Share

BAB 7

Author: Vani Vevila
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“The fireflies were probably already out: Maybe it wasn’t just a season or time but a whole world I’d forgotten.” – Sarah Desen

Jam berapa? Yang aku tahu, matahari baru saja terbit sekian derajat tapi sekarang ada yang sudah berhasil membangunkanku dengan deringan bel. Ada yang menekan bel sebanyak tiga kali dengan durasi panjang tidak berhenti di luar sana. Telingaku sakit mendengarnya. Aku membuka mata pelan-pelan, berusaha beradaptasi dengan cahaya, menyibak selimut, kemudian mencari sendal yang semalam kutaruh di sebelah kasur lalu memakainya. Dengan langkah setengah sadar aku membuka pintu tanpa melihat siapa yang ada di luar sana melalui kamera.

Manee dengan senyuman khasnya melambaikan tangan. “Pagi!”

Ya Tuhan, ngapain dia jam segini ke sini? Apa aku lupa kalau dia mengajakku untuk lari pagi seperti kemarin? Refleks aku menyisir rambut dengan tangan, rambut yang acak-acakan belum dikeramas.

“Hahaha, udah sana mandi.” Kedua tangan Manee membalikkan tubuhku lalu mendorongku. Dia menutup pintu. “Padahal udah aku bilang kalau hari ini hari istimewa di Thailand. Eh, kamu belum siap.”

“Tapi aku kira acaranya nggak sepagi ini,” kataku menarik tangan ke arah atas.

Manee duduk menyender pada sofa. “Acaranya malam tapi persiapannya dari pagi. Dan aku pikir kamu yang baru pertama ke sini harus lihat semuanya, Tha.”

“Dan kamu nggak bilang sama aku.”

“Perasaan udah.”

Aku berdecak merasa sebal. Merasa ini mendadak. Aku benci hal-hal yang mendadak. “Cuma perasaan... udah, sekarang aku mandi. Tunggu aku.”

Dengan cepat aku menggiring tubuh ke dalam kamar mandi sambil mengumpulkan nyawa secara penuh dan dengan sekejap memakai baju juga berdandan seadanya. Berusaha tidak membuat Manee jenuh menunggu. Aku membuka pintu kamar setelah yakin semuanya beres.

Manee menggelengkan kepalanya. “Jangan pakai baju itu.” Matanya melirik tubuhku dari atas sampai bawah.

Aku mengangkat bahu tidak paham. Hari ini aku memilih memakai dress di atas lutut berwarna putih dengan bordiran bunga di bagian ujung bawah. Menurutku ini bagus dan santai. Tanpa berkomentar lebih banyak Manee mengambil satu kantong tas kertas dari sebelah sofa yang sejak awal dia bawa. Aku pikir isinya makanan atau sesuatu yang ingin dibawa ke acara atau juga untuk memenuhi kebutuhan kami. Ternyata bukan.

“Pakai ini, supaya lebih mendalami hari ini.” Dia mengeluarkan satu stel baju tradisional dengan tambahan kalung, anting, dan gelang berwarna emas.

Cantik, aku suka tapi apa harus aku memakainya sekarang? Rasanya aneh kalau seharian memakai baju seperti itu. “Harus dipakai sekarang? Katanya puncak acaranya malam, kan masih lama.”

Dia mengangguk, kembali memasukan semuanya ke dalam tas kertas. “Ada di lemari. Dari pada nggak terpakai, mendingan kamu yang pakai. Kalau gitu pakai nanti malam. Tapi janji ya pakai ini?”

Aku meng-iya-kan tanpa mengatakan janji. Selama tidak merugikanku, aku setuju saja.

Kami mulai berjalan memutari kota Chiang Mai yang ramai. Hampir di seluruh jalan penuh dengan persiapan untuk mengadakan pertunjukan. Manee memberi tahuku kalau acara yang akan kami kunjungi bernama Loy Krathong. Tahun ini, festival yang baru kudengar tersebut diadakan bebarengan dengan festival bernama Yee Peng.

“Kita nggak bisa ikutan dua-duanya barengan,” ucap Manee di tengah jalanan yang mulai macet.

Aku membuka satu kaleng jus jeruk dingin. “Kenapa?”

