“Dasar perempuan bia-d@b! Jadi ini alasan kamu tak pernah pulang?” Pak Sarip menampar keras wajah Zahra—anak bungsunya.
“Ma-Maaf, Pak. Zahra bisa jelasin semuanya?” Zahra terus mendekap bayi berumur empat bulan dalam gendongannya.“Jelasin apa, hah? Jelasin kalo kamu hamil tapi enggak menikah? Katakan siapa Ayah dari bayi ini? Biar Bapak patahkan tulang-tulang lelaki itu!” Suara Pak Sarip terdengar menggelegar. Para tetangga kanan kiri rumah yang mendengar pun akhirnya berdatangan.“Sabar, Pak! Kita bisa bicara baik-baik. Kasihan Zahra, Pak. Dia pasti capek setelah perjalanan jauh.” Bu Sumi—istri Pak Sarip berusaha menenangkan suaminya.“Gimana mau sabar, Bu? Pulang merantau bukannya membanggakan orang tua malah bikin malu!”Bu Sumi menggiring anaknya ke dalam kamar sebelum suaminya bertindak lebih jauh.Belum genap dua tahun Zahra pergi dari kampung halaman untuk mengadu nasib di ibukota. Faktor ekonomi menjadi alasan bagi gadis yang saat itu baru lulus SMA agar bisa segera mengubah nasib keluarganya. Apalagi melihat Andini—kakak kandungnya yang lebih dulu sukses, niat Zahra semakin tak terbendung meski berulang kali Ibunya melarangnya pergi.Tapi ternyata semua tak seperti harapan. Bukannya pulang membawa segepok u@ng untuk merenovasi rumah atau membeli sawah. Zahra malah membawa bayi merah yang entah anak siapa. Sontak hal itu membuat Pak Sarip sangat syok dan tak terima akan nasib anak bungsunya. Lelaki itu benar-benar merasa gagal sebagai orang tua karena tak bisa menjaga anak gadisnya.**Di luar rumah, desas-desus kepulangan Zahra yang membawa bayi pun langsung tersebar seantero kampung. Zahra yang terkenal cantik, sopan dan alim akhirnya menjadi bahan hujatan siapa saja yang mendengarnya.“Enggak nyangka ternyata Zahra berubah jadi cewek murahan. Pasti di kota dia kerja yang enggak-enggak,” cibir Bu Seli—wanita biang gosip di kampung.“Enggak boleh suuzon gitu Bu Seli, siapa tahu Zahra di salahi sama orang di kota. Tahu sendiri kan, gimana gawatnya keadaan Ibukota sekarang?” timpal Bu Rahayu sang Ibu RT.“Halah, kalo dia di salahi pasti udah pulang sejak dulu enggak nunggu lahir sampe segede itu. Itu pasti anak hasil hubungan gelap dan lakinya sekarang minggat dan dia enggak tahu mau kemana.” Bu Seli menerocos sembari mengunyah dadar gulung di mulutnya.Segerombol ibu-ibu yang mengelilingi tukang sayur itu hanya mengangguk saja. Mereka tahu tak mungkin menang jika berbicara dengan Bu Seli. Tak hanya biang gosip, wanita itu juga istri juragan Romli, pengusaha padi dan beras tersukses di kampungnya.“Masih mendingan Andini, biar dia centil, bajunya seksi tapi kelakuannya bener. Nyatanya dia udah bisa beli sawah dan bantuin bangun dapur rumahnya Bu Sumi.” Bu Seli mengganti topik pembicaraan.“Namanya juga nasib, Bu. Mana ada yang tahu.”“Kalo emang enggak ada Bapaknya, kan bisa digugurin aja. Kalo enggak kasih aja sama pasangan yang belum punya anak dari pada bikin malu kayak gitu.”“Ibu-Ibu, aku permisi dulu, ya. Suamiku udah kelaperan di rumah soalnya.” Bu Rahayu memotong pembicaraan dan diikuti ibu-ibu yang lain. Mereka tahu jika sudah berurusan sama Bu Seli, kasus apa pun di kampung ini enggak akan ada habisnya. Semua akan digoreng bolak-balik sampai gosong ke akar-akarnya.Memang omongan Bu Seli tak sepenuhnya salah. Andini, anak sulung Pak Sarip memang terkenal berhasil di tanah rantau. Wanita yang selalu berpakaian modis bak artis ibukota saat pulang kampung itu sedikit demi sedikit sudah bisa mengubah nasib keluarganya. Dua petak sawah seharga ratusan juta sudah berhasil ia beli, dua ekor sapi serta sebuah sepeda motor yang ia beli secara cash juga cukup menunjukkan keberhasilan seorang berijazah SMP yang katanya hanya bekerja di toko roti.Tapi sayang sekali keberhasilan itu tak berpihak pada Zahra. Meski tingkatan pendidikan gadis itu lebih tinggi dari pada Andini, nyatanya Zahra malah tak menghasilkan apa-apa dan malah memberikan rasa malu pada keluarganya.