Rian dan Ellen turun dari motor dan keduanya berjalan menuju ke tempat sebuah ruko tempat penyewaan tenda dan pelaminan yang pria itu pesan bersama Yaya sebulan yang lalu.
Langkah Rian tampak ragu, di jalan tadi dia sempat berhenti dan berdebat dengan Ellen. Pria itu menyarankan agar pernikahan mereka secara sederhana saja, hanya mengundang kerabat terdekat. Namun, Ellen tak setuju. Dia ingin pesta seperti yang kakaknya rencanakan. Mereka masuk ke Ruko itu dan mengatakan ingin bertemu dengan pemiliknya. Pekerja meminta mereka masuk ke salah satu ruangan. Kebetulan pemiliknya ada di tempat. Setelah masuk, keduanya dipersilahkan duduk. Rian yang pernah bertemu dengan wanita itu tersenyum kikuk. "Mas Rian, Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita yang bernama Laura itu. Raut wajahnya tampak sedikit terkejut. "Begini, Mbak. Saya ingin memajukan pesta pernikahannya. Seminggu lagi, apakah bisa?" tanya Rian dengan ragu. "Saya lihat jadwal dulu. Apa di tanggal itu penuh pemakaian tenda atau masih ada!" Laura membuka sebuah buku dan melihat jadwal pada tanggal itu. Dia lalu tersenyum. "Kebetulan masih ada sisa satu set tenda dan pelaminan. Jadi benar yang dikatakan Mbak Yaya jika pernikahan kamu dan dia batal. Kamu akan menikah dengan wanita berbeda. Apa ini calon pengantin wanitanya?" tanya Laura. Dia memandangi Ellen. Baru tadi Yaya datang meminta uang pembayaran tenda dan pelaminan. Sebenarnya tidak bisa meminta uang yang telah di setor. Tapi melihat wajah Yaya yang lelah dan sedih Laura ingin memberikan semua uangnya. Namun, Yaya justru menolak. Yaya hanya meminta uangnya. Uang Rian sebagai uang muka, tidak mau dia ambil. Gadis itu mengatakan pada Laura jika nanti pasti Rian akan datang dengan calon pengantin wanitanya. "Kapan Kak Yaya datang ke sini?" tanya Ellen. Mendengar Kakaknya telah datang ke sini, Ellen menjadi cemas dan kuatir. Dia mulai berpikir buruk. "Setengah jam yang lalu baru pergi dari sini," jawab Laura. Ellen langsung memandangi Rian. Pria itu juga tampak terkejut. Dalam hatinya berkata, berarti gadis itu tadi keluar rumah karena ingin ke sini. Tak menyangka jika Yaya bisa bergerak cepat. "Untuk apa Kak Yaya ke sini?" tanya Ellen. Dia sangat penasaran tujuan sang kakak datang. Takut sekali jika yang ada dalam pikirannya itu benar terjadi. "Ana datang untuk membatalkan pemakaian tenda dan pelaminan kami," jawab Laura. Kembali Yaya dan Rian saling pandang. Takut jika sang kakak membatalkan dan mengambil uang pembayarannya. Bukankah Yaya mengizinkan dia memakai apa pun yang telah dia sewa. "Tak masalah jika dia datang hanya untuk mengatakan jika pernikahan kami dibatalkan" ucap Rian dengan suara pelan. "Kami datang untuk memakai semua tenda dan pelaminan yang Kak Yaya sewa, cuma tanggalnya dimajukan," lanjut Ellen. "Boleh saja. Kebetulan memang masih ada sisa satu set pelaminan dan tenda." "Bagus jika begitu. Jadi saya bisa pakai itu dan tak perlu lagi melakukan pembayaran'kan? Berarti semua sudah deal!" seru Ellen. Laura sang pemilik jasa sewa tenda dan pelaminan itu tampak keheranan mendengar ucapan Ellen. Dia menatap wanita itu dengan penuh tanda tanya. Ellen yang menyadari tatapan Laura, lalu bertanya. Dia ingin tau maksud dari pandangan wanita itu. "Kenapa Mbak Laura memandangi saya seperti itu, apa ada yang salah dengan ucapan saya?" tanya Ellen. "Biasanya, bagi yang ingin memakai tenda kami, harus melakukan pembayaran paling sedikit 75 persen dari total pembayaran, seminggu sebelum acara berlangsung. Karena acara pesta Mbak dan Mas Rian akan diadakan minggu depan, maka saya minta pembayaran seperti yang