“Tempatnya beda dan jalanan pasti macet banget. Ini lihat,” Manee memukul setir pelan. “Sekarang aja udah mulai macet. Hari ini kita ke Yee Peng dulu. Karena hari ini Yee Peng Festival yang gratis. Nah, besok baru ikut Loy Krathong.

“Emang apa bedanya?”

“Beda. Lihat aja nanti deh. Tapi sebenarnya di festival Loy Krathong, juga ada yang ngadain bareng Yee Peng sekaligus. Cuma ya nggak seru soalnya lampion yang diterbangin cuma dikit. Susah dijelasin, kamu harus lihat sendiri. Yang jelas sekarang kita makan dulu.”

Ya sudah, aku memang tidak tahu apa-apa. Pasrah saja. Sebelum mengikuti serangkaian acara festival Yee Peng, Manee mengajakku untuk mampir ke sebuah restoran yang menjual makanan Thailand. Selama di Thailand, aku memilih makan masakan Jepang dan Turki, yang rasanya sudah bisa kutebak. Membeli nasi kepal Onigiri, roti-rotian yang dibungkus, juga membeli nasi kari, dan kebab di restoran dekat apartemen.

Restoran yang kami kunjungi tidak begitu besar. Aku memilih makanan bernama Pad Thai, makanan yang beberapa hari lalu aku makan bersama mama, sedangkan Manee memilih satu mangkuk salad dan Gang Keow Wan, nasi dengan siraman kari berwarna hijau yang dicampur dengan potongan sayuran. Berbeda dengan sebelumnya, hari ini Manee sibuk dengan ponselnya. Mungkin dia sedang banyak kerjaan. Mungkin deadline menulisnya hanya tinggal hitungan hari. Atau mungkin ada urusan dengan kekasihnya? Aku tahu itu privasi namun membuatku penasaran setengah hidup.

Aku takut menyakiti hati orang lain. Karena aku tahu bagaimana sakitnya dikhianati. Kalau ternyata Manee memiliki pacar dan menganggap keberadaanku sebagai perusak, aku harus melakukan apa? Aku tidak mau seperti itu. Aku kenapa, sih?

“Seberapa penting festival nanti, Manee? Aku penasaran. Pasti banyak banget ya yang datang?”

Manee tersenyum. Senyum itu. “Ramai banget, jangan jauh-jauh ya nanti, takut hilang.”

Setelah selesai makan, kami kembali melanjutkan perjalanan, kembali masuk ke mobil, kemudian Manee menyalakan mesin tanpa menjalankan setir. Hening sejenak.

Dia membenarkan posisinya menjadi lebih santai tapi aku bisa melihat ekspresi aneh muncul di wajahnya.

“Kenapa?” tanyaku merasa ada yang mengganjal.

Manee menggeleng. “Kayaknya kita terlalu kepagian. Gimana kalau kita mampir dulu ke tempat lain. Aku punya satu tempat menarik yang pengin aku tunjukin ke kamu.”

“Tempat? Asal bukan tempat yang aneh-aneh, aku sih mau aja kalau ke sana.”

Manee menarik rem tangan. “Oke, kita ke sana sekarang.”

Aku tidak tahu Manee membawaku ke mana, hanya saja aku bisa melihat Chiang Mai University yang sempat kami lewati. Mobil kami berhenti tepat di depan satu gedung yang bertuliskan ‘Catmosphere’. Cat? Kucing?

“Ini dia,” Manee membuka pintu mobil. “Suka kucing nggak?”

“Suka banget sih, nggak. Biasa aja.” Aku ikut turun dengan tanpa sekali pun memalingkan pandangan dari pintu tempat itu.

“Ini tempat makan? Atau?” Melangkah lebih dekat aku bisa melihat ada deretan meja dan kursi seperti cafe pada umumnya. Tapi yang menarik adalah kehadiran kucing yang jumlahnya tidak hanya satu atau pun dua ekor.

Manee menarik lenganku, mengajakku masuk. “Ini cat cafe. Kalau di Jepang udah tersebar di mana-mana. Di sini lagi musim juga. Di Indonesia ada juga?”

“Setahuku ada, tapi aku belum pernah ke sana.”

Catmosphere tidak memiliki ruangan yang begitu luas namun dari mulai cat dinding hingga sarung bantal berwarna-warni. Memberi kesan ceria. Di salah satu dinding bahkan dicat dengan warna ungu dengan gambar kucing di tengahnya. Begitu masuk, kucing-kucing yang memiliki bulu tebal terlihat jinak asyik bermain dengan para pelanggan. Ada yang berlari-lari, ada yang duduk manis di kursi-kursi kecil, ada yang sibuk mencari perhatian pelanggan.