**“Sebenarnya siapa yang sudah membuatmu seperti ini, Nak?” Bu Sumi mendekati Zahra yang tengah menidurkan anaknya.“Bukan siapa-siapa, Bu. Suatu saat nanti aku pasti cerita setelah Ayah bayi ini bisa aku temui,” jawab Zahra santai sembari terus memegang botol susu yang sedang dilahap bayi mungil yang terbaring di ranjangnya.“Kenapa enggak cerita sekarang aja, biar Ibu merasa tenang.”“Aku enggak punya bukti apa pun, Bu. Kalo pun aku cerita yang sebenarnya, aku yakin Ibu dan Bapak enggak akan percaya.”“Tapi kami butuh kejelasan, Nduk. Tetangga mau bilang apa nanti kalo asal usul anak ini enggak jelas!” Bu Sumi terus mendesak.“Maaf, Bu. Tapi untuk sementara waktu, hanya di sinu tempat paling aman untuk bayi ini.”“Kamu semakin bikin Ibu bingung. Sebenarnya dia anak siapa? Anak kamu atau bukan?” Suara Bu Sumi meninggi. Ia benar-benar tak rela jika anaknya harus menanggung rasa malu atas kehadiran bayi ini tanpa seorang lelaki yang mau bertanggung jawab. Ia tak masalah jika harus menerima kenyataan jika anaknya sudah rusak namun ia pun harus tahu siapa yang telah tega menghamili anaknya dan meninggalkannya begitu saja.Zahra menatap nanar pada bayi yang kini sudah terlelap di hadapannya. Ia memberi nama Amora, nama yang tercetus begitu saja di kepalanya yang hingga saat ini hanya ia yang tahu. Tanpa syukuran tanpa selamatan, nama itu tersemat begitu saja pada bayi yang kini sudah mulai belajar tengkurap itu.“Beri aku waktu beberapa bulan untuk tinggal di sini, Bu, sampai orang yang bisa menjelaskan siapa bayi ini datang.” Zahra memohon.“Tapi sampai kapan, Nak? Aku takut Bapakmu kalap dan tak sengaja menyakitimu atau anak ini nantinya.”“Bagini saja, Bu. Kalo sampai akhir tahun ini, orang itu tak kunjung datang, Bapak dan Ibu boleh mengusirku dari sini.”“Kami tak mungkin mengusirmu, Nak. Kami hanya butuh kejelasan!”Zahra menghela nafas berat, andai saja punya pilihan lain, tentu ia lebih memilih tak pulang dan menyelesaikan masalah tanpa melibatkan orang tuanya. Namun semua sudah terlambat, kejadian dua hari yang lalu membuatnya tak bisa berpikir jernih sehingga memutuskan untuk pulang.Baru saja ingin beranjak, Zahra terperanjat saat ponsel di sampingnya berbunyi tanda sebuah pesan masuk. Dengan cepat ia menyambar ponsel itu dan segera membukanya.[Kembalikan anakku!]**“Ih, hidungnya mirip Zahra, bibirnya juga,” ucap salah seorang tetangga yang kini tengah berkunjung ke rumah Pak Sarip.“Tapi wajahnya enggak mirip banget sama Zahra, mirip siapa, ya?” timpal yang lain.“Ya mirip Bapaknya lah, orang namanya bikin anak ya berdua. Lahirnya kalo enggak mirip Ibunya ya mirip Bapaknya. Iya enggak, Ra?” jawab Bu Seli yang juga ikut datang.Zahra hanya terdiam tak menanggapi omongan para tetangganya. Baginya percuma saja menjawab, toh ia tahu mereka datang untuk mencibirnya.Rumah Pak Sarip yang semula sepi karena selalu ditinggal bekerja di sawah kini menjadi ramai. Para sanak saudara dan tetangga berbondong-bondong datang untuk menengok bayi yang dibawa pulang Zahra. Banyak yang mencibir namun ada juga yang merasa kasihan dengan nasib Zahra.Zahra dan Bu Sumi pun tak bisa membendung niat para tetangganya. Keduanya tetap mempersilakan masuk sembari terus menguatkan hati untuk mendengarkan suara yang keluar dari mulut mereka.“Bubar-bubar! Ini bukan muyen.
