Share

BAB 6. LUDES

Penulis: Putri putri
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-11 20:31:10

“Dari mana saja kamu sih, Dek? Di tunggu dari tadi enggak pulang-pulang!” 

Belum juga aku naik ke teras, Mas Bayu langsung bersungut-sungut menyambutku. Dari intonasinya, jelas sekali dia tengah menahan kesal. 

“Kan aku sudah bilang mau cari angin,” sahutku  sambil terus berjalan masuk rumah, tanpa memedulikan dia yang terus menggerutu di belakangku.

“Mana makanannya, Mbak?” tanya Sarah saat aku sampai di ruang tengah. 

Aku menghentikan langkah, menatap bingung pada adik iparku yang tengah duduk memegang ponsel.

“Makanan apa?” tanyaku bingung.

“Ya makanan, Mbak. Dari tadi kami belum makan apa-apa!” keluh adik iparku. 

“Kan tadi pagi Ibu sudah bilang kamu di suruh beli makanan. Kok malah pulang tangan kosong,” timpal Mas Bayu dari arah belakang.

Sejenak aku mengalihkan pandangan ke wajah Mas Bayu. Aku baru ingat ucapan ibu tadi pagi, tapi aku pikir mereka bisa melakukannya sendiri. 

“Maaf, Mas, aku lupa. Lagian kenapa kalian enggak beli sendiri sih? Di depan kan ada warung makan,” sahutku sambil menatap mereka bergantian. 

“Kalau uangnya ada, enggak diajari juga tahu, Mbak!” ucap Sarah dengan nada suara terdengar jengkel. 

Aku mengernyitkan dahi berusaha mencerna ucapan Sarah. Beberapa saat berpikir, aku tak kunjung paham dengan apa yang diucapkan adik iparku. 

“Maksudnya bagaimana sih? Kok aku enggak mudeng omongan kamu,” tanyaku pada gadis yang mukanya ditekuk. 

“Mas Bayu kan enggak bekerja, Mbak, jadi enggak punya uang.” 

Mendengar ucapan Sarah, seketika aku langsung terkejut. Kenapa Mas Bayu enggak pernah cerita kalau dia enggak bekerja. 

“Kenapa kamu enggak bekerja, Mas? Sejak kapan?” cecarku. 

Bukannya menjawab, Mas Bayu justru menundukkan kepala sambil sesekali menggaruk tengkuk. 

“kenapa diam, Mas?” tanyaku lagi. 

“Sudah sebulan ini aku menganggur, Dek. Aku di pecat.” 

Akhirnya suamiku membuka suara juga. Namun tetap saja aku merasa kecewa. Seharusnya dia menceritakan semua padaku. Bukan malah seperti ini. 

“Kenapa kamu enggak cerita sama aku?” 

“Sebenarnya aku mau cerita, tapi takut kamu marah, Dek,” jawab suamiku lirih. 

Apa pun alasannya, aku tetap tak suka dengan cara Mas Bayu yang seperti ini. Dalam rumah tangga, keterbukaan antar pasangan menjadi suatu keharusan, agar tak ada saling curiga. 

Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Sebisa mungkin aku berusaha sabar. Toh, semua juga sudah terlanjur. 

“Ya sudah, uang tabungannya kita ambil semua saja, Mas. Aku juga sudah enggak pegang uang. Di ATM juga tinggal sedikit.  Sekalian nanti mau di pakai buat modal isi toko,” ucapku kemudian. 

“Uang tabungan sudah habis, Dek,”

Seperti petir di siang bolong, kalimat yang Mas Bayu ucapkan berhasil membuat jantungku serasa berhenti berdetak. 

“Kamu sedang bercanda kan, Mas?” tanyaku menolak percaya dengan apa yang kudengar.

“Enggak, Dek. Uangnya benar-benar habis,” sahut Mas Bayu. 

