“There is a reason why we met. We don't meet anyone by chance!” -
Jalanan sangat padat karena Chiang Mai sedang dibanjiri turis dari seluruh dunia. Aku bisa melihat di sepanjang jalan turis-turis berjalan ke sana ke mari. Butuh waktu yang tidak lama untuk sampai ke tempat tujuan tapi akhirnya kami sampai juga. Tempat ini bernama Mae Jo University. Di tempat ini aku dan Manee akan menikmati festival Yee Peng.
Festival Yee Peng adalah festival yang diadakan di bulan November setiap tahunnya. Kata Manee, festival ini salah satu festival yang selalu ditunggu oleh banyak orang sama seperti pergantian tahun penanggalan Cina. Di Chiang Mai festival ini diadakan dua sampai tiga kali dalam waktu yang berdekatan dalam setahun. Ritual utama dalam festival Yee Peng adalah menerbangkan lampion bersama-sama.
Lautan manusia dari berbagai negara duduk rapi di atas rumput halaman Mae Jo Univesity. Semua sedang sibuk ikut menyiapkan festival ini. Di beberapa sisi terlihat para penari yang sedang melakukan gladi resik dan para Biksu yang mulai mempersiapkan ritual.
Sekarang sudah masuk senja. Manee mengajakku untuk berfoto, mengabadikan moment. Dia juga mengajakku untuk ikut duduk di atas rumput, berkumpul bersama turis lain, dan berbicara tentang berbagai hal. Yang paling sering dajak bicara oleh turis adalah Manee. Dia bukan lagi sebagai guide-ku melainkan telah menjadi guide para bule lainnya yang tidak henti bertanya tentang Thailand. Kami juga menikmati makanan bersama. Tidak sedikit yang menjual makanan di sekitar kami. Semakin langit menjadi gelap, semakin banyak turis yang berdatangan.
“Mau lampion yang mana?” tanya Manee sambil menunjukan jejeran lampion yang terletak tidak jauh dari kami. “Makin aneh bentuknya, makin mahal. Tapi tenang, aku yang bayar. Kan aku the best of guide in the world.”
Ingin rasanya mengacak-ngacak rambutnya. Tapi tidak jadi. “Yang polos aja, nanti kayak mereka.” Aku menunjuk anak-anak bule berambut pirang yang sibuk melukis dan menggambar lampion polos mereka sendiri. “Bisa nulis apa aja deh.”
“Kalau gitu tunggu di sini. Aku yang beli ke sana. Entar kamu lupa lagi tempat kita duduk ini. Jadi anak hilang, deh.”
Aku berdecak. “Ck, aku nggak sebodoh itu kali!”
Manee bangkit lalu dengan cepat pergi ke pinggir halaman. Dia terlihat sedikit melakukan perbincangan dengan si penjual. Dari deretan penjual lampion, dia memilih untuk membeli di satu penjual yang tidak membawa banyak macam lampion. Penjual yang sudah terlihat separuh baya, berkumis, dan memakai pakaian seadanya.
Tidak lama Manee kembali duduk di hadapanku. Dia memberiku satu buah lampion berwarna putih polos yang kalau diterbangkan akan berbentuk seperti tabung besar. “Yang polos, kan?”
Aku mengangguk lalu dengan cepat mengeluarkan pulpen dari dalam tas. Sedikit melirik lampion milik yang lain, aku bisa melihat banyak kalimat harapan yang ditulis di lampion mereka. Mungkin aku juga bisa menulis hal yang sama? Aku mencoba berpikir.
Forget the bad and focus on the good.
Kalimat itu tiba-tiba terlintas di benakku. Bukan harapan, tapi menjadi prinsip baru yang harus aku lakukan mulai detik ini. Tidak ada lagi waktu untuk memikirkan masalah Indy dan Bayu. Tidak ada lagi waktu untuk terlalu serius mendengar ocehan mama tentang papa. Dan tidak ada lagi waktu untuk mengeluh kalau Tuhan tidak sedang berpihak padaku. Aku hanya perlu move on, kembali membuka hati pada yang lain. Menerima kenyataan dan berjuang menjalani hidup.