Suasana rumah Pak Sarip mendadak terasa horor. Di dalam rumah, empat orang yang tinggal di dalamnya semuanya diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Pak Sarip dan Bu Sumi yang duduk berdampingan di ruang tengah pun hanya membisu. Mereka bingung sekaligus tak habis pikir dengan kelakuan dua anak gadisnya.“Jadi siapa yang benar, Pak? Bayi itu anak siapa?” Suara Bu Sumi terdengar bergetar.“Entah, Bu. Bapak jadi pusing. Kenapa anak-anak kita jadi begini ya, Bu? Bukankah dulu semua baik-baik saja,” ujar Pak Sarip.Di dalam kamar Zahra tengah sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menghela nafas saat panggilannya selalu di abaikan. Sesekali ia melirik pada bayi yang kini tengah terlelap di ranjangnya. Terbesit rasa menyesal karena bayi itu tak hanya merepotkannya namun juga telah memecah belah keluarganya.Zahra merebahkan tubuhnya di samping Amora. Ia memejamkan mata berharap rasa lelahnya sedikit berkurang. Andai saja waktu bisa terulang kembali, ia tak ingin terlibat dalam masalah i
Empat bulan yang lalu ...Waktu sudah menunjuk jam sebelas lewat lima belas saat motor matic yang dikendarai Zahra sampai di depan rumah yang ia tempati bersama Kakaknya. Merantau di kota yang sama dengan saudara membuat hidupnya sedikit lebih mudah karena bisa mendompleng ini itu pada kakaknya.Tak ada hal aneh saat Zahra membuka pintu dengan kunci cadangan yang dimilikinya. Hal biasanya yang gadis itu lakukan setiap masuk kerja shift dua.“Mbak aku pulang,” teriak Zahra.Biasanya di jam seperti ini Andin sudah masuk kamar dan tak terlalu menghiraukan kepulangan adiknya.Meski katanya hanya kerja di toko roti, Andin bisa dibilang sangat sukses. Selain bisa membeli sawah dan merenovasi rumah, wanita itu juga bisa mencicil perumahan kelas menengah yang kini di tempatinya dengan Zahra. Tak hanya itu, semenjak Zahra datang, ia langsung membelikannya sepeda motor untuk menunjang transportasi adiknya.Setelah bersih-bersih, Zahra melangkah menuju dapur. Biasanya Andin sudah membeli sesuatu
Dua jam berlalu, Zahra masih duduk bersandar di sebuah bangku ruang tunggu yang berderet di depan kamar rumah sakit. Di depannya lelaki bernama David terus mondar-mandir dan beberapa kali terlihat menelepon temannya untuk mengamankan kondisi di rumah. Untung saja, rumah yang ditempati Zahra dan Andin bukan rumah petak di perumahan padat penduduk, sehingga kejadian tadi tak terlalu mengundang rasa penasaran banyak orang. Terlebih lagi, para tetangga yang sebagian pekerja selama ini pun terkenal acuh dan tak terlalu sering mencampuri urusan orang lain.“Kenapa kalian tak menikah saja? Kenapa sampai melahirkan?” tanya Zahra lirih.“Andai saja Andin mau, aku sudah menikahinya sejak lama,” jawab David.“Bohong!” “Jika aku berbohong, aku tak akan berada di sini. Lebaran kemarin aku sudah memaksanya pulang dan kita menikah di sana tapi Andin menolak.”Zahra kembali terdiam, jujur saja ia tak begitu mengenal David. Selama ia tinggal bersama Andin, hanya beberapa kali keduanya bertemu dan sa
