“Terima kasih sudah mau menerima kami di sini, Nak. Atas nama keluarga, kami minta maaf atas semua yang telah anak kami lakukan. Kami sudah ikhlas dengan keadaan Johan saat ini. Kami tahu dia bersalah dan kini sedang menerima ganjarannya. Tolong maafkan Johan, Nak Zahra. Setelah ini dan seterusnya kami pastikan dia tak akan menganggu hidupmu lagi. Semoga kamu selalu bahagia, Nak.”Zahra hanya mengangguk saat wanita bergamis bunga-bunga di depan menyalaminya lalu memeluknya sekilas. Tak banyak hal yang mereka bicarakan setelah wanita itu pulang menjenguk Johan di rutan. Berbeda dengan saat datang, kini Bu Rinah maupun Pak Sarip lebih terlihat tenang.Hari ini Pak Sarip serta Pak Sapar dan istrinya sudah berniat untuk pulang. Berbeda dengan Pak Sapar yang sudah terlihat tenang, kondisi Pak Sarip malah semakin tak jelas. Lelaki itu kini lebih banyak diam dan terlihat tak bersemangat. Bahkan ia yang awalnya melarang istrinya tinggal lebih lama di rumah Zahra
“Mas, aku telat 2 minggu.”“Telat?”David masih berpikir. Ia belum terlalu paham dengan arah pembicaraan Zahra hingga istrinya meletakkan sebuah benda kecil di genggaman tangannya.Sejenak ia memperhatikan benda pipih berwarna putih dengan 2 garis merah tertera di sana. David beralih menatap Zahra kemudian benda itu bergantian. Seketika ada euforia yang membuncah di dadanya namun ia belum bisa mengekspresikannya.“Ini beneran? Kamu ha-mil?”“M-Mungkin,” jawab Zahra ragu.Sedetik kemudian David sudah membawa Zahra ke dalam pelukannya. Diciumi wajah istrinya bertubi-tubi seraya terus mengucap syukur dalam hati.“Terima kasih, Sayang,” bisik David.Akhirnya apa yang ia impikan terwujud. Meski ini bukan anak pertamanya karena ada Mora sebelumnya. Namun kali ini pertama kalinya ia akan menjadi seorang ayah yang sesungguhnya yang bisa menemani dan memantau tumbuh kembang calon anaknya mul
“Mas bisa pegang Mora sebentar, aku mau siap-siap.”Zahra menyerahkan Mora pada David. Bayi itu sudah cantik dengan setelan baju baby doll berwarna pink dipadukan dengan celana leging panjang berwarna putih. Dikepalanya dipasang bandana bunga yang membuat wajahnya terlihat menggemaskan.Hari ini Zahra dan David akan memenuhi janjinya untuk mengajak Bu Sumi dan Dila jalan-jalan. Selain itu mereka juga berniat membeli oleh-oleh untuk dibawa ke kampung.Zahra sedang memoles lipstik dibibirnya saat mendengar suara tangis Mora melengking keras. Tak membuang waktu, ia langsung berlari keluar menuju arah sumber suara. Bu Sumi dan Dila yang sedang berada di kamar pun ikut berlarian karena suara tangis Mora terdengar sangat kencang.“Mora kenapa, Mas?” tanya Zahra mengambil alih anak sambungnya.Ia menimang Mora sebentar agar tangisnya reda. Namun bukannya semakin tenang, tangisan Mora malah semakin menjadi dan betapa terk
Tiga hari berlalu, namun sikap David belum banyak berubah. Meski tak secara terang-terangan menunjukkan rasa bencinya pada Mora, tapi bisa terlihat jelas jika lelaki itu terus berusaha menghindar untuk bersentuhan langsung dengan Mora.Kemarin Zahra telah memenuhi janjinya untuk mengajak ibu dan Dila jalan-jalan. Meski hanya mengunjungi mall dan arena bermain namun itu sudah cukup membuat kedatangan keduanya ke kota menjadi berkesan.Hari ini keduanya memutuskan untuk pulang. Libur semester yang hampir usai dan Bapak yang sudah berulang kali menelepon membuat Bu Sumi dan Dila tak lagi bisa berlama-lama menemani Zahra. Keduanya pun kemarin sudah menyempatkan waktu untuk berpamitan dengan Andin dan Johan di rutan.“Maaf kami tidak jadi mengantar, Mas David ada pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan,” ujar Zahra beralasan.“Enggak apa-apa, Nak. Lagian kamu lagu hamil muda, enggak baik bepergian jauh-jauh. Sehat-sehat kamu di sini, ya. Kalo ada apa-apa langsung telepon.” Bu Sumi memeluk era