Gelombang kemarahan yang tadi sempat mereda, kini kembali menggulung-gulung di dalam hati. Rasanya aku tak lagi sanggup untuk menahannya. 

“Kenapa bisa habis! Kamu gunakan untuk apa!” hardikku menatap nyalang pada Mas Bayu. 

Setiap bulan aku memang rutin menransfer gajiku ke rekening mas bayu. Aku hanya menyisakan sedikit untuk pegangan saja. Semua kulakukan sebagai bentuk rasa percaya pada suami. 

Saat Masih di rumah, Mas Bayu selalu memberikan semua gajinya padaku. Dia benar-benar memberiku kepercayaan untuk mengelola keuangan. Itulah yang menjadi alasan kenapa aku mentransfer gajiku padanya. 

Aku melirik sekilas pada Sarah yang tertunduk memainkan ponselnya. Perlahan dia beringsut minggir lalu beranjak menjauhi kami. Mungkin dia tak enak hati melihat pertengkaran ini. 

“Ya untuk kebutuhan sehari-hari,” jelas suamiku kemudian.

“Kebutuhan apa, Mas? Kamu jangan bohong!” 

Sedikit pun aku tak percaya dengan alasan yang dikemukakan olehnya. Dulu, waktu hanya Mas Bayu yang bekerja, gajinya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian kami, termasuk ibu dan Sarah. Bahkan aku masih bisa menyisihkan sedikit untuk tabungan. Lalu kenapa di saat aku dan Mas Bayu sama-sama bekerja, uangnya justru ludes tak bersisa? 

“kebutuhan kita banyak, Dek. Inilah, itulah, semua pakai uang. Bukan pakai daun!” bentak Mas Bayu. 

“Hei! Kamu yang menghabiskan uangku, kenapa malah ikut marah?” protesku tak terima karena dibentak. 

“Uang istri uang suami juga, Dek,” sahut Mas Bayu sedikit menurunkan intonasinya. 

Apa dia bilang? Sejak kapan harus seperti itu? Setahuku, yang namanya uang istri tetap uang istri, sedangkan uang suami memang uang istri juga. Terus kenapa Mas Bayu bisa berpikir begitu? 

“Apa enggak kebalik, Mas?” cibirku mengejek pendapatnya. 

Mas Bayu terdiam. Dia hanya terpaku menatapku dengan dada naik turun. Aku yakin dia tersinggung dengan ucapanku. Bodo amat. Aku tak lagi peduli dengan perasaannya, seperti dia yang tak mengkhawatirkan perasaanku. 

Kecewa? Tentu saja! Perempuan mana yang tak marah jika hasil jerih payahnya selama di kota habis tanpa sepengetahuannya? Kalaupun ada, itu bukan aku. 

“Sekarang katakan, Mas! Kamu kemanakan uangku?” tanyaku kemudian.

“Kan aku sudah jawab, Dek!” sahut Mas Bayu. 

“Enggak mungkin, Mas! Kita hidup di kampung. Kamu juga baru sebulan menganggur. Uang empat juta yang aku kirim tiap bulan tak mungkin habis hanya untuk makan, kecuali memang kamu sengaja menghabiskannya,” jelasku dengan nafas terengah-engah. 

“Atau jangan-jangan kamu gunakan untuk modal selingkuh!” tuduhku kemudian. 

Ya! Ini masuk akal. Dimana-mana yang namanya selingkuh itu butuh modal. Enggak mungkin juga selingkuh mau hemat. Pasti maunya senang-senang. 

“Kamu kok menuduh terus sih, Dek! Aku enggak selingkuh,” kilah Mas Bayu. 

“Sini ponsel kamu. Biar aku lihat. Siapa tahu kamu habis chatingan sama Mbak Nilam,” ucapku sembari menadahkan tangan. 

Ya. Aku memang berniat menyelidiki ponsel Mas Bayu. Daripada susah payah menunggu dia tertidur, lebih baik aku memintanya langsung.