“Gimana rasanya punya anak tapi enggak punya suami? Enak?” sindir Andin saat Zahra tengah menyiapkan susu di dapur. “Bukan urusan kamu, Mbak!” jawab Zahra sembari berlalu.“Mending kamu bawa lagi bayi itu ke kota, di sana ada orang yang menawarnya mahal, dua ratus juta, lumayan, kan? Kita bisa kasih Ibu dan Bapak seratus buat beli sawah, yang seratus kita bagi dua.”“Dasar str-ess!” “Kamu yang bikin aku str-es!”Zahra tak memedulikan omongan kakaknya. Wanita itu bisa berkata demikian karena saat ini kedua orang sedang berada di sawah. Nanti saat mereka pulang, pasti Andin akan bersandiwara jika ia bukanlah Ibu kandung Amora."“Minum su-su dulu ya, Sayang.” Zahra menyodorkan dot berisi seratus mililiter susu yang baru saja di buatnya pada Amora.Bayi yang kini sudah bisa tengkurap namun belum bisa kembali terlentang itu langsung meraih botolnya seolah ia bisa memegangnya sendiri.Hampir lima bulan menjadi Ibu asuh bagi keponakannya membuat Zahra sudah terbiasa dengan tingkah lucu Amo
“Arggg!”Zahra membuang ponselnya kasar ke atas ranjang. Sudah lebih dari lima puluh pesan ia kirimkan pada David tapi hingga saat ini tak ada tanda-tanda jika lelaki itu menerima pesannya. Waktunya tinggal dua hari lagi untuk menentukan nasibnya juga Amora.“Ya ya ya ya.”Zahra tersenyum pada Mora yang berbaring di samping kanannya. Sudah beberapa hari ini bayi itu gemar mengoceh. Jika sedang penat, suaranya seolah memberinya kekuatan tersendiri. Zahra memiringkan tubuhnya hingga menghadap Mora, ia menatap lekat bayi yang bentuk wajahnya adalah perpaduan antara wajah Andin dan David. Tapi kemiripan wajah Zahra dan Andin pasti menjadikan orang lain berpikir jika itu mirip dengannya.“Beri tante kekuatan, Sayang. Ibu dan Ayahmu memang manusia tak berperasaan. Mereka hanya sibuk dengan kesenangan dan urusan mereka sendiri,” gumam Zahra.“Ya ya ya ya ya.”Zahra tertawa, ia menganggap ocehan Mora barusan adalah cara bayi itu menjawab curhatannya.Sembari menunggui Mora, Zahra memutuskan u
“Bagaimana? Sudah bisa dihubungi?”“Be-belum, Pak.”Zahra menunduk, ia tak tahu lagi harus beralasan apa karena sedari kemarin Bapaknya terus menanyakan hal itu.“Jika kamu bersikeras mau merawat anak itu, Silakan keluar dari rumah ini. Bapak tidak mau melihat anak haram itu berada di sini!” ucap Pak Sarip tegas.“Jangan seperti ini, Pak, Zahra anak kita, kan?” Bu Sumi mencoba bernegosiasi dengan suaminya. Meski ia kecewa, tapi sebagai seorang Ibu tentu tak rela jika melihat anaknya di usir dari rumah. Lagi pula ia juga memikirkan bagaimana cara Zahra menghidupi dan membesarkan anak itu di luar sana.“Tapi dia sudah melempar kotoran di muka kita, Bu. Bapak kecewa sama dia, Bu. Bertahun-tahun Bapak banting tulang demi membiayai sekolahnya, malah ini balasan yang dia berikan untuk kita, Bu. Bapak enggak sudi punya anak gadis murahan seperti dia!” Pak Sarip menunjuk wajah Zahra.Air mata Zahra akhirnya luruh, ternyata dia telah sala