“Aku suka kata-katanya,” mata Manee fokus pada lampionku. “Ada saran? Buatku tulis di sini?”
“Yah, yang penulis kan kamu, masa kamu kehabisan kata-kata, sih?”
“Penulis juga manusia.”
Aku tertawa, tetap saja, bukannya penulis pintar merangkai kata dan selalu memiliki ide yang bagus? “Siapa bilang penulis itu dinosaurus? Manusia lah.”
“Kalau gitu, aku nulis ini aja.”
Tangan Manee bergerak-gerak menulis kalimat dengan Bahasa Thailand yang tentu aku tidak pahami. “Itu apa?”
Manee mengangkat lampion miliknya lalu menatapku dengan sorotan hangat. Pelan-pelan dia membacakan kalimat di lampion. “Keu shob Thalia!”
Entah kenapa, meski aku tidak mengerti dengan apa yang dia tulis dan ucapkan, ada sesuatu yang aneh menembus ke hatiku pelan-pelan. “Aku? Kenapa ada nama aku? Artinya?”
“Kamu nggak perlu tahu.”
“Kenapa? Aku harus tahu, ada namaku di situ!” Aku bersikeras membuat Manee mengaku. Atau aku bisa minta orang Thailand lain membaca dan menerjemahkannya padaku.
Dia kembali menatapku dengan sorotan hangat. Kembali aku merasakan hal aneh itu. Pandangan kami bertemu. Kami sama-sama diam. Tidak lama dia tersenyum.
“Tenang, bukan suatu hal yang buruk. Ini cuma kata penyemangat buat kamu kok.”
“Oh.. gitu.”
Manee mengangguk. “Iya semacam ‘Semangat Thalia’.”
Langit semakin gelap tanpa disadari dan berbagai pertunjukan satu persatu diadakan. Dari mulai tarian sampai Biksu yang mengutarakan doa yang walau aku tidak mengerti namun tetap bisa merasakan makna religi di dalamnya. Jujur, doa yang diutarakan para Biksu membuat bulu kudukku merinding. Apalagi melihat ekspresi Manee yang sangat serius. Sejak tadi, obor-obor khusus sudah ditancapkan di sekeliling kami dan kini obor-obor yang jumlahnya tidak terkira itu mulai dinyalakan.
Aku suka suasana ini. Langit yang gelap, cahaya api dari obor, iringan doa dari para Biksu, dan berbagai ekspresi yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menghadiri festival ini. Terasa hangat dan kekeluargaan. Kami semua tidak saling kenal, tapi kami semua sama-sama diam menikmati acara. Tidak terasa, sampailah di puncak acara. Para Biksu mulai membimbing kami semua untuk menerbangkan lampion.
Menerbangkan lampion tidak sesulit yang aku bayangkan namun tidak juga mudah. Lampion harus ditegakan, ditaruh di atas api obor terlebih dahulu. Kemudian membiarkan panas api obor masuk ke dalam lampion. Seperti cara menerbangkan balon udara. Agak lama sampai lampion milikku sudah bisa berdiri sendiri. Manee belum menerbangkan lampionnya. Dia memilih membantuku duluan. Begitu pun para bule di samping kami. Padahal kami tidak saling mengenal, hanya bertemu beberapa jam lalu, tapi rasanya kami bagai keluarga, saudara, teman.
Lama kelamaan, lampion yang kupegang terasa semakin ringan, seolah mengatakan, kalau dia sebentar lagi siap untuk dilepas. Setelah Manee memeriksa terlebih dahulu apakah lampionnya benar-benar siap untuk diterbangkan, dia memberi arahan padaku dan bule lainnya untuk pelan-pelan melepas lampion. Lampion terbang ke langit. Begitu pun seterusnya yang kami lakukan. Menerbangkan satu-persatu lampion ke langit.
