“Aduh, jangan tanya-tanya terus, Mbak bos. Aku pusing! Yang jelas hubungan Mas bos sama mendiang Bu Alin itu rumit, paham! Kalo mau tahu kejelasannya mending Mbak bos tanya orangnya langsung. Aneh, orang suami istri kok enggak terbuka. Cuma dikamar aja terbukanya,” sindir Wati.
“Coba ulangi!” Zahra memandang tajam ke arah Wati.“Maaf, Mbak bos. Piss ...” Wati mundur perlahan.“Sekali lagi bahas gituan, aku tahan gaji kamu tiga bulan!” ancam Zahra.“Jangan Mbak bos, nanti aku enggak bisa kirim emak uang. Kasihan dikampung lagi musim paceklik, banyak kondangan pula.”Zahra terkikik melihat wajah memelas Wati. Meski kadang sikapnya absurd tapi hanya Wati satu-satunya hiburan Zahra, kecuali Mora tentunya.Sepanjang perjalanan pulang, Zahra terus berpikir tentang hubungan masa lalu David. Benarkah David tersiksa di pernikahan sebelumnya sehingga terpaksa mencari pelampiasan yang akhirnya mempertemukannya“Gimana? Berhasil?” Johan menyulut rokoknya lalu mengepulkan asapnya kuat ke udara.“Semua sempurna, David kelihatannya marah banget.” Andin tertawa lebar.“Kamu yakin mereka akan berpisah?”“Mungkin, apa sih yang David harapkan dari cewek udik itu?”“Hey, cewek itu adikmu!” Johan tak terima.“Ups ... ada fansnya di sini. Lupa aku.” Andin terkekeh.Andai saja bukan urusan Zahra, sebenarnya Johan enggan berurusan dengan wanita seperti Andin. Tapi cinta harus diperjuangkan, apalagi lelaki itu tahu jika Zahra hanya dijadikan tumbal oleh kakak dan bapaknya.“Zahra kayaknya udah cinta sama David,” ujar johan.“Ya namanya juga gadis lugu, dirayu dikit ya jatuh.Kamu juga jangan terlalu banyak berharap, pasti dia dah buka segel.” Andin kembali tertawa.Ya, itulah yang David takutkan, gadis pujaanya kini telah jatuh pada lelaki yang seharusnya menikahi kakaknya.
David mengulas senyum saat mendengar informasi dari seseorang kepercayaannya. Bukan berita penting sebenarnya, hanya saja ia menjadi tahu mengapa Andin tak berhenti mengganggunya selama ini. Alasannya hanya Andin tak menemukan lelaki lain yang bisa mencukupi hidupnya sebaik dirinya.Baru saja David tahu jika rumah yang dulu pernah ia berikan kini sudah berpindah tangan. Sebenarnya tak menjadi masalah karena ia pun sudah mengikhlaskan itu menjadi milik Andin sepenuhnya dan ia pun bukan tipe lelaki yang suka mengungkit pemberiannya pada orang lain. Hanya saja semua itu membuatnya miris karena secara tak langsung ia menjadi tahu jika Andin kini berada dalam posisi yang tak berkecukupan.Tak begitu mengherankan sebenarnya, sebagai lelaki yang menjalin hubungan cukup lama, David tahu jika kebutuhan Andin bisa dibilang tak sedikit. Terutama kebutuhan untuk memenuhi gaya hidupnya yang hedon. Ia tahu wanita itu tak hanya butuh uang untuk makan atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan pokok hidup
“Jadi begini kerjaan Nyonya David Ardian setiap harinya? Pantas aja kamu betah,” ucap seorang wanita berambut pirang yang sebagian besar wajahnya tertutup masker. “Ka-kamu siapa?”"Sombong sekarang kamu, ya, mentang-mentang udah jadi istri orang kaya."Zahra beringsut mundur. Ia teringat pada sosok wanita yang dulu pernah tiba-tiba masuk rumahnya yaitu Marta. Tapi jika dilihat-lihat postur tubuh keduanya berbeda. Meski hanya bertemu satu kali, Zahra ingat betul jika tubuh Marta lebih langsing dan lebih tinggi dari wanita di depannya."Sudah cukup kamu menikmati apa yang seharusnya bukan menjadi hakmu!" ucap Wanita itu seraya menurunkan maskernya."M-Mbak Andin? Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?""Zahra, Zahra kamu masih aja jadi gadis bodoh kayak dulu." Andin tertawa mengejek."Wati! Wati kamu di mana?" teriak Zahra. Wanita itu baru saja berpamitan untuk menyapu di halaman samping.