“Duduk, Tha.” Manee menarik kursi, mempersilakanku untuk duduk kemudian dia duduk di hadapanku. “Lucu ya? Aku udah beberapa kali ke sini. Khususnya kalau lagi bosan atau mood lagi berantakan. Minum minuman segar sambil main sama kucing, semuanya langsung membaik.”

Ada seekor kucing berbulu oranye menghampiri kami. Aku mengelus-ngelus leher kucing itu. Benar, bermain dengan binatang yang jinak selalu bisa membuat relaks.

“Kucingnya lucu-lucu banget.” Aku mengambil beberapa gambar. Mungkin nanti saat aku kembali ke Indonesia, aku akan mengunjungi cat cafe yang ada di sana.

“Yang oranye ini namanya Jackson.”

“Emang dia jantan?”

“Nggak tau deh. Itu sih nama buatanku sendiri. Habis dia sombong banget kalau sama aku. Jutek, nggak mau dekat-dekat. Jadi aku kasih sebutan ‘Jackson’. Kucing gaya selebriti. Hahaha.” Manee menyilangkan tangannya depan dada.

Aku tertawa mendengar alasannya. Bagaimana bisa dia menamankan kucing dengan alasan seperti itu? Kucing ini pasti punya nama lain. “Mungkin dia tahu kamu itu nyebelin.”

“Nyebelin? Emangnya aku nyebelin?” Telunjuk Manee menunjuk wajahnya sendiri. “Jadi aku itu nyebelin?”

Aku memutar otak. “Aku nggak ngomong kamu nyebelin, kan?”

“Barusan ngomong...”

“Ih, tadi itu cuma dugaan doang.”

Manee berdecak. Menyuruput green tea latte kencang-kencang. “Emang aku nyebelin beneran?”

Ya, ampun, betapa sensitifnya laki-laki ini. Baru kali ini aku bertemu laki-laki yang sensitif. “Aku nggak ngomong gitu. Tapi kalau kamu ngerasa, ya urusan kamu.”

Selama hampir satu jam, tidak ada pembicaraan di antara kami. Apakah Manee marah? Laki-laki aneh! Dia puraa-pura sibuk dengan ponselnya dan aku ikut pura-pura sibuk bermain dengan kucing.

Manee mengkerutkan keningnya. “Udah, ah. Ayo kita lanjut ke acara pokok kita.”

Kami beranjak dan kembali ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan. Tidak tahu mengapa, walau aku baru saja kenal dengannya, Manee terasa tidak asing bagiku. Seperti bertemu teman lama yang sudah tahu satu sama lain.

Related chapters

  • BE WITH YOU   BAB 8

    “There is a reason why we met. We don't meet anyone by chance!” - Avijeet DasJalanan sangat padat karena Chiang Mai sedang dibanjiri turis dari seluruh dunia. Aku bisa melihat di sepanjang jalan turis-turis berjalan ke sana ke mari. Butuh waktu yang tidak lama untuk sampai ke tempat tujuan tapi akhirnya kami sampai juga. Tempat ini bernama Mae Jo University. Di tempat ini aku dan Manee akan menikmati festival Yee Peng.Festival Yee Peng adalah festival yang diadakan di bulan November setiap tahunnya. Kata Manee, festival ini salah satu festival yang selalu ditunggu oleh banyak orang sama seperti pergantian tahun penanggalan Cina. Di Chiang Mai festival ini diadakan dua sampai tiga kali dalam waktu yang berdekatan dalam setahun. Ritual utama dalam festival Yee Peng adalah menerbangkan lampion bersama-sama.Lautan manusia dari berbagai negara duduk rapi di ata