BAYI YANG KUBAWA PULANG BAB 8Zahra mengurungkan langkahnya, ia mundur perlahan memberi jalan agar David bisa masuk. “Da-David?”Sama dengan Zahra, Andin pun tak kalah terkejut dengan kedatangan David yang begitu tiba-tiba serta pas di saat-saat kepergian Zahra.“Ini lelaki yang bernama David?” tanya Pak Sarip.“I-Iya, Pak,” jawab Andin ragu.“Kur*ng @jar! Jadi kamu yang sudah menghamili anakku, hah?”Tanpa aba-aba Pak Sarip langsung melayangkan pukulan tepat mengenai wajah David hingga tubuhnya terhuyung ke belakang.“Ma-Maaf, Pak—“Belum sempat bicara, Pak Sarip kembali menghadiahi bogem mentah pada wajah David hingga sudut bibir lelaki itu mengeluarkan darah segar.“Dari mana saja kamu, hah? Kenapa baru muncul sekarang?”“Ma-Maaf, Pak.”Pak Sarip mencengkeram kemeja yang dipakai David dengan satu tangannya sedangkan tangan yang lain kembali bersiap memukul.“Stop, Pak. Jangan seperti ini!” Bu Sumi merangkul suaminya dari belakang.“Lepas, Bu! Biar bapak beri pelajaran lelaki y
Zahra menghentikan langkahnya saat melihat seorang wanita bermake up tebal serta berpenampilan glamor sudah berdiri di ruang tamu bersama seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi roda.“Silakan masuk,” sambut David dingin.“Terima kasih, maaf jika mengganggu, aku hanya mengantar mama yang penasaran dengan keluarga baru mantan menantunya,” jelas Marta sambil membukan kaca mata hitamnya.Seketika Zahra mematung, entah mengapa ia menjadi tak suka jika harus berurusan dengan keluarga mantan istri suaminya.“Apa kabar, David?” tanya wanita bernama Sarni sambil membenarkan posisi kursi rodanya.”“Ba-Baik, Ma.”David tak menyangka setelah sekian lama akhirnya ia bisa bertemu dengan mantan ibu mertuanya. “Mama apa kabar?” David berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh Bu Sarni.“Gara-gara kamu enggak mau nengokin mama, dia jadi maksa minta ke sini. Lagian apa salahnya
Suka cita menyambut anggota keluarga baru begitu kentara di rumah David. Suara tangis bayi sesekali terdengar menghiasi rumah mengimbangi teriakan Wati yang semakin kewalahan mengasuh Mora. Anak itu kini sudah pintar berlari, berbicara dengan nada cadel dan melakukan segala hal sesukanya termasuk mengganggu adiknya.Mikola Ardian adalah nama yang disematkan pada bayi berumur dua bulan 0yang kini melengkapi kebahagiaan David dan Zahra termasuk Mora yang begitu antusias dengan kehadiran Miko ditengah-tengah mereka. Anak itu berkali-kali ingin memegang dan mencium adiknya bak bermain boneka.“Diam di situ ya, Sayang. Mbak mau mandi sebentar,” tutur Wati pada Mora.“Ote.” Gadis kecil berponi itu mengangguk semangat.“Titip bentar, Mbak bos.”“Santai, aman kalo sama aku,” jawab Zahra.Zahra meraih Mora dalam pangkuannya. Semenjak Miko lahir, perhatian Zahra memang harus terbagi. Tapi bukan berarti ia melupakan Mora sepenuhnya. Setiap hari ia tetap berusaha meluangkan waktu untuk sekedar be
Seorang wanita bertubuh kurus yang memakai kaos longgar berwarna biru duduk termenung dipojok ruangan. Rambutnya yang kusut dicepol asal hingga memperlihatkan tulang selangkanya yang begitu jelas menandakan tubuhnya yang semakin mengurus. Wajah yang dulu terlihat cantik, mulus dan terawat, kini berubah menjadi kusam dengan beberapa bekas jerawat terlihat di sana.Belum genap satu tahun menjadi penghuni rumah tahanan, Andin sudah merasa tak tahan dan selalu ingin cepat-cepat keluar dari tempat sempit dan menjijikkan seperti sekarang ini. Siapa orang yang tahan menghabiskan harinya ruangan pengap tanpa jendela dan terkurung jeruji besi tanpa bebas keluar masuk tanpa tujuan pasti. Tidur dengan beralaskan kasur tipis nan keras tanpa pendingin ruangan ataupun kipas angin juga harus berbagi dengan dua orang tahanan lainnya yang tak pernah ia kenal sebelumnya.“Arrgghh ...!” pekik Andin sembari menjambak rambutnya kasar.“Berisik! Bisa diem enggak, sih! Lebay banget, sih!” bentak wanita bert