saya katakan tadi!" Rian dan Ellen kembali saling pandang. Dia tak menyangka jika Yaya akan meminta uangnya. Bukankah di rumah gadis itu mengatakan ikhlas jika dia memakainya. "Maksudnya kami harus melakukan pembayaran lagi?" tanya Ellen dengan raut wajah terkejut. Tangannya mengepal menahan amarah. Merasa dibohongi dan dibodohi. Jadi dia telah tertipu wajah lugunya. "Ya, Mbak. Semua uang pembayaran telah diminta Mbak Yaya. Dia hanya menyisakan uang muka," ucap Laura. Wajah Ellen memerah menahan emosinya. Dalam hatinya berkata, dia akan buat perhitungan dengan wanita itu. Rian menarik napas dalam. Bagaimana dia akan membayarnya. Kedua orang tuanya tak mau membantu. Mereka kecewa saat Rian membatalkan pernikahan dengan Yaya. Kedua orang tua Rian begitu menyayangi gadis itu. Kekecewaan bertambah saat mengetahui jika anaknya telah menghamili Ellen. Jika dengan Yaya, sisa pembayaran akan ditanggung kedua orang tuanya. Walau gadis itu telah menolaknya, tapi tetap kedua orang tua Rian ingin membantu juga. Yaya berpikir, pesta akan di adakan di rumah kediaman dirinya, jadi itu merupakan tanggung jawab dirinya sendiri. Rian sebenarnya sangat menyesal atas perbuatannya dengan Ellen. Gara-gara itu dia harus kehilangan orang yang tulus mencintai dirinya yaitu Yaya. Jika saja saat itu dia tak tergoda melakukan hubungan badan dengan Ellen. Sore itu, Rian menemani Elle ke hotel tempat wanita itu pernah magang. Dia ingin meminta tanda tangan manajer hotel sebagai bukti jika telah selesai. Memang itu bukan pertama kalinya mereka pergi berdua. Rian sering mengantar gadis itu kuliah di akademi perhotelan. Kedekatan mereka diketahui Yaya. Tak ada kecurigaan gadis itu pada keduanya, karena dia yang terlalu percaya dengan pria itu. Hari itu hujan turun dengan derasnya, sehingga dia dan Ellen memilih menunggu hujan reda di hotel itu. Tak disangka hujan begitu awetnya hingga pukul sembilan malam. Ellen yang kelelahan menyandarkan tubuhnya ke pria itu. Entah setan mana yang menggodanya sehingga dia mengecup pipi wanita itu. Ellen terbangun dan tersenyum. Lalu berbisik, "Mas kita menginap di sini saja ya. Sepertinya hujan begitu awet." "Bagaimana dengan orang tuamu, apakah mereka mengizinkan?" tanya Rian. "Aku akan menelepon dan mengatakan menginap di rumah teman," jawab Ellen. Setelah berpikir sesaat, akhirnya mereka memutuskan menginap hingga hubungan terlarang itu terjadi. Merasa ketagihan, hampir tiap akhir pekan mereka lakukan. Sehingga uang gaji Rian selalu habis tiap bulannya. "Bagaimana Mas, Mbak, apakah akan tetap memakai jasa kami?" tanya Laura. Pertanyaan Laura itu membuat Rian tersadar. Dia lalu memandangi Ellen. Sepertinya wanita itu juga sedang menunggu jawaban dari bibirnya. "Mbak Laura, mungkin saya akan mengganti paketnya. Saya minta paket pelaminan yang murah saja. Sesuaikan dengan keuangan saya saat ini," ucap Rian pelan dan berhati-hati. Ucapan Rian itu membuat Ellen terkejut. Rasanya tak percaya dengan pendengarannya. Mana mungkin dia pesta secara sederhana. "Apa-apaan ini, Mas? Apa aku tak salah dengar?" tanya Ellen dengan raut wajah marah.Setelah berdiskusi, akhirnya Ellen terpaksa menerima kalau pelaminan yang akan dia sewa dan pakai buat pernikahan nanti berbeda dengan pilihan Yaya. Rian hanya mampu membayar yang sederhana. Itu juga separuhnya uang dari ayah Yaya. Sepanjang perjalanan pulang, Ellen tak mengeluarkan sepatah kata pun. Sepertinya masih kesal dengan pilihan pelaminan untuk pesta pernikahan mereka. Ketika Rian mengajaknya makan bakso, dia juga tak mau. Ellen ingin segera pulang dan bertemu Yaya. Sampai di halaman rumah mereka, wanita itu langsung turun dari motor. Saat akan berjalan, tangannya di tahan sang pria."Sayang, jangan kamu marahi Yaya. Itu hak dia. Uangnya. Jangan buat aku malu. Jika nanti uangku sudah terkumpul, kita bisa mengadakan pesta kedua kali, atau saat anak kita lahir" ucap Rian.Ellen menyentak tangannya agar cekalan di tangannya terlepas. Dia memandangi wajah Rian dengan tatapan tajam."Kenapa kamu masih terus memikirkan Kak Yaya? Apa kamu masih sangat mencintainya?" tanya Ellen de