Untuk sesaat puluhan lampion yang terbang ke langit terlihat seperti kunang-kunang. Tidak terasa air mata menggenang di mataku. Terharu karena keindahannya yang luar biasa. Aku mengambil kamera dari dalam tas, mengabadikan momen ini. Ah, aku minta tolong Manee saja untuk mengambil fotoku sekarang. Berdiri di bawah kunang-kunang buatan.
“Manee?” aku refleks berteriak agak kencang karena Manee tidak lagi di sampingku, di belakangku, atau juga di depanku. Dia menghilang entah kemana.
Dia kemana? Apa tadi dia izin ke sebuah tempat tapi aku tidak mendengarnya? Apa dia ke toilet? Aku segera mengambil ponsel dari dalam tas. Tapi tunggu, aku tidak punya nomer ponsel Manee. Sial! Betapa bodohnya aku. Harusnya sejak awal aku meminta nomer ponsel Manee. Mentang-mentang kami satu apartemen, tidak pernah berpikir untuk meminta nomer ponselnya.
Aku mencoba berjalan menerobos keramaian. Berharap dapat menemukan sosok Manee tapi hasilnya nihil. Aku bukan takut kehilangan Manee. Aku takut sendirian di dalam kerumunan orang yang tidak kukenal sama sekali. Aku seperti kehilangan petunjuk arah dan rasa takut mulai menyelimutiku. Aku harus melakukan apa? Kepalaku tiba-tiba terasa sakit dan napasku terasa sesak. Kerumunan orang dan asap obor seolah berterbangan, masuk ke rongga hidungku perlahan. Melihat cahaya dari api obor membuat kepalaku semakin sakit. Aku berusaha tetap fokus mencari Manee, menyeimbangkan badan yang terasa menjadi lebih lemas.
Dia di mana? Aku....
“Are you fine?” Seseorang memegang lenganku.
Manee? Bukan, dia bukan Manee. Dia laki-laki bertubuh ideal dengan kaos putih tanpa lengan dan celana tiga perempat. Matanya bulat, hidungnya tidak begitu mancung, dan bibirnya sedikit tebal di bagian bawah. Aku bisa melihat telingannya yang sedikit caplang.
“Aku baik,” jawabku pakai bahasa Indonesia sambil memanfaatkan peganganya untuk menstabilkan tubuh. Entah mengapa rasanya keahlianku dalam berbahasa internasional menghilang seketika. “Makasih.”
“Lo orang Indonesia?” Ah, dia bisa bahasa Indonesia? Aku mengangguk. Dari nada bicaranya, aku bisa memperkirakan kalau dia orang Indonesia yang tinggal di kota besar. Mungkin Jakarta atau Bandung. Atau kota lainnya.
“Gue juga orang Indonesia. Lo beneran nggak apa-apa? Gue lihat lo kayak lagi nyari sesuatu. Ada yang hilang?” lanjutnya.
Di saat seperti ini masih saja aku merasa takut bila ditipu oleh orang asing. Tapi aku tidak punya solusi lain. “Ah, iya aku cari teman. Dia guide-ku.”
“Memang dia kemana?”
Aku menghela napas. “Bisa kita keluar dari kerumunan ini dulu? Aku agak sesak napas.”
Kami berjalan keluar dari kerumunan orang. Menyender di dinding yang memiliki tinggi sekitar satu meter. Mataku tidak berhenti melihat ke banyak arah, mencari sosok Manee.
“Jadi dia kemana?”
Aku menggeleng, “Kalau aku tahu, aku nggak akan bingung kayak gini.”
“Udah dihubungi?”
“Nggak punya nomer HPnya.”
“Kalau gitu, lo tinggal di mana? Gue anterin lo. Sama aja kalau lo terus di sini tapi nggak punya nomer HP dia. Susah nemuinnya. Gimana?”
Gimana? Apa aku menyetujui saja? Tapi dia orang asing walau sama-sama orang Indonesia. Orang jahat selalu ada di mana pun, kan? Aku memutar otak, berusaha berpikir sejernih mungkin. Menimbang segala sebab dan akibat.