“Ada hubungan apa kamu sama Marta?”“Maksud kamu apa, Sayang?”Zahra melempar kasar ponsel suaminya ke atas ranjang. Hanya berselang beberapa saat setelah Yoga pergi, ia langsung mencecar David.Yakin ada yang tidak beres, David segera mengecek ponselnya. Benar saja, ia menemukan satu pesan yang membuat istrinya begitu marah.“Aku enggak ngelarang kami berhubungan sama siapa pun termasuk keluarga mendiang istrimu. Tapi aku enggak suka kalo kamu menyembunyikan sesuatu dariku!” ujar Zahra.“Aku tak pernah menyembunyikan apa pun. Kamu salah paham!”“Salah paham apanya? Sudah jelas dia bilang terima kasih atas transferannya, itu berarti kamu habis memberinya uang, kan?”“Aku bisa jelasin semua.”“Terserah kamu, Mas.”Zahra hampir saja pergi meninggalkan kamar saat David dengan sigap menahannya. Kesalahpahaman seperti ini tak bisa dibiarkan begitu saja karena ia takut mengganggu pikiran Zahra yang bisa berakibat buruk pada janin di perutnya.“Duduk dulu, ya,” tutur David lembut sambil menu
David duduk seraya menopang dagu saat melihat pemandangan indah di depannya. Seorang wanita berpakaian daster bunga-bunga selutut tengah sibuk berkutat dengan masakannya. Perutnya yang semakin membesar sama sekali tak membuat penampilan wanita itu menjadi buruk, bahkan bagi David istrinya itu kini lebih terlihat seksi.“Ada yang bisa dibantu?” David mendekat lalu melingkarkan tangannya ke perut Zahra.“Mau bantu?” Zahra menghentikan gerakannya mengaduk nasi goreng.David mengangguk, ia mencium tengkuk Zahra sekilas. Meski tak memakai parfum, bau tubuh Zahra seakan menjadi candu bagi David.“Kalo mau bantu, sekarang lepas dan duduk manis di sana?” Zahra menunjuk arah meja makan.“Kan aku mau bantuin.”“Lepas, Mas! Malu kalo Wati lihat.”Bukannya melepas, David malah semakin mengeratkan pelukannya.Saat ini Wati tengah membawa Mora berjalan-jalan ke taman kompleks. Hal itu dilakukan agar anak itu bisa lebih luas mengeksplor lingkungannya. Di sana anak itu bisa beraktivitas bebas di alam
Usia kehamilan Zahra memasuki bulan keempat. Selama ini tak ada kendala yang berarti selain morning sicknes yang Zahra rasakan setiap bangun tidur dan akan hilang dengan sendirinya saat menjelang siang. Untung saja, Wati saat ini sudah kembali bekerja setelah dinyatakan sembuh dan siap untuk kembali melakukan aktivitas sehari-hari. Meski terkadang masih sedikit trauma, namun bagi semboyan wanita itu belum berubah, uang adalah nomor satu dan ia tak bisa berlama-lama berdiam diri di rumah.“Mbak bos, rujak buah sudah siap!” Wati memanggil dengan suara khasnya yang mirip dengan peluit.Dengan sigap Zahra langsung beranjak menuju dapur meninggalkan Mora yang tengah asyik duduk di kuda karetnya sambil berjoget menikmati lagu yang diputar dilayar televisi di depannya.Wajah Zahra langsung berbinar saat melihat berbagai macam potongan buah dalam piring yang tersaji di atas meja lengkap dengan saus gula merah yang tersaji di mangkuk kecil di dekatnya. It