Zahra masih memejamkan mata saat tubuhnya terasa melayang di udara. Meski hatinya sudah sedikit tenang tapi ia masih tak yakin jika dirinya telah selamat. Lamat-lamat orang berbicara terdengar bersamaan dengan suara wanita menjerit tak begitu jelas tertangkap telinga. Beberapa saat kemudian ia merasakan orang yang membawanya seperti menaiki tangga hingga telinga menangkap suara knop pintu dibuka.“Kamu aman, Sayang.”Zahra memberanikan diri membuka mata mendengar suara barusan. Ya, itu suara David, suaminya.“Ini aku, Sayang,” ujar David setelah menurunkan Zahra di atas ranjang.Air mata Zahra mulai menitik saat ia melihat wajah David tengah tersenyum padanya.“Aku takut, Mas! Mbak Andin sudah gil4, Johan juga, semua sudah gil4!” racau Zahra.“Sst... semua sudah selesai, Sayang, kamu aman.”David meraih tubuh istrinya yang kembali bergetar. Ia tahu bagaimana perasaannya saat ini karena
Seminggu berlalu, kini kondisi Zahra sudah berangsur kondusif. Tiga hari yang lalu Wati sudah keluar dari rumah sakit namun langsung dijemput keluarganya untuk pulang dan menjalani masa pemulihan di rumahnya. Wati diberi cuti tak terbatas waktu hingga wanita itu benar-benar siap untuk kembali bekerja dan tentu saja dengan bayaran tetap setiap bulannya ditambah bonus yang dijanjikan oleh David. Semenjak Wati pulang kampung Zahra memilih menghandel semua urusan rumah termasuk mengasuh Mora sendiri karena ia enggan diberi asisten rumah tangga baru. Lagi pula Zahra masih butuh ketenangan untuk menyembuhkan trauma dihatinya. Dengan banyak menyibukkan diri Zahra bisa sedikit mengurasi rasa takut yang selalu menghantuinya.“Apa Mbak Andin akan dipenjara lama?” tanya Zahra setelah menidurkan Mora. “Em ... mungkin.” David menutup laptopnya.Sudah beberapa hari ini David tak pernah datang ke kantor dan mengerjakan semua pekerjaannya d
Zahra melirik pada semua yang kini duduk di sofa ruang tamunya. Setengah jam yang lalu Ibu, Bapak serta orang tua Johan datang bersamaan. Bukan mendadak sebenarnya karena mereka sudah memberitahu sehari sebelumnya. Keempatnya datang bersama Dila sebagai penunjuk jalan sekaligus memenuhi undangan Zahra yang sangat rindu dengan sahabatnya itu.“Tolong maafkan Johan, Nak. Semua ini dia lakukan semata karena Johan sangat mencintaimu.”Zahra menatap nanar lelaki tua dihadapannya. Sesekali ia menunduk dan semakin mengeratkan pegangan tangannya pada David. “Benar, Nak. Tolong cabut laporan kalian. Kami berjanji tak akan membiarkan dia mengganggu hidupmu lagi,” timpal wanita bergamis ungu yang sedari tadi tak berhenti mengeluarkan air mata.Zahra terdiam, bukan sekali dua kali ia melihat Pak Safar dan Bu Rinah—orang tua Johan. Sejak kecil Zahra sudah sering bertemu atau sekedar berpapasan di jalan. Meski mereka tinggal di desa yang b
“Rumahmu, Ra, kayak istana. Pantes aja Mbak Andin muring-muring saat Mas David milih kamu,” ujar Dila sembari terus melayangkan pandangan ke seluruh sudut rumah.“Rumahnya Mas David, bukan punyaku,” jawab Zahra santai.“Tapi kamu istrinya, harta suami milik istri juga, kan?”“Rumah ini dibeli jauh sebelum aku dan Mas David menikah, jadi ini mutlak milik Mas David.”“Halah, terserah kamu lah! Susah ngomong sama kamu!”Zahra terkekeh. Ternyata ada hal yang membahagiakan dibalik musibah yang menimpanya. Andai saja Mbak Andin dan Johan tak masuk penjara, tak mungkin orang tuanya datang menjenguknya. Dan yang lebih membuat Zahra senang, ia jadi bisa bertemu Dila di rumahnya sendiri. Ia pun jadi tahu jika Dila masih mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga Johan.Setelah berbincang dengan Ibunya tadi, kini giliran Zahra mengobrol empat mata dengan Dila. Hari memang sudah hampir jam sebelas malam tapi ked