  • BE WITH YOU   BAB 9

    “Leave something for someone but don’t leave someone for something.” – Enid BlytonAku menunggu taksi yang dinaiki Brian kembali melaju, setelah itu melangkahkan kaki dengan cepat memasuki lift apartemen. Aku ingin memastikan Manee sudah pulang dan ada di dalam apartemennya. Jujur, aku sangat khawatir. Sesampainya di lantai sepuluh, aku memencet bel pintu apartemen Manee dengan tidak sabar. Entah berapa kali, aku tidak sadar.Ada suara kresek kresek dari mesin perangkat bel menandakan ada orang di dalam sana. Semoga itu Manee.“Sorry, aku lagi nggak mood. Lagi nggak mau diganggu. Ngerti kan, Tha?” Dia tidak membuka pintunya.Aku sedikit speachless, bingung mau menjawab apa. Rasanya aneh lihat Manee seperti ini. Manee yang biasa perhatian, berubah menjadi cuek. Kuputuskan untuk tidak menjawab dan langsung pergi ke apartemen Tante Tantri. Bukannya

  • BE WITH YOU   BAB 10

    "You fall in love, and nothing seems truly scary anymore, and life is one big possibility?” - Jenny HanAku memandangi tumpukan pakaian di atas sofa. Tiba-tiba pikiranku penuh dengan rasa penasaran. Bagaimana kalau aku memakainya? Apa pendapat dan penilaian yang akan cowok itu berikan? Duh, buat apa aku memikirkan hal seperti ini, sih? Mengapa aku harus peduli dengan pendapat atau penilaian dari Brian, cowok yang baru sekali kutemui. Toh, dia tidak akan peduli dengan pakaian yang kupakai.“Thalia? Gue udah di lobby,"ucapnya singkat saat aku mengangkat panggilannya.Mengapa cepat sekali? Meski rasa ragu masih terus membayangiku, tapi mau tidak mau aku harus turun. Salahku. “Aku turun, ya.”Sesampainya di lantai dasar, Brian dengan gaya santainya terlihat berdiri di dekat pintu utama. Dia membawa satu tas kamera berwarna cokelat di bahu kirinya. Tas kame

  • BE WITH YOU   BAB 11

    “I think in a moment of weakness you might surprise your self.” – Lisa KleypasTadinya aku ingin menjadi batu, keras dengan pemikiranku dan kokoh untuk terus menilai kalau Manee yang salah. Namun aku sadar, tanpa Manee mungkin sejak kemarin aku akan mengalami kesulitan. Aku tahu Manee laki-laki yang baik di balik sikapnya yang terkadang membuatku sebal. Aku tidak harusnya marah pada Manee. Dia pasti punya alasan mengapa malam itu meninggalkanku begitu saja.Aku membawa satu kotak biskuit cokelat yang tadi pagi aku beli dari mini market. Rencananya ini akan menjadi gift permintaan maaf karena aku sudah marah-marah padanya. Kupencet bel apartemen Manee dan tidak butuh waktu yang lama untuk menunggu Manee membuka pintu.Kami berhadapan, sama-sama diam. Aku bingung ingin mengatakan apa dan sepertinya Manee juga merasakan hal yang sama.“Hai,” aku dan Manee mengucapkan kata ya

  • BE WITH YOU   BAB 12

    “Memories warm you up from the inside but they also tear you apart.” – Haruki Murakami Waktu terus jalan dan lo mau nyiain? Pertanyaan Brian setengah jam yang lalu dalam ponsel. Iya juga, beberapa hari lagi aku akan pulang ke Indonesia. Selama kondisiku baik, aku harus dapat memanfaatkan waktu menikmati Chiang Mai semaksimal mungkin. Setelah memikirkan banyak hal dan menjelaskan sosok Brian pada keluarga Om Dahlan, aku memutuskan untuk meminjam mobil mereka agar lebih puas dan merasa aman. “Gue yang nyetir, lo yang merhatiin GPS.” Brian mengambil kunci dari tanganku lalu mempersilakanku untuk masuk ke mobil. Aku menyalakan GPS di ponsel. Rencananya kami akan mengunjungi kebun binatang di sini. Kata Brian, di dalam kebun binatang Chiang Mai ada banyak binatang yang tidak ada di Indonesia misalnya Pinguin dan Koala. Tidak usah jauh-jauh ke Australia buat melihat koala, di Thailand pun ada. Aku jadi excited

