Share

BAB 6

Penulis: Vani Vevila
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Somehow we all are burning ourselves as we constantly thinking about our past.” - Bunny Naidu

“Satu... dua.. tiga...”

Aku dan Bayu masing-masing membuka kotak di tangan kami. Kotak berwarna cokelat muda dengan tutup warna biru di tangan Bayu dan dengan tutup warna merah di tanganku.

Aku menyelipkan rambut panjangku ke belakang telinga, memperhatikan satu buah gantungan ponsel di dalam kotak. Gantungan ponsel itu memiliki tali warna emas dengan satu karakter super hero di ujungnya. “Superman?”

Bayu mengeluarkan gantungan dalam kotak. “Iya. Anggap aku itu Superman kamu.”

“Kenapa? Super hero kan banyak, kenapa pilih dia?” aku mengambil gantungan itu dari tangan bayu. “Aku baru tahu kalau kamu suka karakter ini.”

“Dari kecil aku anggap dia pelindung dan pembela kebenaran. Dan aku mau jadi pelindung dan pembela kebenaran buat kamu.”

“Kamu alay deh, Bay.” Aku menepuk bahunya kencang, merasa geli mendengar perkataannya yang sebenarnya menyentuh lubuk hatiku yang paling dalam.

“Kok malah dibilang alay? Aku serius tahu. Aku mau jadi super hero kamu mulai sekarang. Ya anggap aja satu tahun terakhir itu pelatihan. Ngerti, kan?”

Gimana tidak alay? Bayu yang sedikit cuek dan benci sama hal romantis berubah seperti pujangga. Hanya karena hari ini spesial. Tapi bagaimana pun, usaha dia untuk membuatku merasa senang dengan kata-katanya berhasil. Aku senang.

“Tuh, kan alay. Udah ah. Yang jelas, aku mau gantung ini di HP aku. Nggak boleh lepas sampai kapan pun.”

Bayu tertawa sambil mengambil isi kotak di tangannya. “Terserah mau digantung di mana, asal jangan dihilangin aja. Kalau kamu hilangin berarti kamu kehilangan replika aku. Nggak ada yang lindungin kamu lagi nanti. Terus ini?”

Jangan ngomong gitu... Aku bergumam dalam hati. Aku tidak ingin kehilangan Bayu. Siapa sih yang ingin kehilangan orang spesial? “Aku janji jaga pelindung aku. Oh ya itu koala. Kamu nggak tahu koala?”

“Bukan.... Tahulah ini koala. Tapi artinya apa?”

Sekarang giliran aku yang menjelaskan apa makna hadiah itu buat Bayu. “Aku suka koala kamu tahu, kan?” Bayu mengangguk. “Ya aku kasih apa yang aku suka buat kamu. Jaga baik-baik pembatas bukunya. Selalu pakai buat ngasih batas komik yang kamu baca kalau perlu. Atau simpan di tempat barang-barang berharga.”

Bayu mengangguk kemudian mengeluarkan satu komik One Piece dalam tasnya. Pembatas buku yang memiliki ujung koala duduk dia selipkan asal-asalan.

Tangan Bayu menggenggam tanganku, matanya menatap mataku dalam, dan kedua tangannya memelukku erat. “Happy first annyversarry, Tha.

Happy first anniversarry too,” jawabku lalu bibir Bayu menyentuh bibirku lembut.

He is not my first love but he is my first boy friend who gave me first kiss... And now he is my super hero...

****

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi berbicara satu patah kata pun dengan Indy dan Bayu. Apa pun alasannya, aku akan menggunakan berbagai cara agar tidak perlu berkomunikasi dengan mereka. Aku dan Indy juga sudah berpisah bangku, tidak lagi pulang bersama, dan semua penghuni sekolah satu-persatu tahu masalah kami. Memakluminya.

Tidak tahu apa yang Tuhan rencakan, sekarang Bayu berada tepat di sampingku. Rupanya dia sedang melakukan hal yang sama, hunting CD terbaru di toko CD langganan kami dulu. Dulu. Mungkin sekarang masih, hanya status kami saja yang berbeda. Sudah dua bulan seperti musuh dan kini bertemu kembali di tempat yang tidak terduga.