Dia malah tertawa pelan melihat aku yang kebingungan. “Tenang, gue tulus mau bantuin lo balik. Gue janji nggak akan ngapa-ngapain lo deh. Gimana? Dari pada lo luntang-lantung di sini sendirian. Guide lo juga nggak tahu kan di mana? Makin malam justru makin bahaya buat orang asing kayak lo. Perempuan lagi. Sendirian lagi.”
Apa yang dikatakan laki-laki ini benar. Ya sudah, aku hanya bisa pasrah saja. “Aku tinggal di Muse Apartement,” kataku ragu.
“Oke, kita ke sana naik taksi aja.”
“Jangan, nanti ditipu, jalannya diputerin.”
“Nggak, kita pakai GPS dan gue bisa sedikit bahasa Thailand kok. Pokonya lo tenang aja. Tapi pasti taksi penuh, mungkin agak susah nyarinya.”
Bukan hal aneh di saat hari penting seperti ini taksi penuh. Apa lagi wisatawan lagi menumpuk di mana-mana. Dia mengajakku untuk mencari taksi di jalanan yang agak sepi agar tidak berebut penumpang. Di langit, lampion yang terlihat seperti kunang-kunang masih berterbangan dan kembang api menyala menyempurnakan suasana.
Laki-laki itu mencolek lenganku. “Gue Brian. Lagi jalani gap year. Thailand jadi negara keempat. Ya, kita harus saling kenal supaya lo lebih ngerasa tenang. Lo?”
“Aku Thalia.”
Setelah aku menyebutkan namanku, satu taksi kosong berhenti di depan kami. Sepanjang perjalanan aku berdoa dalam hati. Meminta perlindungan Tuhan agar dapat sampai di apartemen dengan selamat dan Manee tidak apa-apa. Ah, Manee kamu di mana? Kamu baik-baik saja, kan? Semoga.
Keu shob Thalia = Aku suka Thalia
“Leave something for someone but don’t leave someone for something.” – Enid BlytonAku menunggu taksi yang dinaiki Brian kembali melaju, setelah itu melangkahkan kaki dengan cepat memasuki lift apartemen. Aku ingin memastikan Manee sudah pulang dan ada di dalam apartemennya. Jujur, aku sangat khawatir. Sesampainya di lantai sepuluh, aku memencet bel pintu apartemen Manee dengan tidak sabar. Entah berapa kali, aku tidak sadar.Ada suara kresek kresek dari mesin perangkat bel menandakan ada orang di dalam sana. Semoga itu Manee.“Sorry, aku lagi nggak mood. Lagi nggak mau diganggu. Ngerti kan, Tha?” Dia tidak membuka pintunya.Aku sedikit speachless, bingung mau menjawab apa. Rasanya aneh lihat Manee seperti ini. Manee yang biasa perhatian, berubah menjadi cuek. Kuputuskan untuk tidak menjawab dan langsung pergi ke apartemen Tante Tantri. Bukannya
"You fall in love, and nothing seems truly scary anymore, and life is one big possibility?” - Jenny HanAku memandangi tumpukan pakaian di atas sofa. Tiba-tiba pikiranku penuh dengan rasa penasaran. Bagaimana kalau aku memakainya? Apa pendapat dan penilaian yang akan cowok itu berikan? Duh, buat apa aku memikirkan hal seperti ini, sih? Mengapa aku harus peduli dengan pendapat atau penilaian dari Brian, cowok yang baru sekali kutemui. Toh, dia tidak akan peduli dengan pakaian yang kupakai.“Thalia? Gue udah di lobby,"ucapnya singkat saat aku mengangkat panggilannya.Mengapa cepat sekali? Meski rasa ragu masih terus membayangiku, tapi mau tidak mau aku harus turun. Salahku. “Aku turun, ya.”Sesampainya di lantai dasar, Brian dengan gaya santainya terlihat berdiri di dekat pintu utama. Dia membawa satu tas kamera berwarna cokelat di bahu kirinya. Tas kame
