok uang pada amplop cokelat. Ibu Lia mengangsurkan amplop tersebut pada seorang kepala preman. Dia sengaja menyewa preman guna mengusir Hani.Ibu Lia pikir Hani masih sama seperti yang dulu. Pintar beradu mulut dan keras kepala. Makanya dirinya mengantisipasi dengan membawa preman.
"Diperintahkan?” Dahi Hani berkerut indah.“Apakah Mas Panji yang menyuruh?”otak Haniberpikir gusar, “tidak mungkin!”Hani menggeleng keras sendiri, “jika dia mau menggunakan ruko ini untukmembuka usaha, harusnya dari kemarin-kemarin cek keadaan ruko ini.”Hani lantas menatap para preman bertubuh besar dihadapannya. “Memangnya siapa yang memerintahkan kalian untuk mengosongkan rukoini?” tanya dia cukup penasaran.“Aku yang menyuruh mereka, Hani.”Hani menoleh. Saking kagetnya melihat kedua kopernyadikeluarkan oleh orang yang tidak dikenal, dia sampai tidakngehjikaada mobil yang berhenti tidak jauh dari pelataran ruko itu.Hani mengenal mobil me
Hani baru saja keluar dari kamar mandi. Hari ini adalah jadwal sidang perceraiannya. Dia akan datang untuk mempertahankan rumah tangganya.Sebenarnya Hani enggan keluar dari kediamannya. Karena sejak tadi pagi dia mual-mual. Padahal dirinya sudah meminum obat masuk angin dan juga asam lambung. Tetap saja perempuan itu diserang enek.Hani membuka koper. Dia mengambil kotak make up yang kini tinggal bedak dan lipstik. Bagaimana pun juga wanita itu ingin tetap terlihat menarik di hadapan Panji.Usai memoles wajah, Hani meraih salah satu koleksi busana terbaik yang dipunyai. Sebuah dress lengan panjang Korea. Koleksi baju panjang perempuan itu tidaklah banyak. Dulu dia begitu menyukai baju-baju mini dan sed
Sopir Ibu Lia mengangguk patuh. Pria paruh baya itu mulai melajukan mobilnya.“Pelan-pelan saja, Pak! Jangan sampai wanita itu tahu kalo kita lagi ngikutin,” suruh Ibu Lia dengan fokus tetap tertuju pada Hani.“Baik.” Pak sopir kembali mengiyakan.Sementara di luar sana, Hani terus melangkah. Pikirannya kosong. Sungguh pemutusan hubungan kerja ini membuatnya bingung.Hani bukanfreshgraduateyang gampang mencari pekerjaan. Dia hanya seorang ibu-ibu yang tidak punya keterampilan khusus. Apalagi berkas-berkas ijazah tertinggal di rumah ibunya.