“Ampun, Bu. Andin menyesal, maafin Andin, Bu!”Andin menunduk menyembunyikan wajah sembabnya. Bahunya naik turun dan sesekali terdengar suara sesenggukan dari wanita itu.“Kenapa harus seperti ini, Nduk? Apa kamu enggak kasihan sama ibu? Kamu enggak kasihan sama adikmu? Apa salah Zahra sampai kamu berbuat seperti ini?”Tangis Bu Sumi pecah, sungguh ia tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Hatinya terasa remuk saat melihat kondisi anak sulungnya yang biasanya berpenampilan cantik kini mengenakan kaos seragam tahanan. Wajah kusut serta rambut awut-awutan yang diikat asal membuat kondisi Andin begitu mengenaskan.“Maafin Andin, Bu. Aku salah, aku khilaf, aku menyesal, Bu. Tolong bujuk Zahra untuk bebasin aku, Bu. Andin janji setelah ini enggak akan mengganggu hubungan Zahra dengan Mas David. Aku sudah ikhlas, Bu. Aku pun sudah ikhlas anakku menjadi anak Zahra dan aku enggak akan mengungkitnya sampai kapan pun.”“Sudah terlambat, Nak. Percuma saja kamu menyesal, karena nyatanya kamu bisa
Zahra menghentikan langkahnya saat melihat seorang wanita bermake up tebal serta berpenampilan glamor sudah berdiri di ruang tamu bersama seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi roda.“Silakan masuk,” sambut David dingin.“Terima kasih, maaf jika mengganggu, aku hanya mengantar mama yang penasaran dengan keluarga baru mantan menantunya,” jelas Marta sambil membukan kaca mata hitamnya.Seketika Zahra mematung, entah mengapa ia menjadi tak suka jika harus berurusan dengan keluarga mantan istri suaminya.“Apa kabar, David?” tanya wanita bernama Sarni sambil membenarkan posisi kursi rodanya.”“Ba-Baik, Ma.”David tak menyangka setelah sekian lama akhirnya ia bisa bertemu dengan mantan ibu mertuanya. “Mama apa kabar?” David berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh Bu Sarni.“Gara-gara kamu enggak mau nengokin mama, dia jadi maksa minta ke sini. Lagian apa salahnya
Suka cita menyambut anggota keluarga baru begitu kentara di rumah David. Suara tangis bayi sesekali terdengar menghiasi rumah mengimbangi teriakan Wati yang semakin kewalahan mengasuh Mora. Anak itu kini sudah pintar berlari, berbicara dengan nada cadel dan melakukan segala hal sesukanya termasuk mengganggu adiknya.Mikola Ardian adalah nama yang disematkan pada bayi berumur dua bulan 0yang kini melengkapi kebahagiaan David dan Zahra termasuk Mora yang begitu antusias dengan kehadiran Miko ditengah-tengah mereka. Anak itu berkali-kali ingin memegang dan mencium adiknya bak bermain boneka.“Diam di situ ya, Sayang. Mbak mau mandi sebentar,” tutur Wati pada Mora.“Ote.” Gadis kecil berponi itu mengangguk semangat.“Titip bentar, Mbak bos.”“Santai, aman kalo sama aku,” jawab Zahra.Zahra meraih Mora dalam pangkuannya. Semenjak Miko lahir, perhatian Zahra memang harus terbagi. Tapi bukan berarti ia melupakan Mora sepenuhnya. Setiap hari ia tetap berusaha meluangkan waktu untuk sekedar be