“I think in a moment of weakness you might surprise your self.” – Lisa KleypasTadinya aku ingin menjadi batu, keras dengan pemikiranku dan kokoh untuk terus menilai kalau Manee yang salah. Namun aku sadar, tanpa Manee mungkin sejak kemarin aku akan mengalami kesulitan. Aku tahu Manee laki-laki yang baik di balik sikapnya yang terkadang membuatku sebal. Aku tidak harusnya marah pada Manee. Dia pasti punya alasan mengapa malam itu meninggalkanku begitu saja.Aku membawa satu kotak biskuit cokelat yang tadi pagi aku beli dari mini market. Rencananya ini akan menjadi gift permintaan maaf karena aku sudah marah-marah padanya. Kupencet bel apartemen Manee dan tidak butuh waktu yang lama untuk menunggu Manee membuka pintu.Kami berhadapan, sama-sama diam. Aku bingung ingin mengatakan apa dan sepertinya Manee juga merasakan hal yang sama.“Hai,” aku dan Manee mengucapkan kata ya
“Memories warm you up from the inside but they also tear you apart.” – Haruki Murakami Waktu terus jalan dan lo mau nyiain? Pertanyaan Brian setengah jam yang lalu dalam ponsel. Iya juga, beberapa hari lagi aku akan pulang ke Indonesia. Selama kondisiku baik, aku harus dapat memanfaatkan waktu menikmati Chiang Mai semaksimal mungkin. Setelah memikirkan banyak hal dan menjelaskan sosok Brian pada keluarga Om Dahlan, aku memutuskan untuk meminjam mobil mereka agar lebih puas dan merasa aman. “Gue yang nyetir, lo yang merhatiin GPS.” Brian mengambil kunci dari tanganku lalu mempersilakanku untuk masuk ke mobil. Aku menyalakan GPS di ponsel. Rencananya kami akan mengunjungi kebun binatang di sini. Kata Brian, di dalam kebun binatang Chiang Mai ada banyak binatang yang tidak ada di Indonesia misalnya Pinguin dan Koala. Tidak usah jauh-jauh ke Australia buat melihat koala, di Thailand pun ada. Aku jadi excited
“As soon as you stop wanting something, you get it.” – Andy WarholBrian membidik kameranya ke sana ke mari. Mengambil gambar berbagai bunga. Royal Flora Ratchaphruek National Park tidak begitu ramai karena hari ini weekday. Kebanyakan rombongan anak sekolah dan turis yang terlihat memenuhi masing-masing bagian taman. Kami sudah mengunjungi beberapa taman, dari mulai Sawasdee Garden hingga Bonsai Garden.Taman yang paling aku suka adalah Sawasdee Garden. Taman yang dipenuhi berbagai bunga yang tidak begitu tinggi. Yang paling menarik adalah adanya sungai buatan yang berisi air hangat dengan asap yang mengepul. Seperti di negeri dongeng, taman milik sebuah kerajaan yang indah.“Tha,” Brian berbicara di balik kameranya.“Ya?”Lensa kamera Brian kini mengarah padaku. “Pacar lo nggak marah, lo ke sini sendirian?”“Pacar?” aku tertawa pelan.