Ellen dan ibunya telah masuk ke kamar masing-masing. Sedangkan ayah masih duduk termenung di sofa ruang keluarga. Masih teringat ucapan putrinya tadi. Dulu dia begitu menyayangi sang putri. Namun, sejak kepergian sang istri dia jadi membenci Yaya.Apa lagi setelah dia menikah lagi dengan mantan kekasihnya dulu, Maura. Mereka dulu pernah berpacaran."Maafkan Ayah, melihatmu seperti aku melihat ibumu hidup kembali, Yaya. Itulah alasannya ayah selalu menghindari kamu. Sedih dan benci bercampur jadi satu. Ibumu meninggal karena ingin menjemputmu ke sekolah. Sehingga dalam pikiran ini, kau lah penyebab kematian ibumu," gumam Ayah dalam hatinya.Ayah Yaya menghisap rokoknya kembali.Saat dia sedang termenung, dia melihat Yaya keluar dari kamarnya dengan menyeret tas koper. Pandangannya tajam, menatap sang putri tanpa kedip.Saat Yaya makin dekat dengannya, pria itu berdiri. Kali ini Yaya yang menatap tajam pada sang ayah."Mau kemana kamu? Ini sudah malam!" ucap Ayah dengan suara sedikit le
"Ibu, apa kabar? Tak baik marah-marah. Bukankah ini hari bahagia putri Ibu!" ucap Yaya sambil tersenyum.Ibu Maura mengepalkan jari tangannya mendengar ucapan anak tirinya itu. Ya selalu saja mengucapkan kata-kata yang membuatnya emosi."Pergilah kau dari rumah ini! Bukankah kau sendiri yang minggat, kenapa kembali di saat Ellen menikah. Jika tidak berkeinginan mengganggu pernikahan Ellen, buat apa kau datang lagi?" Ibu masih mengajukan pertanyaan yang sama."Bu, aku datang hanya ingin mengambil motorku. Di mana Ibu letakan. Aku ingin membawanya. Setelah itu aku akan pergi," jawab Yaya."Motormu sudah tak ada," balas Ibu Maura.Mata Yaya melotot mendengar jawaban dari ibu tirinya. Apa lagi yang mereka lakukan pada motor miliknya. Mana STNK motor ada di bawah jok."Maksud Ibu apa? Aku tak paham!" seru Yaya.Walau dia sudah bisa menebak apa yang telah mereka lakukan pada motornya, tetap saja dia ingin mendengar langsung dari bibir ibu tirinya itu. Gaya yakin semua yang dilakukan atas ke
Para tamu undangan yang terdiri dari tetangga masih menyicipi hidangan sehingga waktu untuk Yaya bicara masih panjang. Mungkin mereka pikir, Yaya hanya sekedar mengobrol dengan keluarganya saja. Tapi, tak sedikit yang memandang dengan tatapan heran. Mereka tahu jika Rian adalah tunangan Yaya, tapi yang dinikahi adiknya. Yang menjadi pertanyaan, kenapa gadis itu tak tampak sedih. Banyak yang ingin tahu kebenarannya. Yaya menyalami ayah dan ibunya. Berhadapan dengan sang ayah, air matanya tak bisa lagi dibendung. Bukan karena sedih, tapi kecewa. Pria yang seharusnya jadi cinta pertamanya tapi justru orang yang paling banyak menorehkan luka. Jika cinta pertamamu tidak bisa lagi memberikan kenyamanan, untuk apa masih bertahan. Anak hanya ingin menjaga kewarasannya. Jangan sampai dia nekat bunuh diri. "Ayah, aku pamit. Terima kasih atas semua yang pernah kau lakukan untukku. Baik itu kebahagiaan atau pun luka yang kau beri. Bagimu mungkin aku bukan putri yang baik, yang bisa kau bangg