  • BE WITH YOU   BAB 13

    “As soon as you stop wanting something, you get it.” – Andy WarholBrian membidik kameranya ke sana ke mari. Mengambil gambar berbagai bunga. Royal Flora Ratchaphruek National Park tidak begitu ramai karena hari ini weekday. Kebanyakan rombongan anak sekolah dan turis yang terlihat memenuhi masing-masing bagian taman. Kami sudah mengunjungi beberapa taman, dari mulai Sawasdee Garden hingga Bonsai Garden.Taman yang paling aku suka adalah Sawasdee Garden. Taman yang dipenuhi berbagai bunga yang tidak begitu tinggi. Yang paling menarik adalah adanya sungai buatan yang berisi air hangat dengan asap yang mengepul. Seperti di negeri dongeng, taman milik sebuah kerajaan yang indah.“Tha,” Brian berbicara di balik kameranya.“Ya?”Lensa kamera Brian kini mengarah padaku. “Pacar lo nggak marah, lo ke sini sendirian?”“Pacar?” aku tertawa pelan.

  • BE WITH YOU   BAB 14

    “They always say time changes things, but you actually have to change them yourself.” – Andy WarholPukul lima pagi tadi Brian menjemputku untuk pergi ke terminal bis bersama, menaiki bis dengan jurusan Chiang Rai. Menurut penjual tiket, kalau tidak macet, perjalanan ke Chiang Rai memakan waktu dua sampai tiga jam.Aku masih sedikit ngantuk karena merasa belum puas tidur, namun pemandangan yang asing seiring berjalannya bis membuat mataku tidak bisa tertutup. Terkadang, aku lebih suka menikmati jalanan ketika sedang pergi ke sebuah tempat dibandingkan tempat itu sendiri. Lebih menarik dan memiliki cerita yang berbeda. Begitu pun dengan Elga.Kami sejak kecil terbiasa menikmati jalanan, berlomba membaca tulisan-tulisan di jalan, memilih mobil terbagus, berpura-pura sedang dikejar sesuatu. Bahkan kami sampai tertidur dengan sendirinya karena terlalu bersemangat menikmati jalanan. Mama biasanya ikut-ikutan dan papa s

  • BE WITH YOU   BAB 15

    “Sometimes love means letting go when you want to hold on tighter.” – Melissa Marr Manee memintaku menemaninya pergi ke pasar untuk berbelanja bahan makanan. Menurutnya, aku juga harus mengunjungi pasar tradisional di sini. Tante Tantri juga menitip beberapa bahan makanan. Sebenarnya aku tidak begitu ingin. Maksudku, aku sedang tidak bergairah untuk berjalan-jalan hari ini. Mengingat sepuluh jam lagi aku akan berpisah dengan Brian. Sepertinya aku tidak usah bertemu lagi dengannya. Buat apa? Dia akan pergi, keliling dunia, dan mungkin bertemu dengan wanita lain, lalu melupakanku. Ah, aku ini kenapa? Bukankah keliling dunia itu hak semua orang? Bukankah meninggalkan sesuatu itu adalah salah satu langkah untuk bertemu dengan sesuatu yang baru dan berbeda? “Kamu kenapa?” Manee melirikku sambil tetap fokus menyetir. Aku menghela napas. “Aku kenapa?” “Iya, dari tadi diam. Ngelamun? Ada yang kamu pikirin?” “Ngg

Latest chapter

  • BE WITH YOU   The Ending

    Aku sengaja membuka kaca pesawat, melihat gumpalan awan yang bertebaran. Langit hari ini cerah sekali, aku tidak mau melewatkannya. Pemandangan yang indah selalu berhasil membuat nyaman di mana pun berada. Bukan hanya pemandangan ini yang membuat aku merasa nyaman, tetapi sentuhan kepala Brian yang sejak tadi menyender di bahuku, tertidur. Begitulah Brian. Semakin sering bertemu dengannya, semakin aku mengenalnya. “Brian, bangun!” Aku mengelus pipinya. “Bentar lagi kita mendarat.” Brian menguap. “Tugasnya udah beres?” Aku membuka mini notebook. Sejak diberi benda ini oleh Brian, aku jadi lebih senang menulis apa pun di sini. “Ke Melbourne Zoo, terus ketemu binatang laut di Sea Life Melbourne Aquarium, ke tempat gratisan Royal Botanic Gardens sama Shrine of Remembrance, lanjut ke National Gallery of Victoria. Sisanya kita atur bareng.” “Oh ya, berat kamu sekarang berapa?” “Kenapa memang?” “Nggak, nggak kenapa-kenapa.”