Awalnya aku ingin diam saja, tapi Bayu menyapaku duluan.

“Hai, Tha,” sapanya sambil membolak-balikan CD penyanyi kesukaannya, The Click Five.

Dengan hati-hati aku membalas sapaannya dengan senyuman. Mataku mengelilingi seluruh sudut toko, mencari sosok Indy. Tidak ada.

“Sendirian?”

Aku menganggukan kepala. “Nggak sama pacar lo?”

“Indy ada acara keluarga.”

Hening sejenak, kami tidak saling berbicara lagi. Ada sekitar sepuluh menit kami pura-pura sibuk mengamati CD dari satu rak ke rak lain. Aku memutuskan untuk pamit.

“Bayu, gue duluan.” aku menenteng dua CD menuju kasir. “Salam buat pacar lo.”

Bayu menahanku. “Sorry, buat peristiwa waktu itu. Gue nggak ada niat buat kayak gitu sama lo.”

Aku tertawa dengan terpaksa. “Nyantai aja, gue udah lupain.”

“Semua ada alasannya, Tha.”

Oke, aku akan meladeni Bayu. Lagipula, banyak pertanyaan yang dari dulu ingin kutanyakan padanya. “Alasan apa?”

“Lo ingat, kan, kenapa tiba-tiba kita jadi jauh? Jujur, waktu kita jadi jauh itu, gue mulai dekat sama Indy. Lebih tepatnya, cuma ada Indy di samping gue saat itu. Padahal gue harap lo yang ada di samping gue.”

“Dan kalian jadian di belakang gue? Nice...

“Bukan, bukan gitu. Lo dengerin gue dulu, Tha. Gue nggak ada niatan buat ngekhianati lo. Gue nggak ada niatan buat back street di belakang lo. Lo waktu itu terlalu sibuk sama urusan pribadi lo. Lo ingat, waktu itu lo lebih milih sibuk ngurusin kegiatan baru lo? Ikut komunitas pecinta tari. Setiap weekend lo lebih milih kumpul sama mereka dibandingkan ngabisin waktu sama gue.”

Jelas aku ingat semuanya. Tapi bukannya Bayu yang salah? Menolak ajakanku. “Tapi gue udah sering ngajak lo, lo aja yang nggak mau ikut, Bayu.”

“Dan itu alasan kita bisa jadi jauh. Karena lo nggak mau pahami gue, Tha. Lo terlalu sibuk sama urusan lo sendiri. Saat gue kangen lo, gue pengin ngabisin waktu bareng lo kayak biasa, lo bilang nggak bisa. Di situ gue sadar, lo berubah.”

Berubah. Apa tidak ada kata-kata yang lain yang lebih membuatku merasa bersalah? Seketika darah dalam tubuhku mengalir lebih cepat, rasa sedih menghampiriku, rasa sesak itu datang lagi. “Tapi gue udah berusaha buat terus bareng lo, Bayu. Tapi...”

“Tapi lo nggak pernah mau ngaku, kalau lo penyebab kita putus. Gue justru beruntung bisa kenal sama Indy. Dia selalu ada buat gue, jadi tempat curhat gue soal lo. Dia selalu ngeyakinin gue kalau lo kayak gitu karena lo memang suka banget sama tari. Dia minta gue buat terus dukung lo. Tapi apa, Tha? Rasanya percuma karena lo nggak peduli sama apa yang gue lakuin. Lo malah nganggap gue over, nganggap gue nggak bisa ngertiin lo. Dan ketika bokap dan nyokap lo cerai, lo makin berubah. Bikin keberadaan gue nggak ada harganya.”

Pipiku basah oleh air mata yang terus mengalir. Aku menunduk, mencoba mengatur emosi. Apakah apa yang dikatakan oleh Bayu itu benar? Apa selama ini aku yang salah? Dan aku tidak menyadarinya? Tangan Bayu menyentuh wajahku, menghapus air mataku dengan ibu jarinya, dan menatapku dalam.