Yaya menyeret kopernya menuju ruang tunggu. Hanya satu tas koper berisi pakaian kerja yang dia bawa. Tak ingin nanti saat mengambil pakaian di rumah ayahnya, akan ada drama lagi. Beruntung tabungannya kembali setelah dia meminta uang yang terlanjur di setor buat penyewaan pelaminan dan tenda. Saat sedang termenung, Yaya mendengar ponselnya berdering. Dia lalu mengambilnya dari dalam tas. Terlihat ada pesan masuk dari Rian. Dia membukanya. Entah di mana pria itu, sehingga bisa mengirim pesan."Ana, dari lubuk hatiku terdalam, aku mohon maaf. Mungkin kata maaf ini tak cukup untuk mengobati luka hati yang aku torehkan, tapi sebenarnya aku tak pernah bermaksud menyakiti hatimu. Aku merindukan setiap momen yang kita habiskan bersama. Aku merindukan sentuharımu, tapi menyakitkan karena aku tidak bisa bersamamu, karena akulah penyebab rasa sakit mu. Aku benar-benar minta maaf."Pesan pertama dari Rian. Ternyata itu terkirim dua jam yang lalu. Dan dibawahnya, ada pesan lain."Sayang, aku tel
Satu tahun telah berlaluTak terasa telah satu tahun Yaya bekerja di kantor pusat perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Tak ada kesulitan berarti yang dia temukan. Dengan keramahan dirinya, banyak karyawan yang langsung menyukai.Yaya juga tak segan bertanya jika ada yang salah. Dia langsung dapat teman akrab bernama Laras. Mereka tinggal di satu kamar kost yang sama. Tepatnya rumah untuk karyawan single yang disediakan perusahaan."Yaya, nanti makan siang di kafe depan kantor yuk! Bosan kalau di kantin terus, ajak Laras pagi ini."Ras, mikirin makan melulu. Baru aja nyampe. Belum mulai kerja, dah mikirin makan siang" jawab Yaya."Harus dong, kan moto hidupku, "hidup untuk makan" ucap Laras sambil tertawa.Kedua gadis itu lalu tertawa. Walau sambil becanda, mereka tetap melakukan pekerjaan. Sehingga tak ada pekerjaan yang terbengkalai.Yaya dan Laras telah menjadi teman baik sejak dia bekerja di kantor ini. Setiap hari, mereka selalu menyempatkan diri untuk pergi makan siang bersama.
Yaleora Yaya atau yang lebih akrab di panggil Yaya, sedang sibuk dengan persiapan pernikahannya yang sudah di depan mata. Satu bulan lagi dia dan Rian akan naik ke pelaminan. Persiapan sudah hampir tujuh puluh persen.Hari ini Yaya janjian bertemu dengan kekasih atau calon suaminya itu saat pulang kerja. Dia ingin mengajak Rian mengambil undangan yang baru saja selesai di cetak.Seluruh tabungan hasil kerjanya selama tiga tahun ini telah terkuras untuk persiapan pernikahan mereka. Yaya tak pernah menuntut Rian untuk membayar semuanya. Dia lebih banyak menggunakan uang pribadi. Baginya pernikahan untuk berdua dan dengan uang berdua juga."Sayang, kamu nanti yang jemput aku atau kita bertemu di percetakan aja?" tanya Yaya saat menghubungi sang kekasih."Maaf, Sayang. Sepertinya hari ini aku tak bisa menemani kamu. Pekerjaanku sedang banyak. Aku harus lembur," jawab Rian di seberang sana."Kalau begitu biar aku saja yang jemput sendiri. Kamu jangan terlalu capek dan ingat makan, Mas," uj
Dengan penuh semangat dan senyum yang selalu merekah di bibir, Yaya masuk ke kafe yang telah dijanjikan Rian, untuk mereka bertemu. Dari jauh dia sudah melihat kehadiran kekasihnya itu.Yaya mempercepat langkahnya. Dia sudah tak sabar ingin bertemu dengan pria itu. Sampai dihadapan Rian, dia langsung duduk di samping sang kekasih."Kamu mau pesan apa?" tanya Rian, begitu Yaya sudah duduk dengan sempurna di kursi."Aku baru sampai, bukannya tanya kabar, atau tanya yang lain. Kenapa langsung tanya pesananku. Seperti tergesa-gesa saja," jawab Yaya.Rian tersenyum simpul mendengar jawaban gadis itu. Dia mengusap kepalanya dengan lembut."Aku takut kamu sudah lapar. Makanya mau pesan makanan langsung," jawab Rian dengan lembut.Yaya tersenyum mendengar ucapan kekasihnya. Pria itu selalu memberikan perhatian khusus untuknya. Dia juga selalu bertutur kata lembut, tak pernah sekalipun Rian membentaknya atau bersuara keras."Kalau begitu, aku pesan makanan dulu," balas Yaya.Yaya lalu memanggi