  • BE WITH YOU   BAB 20

    “I am a big believer that in life, things happen the way they are supposed to.”―Kristin Harmel,When We Meet Again Rasanya seperti mimpi yang beberapa kali aku dapati di malam hari. Bertemu seseorang yang secara singkat pernah kukenal untuk kedua kali di tempat berbeda tanpa kuduga. Apa mungkin dia datang ke mari dan sengaja menemuiku? Atau ini hanya sekadar sebuah kebetulan saja? Brian terkekeh. “Lo udah makan belum? Bengong mulu, takut gue dilihatin kayak gitu.” “Hah?” “Tha? Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk. Sadar, Thalia.... Ini kenyataan, ini kenyataan... “Nah, kayaknya lo belum makan makanya jadi kayak patung gini. Pak, ke Kemang ya.” Brian menepuk bahu bapak supir. Aku dan Brian saling diam. Beberapa kali Brian mengajakku berbicara, menanyakan tentang banyak hal, tapi entah mengapa yang aku bisa lakuk

  • BE WITH YOU   BAB 19

    “Sometimes the questions are complicated and the answers are simple.” – Dr. Seuss Manee sudah semakin sukses. Tadi pagi dia menghubungiku, memberi tahu berita bahagia mengenai salah satu impian dia yang selama ini ditunggu akan segera tergapai. Salah satu novel best seller miliknya akan dibuat menjadi versi film yang dibintangi aktor dan aktris Thailand terkenal. Dia juga telah turun dan terlibat langsung dalam kegiatan casting. Selepas dari liburan ke Chiang Mai beberapa bulan lalu, aku merasa lebih baik. Aku memilih mengambil sisi positif dalam segala hal, melupakan yang dianggap tidak berguna lagi untuk diingat, memaafkan kesalahan mereka yang telah mengkhianatiku. Aku juga sudah dapat sedikit berbicara serius dan terbuka pada Mama. Begitu juga Mama yang sudah dapat memahami perasaan anak-anaknya, mengurangi pembicaraan tentang Papa. Setidaknya berkurang sedikit. Terkadang, segalanya terasa sakit ka

  • BE WITH YOU   BAB 18

    “You have the rest of your lives to catch up together. After all, soulmates always end up together. Best friends stay with you for ever.” – Cecelia AhernAkhirnya, hari itu datang juga. Aku harus kembali ke Indonesia. Waktu berjalan begitu cepat dan aku sangat berterimakasih dengan semua orang yang menemaniku selama di sini. Setelah berulang kali mengecek koper merapikan barang bawaan yang semakin banyak, mengelilingi apartemen memastikan tidak ada yang tertinggal, merapikan tempat tidur, dan mengembalikan kondisi apartemen seperti semula. I’m ready to come back home.Aku naik ke atas, menghampiri apartemen Tante Tantri. Hari ini weekend sehingga aku pastikan mereka semua ada di apartemen. Tante Iren dengan semangat menyuruhku untuk masuk, memintaku ikut sarapan bersama mereka. Nadia baru saja mandi, melihatku datang dia menghampiriku, bertanya tentang koper, baju yang aku pakai.Tante Tant

  • BE WITH YOU   BAB 17

    “When someone loves you, the way they talk about you is different. You feel safe and comfortable.” – Jess C. ScottTadi malam aku menangis. Selepas Brian pergi melanjutkan gap year, masuk ke dalam taksi untuk pergi ke terminal, dan melambaikan tangan, aku sadar kalau hanya waktu yang bisa menjawabnya. Apakah nanti kami akan benar bertemu lagi? Apakah waktu akan berpihak pada kami?Setelah mandi, aku berencana untuk meminjam mobil Om Dahlah, kemudian pergi ke tempat penjual oleh-oleh. Sebenarnya malam ini ada pasar malam yang sering disebut Night Bazzar. Menjadi satu tempat yang tidak lepas dari para turis dan rasanya ingin mencoba datang. Tapi karena aku sendiri, aku lebih memilih jam yang aman dan juga tempat yang aman.Aku mengendarai mobil dengan mengandalkan GPS, mencari letak pusat oleh-oleh terdekat. Sesuai rekomendasi Tante Iren, di dekat apartemen ada banyak kios pinggir jalan yang menjual berbagai bar