Mas Bayu tampak merogoh saku celananya lalu mengeluarkan benda pipih dari sana. Dia pun lantas menyerahkan ponsel itu padaku, tanpa merasa keberatan sedikit pun. 

Tanpa menunggu lama, aku langsung menerima ponsel itu lalu membawanya ke dalam kamar. Setelah mengunci pintu, aku langsung mengotak-atik ponsel Mas Bayu. 

Beberapa lama mencari, aku tak kunjung menemukan sesuatu yang mencurigakan. W*, f******k, I* semua sudah kutelusuri. Namun tak ada satu pun pesan yang menjurus ke perselingkuhan. Bahkan aku tak menemukan kontak dengan nama ‘Nilam’ di ponsel Mas Bayu. Hanya kontak suaminya saja yang ada.

Kebetulan sekali. Aku tak perlu susah payah mencari nomor suaminya Mbak Nilam. Tinggal  ambil saja dari sini. 

“Dek, buka pintunya. Kamu lagi apa?”

Teriakan Mas Bayu terdengar memekakkan telinga, seirama bunyi daun pintu yang terus digedor-gedor. Merasa terganggu oleh suara berisik itu, aku menghentikan aktivitasku lalu membuka pintu. 

“Mana ATM kamu?” tanyaku setelah pintu terbuka. 

“Buat apa, Dek?” 

“Sudah, kasih saja. Aku mau lihat.” 

Mas Bayu langsung merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan dompet dari sana. Aku melirik sekilas saat suamiku membuka benda itu. Benar saja. Aku tak melihat ada selembar uang pun di dalam benda itu. 

“Pin-nya?” tanyaku setelah menerima kartu ATM Mas Bayu. 

“tanggal lahirku,” jawabnya. 

“Kunci Motor?” tanyaku lagi. 

“Di atas tivi. Memangnya mau ke mana, Dek?” 

“Cari makan. Lapar,” sahutku ketus sambil beranjak mendekati televisi. 

“Ikut, Dek. Aku juga belum makan,” rengek suamiku  

“Kamu lapar, Mas?” 

“Ponsel ini kalau ditukar makanan dapat banyak. Tinggal jual saja!” ejekku sembari menarik tangan Mas Bayu lalu meletakkan ponsel di telapak tangannya. 

Setelah menyambar kunci motor, aku langsung meninggalkan Mas Bayu yang masih melongo dengan ponsel di tangannya. 

“Ingat, Mas! Kamu harus mengganti semua uangku!” pesanku sebelum benar-benar keluar rumah. 

Bab terkait

  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   SUAMI NILAM

    Sepeda motor yang aku kendarai melaju kencang membelah jalanan desa yang sepi akan pengendara. Meski terik menyengat, tak sedikit pun menyurutkan niat untuk pulang ke rumah orang tua. Selain rindu yang menggebu, aku juga ingin menenangkan pikiran. Barangkali di sana aku menemukan ide untuk membongkar perselingkuhan Mas Bayu. Setengah jam berkendara, akhirnya aku sampai di kediaman orang tuaku. Sebuah rumah model lama dengan dinding terbuat dari anyaman bambu. Pohon mangga yang rimbun tampak berdiri kokoh di halaman yang lumayan luas ini.Mataku menatap rindu pada rumah di hadapanku. Sekelebat bayangan masa kecil melintas begitu saja di kepala. Masa di mana aku tak pernah merasakan beban seberat ini. Orang tuaku tidak kaya, tapi juga tak dibilang miskin. Meski rumah terlihat sederhana, mereka memiliki beberapa petak sawah yang cukup untuk menghidupi kami. Ruko yang mereka beli untukku merupakan hasil dari menjual sebagian sawah. 