Satu tahun telah berlaluTak terasa telah satu tahun Yaya bekerja di kantor pusat perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Tak ada kesulitan berarti yang dia temukan. Dengan keramahan dirinya, banyak karyawan yang langsung menyukai.Yaya juga tak segan bertanya jika ada yang salah. Dia langsung dapat teman akrab bernama Laras. Mereka tinggal di satu kamar kost yang sama. Tepatnya rumah untuk karyawan single yang disediakan perusahaan."Yaya, nanti makan siang di kafe depan kantor yuk! Bosan kalau di kantin terus, ajak Laras pagi ini."Ras, mikirin makan melulu. Baru aja nyampe. Belum mulai kerja, dah mikirin makan siang" jawab Yaya."Harus dong, kan moto hidupku, "hidup untuk makan" ucap Laras sambil tertawa.Kedua gadis itu lalu tertawa. Walau sambil becanda, mereka tetap melakukan pekerjaan. Sehingga tak ada pekerjaan yang terbengkalai.Yaya dan Laras telah menjadi teman baik sejak dia bekerja di kantor ini. Setiap hari, mereka selalu menyempatkan diri untuk pergi makan siang bersama.
Yaya menyeret kopernya menuju ruang tunggu. Hanya satu tas koper berisi pakaian kerja yang dia bawa. Tak ingin nanti saat mengambil pakaian di rumah ayahnya, akan ada drama lagi. Beruntung tabungannya kembali setelah dia meminta uang yang terlanjur di setor buat penyewaan pelaminan dan tenda. Saat sedang termenung, Yaya mendengar ponselnya berdering. Dia lalu mengambilnya dari dalam tas. Terlihat ada pesan masuk dari Rian. Dia membukanya. Entah di mana pria itu, sehingga bisa mengirim pesan."Ana, dari lubuk hatiku terdalam, aku mohon maaf. Mungkin kata maaf ini tak cukup untuk mengobati luka hati yang aku torehkan, tapi sebenarnya aku tak pernah bermaksud menyakiti hatimu. Aku merindukan setiap momen yang kita habiskan bersama. Aku merindukan sentuharımu, tapi menyakitkan karena aku tidak bisa bersamamu, karena akulah penyebab rasa sakit mu. Aku benar-benar minta maaf."Pesan pertama dari Rian. Ternyata itu terkirim dua jam yang lalu. Dan dibawahnya, ada pesan lain."Sayang, aku tel
Para tamu undangan yang terdiri dari tetangga masih menyicipi hidangan sehingga waktu untuk Yaya bicara masih panjang. Mungkin mereka pikir, Yaya hanya sekedar mengobrol dengan keluarganya saja. Tapi, tak sedikit yang memandang dengan tatapan heran. Mereka tahu jika Rian adalah tunangan Yaya, tapi yang dinikahi adiknya. Yang menjadi pertanyaan, kenapa gadis itu tak tampak sedih. Banyak yang ingin tahu kebenarannya. Yaya menyalami ayah dan ibunya. Berhadapan dengan sang ayah, air matanya tak bisa lagi dibendung. Bukan karena sedih, tapi kecewa. Pria yang seharusnya jadi cinta pertamanya tapi justru orang yang paling banyak menorehkan luka. Jika cinta pertamamu tidak bisa lagi memberikan kenyamanan, untuk apa masih bertahan. Anak hanya ingin menjaga kewarasannya. Jangan sampai dia nekat bunuh diri. "Ayah, aku pamit. Terima kasih atas semua yang pernah kau lakukan untukku. Baik itu kebahagiaan atau pun luka yang kau beri. Bagimu mungkin aku bukan putri yang baik, yang bisa kau bangg