“Semoga lo bisa nemuin seseorang lebih bisa ngertiin lo, Tha. Nggak kayak gue.” Nada suara Bayu lembut, samar membuatku lupa kalau kami bukan siapa-siapa lagi sekarang. “Please, gue mohon, jangan nyalahin Indy lagi. Dia nggak salah. Lo bisa marah dan nyalahin gue, tapi jangan nyudutin dia.”

Bayu tersenyum, senyum simpul. Dia pamit, melangkahkan kaki ke kasir melakukan pembayaran, lalu pergi ke ambang pintu toko. Dia tidak pamit seperti biasa, dia tidak mengecup pipiku atau memelukku lagi. Dengan sekejap menghilang, meninggalkan sesuatu yang sangat membekas.

Padahal kami saling mencintai, mengapa jadi seperti ini?

****

Kepalaku pusing. Setelah semalam tidak bisa tidur karena pikiran yang berterbangan, aku juga tidak nafsu makan akhir-akhir ini. Parahnya, aku tidak tahu harus menceritakan pada siapa, mengeluh pada siapa, marah–marah pada siapa mengenai hal ini.

Semenjak aku menyadari ada yang salah di antara aku dan Indy, sahabatku, kami menjadi jauh. Apalagi setelah kabar itu berhembus kencang di seantero sekolah, dia selalu menghilang seketika kalau berpapasan denganku. Awalnya, aku mau mencoba memaafkan dan meminta penjelasan secara baik-baik. Tetapi melihat sikapnya, rencana itu hancur dan berganti dengan rasa benci.

Aku menghentikan langkah Indy.

Menyadari keberadaanku, Indy menggapai tanganku. “Maafin gue, Tha. Maafin gue. Gue udah coba hapus perasaan ini. Gue udah coba hargai hubungan kita. Gue juga udah coba jadi lebih dewasa. Tapi gue nggak bisa. Nggak bisa!”

Aku melepas pegangannya. Bagaimana bisa aku memaafkan Indy? Indy yang aku percaya, yang telah menjadi bagian hidupku selama bertahun–tahun mengkhianatiku.

“Lo jahat. Lo pengkhianat!” Aku menatap Indy setajam–tajamnya.

Indy mulai menangis, tidak tahu menangis karena merasa bersalah padaku, atau karena dia kesal denganku yang dianggap tidak punya hak untuk memarahinya seperti ini. Tapi aku punya hak! Aku punya!

Aku melirik Bayu yang ikut terbawa suasana. Bayu berdiri tanpa rasa bersalah di samping Indy. Tangannya merangkul bahu Indy, menenagkan Indy, berbisik padanya untuk tidak menangis. Pemandangan yang membuat perutku mual. Rasanya ingin muntah.

“Kenapa lo?” tanyaku sambil setengah berteriak. “Kasihan lihat pacar lo? Nggak tega? Lo nggak suka gue marah sama dia? Sadar dong, Bay. Kalian ngekhianati gue selama ini.”

Pandangan Bayu setengah kosong. Dia tidak berani menatap mataku dan memilih menatap pemandangan di belakangku. “Gue tahu, Indy sahabat lo. Tapi lo nggak bisa kayak gini.”

Tangis Indy semakin kencang. Ada banyak siswa dan siswi lain yang menyaksikan pertengkaran kecil kami di koridor ini tapi aku tidak peduli. Aku kesal dan amarah ini sudah dipendam dari seminggu lalu. Seperti bom yang telah dikubur sekian lama dan kini meledak karena sudah waktunya.

Well, gue nggak peduli sama apa yang lo lakuin berdua. Gue cuma peduli sama kesetiaan kalian. Cuma itu. Jadi, selama ini gue itu dianggap apa? Oh ya, gue tahu. Gue itu tembok penghalang buat kalian. Gue tahu.”