  • BE WITH YOU   BAB 16

    “I want her to melt into me, like butter on toast. I want to absorb her and walk around for the rest of my days with her encased in my skin. I want.” – Sara Gruen Brian tampak terkejut melihat emosiku yang tiba-tiba meluap. Iya, aku menangis di sampingnya, mengeluarkan semua yang ingin kukeluarkan, mengeluarkan rasa bersalah yang sedikit demi sedikit menyiksaku perlahan. Tadinya Brian mengajakku untuk pergi ke tempat wisata, menghabiskan waktu terakhir kami sebelum Brian melanjutkan aktivitas gap year ke Laos. Tapi saat melihat Brian, aku memilih mengajaknya ke Villlage Coffee, menghabiskan waktu bersama di bawah terik matahari siang dan belaian angin sejuk Chiang Mai. Brian tidak langsung menghakimiku, bertanya aku kenapa, ada apa denganku sampai aku menangis kencang seperti orang kehilangan kendali. Dia hanya diam, membiarkanku menangis sampai aku puas. Sesekali menyentuh bahuku, menepuk pelan, memberi kenyamanan yang aku butuhkan. Dua

  • BE WITH YOU   BAB 15

    “Sometimes love means letting go when you want to hold on tighter.” – Melissa Marr Manee memintaku menemaninya pergi ke pasar untuk berbelanja bahan makanan. Menurutnya, aku juga harus mengunjungi pasar tradisional di sini. Tante Tantri juga menitip beberapa bahan makanan. Sebenarnya aku tidak begitu ingin. Maksudku, aku sedang tidak bergairah untuk berjalan-jalan hari ini. Mengingat sepuluh jam lagi aku akan berpisah dengan Brian. Sepertinya aku tidak usah bertemu lagi dengannya. Buat apa? Dia akan pergi, keliling dunia, dan mungkin bertemu dengan wanita lain, lalu melupakanku. Ah, aku ini kenapa? Bukankah keliling dunia itu hak semua orang? Bukankah meninggalkan sesuatu itu adalah salah satu langkah untuk bertemu dengan sesuatu yang baru dan berbeda? “Kamu kenapa?” Manee melirikku sambil tetap fokus menyetir. Aku menghela napas. “Aku kenapa?” “Iya, dari tadi diam. Ngelamun? Ada yang kamu pikirin?” “Ngg

  • BE WITH YOU   BAB 14

    “They always say time changes things, but you actually have to change them yourself.” – Andy WarholPukul lima pagi tadi Brian menjemputku untuk pergi ke terminal bis bersama, menaiki bis dengan jurusan Chiang Rai. Menurut penjual tiket, kalau tidak macet, perjalanan ke Chiang Rai memakan waktu dua sampai tiga jam.Aku masih sedikit ngantuk karena merasa belum puas tidur, namun pemandangan yang asing seiring berjalannya bis membuat mataku tidak bisa tertutup. Terkadang, aku lebih suka menikmati jalanan ketika sedang pergi ke sebuah tempat dibandingkan tempat itu sendiri. Lebih menarik dan memiliki cerita yang berbeda. Begitu pun dengan Elga.Kami sejak kecil terbiasa menikmati jalanan, berlomba membaca tulisan-tulisan di jalan, memilih mobil terbagus, berpura-pura sedang dikejar sesuatu. Bahkan kami sampai tertidur dengan sendirinya karena terlalu bersemangat menikmati jalanan. Mama biasanya ikut-ikutan dan papa s

  • BE WITH YOU   BAB 13

    “As soon as you stop wanting something, you get it.” – Andy WarholBrian membidik kameranya ke sana ke mari. Mengambil gambar berbagai bunga. Royal Flora Ratchaphruek National Park tidak begitu ramai karena hari ini weekday. Kebanyakan rombongan anak sekolah dan turis yang terlihat memenuhi masing-masing bagian taman. Kami sudah mengunjungi beberapa taman, dari mulai Sawasdee Garden hingga Bonsai Garden.Taman yang paling aku suka adalah Sawasdee Garden. Taman yang dipenuhi berbagai bunga yang tidak begitu tinggi. Yang paling menarik adalah adanya sungai buatan yang berisi air hangat dengan asap yang mengepul. Seperti di negeri dongeng, taman milik sebuah kerajaan yang indah.“Tha,” Brian berbicara di balik kameranya.“Ya?”Lensa kamera Brian kini mengarah padaku. “Pacar lo nggak marah, lo ke sini sendirian?”“Pacar?” aku tertawa pelan.

DMCA.com Protection Status