Seorang wanita bertubuh kurus yang memakai kaos longgar berwarna biru duduk termenung dipojok ruangan. Rambutnya yang kusut dicepol asal hingga memperlihatkan tulang selangkanya yang begitu jelas menandakan tubuhnya yang semakin mengurus. Wajah yang dulu terlihat cantik, mulus dan terawat, kini berubah menjadi kusam dengan beberapa bekas jerawat terlihat di sana.Belum genap satu tahun menjadi penghuni rumah tahanan, Andin sudah merasa tak tahan dan selalu ingin cepat-cepat keluar dari tempat sempit dan menjijikkan seperti sekarang ini. Siapa orang yang tahan menghabiskan harinya ruangan pengap tanpa jendela dan terkurung jeruji besi tanpa bebas keluar masuk tanpa tujuan pasti. Tidur dengan beralaskan kasur tipis nan keras tanpa pendingin ruangan ataupun kipas angin juga harus berbagi dengan dua orang tahanan lainnya yang tak pernah ia kenal sebelumnya.“Arrgghh ...!” pekik Andin sembari menjambak rambutnya kasar.“Berisik! Bisa diem enggak, sih! Lebay banget, sih!” bentak wanita bert
“Ada hubungan apa kamu sama Marta?”“Maksud kamu apa, Sayang?”Zahra melempar kasar ponsel suaminya ke atas ranjang. Hanya berselang beberapa saat setelah Yoga pergi, ia langsung mencecar David.Yakin ada yang tidak beres, David segera mengecek ponselnya. Benar saja, ia menemukan satu pesan yang membuat istrinya begitu marah.“Aku enggak ngelarang kami berhubungan sama siapa pun termasuk keluarga mendiang istrimu. Tapi aku enggak suka kalo kamu menyembunyikan sesuatu dariku!” ujar Zahra.“Aku tak pernah menyembunyikan apa pun. Kamu salah paham!”“Salah paham apanya? Sudah jelas dia bilang terima kasih atas transferannya, itu berarti kamu habis memberinya uang, kan?”“Aku bisa jelasin semua.”“Terserah kamu, Mas.”Zahra hampir saja pergi meninggalkan kamar saat David dengan sigap menahannya. Kesalahpahaman seperti ini tak bisa dibiarkan begitu saja karena ia takut mengganggu pikiran Zahra yang bisa berakibat buruk pada janin di perutnya.“Duduk dulu, ya,” tutur David lembut sambil menu
David duduk seraya menopang dagu saat melihat pemandangan indah di depannya. Seorang wanita berpakaian daster bunga-bunga selutut tengah sibuk berkutat dengan masakannya. Perutnya yang semakin membesar sama sekali tak membuat penampilan wanita itu menjadi buruk, bahkan bagi David istrinya itu kini lebih terlihat seksi.“Ada yang bisa dibantu?” David mendekat lalu melingkarkan tangannya ke perut Zahra.“Mau bantu?” Zahra menghentikan gerakannya mengaduk nasi goreng.David mengangguk, ia mencium tengkuk Zahra sekilas. Meski tak memakai parfum, bau tubuh Zahra seakan menjadi candu bagi David.“Kalo mau bantu, sekarang lepas dan duduk manis di sana?” Zahra menunjuk arah meja makan.“Kan aku mau bantuin.”“Lepas, Mas! Malu kalo Wati lihat.”Bukannya melepas, David malah semakin mengeratkan pelukannya.Saat ini Wati tengah membawa Mora berjalan-jalan ke taman kompleks. Hal itu dilakukan agar anak itu bisa lebih luas mengeksplor lingkungannya. Di sana anak itu bisa beraktivitas bebas di alam