Aku tertawa miris. Hanya ada kata ‘benci’ yang terus muncul di pikiranku. Aku benci mereka. “Gue butuh lo Indy. Lo tahu, kan, kalau orangtua gue bercerai dua bulan lalu? Tapi apa? Ketika gue lagi butuh lo, lo kayak gini. Kita udah sahabatan berapa tahun, sih, Ndy? Lo.....”

“Lo pengkhianat!” Aku menahan air mata yang menggenang di pelupuk. “Dan buat lo, Bay. Makasih buat semua janji yang pernah lo ucapin ke gue. Buat janji yang nggak pernah lo tepati!”

“Semoga Tuhan masih sayang sama kalian! Semoga karma nggak berlaku buat kalian!”

Aku melepas gelang persahabatanku dengan Indy, melemparnya ke arah mereka lalu beranjak pergi, menerobos kerumunan siswa dan siswi yang menonton kami. Aku tidak peduli dengan deretan mata pelajaran yang masih menunggu hari ini. Aku hanya tahu kalau dunia sedang tidak berpihak padaku. Aku mengambil tas di kelas kemudian memanggil taksi untuk pulang, menangis sepanjang jalan.

Bab terkait

  • BE WITH YOU   BAB 7

    “The fireflies were probably already out: Maybe it wasn’t just a season or time but a whole world I’d forgotten.” – Sarah DesenJam berapa? Yang aku tahu, matahari baru saja terbit sekian derajat tapi sekarang ada yang sudah berhasil membangunkanku dengan deringan bel. Ada yang menekan bel sebanyak tiga kali dengan durasi panjang tidak berhenti di luar sana. Telingaku sakit mendengarnya. Aku membuka mata pelan-pelan, berusaha beradaptasi dengan cahaya, menyibak selimut, kemudian mencari sendal yang semalam kutaruh di sebelah kasur lalu memakainya. Dengan langkah setengah sadar aku membuka pintu tanpa melihat siapa yang ada di luar sana melalui kamera.Manee dengan senyuman khasnya melambaikan tangan. “Pagi!”Ya Tuhan, ngapain dia jam segini ke sini? Apa aku lupa kalau dia mengajakku untuk lari pagi seperti kemarin? Refleks aku menyisir rambut dengan tangan, rambut yang acak-acakan belum dik

  • BE WITH YOU   BAB 8

    “There is a reason why we met. We don't meet anyone by chance!” - Avijeet DasJalanan sangat padat karena Chiang Mai sedang dibanjiri turis dari seluruh dunia. Aku bisa melihat di sepanjang jalan turis-turis berjalan ke sana ke mari. Butuh waktu yang tidak lama untuk sampai ke tempat tujuan tapi akhirnya kami sampai juga. Tempat ini bernama Mae Jo University. Di tempat ini aku dan Manee akan menikmati festival Yee Peng.Festival Yee Peng adalah festival yang diadakan di bulan November setiap tahunnya. Kata Manee, festival ini salah satu festival yang selalu ditunggu oleh banyak orang sama seperti pergantian tahun penanggalan Cina. Di Chiang Mai festival ini diadakan dua sampai tiga kali dalam waktu yang berdekatan dalam setahun. Ritual utama dalam festival Yee Peng adalah menerbangkan lampion bersama-sama.Lautan manusia dari berbagai negara duduk rapi di ata

  • BE WITH YOU   BAB 9

    “Leave something for someone but don’t leave someone for something.” – Enid BlytonAku menunggu taksi yang dinaiki Brian kembali melaju, setelah itu melangkahkan kaki dengan cepat memasuki lift apartemen. Aku ingin memastikan Manee sudah pulang dan ada di dalam apartemennya. Jujur, aku sangat khawatir. Sesampainya di lantai sepuluh, aku memencet bel pintu apartemen Manee dengan tidak sabar. Entah berapa kali, aku tidak sadar.Ada suara kresek kresek dari mesin perangkat bel menandakan ada orang di dalam sana. Semoga itu Manee.“Sorry, aku lagi nggak mood. Lagi nggak mau diganggu. Ngerti kan, Tha?” Dia tidak membuka pintunya.Aku sedikit speachless, bingung mau menjawab apa. Rasanya aneh lihat Manee seperti ini. Manee yang biasa perhatian, berubah menjadi cuek. Kuputuskan untuk tidak menjawab dan langsung pergi ke apartemen Tante Tantri. Bukannya