“They always say time changes things, but you actually have to change them yourself.” – Andy WarholPukul lima pagi tadi Brian menjemputku untuk pergi ke terminal bis bersama, menaiki bis dengan jurusan Chiang Rai. Menurut penjual tiket, kalau tidak macet, perjalanan ke Chiang Rai memakan waktu dua sampai tiga jam.Aku masih sedikit ngantuk karena merasa belum puas tidur, namun pemandangan yang asing seiring berjalannya bis membuat mataku tidak bisa tertutup. Terkadang, aku lebih suka menikmati jalanan ketika sedang pergi ke sebuah tempat dibandingkan tempat itu sendiri. Lebih menarik dan memiliki cerita yang berbeda. Begitu pun dengan Elga.Kami sejak kecil terbiasa menikmati jalanan, berlomba membaca tulisan-tulisan di jalan, memilih mobil terbagus, berpura-pura sedang dikejar sesuatu. Bahkan kami sampai tertidur dengan sendirinya karena terlalu bersemangat menikmati jalanan. Mama biasanya ikut-ikutan dan papa s
“Sometimes love means letting go when you want to hold on tighter.” – Melissa Marr Manee memintaku menemaninya pergi ke pasar untuk berbelanja bahan makanan. Menurutnya, aku juga harus mengunjungi pasar tradisional di sini. Tante Tantri juga menitip beberapa bahan makanan. Sebenarnya aku tidak begitu ingin. Maksudku, aku sedang tidak bergairah untuk berjalan-jalan hari ini. Mengingat sepuluh jam lagi aku akan berpisah dengan Brian. Sepertinya aku tidak usah bertemu lagi dengannya. Buat apa? Dia akan pergi, keliling dunia, dan mungkin bertemu dengan wanita lain, lalu melupakanku. Ah, aku ini kenapa? Bukankah keliling dunia itu hak semua orang? Bukankah meninggalkan sesuatu itu adalah salah satu langkah untuk bertemu dengan sesuatu yang baru dan berbeda? “Kamu kenapa?” Manee melirikku sambil tetap fokus menyetir. Aku menghela napas. “Aku kenapa?” “Iya, dari tadi diam. Ngelamun? Ada yang kamu pikirin?” “Ngg
“I want her to melt into me, like butter on toast. I want to absorb her and walk around for the rest of my days with her encased in my skin. I want.” – Sara Gruen Brian tampak terkejut melihat emosiku yang tiba-tiba meluap. Iya, aku menangis di sampingnya, mengeluarkan semua yang ingin kukeluarkan, mengeluarkan rasa bersalah yang sedikit demi sedikit menyiksaku perlahan. Tadinya Brian mengajakku untuk pergi ke tempat wisata, menghabiskan waktu terakhir kami sebelum Brian melanjutkan aktivitas gap year ke Laos. Tapi saat melihat Brian, aku memilih mengajaknya ke Villlage Coffee, menghabiskan waktu bersama di bawah terik matahari siang dan belaian angin sejuk Chiang Mai. Brian tidak langsung menghakimiku, bertanya aku kenapa, ada apa denganku sampai aku menangis kencang seperti orang kehilangan kendali. Dia hanya diam, membiarkanku menangis sampai aku puas. Sesekali menyentuh bahuku, menepuk pelan, memberi kenyamanan yang aku butuhkan. Dua
Aku sengaja membuka kaca pesawat, melihat gumpalan awan yang bertebaran. Langit hari ini cerah sekali, aku tidak mau melewatkannya. Pemandangan yang indah selalu berhasil membuat nyaman di mana pun berada. Bukan hanya pemandangan ini yang membuat aku merasa nyaman, tetapi sentuhan kepala Brian yang sejak tadi menyender di bahuku, tertidur. Begitulah Brian. Semakin sering bertemu dengannya, semakin aku mengenalnya. “Brian, bangun!” Aku mengelus pipinya. “Bentar lagi kita mendarat.” Brian menguap. “Tugasnya udah beres?” Aku membuka mini notebook. Sejak diberi benda ini oleh Brian, aku jadi lebih senang menulis apa pun di sini. “Ke Melbourne Zoo, terus ketemu binatang laut di Sea Life Melbourne Aquarium, ke tempat gratisan Royal Botanic Gardens sama Shrine of Remembrance, lanjut ke National Gallery of Victoria. Sisanya kita atur bareng.” “Oh ya, berat kamu sekarang berapa?” “Kenapa memang?” “Nggak, nggak kenapa-kenapa.”