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-18
  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   PERGI

    Tanpa terasa hari sudah beranjak sore. Itu berarti sudah setengah hari aku berada di rumah ibu. Meski masih kangen, mau tak mau aku harus kembali ke rumah Mas Bayu. Jika aku menginap, bisa dipastikan ibu akan terus mencecarku karena datang sendirian. Setelah pamit, aku langsung meninggalkan rumah ibu. Di jalan, aku menyempatkan mampir ke ATM mengecek saldo Mas Bayu. Benar saja. Isinya kurang dari seratus ribu. Untung saja di ATM-ku masih ada beberapa ratus ribu. Cukuplah untuk makan seminggu. Selebihnya pikirkan nanti saja. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk tanpa mengetuk pintu dulu. Waktu belum terlalu petang, jadi pintu belum dikunci. Ibu, Mas Bayu dan adiknya tampak sedang berkumpul di ruang keluarga saat aku lewat. Mereka duduk mengitari meja dengan mata menatap lekat ke arahku. Mencoba abai, aku tetap berlalu tanpa menyapa. “Duduk dulu, Dek. Ada yang mau ibu bicarakan,” ucap Mas Bayu sembari menep

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-19
  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   RENCANA

    BAYI TETANGA MIRIP SUAMIKUAku melajukan motor pelan tanpa tujuan yang pasti. Bingung juga sih. Kalau pulang ke rumah nanti ibu bakalan tahu masalah yang sedang aku hadapi.Saat tengah kebingungan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Gegas aku menghentikan motor lalu mengambil benda pipih dari tas lalu membukanya. “Bagaimana, Lin? Sudah bisa menangkap basah mereka?” Sebuah pesan dari Rere-sahabatku, terpampang jelas di layar ponsel. Ah. Kenapa aku tidak ke rumah Rere saja. Aku yakin dia bisa membantuku. “Nanti aku ceritakan,” Dengan cepat aku mengetik pesan lalu mengirimnya pada Rere. Setelah itu, aku langsung tancap gas, melajukan motor ke rumahnya. Aku langsung disambut hangat oleh sahabatku saat sampai di rumahnya. Dia memang tinggal sendiri. Rumah yang ia tinggali merupakan hasil jerih payahnya selama ini. Aku pun lantas bercerita mengenai apa y

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-20
  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   BERAKSI

    Sesampainya di rumah, Rere mempersilakan Mas Angga di ruang tamu, sementara aku diajak ke kamarnya. Gegas aku mengekori sahabatku yang lebih dulu masuk kamar. Segera kuhempaskan tubuh di atas ranjang dengan mata memejam erat. Kedua tangan tertangkup pada wajah kusut yang terbebani masalah. Sekelebat bayangan masa indah bersama Mas Bayu tiba-tiba hadir mengganggu pikiranku. Dibalik tutur lembutnya, banyak sekali tersimpan kepalsuan. Aku pikir dia akan memberi bahagia untukku, ternyata luka yang ia torehkan.“Kamu yakin rencanamu akan berhasil?” Meski tak keras, kalimat yang diucapkan Rere berhasil membuyarkan lamunan. Gegas aku bangkit lalu menatap dia yang duduk di tepian ranjang. “Semoga saja, Re,” sahutku lirih,“Bagaimana jika nanti ternyata suamimu tak mendatangi Nilam? Apa kamu akan menepati janjimu pada Angga?” tanya Rere serius. Aku terdiam. Pikiranku kembali

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-21
  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   JANGAN MENGELAK!

    “Ini apa?” tanyaku kemudian. Sepasang suami istri itu menatap lekat pada benda yang kupegang. Mas Angga mendekat lalu dengan cepat benda itu sudah berpindah tangan. Kualihkan pandangan pada laki-laki di sebelahku. Wajahnya merah padam dengan nafas terdengar memburu. Bunyi gemeletuk gigi yang saling beradu, mengisyaratkan bahwa dia tengah menyimpan murka.  “Ini punya siapa, Ma!” teriak Mas Angga sembari menatap marah pada istrinya. Mbak Nilam terpaku memandang benda di tangan suaminya. Senyum kemenangan yang tadi terlihat di wajahnya, kini hilang terganti pias. Bibirnya bergerak tapi tak menghasilkan suara. “Ayo jawab!” bentak Mas Angga. “itu... itu bukan punyaku, Pa.” sahut Mbak Nilam tergagap. Tentu saja ini bukan kepunyaan dia. Benda ini kan untuk dipakai laki-laki. “Jangan bohong! Jelas-jelas ini ditemukan di sini. Siapa yang telah mengg