  • BE WITH YOU   BAB 10

    "You fall in love, and nothing seems truly scary anymore, and life is one big possibility?” - Jenny HanAku memandangi tumpukan pakaian di atas sofa. Tiba-tiba pikiranku penuh dengan rasa penasaran. Bagaimana kalau aku memakainya? Apa pendapat dan penilaian yang akan cowok itu berikan? Duh, buat apa aku memikirkan hal seperti ini, sih? Mengapa aku harus peduli dengan pendapat atau penilaian dari Brian, cowok yang baru sekali kutemui. Toh, dia tidak akan peduli dengan pakaian yang kupakai.“Thalia? Gue udah di lobby,"ucapnya singkat saat aku mengangkat panggilannya.Mengapa cepat sekali? Meski rasa ragu masih terus membayangiku, tapi mau tidak mau aku harus turun. Salahku. “Aku turun, ya.”Sesampainya di lantai dasar, Brian dengan gaya santainya terlihat berdiri di dekat pintu utama. Dia membawa satu tas kamera berwarna cokelat di bahu kirinya. Tas kame

  • BE WITH YOU   BAB 11

    “I think in a moment of weakness you might surprise your self.” – Lisa KleypasTadinya aku ingin menjadi batu, keras dengan pemikiranku dan kokoh untuk terus menilai kalau Manee yang salah. Namun aku sadar, tanpa Manee mungkin sejak kemarin aku akan mengalami kesulitan. Aku tahu Manee laki-laki yang baik di balik sikapnya yang terkadang membuatku sebal. Aku tidak harusnya marah pada Manee. Dia pasti punya alasan mengapa malam itu meninggalkanku begitu saja.Aku membawa satu kotak biskuit cokelat yang tadi pagi aku beli dari mini market. Rencananya ini akan menjadi gift permintaan maaf karena aku sudah marah-marah padanya. Kupencet bel apartemen Manee dan tidak butuh waktu yang lama untuk menunggu Manee membuka pintu.Kami berhadapan, sama-sama diam. Aku bingung ingin mengatakan apa dan sepertinya Manee juga merasakan hal yang sama.“Hai,” aku dan Manee mengucapkan kata ya

  • BE WITH YOU   BAB 12

    “Memories warm you up from the inside but they also tear you apart.” – Haruki Murakami Waktu terus jalan dan lo mau nyiain? Pertanyaan Brian setengah jam yang lalu dalam ponsel. Iya juga, beberapa hari lagi aku akan pulang ke Indonesia. Selama kondisiku baik, aku harus dapat memanfaatkan waktu menikmati Chiang Mai semaksimal mungkin. Setelah memikirkan banyak hal dan menjelaskan sosok Brian pada keluarga Om Dahlan, aku memutuskan untuk meminjam mobil mereka agar lebih puas dan merasa aman. “Gue yang nyetir, lo yang merhatiin GPS.” Brian mengambil kunci dari tanganku lalu mempersilakanku untuk masuk ke mobil. Aku menyalakan GPS di ponsel. Rencananya kami akan mengunjungi kebun binatang di sini. Kata Brian, di dalam kebun binatang Chiang Mai ada banyak binatang yang tidak ada di Indonesia misalnya Pinguin dan Koala. Tidak usah jauh-jauh ke Australia buat melihat koala, di Thailand pun ada. Aku jadi excited