“I am a big believer that in life, things happen the way they are supposed to.”―Kristin Harmel,When We Meet Again Rasanya seperti mimpi yang beberapa kali aku dapati di malam hari. Bertemu seseorang yang secara singkat pernah kukenal untuk kedua kali di tempat berbeda tanpa kuduga. Apa mungkin dia datang ke mari dan sengaja menemuiku? Atau ini hanya sekadar sebuah kebetulan saja? Brian terkekeh. “Lo udah makan belum? Bengong mulu, takut gue dilihatin kayak gitu.” “Hah?” “Tha? Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk. Sadar, Thalia.... Ini kenyataan, ini kenyataan... “Nah, kayaknya lo belum makan makanya jadi kayak patung gini. Pak, ke Kemang ya.” Brian menepuk bahu bapak supir. Aku dan Brian saling diam. Beberapa kali Brian mengajakku berbicara, menanyakan tentang banyak hal, tapi entah mengapa yang aku bisa lakuk
“Sometimes the questions are complicated and the answers are simple.” – Dr. Seuss Manee sudah semakin sukses. Tadi pagi dia menghubungiku, memberi tahu berita bahagia mengenai salah satu impian dia yang selama ini ditunggu akan segera tergapai. Salah satu novel best seller miliknya akan dibuat menjadi versi film yang dibintangi aktor dan aktris Thailand terkenal. Dia juga telah turun dan terlibat langsung dalam kegiatan casting. Selepas dari liburan ke Chiang Mai beberapa bulan lalu, aku merasa lebih baik. Aku memilih mengambil sisi positif dalam segala hal, melupakan yang dianggap tidak berguna lagi untuk diingat, memaafkan kesalahan mereka yang telah mengkhianatiku. Aku juga sudah dapat sedikit berbicara serius dan terbuka pada Mama. Begitu juga Mama yang sudah dapat memahami perasaan anak-anaknya, mengurangi pembicaraan tentang Papa. Setidaknya berkurang sedikit. Terkadang, segalanya terasa sakit ka
“You have the rest of your lives to catch up together. After all, soulmates always end up together. Best friends stay with you for ever.” – Cecelia AhernAkhirnya, hari itu datang juga. Aku harus kembali ke Indonesia. Waktu berjalan begitu cepat dan aku sangat berterimakasih dengan semua orang yang menemaniku selama di sini. Setelah berulang kali mengecek koper merapikan barang bawaan yang semakin banyak, mengelilingi apartemen memastikan tidak ada yang tertinggal, merapikan tempat tidur, dan mengembalikan kondisi apartemen seperti semula. I’m ready to come back home.Aku naik ke atas, menghampiri apartemen Tante Tantri. Hari ini weekend sehingga aku pastikan mereka semua ada di apartemen. Tante Iren dengan semangat menyuruhku untuk masuk, memintaku ikut sarapan bersama mereka. Nadia baru saja mandi, melihatku datang dia menghampiriku, bertanya tentang koper, baju yang aku pakai.Tante Tant
“When someone loves you, the way they talk about you is different. You feel safe and comfortable.” – Jess C. ScottTadi malam aku menangis. Selepas Brian pergi melanjutkan gap year, masuk ke dalam taksi untuk pergi ke terminal, dan melambaikan tangan, aku sadar kalau hanya waktu yang bisa menjawabnya. Apakah nanti kami akan benar bertemu lagi? Apakah waktu akan berpihak pada kami?Setelah mandi, aku berencana untuk meminjam mobil Om Dahlah, kemudian pergi ke tempat penjual oleh-oleh. Sebenarnya malam ini ada pasar malam yang sering disebut Night Bazzar. Menjadi satu tempat yang tidak lepas dari para turis dan rasanya ingin mencoba datang. Tapi karena aku sendiri, aku lebih memilih jam yang aman dan juga tempat yang aman.Aku mengendarai mobil dengan mengandalkan GPS, mencari letak pusat oleh-oleh terdekat. Sesuai rekomendasi Tante Iren, di dekat apartemen ada banyak kios pinggir jalan yang menjual berbagai bar