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-22
  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   MENOLAK CERAI

    Aku melihat kemarahan pada diri Mas Angga, sesaat setelah dia menatap layar ponsel yang diberikan Rere.  Sepasang mata itu melotot tajam pada Mas Bayu. “Dasar baj!ngan!” Tanpa aba-aba, Mas Angga langsung melayangkan kepalan tangan pada wajah suamiku. Tak mampu menghindar, pukulan itu mendarat tepat di wajah suamiku hingga darah kental meleleh dari sudut bibirnya. Mas Bayu mengaduh kesakitan. Ibu mertua terlihat panik. Berusaha melerai tapi urung. Dia hanya memegangi tubuh anaknya yang hampir terjatuh karena hantaman bogem mentah Mas Angga. Rasa penasaran memaksaku merebut ponsel dari tangan Mas Angga. Sepasang bola mataku terbelalak sempurna saat menyaksikan video di benda pipih ini. Mas Bayu tampak terburu-buru keluar dari pintu belakang rumah, sementara Mbak Nilam langsung menutup rapat pintu. Tangan suamiku memegang baju dan celana yang seharusnya dia pakai. Menjijikkan.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-23
  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   AWAL PEMBALASAN

    Tanpa terasa seminggu telah berlalu sejak penggerebekan Mas Bayu . Selama itu juga kucoba mengobati luka yang menganga karena dusta. Sempat terbesit sesal telah menikah dengan Mas Bayu, tapi segera kutepis. Semua yang terjadi telah terjadi dan tak akan terulang kembali. Anggap saja sebagai pelajaran agar kelak aku lebih berhati-hati sebelum memilih. Rere sungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia  telah menyuntikkan dana pada toko yang akan kubuka, bahkan terlibat langsung mencari distributor barang-barang yang akan kujual nanti.Beberapa hari ini, dia juga mengajakku jalan-jalan. Walau kadang hanya berkendara tanpa tujuan, tetap saja mampu mengikis pilu yang kugenggam. “Kamu jadi pulang sekarang?” tanya Rere saat aku mengemasi pakaian.“Iya, Re. Makasih ya kamu sudah baik banget sama aku. Entah dengan apa aku membalas,” sahutku. “Enggak usah dibalas, cukup doakan saja semoga aku bisa jadi lebih baik,” ucap Rer

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-24
  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   BANGKIT

    Sesampainya di rumah, aku tak melihat Mbak Nilam ada di teras. Padahal aku ingin sekali memamerkan kedekatan kami padanya. Gegas aku mengikuti langkah Mas Bayu yang lebih dulu masuk. Tangan kanannya menenteng kantong plastik berisi daun singkong untuk selingkuhannya.“Mbak, kamu di mana?” teriak Mas Bayu saat Mbak Nilam tak terlihat di ruang tamu maupun ruang tengah. Samar terdengar bunyi derit pintu dari arah kamar kami. Aku memutar kepala menoleh ke sumber suara tadi. Sungguh aku kaget saat Mbak Nilam terlihat menyembul dari balik pintu kamar kami.  Kurang ajar sekali dia masuk kamar orang sembarangan. Atau memang sudah diizinkan Mas Bayu? “Jangan teriak-teriak. Anakku lagi tidur,” ketus Mbak Nilam pada suamiku. “Kamu kenapa sih, Mbak? Kok cemberut begitu?” tanya Mas Bayu bingung. “Kamu tanya kenapa! Kalian pergi tanpa mengajakku. Kok masih bisa tanya kenapa. Kamu gimana sih?” m

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-25

Bab terbaru

  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   ENDING?