  • BE WITH YOU   BAB 13

    “As soon as you stop wanting something, you get it.” – Andy WarholBrian membidik kameranya ke sana ke mari. Mengambil gambar berbagai bunga. Royal Flora Ratchaphruek National Park tidak begitu ramai karena hari ini weekday. Kebanyakan rombongan anak sekolah dan turis yang terlihat memenuhi masing-masing bagian taman. Kami sudah mengunjungi beberapa taman, dari mulai Sawasdee Garden hingga Bonsai Garden.Taman yang paling aku suka adalah Sawasdee Garden. Taman yang dipenuhi berbagai bunga yang tidak begitu tinggi. Yang paling menarik adalah adanya sungai buatan yang berisi air hangat dengan asap yang mengepul. Seperti di negeri dongeng, taman milik sebuah kerajaan yang indah.“Tha,” Brian berbicara di balik kameranya.“Ya?”Lensa kamera Brian kini mengarah padaku. “Pacar lo nggak marah, lo ke sini sendirian?”“Pacar?” aku tertawa pelan.

  • BE WITH YOU   BAB 14

    “They always say time changes things, but you actually have to change them yourself.” – Andy WarholPukul lima pagi tadi Brian menjemputku untuk pergi ke terminal bis bersama, menaiki bis dengan jurusan Chiang Rai. Menurut penjual tiket, kalau tidak macet, perjalanan ke Chiang Rai memakan waktu dua sampai tiga jam.Aku masih sedikit ngantuk karena merasa belum puas tidur, namun pemandangan yang asing seiring berjalannya bis membuat mataku tidak bisa tertutup. Terkadang, aku lebih suka menikmati jalanan ketika sedang pergi ke sebuah tempat dibandingkan tempat itu sendiri. Lebih menarik dan memiliki cerita yang berbeda. Begitu pun dengan Elga.Kami sejak kecil terbiasa menikmati jalanan, berlomba membaca tulisan-tulisan di jalan, memilih mobil terbagus, berpura-pura sedang dikejar sesuatu. Bahkan kami sampai tertidur dengan sendirinya karena terlalu bersemangat menikmati jalanan. Mama biasanya ikut-ikutan dan papa s

Bab terbaru

  • BE WITH YOU   The Ending

    Aku sengaja membuka kaca pesawat, melihat gumpalan awan yang bertebaran. Langit hari ini cerah sekali, aku tidak mau melewatkannya. Pemandangan yang indah selalu berhasil membuat nyaman di mana pun berada. Bukan hanya pemandangan ini yang membuat aku merasa nyaman, tetapi sentuhan kepala Brian yang sejak tadi menyender di bahuku, tertidur. Begitulah Brian. Semakin sering bertemu dengannya, semakin aku mengenalnya. “Brian, bangun!” Aku mengelus pipinya. “Bentar lagi kita mendarat.” Brian menguap. “Tugasnya udah beres?” Aku membuka mini notebook. Sejak diberi benda ini oleh Brian, aku jadi lebih senang menulis apa pun di sini. “Ke Melbourne Zoo, terus ketemu binatang laut di Sea Life Melbourne Aquarium, ke tempat gratisan Royal Botanic Gardens sama Shrine of Remembrance, lanjut ke National Gallery of Victoria. Sisanya kita atur bareng.” “Oh ya, berat kamu sekarang berapa?” “Kenapa memang?” “Nggak, nggak kenapa-kenapa.”

  • BE WITH YOU   BAB 20

    “I am a big believer that in life, things happen the way they are supposed to.”―Kristin Harmel,When We Meet Again Rasanya seperti mimpi yang beberapa kali aku dapati di malam hari. Bertemu seseorang yang secara singkat pernah kukenal untuk kedua kali di tempat berbeda tanpa kuduga. Apa mungkin dia datang ke mari dan sengaja menemuiku? Atau ini hanya sekadar sebuah kebetulan saja? Brian terkekeh. “Lo udah makan belum? Bengong mulu, takut gue dilihatin kayak gitu.” “Hah?” “Tha? Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk. Sadar, Thalia.... Ini kenyataan, ini kenyataan... “Nah, kayaknya lo belum makan makanya jadi kayak patung gini. Pak, ke Kemang ya.” Brian menepuk bahu bapak supir. Aku dan Brian saling diam. Beberapa kali Brian mengajakku berbicara, menanyakan tentang banyak hal, tapi entah mengapa yang aku bisa lakuk