“I want her to melt into me, like butter on toast. I want to absorb her and walk around for the rest of my days with her encased in my skin. I want.” – Sara Gruen Brian tampak terkejut melihat emosiku yang tiba-tiba meluap. Iya, aku menangis di sampingnya, mengeluarkan semua yang ingin kukeluarkan, mengeluarkan rasa bersalah yang sedikit demi sedikit menyiksaku perlahan. Tadinya Brian mengajakku untuk pergi ke tempat wisata, menghabiskan waktu terakhir kami sebelum Brian melanjutkan aktivitas gap year ke Laos. Tapi saat melihat Brian, aku memilih mengajaknya ke Villlage Coffee, menghabiskan waktu bersama di bawah terik matahari siang dan belaian angin sejuk Chiang Mai. Brian tidak langsung menghakimiku, bertanya aku kenapa, ada apa denganku sampai aku menangis kencang seperti orang kehilangan kendali. Dia hanya diam, membiarkanku menangis sampai aku puas. Sesekali menyentuh bahuku, menepuk pelan, memberi kenyamanan yang aku butuhkan. Dua
“Sometimes love means letting go when you want to hold on tighter.” – Melissa Marr Manee memintaku menemaninya pergi ke pasar untuk berbelanja bahan makanan. Menurutnya, aku juga harus mengunjungi pasar tradisional di sini. Tante Tantri juga menitip beberapa bahan makanan. Sebenarnya aku tidak begitu ingin. Maksudku, aku sedang tidak bergairah untuk berjalan-jalan hari ini. Mengingat sepuluh jam lagi aku akan berpisah dengan Brian. Sepertinya aku tidak usah bertemu lagi dengannya. Buat apa? Dia akan pergi, keliling dunia, dan mungkin bertemu dengan wanita lain, lalu melupakanku. Ah, aku ini kenapa? Bukankah keliling dunia itu hak semua orang? Bukankah meninggalkan sesuatu itu adalah salah satu langkah untuk bertemu dengan sesuatu yang baru dan berbeda? “Kamu kenapa?” Manee melirikku sambil tetap fokus menyetir. Aku menghela napas. “Aku kenapa?” “Iya, dari tadi diam. Ngelamun? Ada yang kamu pikirin?” “Ngg
“They always say time changes things, but you actually have to change them yourself.” – Andy WarholPukul lima pagi tadi Brian menjemputku untuk pergi ke terminal bis bersama, menaiki bis dengan jurusan Chiang Rai. Menurut penjual tiket, kalau tidak macet, perjalanan ke Chiang Rai memakan waktu dua sampai tiga jam.Aku masih sedikit ngantuk karena merasa belum puas tidur, namun pemandangan yang asing seiring berjalannya bis membuat mataku tidak bisa tertutup. Terkadang, aku lebih suka menikmati jalanan ketika sedang pergi ke sebuah tempat dibandingkan tempat itu sendiri. Lebih menarik dan memiliki cerita yang berbeda. Begitu pun dengan Elga.Kami sejak kecil terbiasa menikmati jalanan, berlomba membaca tulisan-tulisan di jalan, memilih mobil terbagus, berpura-pura sedang dikejar sesuatu. Bahkan kami sampai tertidur dengan sendirinya karena terlalu bersemangat menikmati jalanan. Mama biasanya ikut-ikutan dan papa s
“As soon as you stop wanting something, you get it.” – Andy WarholBrian membidik kameranya ke sana ke mari. Mengambil gambar berbagai bunga. Royal Flora Ratchaphruek National Park tidak begitu ramai karena hari ini weekday. Kebanyakan rombongan anak sekolah dan turis yang terlihat memenuhi masing-masing bagian taman. Kami sudah mengunjungi beberapa taman, dari mulai Sawasdee Garden hingga Bonsai Garden.Taman yang paling aku suka adalah Sawasdee Garden. Taman yang dipenuhi berbagai bunga yang tidak begitu tinggi. Yang paling menarik adalah adanya sungai buatan yang berisi air hangat dengan asap yang mengepul. Seperti di negeri dongeng, taman milik sebuah kerajaan yang indah.“Tha,” Brian berbicara di balik kameranya.“Ya?”Lensa kamera Brian kini mengarah padaku. “Pacar lo nggak marah, lo ke sini sendirian?”“Pacar?” aku tertawa pelan.