    5 bulan kemudian.Pada akhirnya aku bisa bernafas lega karena pengadilan menyetujui perceraian kami meskipun harus melewati drama yang cukup melelahkan.Mas Reyhan bersikukuh tak mau berpisah. Itulah kenapa kasus perceraian ini tak kunjung selesai. Bahkan di pengadilan dia terus meminta perceraian ini dibatalkan. Selama proses persidangan, aku tinggal di rumah orang tuaku. Ini kulakukan agar ada yang menjaga Hanin saat pergi ke toko ataupun urusan yang berhubungan dengan perceraian. Di hari minggu sore ini aku memilih duduk di teras menikmati kesendirian ketimbang melakukan aktivitas lain. Sengaja aku tidak ke toko karena ingin melepas lelah setelah semua yang kulewati. Deru mesin mobil yang memasuki halaman berhasil memecah kesunyian yang tengah kubangun. Sesosok laki-laki yang selama ini mengganggu tidurku turun bersama Bu Erna, perempuan yang sudah seperti ibu bagiku. Benar. Dia memang Daffa. Sejak hari itu kami tak pernah lagi bertemu. Bahkan sekedar say hello melalui jejaring

  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   SESAL

    POV Reyhan. Aku menatap nanar pada kertas di tanganku. Sedikit pun tak pernah terlintas dalam pikiran bahwa semua terbongkar dan akhirnya Rere akan menggugat cerai. Sebenarnya aku sudah berencana mengakhiri hubungan dengan Dera karena mulai merasakan cemburu melihat kedekatan Rere dan Daffa. Sayangnya semua harus terbongkar sebelum sempat aku mengakhiri. “Aku enggak nyangka kamu berubah menjadi monster yang kejam, Rey,” tutur Elin seusai perginya Rere dan Daffa. Aku mengalihkan pandangan pada sosok yang pernah mengisi hati ini. Entah sejak kapan getaran indah yang dulu kurasakan kini tak ada lagi. “Maafkan aku, Lin.” Aku membuang muka ke sembarang arah. “Bilang maaf itu gampang, Mas! Apa kamu menyadari secara tidak langsung kamu telah menjadikan aku seorang pelakor?” sela Dera yang berdiri tak jauh di samping Elin. Laksana pecundang, aku tertunduk tak berani menatap wajah mereka apalagi menyahut. “Kenapa diam! Ayo bicara, Mas!” bentak Dera. Hening. Hanya sesekali terdengar n

  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   HARI TERAKHIR

    Butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai ke rumah ibu. Tadi aku sempat meminta Daffa memelankan laju motornya agar Hanin tak terlalu kena angin. Kedua orang tuaku menyambut di depan teras. Mereka menatapku dengan tatapan penuh selidik. Wajar. Aku belum menceritakan apa pun pada mereka. “Ada apa ini, Re. Kenapa kamu membawa barang-barangmu ke sini?” Baru saja turun dari motor, ibu langsung memberondongku dengan wajah cemas. Aku meraih tangan ibu dan mencium punggung tangannya lalu berganti pada bapak. Pun dengan Daffa. Dia melakukan hal yang sama. “Mas Reyhan selingkuh, Bu. Dia mau menikah lagi,” jawabku kemudian. Kontan saja bapak dan ibu kaget dengan ucapanku. “Astaghfirulloh...” Ibu menutup mulutnya dengan tangan. Raut kesedihan jelas terlihat di wajahnya, bahkan bulir bening mulai menggenang di sudut mata itu. Lain halnya dengan bapak. Dia tidak menangis. Wajahnya yang memerah, juga suara gemeletuk giginya terdengar jelas menandakan amarah tengah menguasai pikirannya.