  • BE WITH YOU   BAB 19

    “Sometimes the questions are complicated and the answers are simple.” – Dr. Seuss Manee sudah semakin sukses. Tadi pagi dia menghubungiku, memberi tahu berita bahagia mengenai salah satu impian dia yang selama ini ditunggu akan segera tergapai. Salah satu novel best seller miliknya akan dibuat menjadi versi film yang dibintangi aktor dan aktris Thailand terkenal. Dia juga telah turun dan terlibat langsung dalam kegiatan casting. Selepas dari liburan ke Chiang Mai beberapa bulan lalu, aku merasa lebih baik. Aku memilih mengambil sisi positif dalam segala hal, melupakan yang dianggap tidak berguna lagi untuk diingat, memaafkan kesalahan mereka yang telah mengkhianatiku. Aku juga sudah dapat sedikit berbicara serius dan terbuka pada Mama. Begitu juga Mama yang sudah dapat memahami perasaan anak-anaknya, mengurangi pembicaraan tentang Papa. Setidaknya berkurang sedikit. Terkadang, segalanya terasa sakit ka

  • BE WITH YOU   BAB 18

    “You have the rest of your lives to catch up together. After all, soulmates always end up together. Best friends stay with you for ever.” – Cecelia AhernAkhirnya, hari itu datang juga. Aku harus kembali ke Indonesia. Waktu berjalan begitu cepat dan aku sangat berterimakasih dengan semua orang yang menemaniku selama di sini. Setelah berulang kali mengecek koper merapikan barang bawaan yang semakin banyak, mengelilingi apartemen memastikan tidak ada yang tertinggal, merapikan tempat tidur, dan mengembalikan kondisi apartemen seperti semula. I’m ready to come back home.Aku naik ke atas, menghampiri apartemen Tante Tantri. Hari ini weekend sehingga aku pastikan mereka semua ada di apartemen. Tante Iren dengan semangat menyuruhku untuk masuk, memintaku ikut sarapan bersama mereka. Nadia baru saja mandi, melihatku datang dia menghampiriku, bertanya tentang koper, baju yang aku pakai.Tante Tant

  • BE WITH YOU   BAB 17

    “When someone loves you, the way they talk about you is different. You feel safe and comfortable.” – Jess C. ScottTadi malam aku menangis. Selepas Brian pergi melanjutkan gap year, masuk ke dalam taksi untuk pergi ke terminal, dan melambaikan tangan, aku sadar kalau hanya waktu yang bisa menjawabnya. Apakah nanti kami akan benar bertemu lagi? Apakah waktu akan berpihak pada kami?Setelah mandi, aku berencana untuk meminjam mobil Om Dahlah, kemudian pergi ke tempat penjual oleh-oleh. Sebenarnya malam ini ada pasar malam yang sering disebut Night Bazzar. Menjadi satu tempat yang tidak lepas dari para turis dan rasanya ingin mencoba datang. Tapi karena aku sendiri, aku lebih memilih jam yang aman dan juga tempat yang aman.Aku mengendarai mobil dengan mengandalkan GPS, mencari letak pusat oleh-oleh terdekat. Sesuai rekomendasi Tante Iren, di dekat apartemen ada banyak kios pinggir jalan yang menjual berbagai bar