Usia kehamilan Zahra memasuki bulan keempat. Selama ini tak ada kendala yang berarti selain morning sicknes yang Zahra rasakan setiap bangun tidur dan akan hilang dengan sendirinya saat menjelang siang. Untung saja, Wati saat ini sudah kembali bekerja setelah dinyatakan sembuh dan siap untuk kembali melakukan aktivitas sehari-hari. Meski terkadang masih sedikit trauma, namun bagi semboyan wanita itu belum berubah, uang adalah nomor satu dan ia tak bisa berlama-lama berdiam diri di rumah.“Mbak bos, rujak buah sudah siap!” Wati memanggil dengan suara khasnya yang mirip dengan peluit.Dengan sigap Zahra langsung beranjak menuju dapur meninggalkan Mora yang tengah asyik duduk di kuda karetnya sambil berjoget menikmati lagu yang diputar dilayar televisi di depannya.Wajah Zahra langsung berbinar saat melihat berbagai macam potongan buah dalam piring yang tersaji di atas meja lengkap dengan saus gula merah yang tersaji di mangkuk kecil di dekatnya. It
Tiga hari berlalu, namun sikap David belum banyak berubah. Meski tak secara terang-terangan menunjukkan rasa bencinya pada Mora, tapi bisa terlihat jelas jika lelaki itu terus berusaha menghindar untuk bersentuhan langsung dengan Mora.Kemarin Zahra telah memenuhi janjinya untuk mengajak ibu dan Dila jalan-jalan. Meski hanya mengunjungi mall dan arena bermain namun itu sudah cukup membuat kedatangan keduanya ke kota menjadi berkesan.Hari ini keduanya memutuskan untuk pulang. Libur semester yang hampir usai dan Bapak yang sudah berulang kali menelepon membuat Bu Sumi dan Dila tak lagi bisa berlama-lama menemani Zahra. Keduanya pun kemarin sudah menyempatkan waktu untuk berpamitan dengan Andin dan Johan di rutan.“Maaf kami tidak jadi mengantar, Mas David ada pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan,” ujar Zahra beralasan.“Enggak apa-apa, Nak. Lagian kamu lagu hamil muda, enggak baik bepergian jauh-jauh. Sehat-sehat kamu di sini, ya. Kalo ada apa-apa langsung telepon.” Bu Sumi memeluk era
“Mas bisa pegang Mora sebentar, aku mau siap-siap.”Zahra menyerahkan Mora pada David. Bayi itu sudah cantik dengan setelan baju baby doll berwarna pink dipadukan dengan celana leging panjang berwarna putih. Dikepalanya dipasang bandana bunga yang membuat wajahnya terlihat menggemaskan.Hari ini Zahra dan David akan memenuhi janjinya untuk mengajak Bu Sumi dan Dila jalan-jalan. Selain itu mereka juga berniat membeli oleh-oleh untuk dibawa ke kampung.Zahra sedang memoles lipstik dibibirnya saat mendengar suara tangis Mora melengking keras. Tak membuang waktu, ia langsung berlari keluar menuju arah sumber suara. Bu Sumi dan Dila yang sedang berada di kamar pun ikut berlarian karena suara tangis Mora terdengar sangat kencang.“Mora kenapa, Mas?” tanya Zahra mengambil alih anak sambungnya.Ia menimang Mora sebentar agar tangisnya reda. Namun bukannya semakin tenang, tangisan Mora malah semakin menjadi dan betapa terk
“Mas, aku telat 2 minggu.”“Telat?”David masih berpikir. Ia belum terlalu paham dengan arah pembicaraan Zahra hingga istrinya meletakkan sebuah benda kecil di genggaman tangannya.Sejenak ia memperhatikan benda pipih berwarna putih dengan 2 garis merah tertera di sana. David beralih menatap Zahra kemudian benda itu bergantian. Seketika ada euforia yang membuncah di dadanya namun ia belum bisa mengekspresikannya.“Ini beneran? Kamu ha-mil?”“M-Mungkin,” jawab Zahra ragu.Sedetik kemudian David sudah membawa Zahra ke dalam pelukannya. Diciumi wajah istrinya bertubi-tubi seraya terus mengucap syukur dalam hati.“Terima kasih, Sayang,” bisik David.Akhirnya apa yang ia impikan terwujud. Meski ini bukan anak pertamanya karena ada Mora sebelumnya. Namun kali ini pertama kalinya ia akan menjadi seorang ayah yang sesungguhnya yang bisa menemani dan memantau tumbuh kembang calon anaknya mul