  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   SELAMAT TINGGAL SEMUANYA

    “Tara.... ini dia kejutannya, Mas!” teriakku sedikit keras. “De... Dera...” ucap Mas Reyhan tergagap. Wajahnya memucat seolah darah tak lagi mengalir di sana.Aku tersenyum melihat Mas Reyhan yang tampak seperti ketakutan. “Iya, Mas! Ini aku Dera. Kok kamu kaget sih?” sahut Dera yang belum tahu kenyataan sebenarnya. Mas Reyhan kebingungan. Dia menatap aku dan Dera bergantian. “Kok malah bengong, Mas! Masa ketemu calon istri kok begitu. Enggak romantis!” Aku tersenyum mengejek melihat suamiku yang tengah panik. “Maksud kamu apa ya, Re? Kok bilang dia calon istrinya Reyhan?” tanya Elin. “Tanya saja sama Mas Reyhan.” Aku beranjak keluar lalu segera kembali setelah menitipkan Hanin pada Daffa. Tadi Daffa juga sudah mengambil motornya dan diparkir di halaman rumah. “Bagaimana Mas? Apa kamu sudah menjawab pertanyaan Elin?” tanyaku setelah duduk di sebelah Elin. Mas Reyhan tak menyahut. Dia hanya diam masih dalam posisi semula. “Sebenarnya kamu kenapa sih, Mas? Kok aneh begitu?” sel

  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   KEJUTAN UNTUK REYHAN

    Dua minggu sudah Daffa menjadi sopir pribadiku. Selama itu juga setiap hari kami bersama. Demi membuat Mas Reyhan cemburu, terkadang aku pulang sampai jam sembilan malam. Namun, kami tak melakukan apa-apa, hanya sekedar healing atau duduk-duduk di rumah kontrakkan sambil berbagi cerita. Benar! Mas Reyhan terpancing amarah. Dia sering mengajak ribut, tapi aku memilih bermain ponsel ketimbang menanggapinya. Wajar saja dia marah, selama dua minggu belakangan aku tak pernah mengurus keperluannya. Masak, mencuci atau membersihkan rumah tak pernah lagi kulakukan. Salah sendiri dia menganggapku telah mati. Hari ini aku berniat mengakhiri permainan ini. Rasanya sudah tak sabar ingin memberi kejutan untuk Mas Reyhan. Selain itu, terlalu sering bersama Daffa membuat hati merasa nyaman. Aku takut ini tak baik untuk kami. Makanya harus segera diakhiri. “Kayaknya ini hari terakhir kamu menjadi sopirku,” ujarku pada Daffa saat kami sedang santai di teras kontrakkan.“Loh, kenapa, Mbak?” tanya

  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   Merekrut Dera

    Seperti biasa, pagi ini aku bangun jam setengah lima. Namun, kali ini tak beraktivitas di dapur melainkan langsung mandi dan berganti pakaian yang luwes. Rencananya hari ini aku akan ke toko lagi. Sejak hamil lima bulan aku memang memilih tinggal di rumah. Tadi malam saat Mas Reyhan terlelap aku sempat menghubungi Daffa. Dia bersedia menemaniku pagi ini. “Kok pagi-pagi sudah rapi, Dek?” Mas Reyhan yang baru bangun tidur menatap heran. “Iya, aku mau menengok toko,” jawabku sambil menyiapkan pakaian Hanin. Kok pagi banget?” tanyanya lagi. “Ya enggak apa-apa, Mas! Aku pergi dulu ya,” pamitku setelah membopong Hanin. Tanpa menunggu lama, aku beranjak keluar kamar. “Dek, apa pakaian kerjaku sudah disetrika?” tanyanya sebelum aku melangkah jauh. “Maaf, aku enggak sempat. Nanti setrika sendiri saja,” jawabku sambil terus melangkah. Baru saja sampai teras, Mas Reyhan mendahului lalu mencegatku. “Kamu apa-apaan sih. Bukannya menyiapkan pakaian suami malah main pergi saja!” teriak Mas