  • BE WITH YOU   BAB 16

    “I want her to melt into me, like butter on toast. I want to absorb her and walk around for the rest of my days with her encased in my skin. I want.” – Sara Gruen Brian tampak terkejut melihat emosiku yang tiba-tiba meluap. Iya, aku menangis di sampingnya, mengeluarkan semua yang ingin kukeluarkan, mengeluarkan rasa bersalah yang sedikit demi sedikit menyiksaku perlahan. Tadinya Brian mengajakku untuk pergi ke tempat wisata, menghabiskan waktu terakhir kami sebelum Brian melanjutkan aktivitas gap year ke Laos. Tapi saat melihat Brian, aku memilih mengajaknya ke Villlage Coffee, menghabiskan waktu bersama di bawah terik matahari siang dan belaian angin sejuk Chiang Mai. Brian tidak langsung menghakimiku, bertanya aku kenapa, ada apa denganku sampai aku menangis kencang seperti orang kehilangan kendali. Dia hanya diam, membiarkanku menangis sampai aku puas. Sesekali menyentuh bahuku, menepuk pelan, memberi kenyamanan yang aku butuhkan. Dua

  • BE WITH YOU   BAB 15

    “Sometimes love means letting go when you want to hold on tighter.” – Melissa Marr Manee memintaku menemaninya pergi ke pasar untuk berbelanja bahan makanan. Menurutnya, aku juga harus mengunjungi pasar tradisional di sini. Tante Tantri juga menitip beberapa bahan makanan. Sebenarnya aku tidak begitu ingin. Maksudku, aku sedang tidak bergairah untuk berjalan-jalan hari ini. Mengingat sepuluh jam lagi aku akan berpisah dengan Brian. Sepertinya aku tidak usah bertemu lagi dengannya. Buat apa? Dia akan pergi, keliling dunia, dan mungkin bertemu dengan wanita lain, lalu melupakanku. Ah, aku ini kenapa? Bukankah keliling dunia itu hak semua orang? Bukankah meninggalkan sesuatu itu adalah salah satu langkah untuk bertemu dengan sesuatu yang baru dan berbeda? “Kamu kenapa?” Manee melirikku sambil tetap fokus menyetir. Aku menghela napas. “Aku kenapa?” “Iya, dari tadi diam. Ngelamun? Ada yang kamu pikirin?” “Ngg

  • BE WITH YOU   BAB 14

    “They always say time changes things, but you actually have to change them yourself.” – Andy WarholPukul lima pagi tadi Brian menjemputku untuk pergi ke terminal bis bersama, menaiki bis dengan jurusan Chiang Rai. Menurut penjual tiket, kalau tidak macet, perjalanan ke Chiang Rai memakan waktu dua sampai tiga jam.Aku masih sedikit ngantuk karena merasa belum puas tidur, namun pemandangan yang asing seiring berjalannya bis membuat mataku tidak bisa tertutup. Terkadang, aku lebih suka menikmati jalanan ketika sedang pergi ke sebuah tempat dibandingkan tempat itu sendiri. Lebih menarik dan memiliki cerita yang berbeda. Begitu pun dengan Elga.Kami sejak kecil terbiasa menikmati jalanan, berlomba membaca tulisan-tulisan di jalan, memilih mobil terbagus, berpura-pura sedang dikejar sesuatu. Bahkan kami sampai tertidur dengan sendirinya karena terlalu bersemangat menikmati jalanan. Mama biasanya ikut-ikutan dan papa s

  • BE WITH YOU   BAB 13

    “As soon as you stop wanting something, you get it.” – Andy WarholBrian membidik kameranya ke sana ke mari. Mengambil gambar berbagai bunga. Royal Flora Ratchaphruek National Park tidak begitu ramai karena hari ini weekday. Kebanyakan rombongan anak sekolah dan turis yang terlihat memenuhi masing-masing bagian taman. Kami sudah mengunjungi beberapa taman, dari mulai Sawasdee Garden hingga Bonsai Garden.Taman yang paling aku suka adalah Sawasdee Garden. Taman yang dipenuhi berbagai bunga yang tidak begitu tinggi. Yang paling menarik adalah adanya sungai buatan yang berisi air hangat dengan asap yang mengepul. Seperti di negeri dongeng, taman milik sebuah kerajaan yang indah.“Tha,” Brian berbicara di balik kameranya.“Ya?”Lensa kamera Brian kini mengarah padaku. “Pacar lo nggak marah, lo ke sini sendirian?”“Pacar?” aku tertawa pelan.

DMCA.com Protection Status