Tiga hari berlalu, namun sikap David belum banyak berubah. Meski tak secara terang-terangan menunjukkan rasa bencinya pada Mora, tapi bisa terlihat jelas jika lelaki itu terus berusaha menghindar untuk bersentuhan langsung dengan Mora.Kemarin Zahra telah memenuhi janjinya untuk mengajak ibu dan Dila jalan-jalan. Meski hanya mengunjungi mall dan arena bermain namun itu sudah cukup membuat kedatangan keduanya ke kota menjadi berkesan.Hari ini keduanya memutuskan untuk pulang. Libur semester yang hampir usai dan Bapak yang sudah berulang kali menelepon membuat Bu Sumi dan Dila tak lagi bisa berlama-lama menemani Zahra. Keduanya pun kemarin sudah menyempatkan waktu untuk berpamitan dengan Andin dan Johan di rutan.“Maaf kami tidak jadi mengantar, Mas David ada pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan,” ujar Zahra beralasan.“Enggak apa-apa, Nak. Lagian kamu lagu hamil muda, enggak baik bepergian jauh-jauh. Sehat-sehat kamu di sini, ya. Kalo ada apa-apa langsung telepon.” Bu Sumi memeluk era
“Mas bisa pegang Mora sebentar, aku mau siap-siap.”Zahra menyerahkan Mora pada David. Bayi itu sudah cantik dengan setelan baju baby doll berwarna pink dipadukan dengan celana leging panjang berwarna putih. Dikepalanya dipasang bandana bunga yang membuat wajahnya terlihat menggemaskan.Hari ini Zahra dan David akan memenuhi janjinya untuk mengajak Bu Sumi dan Dila jalan-jalan. Selain itu mereka juga berniat membeli oleh-oleh untuk dibawa ke kampung.Zahra sedang memoles lipstik dibibirnya saat mendengar suara tangis Mora melengking keras. Tak membuang waktu, ia langsung berlari keluar menuju arah sumber suara. Bu Sumi dan Dila yang sedang berada di kamar pun ikut berlarian karena suara tangis Mora terdengar sangat kencang.“Mora kenapa, Mas?” tanya Zahra mengambil alih anak sambungnya.Ia menimang Mora sebentar agar tangisnya reda. Namun bukannya semakin tenang, tangisan Mora malah semakin menjadi dan betapa terk
“Mas, aku telat 2 minggu.”“Telat?”David masih berpikir. Ia belum terlalu paham dengan arah pembicaraan Zahra hingga istrinya meletakkan sebuah benda kecil di genggaman tangannya.Sejenak ia memperhatikan benda pipih berwarna putih dengan 2 garis merah tertera di sana. David beralih menatap Zahra kemudian benda itu bergantian. Seketika ada euforia yang membuncah di dadanya namun ia belum bisa mengekspresikannya.“Ini beneran? Kamu ha-mil?”“M-Mungkin,” jawab Zahra ragu.Sedetik kemudian David sudah membawa Zahra ke dalam pelukannya. Diciumi wajah istrinya bertubi-tubi seraya terus mengucap syukur dalam hati.“Terima kasih, Sayang,” bisik David.Akhirnya apa yang ia impikan terwujud. Meski ini bukan anak pertamanya karena ada Mora sebelumnya. Namun kali ini pertama kalinya ia akan menjadi seorang ayah yang sesungguhnya yang bisa menemani dan memantau tumbuh kembang calon anaknya mul