  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   CEMBURU

    Samar-samar suara orang berbincang tertangkap indra pendengaran. Aku membuka mata perlahan, menoleh ke kanan kiri mencari sumber suara tersebut. Aku membuka pintu mobil, menatap pada Bu Erna dan anaknya sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. “Kamu sudah bangun, Re.” Bu Erna tersenyum menatapku. Sebelum aku beranjak, dia lebih dulu menghampiriku. “Kita di mana, Bu?” tanyaku saat merasa di tempat asing dan langit terlihat mulai gelap. “Di parkiran. Tadi kan kamu minta dibelikan pampers untuk Hanin. Jadi sekalian Ibu beli baju buat dia. Ini Daffa yang milih tadi.” Bu Erna menunjukkan bungkusan belanjaan di tangannya. Aku menggeser tubuhku saat Bu Erna masuk dan memberikan bungkusan itu padaku. Entahlah. Aku tak tahu harus berkata apa. “Kita pulang sekarang, Daf!” perintah Bu Erna pada anaknya yang entah sejak kapan ada di depan kemudi. Tanpa menyahut, Daffa langsung melajukan mobilnya membelah jalanan yang mulai ramai gemerlap cahaya lampu. “Apa sakit kepalamu sudah mendingan?

  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   MAIN API

    “Maksud kamu....” aku menggantungkan kalimat berharap Daffa langsung mengerti. “Kalau Mbak mau selingkuh mending sama aku saja. Di jamin enggak akan kecewa,” ulangnya. Aku terkesiap juga ingin tertawa. Kok ada ya orang sekonyol Daffa. “Memangnya kamu enggak takut kehilangan keperjakaanmu? Atau malah sudah?” ejekku. “Hush... Aku 100% masih perjaka!” protesnya, “ Selingkuh itu enggak melulu hubungan badan. Sering jalan berdua atau sering berbalas perhatian juga bisa di kategorikan selingkuh,”Sejenak, aku memikirkan kalimat Daffa. Dia benar. Namun, apa harus selingkuh dengannya? “Jadi bagaimana?” tanyanya kemudian. “Bagaimana apanya?” sahutku pura-pura bodoh. “Ya itu tadi, katanya Mbak mau selingkuh,” kejarnya. Aku memejamkan mata erat, mencoba menimbang tawaran Daffa. Sebenarnya ini ide yang cukup menarik karena tak perlu memberikan tubuh pada lelaki yang bukan suamiku. Akan tetapi aku takut salah satu di antara kami akan terbawa suasana. “Baiklah, tapi dengan dua syarat.” Pa

  • BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU   SADIS

    Di perjalanan, Daffa memelankan laju mobil, mengambil beberapa lembar tisu dari dashboard lalu memberikan padaku tanpa mengucap sepatah kata pun.Aku sedikit kaget saat menyadari ternyata duduk di jok depan. Kepalang tanggung, kuambil tisu dari tangan Daffa lalu menyeka air mata. Sebisa mungkin menahan perih di hati. Rasanya canggung menangis di sebelah laki-laki yang bukan siapa-siapaku. “Kenapa mbak menangis?” Daffa memindai wajahku sejenak lalu kembali menatap pada jalanan. Aku diam. Ingin bercerita tapi segan. Pada akhirnya hanya mampu membuang pandangan ke samping, berusaha menyembunyikan perih. “Maaf,” ujarnya kemudian. Hening. Baik aku ataupun Daffa tak membuka suara. Jauh berbeda saat dengan suasana saat berangkat tadi. “Bagaimana perasaanmu saat orang yang kamu cintai ternyata tak pernah mencintaimu?” Setelah hati sedikit tenang, aku membuka obrolan. “Biasa saja. Selama ini perempuan yang kucintai juga tak mencintaiku,” jawabnya tanpa menoleh.“Tapi bagaimana jika keka

DMCA.com Protection Status