Usia kehamilan Zahra memasuki bulan keempat. Selama ini tak ada kendala yang berarti selain morning sicknes yang Zahra rasakan setiap bangun tidur dan akan hilang dengan sendirinya saat menjelang siang. Untung saja, Wati saat ini sudah kembali bekerja setelah dinyatakan sembuh dan siap untuk kembali melakukan aktivitas sehari-hari. Meski terkadang masih sedikit trauma, namun bagi semboyan wanita itu belum berubah, uang adalah nomor satu dan ia tak bisa berlama-lama berdiam diri di rumah.“Mbak bos, rujak buah sudah siap!” Wati memanggil dengan suara khasnya yang mirip dengan peluit.Dengan sigap Zahra langsung beranjak menuju dapur meninggalkan Mora yang tengah asyik duduk di kuda karetnya sambil berjoget menikmati lagu yang diputar dilayar televisi di depannya.Wajah Zahra langsung berbinar saat melihat berbagai macam potongan buah dalam piring yang tersaji di atas meja lengkap dengan saus gula merah yang tersaji di mangkuk kecil di dekatnya. It
David duduk seraya menopang dagu saat melihat pemandangan indah di depannya. Seorang wanita berpakaian daster bunga-bunga selutut tengah sibuk berkutat dengan masakannya. Perutnya yang semakin membesar sama sekali tak membuat penampilan wanita itu menjadi buruk, bahkan bagi David istrinya itu kini lebih terlihat seksi.“Ada yang bisa dibantu?” David mendekat lalu melingkarkan tangannya ke perut Zahra.“Mau bantu?” Zahra menghentikan gerakannya mengaduk nasi goreng.David mengangguk, ia mencium tengkuk Zahra sekilas. Meski tak memakai parfum, bau tubuh Zahra seakan menjadi candu bagi David.“Kalo mau bantu, sekarang lepas dan duduk manis di sana?” Zahra menunjuk arah meja makan.“Kan aku mau bantuin.”“Lepas, Mas! Malu kalo Wati lihat.”Bukannya melepas, David malah semakin mengeratkan pelukannya.Saat ini Wati tengah membawa Mora berjalan-jalan ke taman kompleks. Hal itu dilakukan agar anak itu bisa lebih luas mengeksplor lingkungannya. Di sana anak itu bisa beraktivitas bebas di alam
“Dasar perempuan bia-d@b! Jadi ini alasan kamu tak pernah pulang?” Pak Sarip menampar keras wajah Zahra—anak bungsunya.“Ma-Maaf, Pak. Zahra bisa jelasin semuanya?” Zahra terus mendekap bayi berumur empat bulan dalam gendongannya.“Jelasin apa, hah? Jelasin kalo kamu hamil tapi enggak menikah? Katakan siapa Ayah dari bayi ini? Biar Bapak patahkan tulang-tulang lelaki itu!” Suara Pak Sarip terdengar menggelegar. Para tetangga kanan kiri rumah yang mendengar pun akhirnya berdatangan.“Sabar, Pak! Kita bisa bicara baik-baik. Kasihan Zahra, Pak. Dia pasti capek setelah perjalanan jauh.” Bu Sumi—istri Pak Sarip berusaha menenangkan suaminya.“Gimana mau sabar, Bu? Pulang merantau bukannya membanggakan orang tua malah bikin malu!” Bu Sumi menggiring anaknya ke dalam kamar sebelum suaminya bertindak lebih jauh. Belum genap dua tahun Zahra pergi dari kampung halaman untuk mengadu nasib di ibukota. Faktor ekonomi menjadi alasan bagi gadis yang saat itu baru lulus SMA agar bisa segera mengub
“Ih, hidungnya mirip Zahra, bibirnya juga,” ucap salah seorang tetangga yang kini tengah berkunjung ke rumah Pak Sarip.“Tapi wajahnya enggak mirip banget sama Zahra, mirip siapa, ya?” timpal yang lain.“Ya mirip Bapaknya lah, orang namanya bikin anak ya berdua. Lahirnya kalo enggak mirip Ibunya ya mirip Bapaknya. Iya enggak, Ra?” jawab Bu Seli yang juga ikut datang.Zahra hanya terdiam tak menanggapi omongan para tetangganya. Baginya percuma saja menjawab, toh ia tahu mereka datang untuk mencibirnya.Rumah Pak Sarip yang semula sepi karena selalu ditinggal bekerja di sawah kini menjadi ramai. Para sanak saudara dan tetangga berbondong-bondong datang untuk menengok bayi yang dibawa pulang Zahra. Banyak yang mencibir namun ada juga yang merasa kasihan dengan nasib Zahra.Zahra dan Bu Sumi pun tak bisa membendung niat para tetangganya. Keduanya tetap mempersilakan masuk sembari terus menguatkan hati untuk mendengarkan suara yang keluar dari mulut mereka.“Bubar-bubar! Ini bukan muyen.