"Ibu, apa kabar? Tak baik marah-marah. Bukankah ini hari bahagia putri Ibu!" ucap Yaya sambil tersenyum.Ibu Maura mengepalkan jari tangannya mendengar ucapan anak tirinya itu. Ya selalu saja mengucapkan kata-kata yang membuatnya emosi."Pergilah kau dari rumah ini! Bukankah kau sendiri yang minggat, kenapa kembali di saat Ellen menikah. Jika tidak berkeinginan mengganggu pernikahan Ellen, buat apa kau datang lagi?" Ibu masih mengajukan pertanyaan yang sama."Bu, aku datang hanya ingin mengambil motorku. Di mana Ibu letakan. Aku ingin membawanya. Setelah itu aku akan pergi," jawab Yaya."Motormu sudah tak ada," balas Ibu Maura.Mata Yaya melotot mendengar jawaban dari ibu tirinya. Apa lagi yang mereka lakukan pada motor miliknya. Mana STNK motor ada di bawah jok."Maksud Ibu apa? Aku tak paham!" seru Yaya.Walau dia sudah bisa menebak apa yang telah mereka lakukan pada motornya, tetap saja dia ingin mendengar langsung dari bibir ibu tirinya itu. Gaya yakin semua yang dilakukan atas ke
Ellen dan ibunya telah masuk ke kamar masing-masing. Sedangkan ayah masih duduk termenung di sofa ruang keluarga. Masih teringat ucapan putrinya tadi. Dulu dia begitu menyayangi sang putri. Namun, sejak kepergian sang istri dia jadi membenci Yaya.Apa lagi setelah dia menikah lagi dengan mantan kekasihnya dulu, Maura. Mereka dulu pernah berpacaran."Maafkan Ayah, melihatmu seperti aku melihat ibumu hidup kembali, Yaya. Itulah alasannya ayah selalu menghindari kamu. Sedih dan benci bercampur jadi satu. Ibumu meninggal karena ingin menjemputmu ke sekolah. Sehingga dalam pikiran ini, kau lah penyebab kematian ibumu," gumam Ayah dalam hatinya.Ayah Yaya menghisap rokoknya kembali.Saat dia sedang termenung, dia melihat Yaya keluar dari kamarnya dengan menyeret tas koper. Pandangannya tajam, menatap sang putri tanpa kedip.Saat Yaya makin dekat dengannya, pria itu berdiri. Kali ini Yaya yang menatap tajam pada sang ayah."Mau kemana kamu? Ini sudah malam!" ucap Ayah dengan suara sedikit le
Setelah berdiskusi, akhirnya Ellen terpaksa menerima kalau pelaminan yang akan dia sewa dan pakai buat pernikahan nanti berbeda dengan pilihan Yaya. Rian hanya mampu membayar yang sederhana. Itu juga separuhnya uang dari ayah Yaya. Sepanjang perjalanan pulang, Ellen tak mengeluarkan sepatah kata pun. Sepertinya masih kesal dengan pilihan pelaminan untuk pesta pernikahan mereka. Ketika Rian mengajaknya makan bakso, dia juga tak mau. Ellen ingin segera pulang dan bertemu Yaya. Sampai di halaman rumah mereka, wanita itu langsung turun dari motor. Saat akan berjalan, tangannya di tahan sang pria."Sayang, jangan kamu marahi Yaya. Itu hak dia. Uangnya. Jangan buat aku malu. Jika nanti uangku sudah terkumpul, kita bisa mengadakan pesta kedua kali, atau saat anak kita lahir" ucap Rian.Ellen menyentak tangannya agar cekalan di tangannya terlepas. Dia memandangi wajah Rian dengan tatapan tajam."Kenapa kamu masih terus memikirkan Kak Yaya? Apa kamu masih sangat mencintainya?" tanya Ellen de
Rian dan Ellen turun dari motor dan keduanya berjalan menuju ke tempat sebuah ruko tempat penyewaan tenda dan pelaminan yang pria itu pesan bersama Yaya sebulan yang lalu.Langkah Rian tampak ragu, di jalan tadi dia sempat berhenti dan berdebat dengan Ellen. Pria itu menyarankan agar pernikahan mereka secara sederhana saja, hanya mengundang kerabat terdekat. Namun, Ellen tak setuju. Dia ingin pesta seperti yang kakaknya rencanakan.Mereka masuk ke Ruko itu dan mengatakan ingin bertemu dengan pemiliknya. Pekerja meminta mereka masuk ke salah satu ruangan. Kebetulan pemiliknya ada di tempat.Setelah masuk, keduanya dipersilahkan duduk. Rian yang pernah bertemu dengan wanita itu tersenyum kikuk."Mas Rian, Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita yang bernama Laura itu. Raut wajahnya tampak sedikit terkejut."Begini, Mbak. Saya ingin memajukan pesta pernikahannya. Seminggu lagi, apakah bisa?" tanya Rian dengan ragu."Saya lihat jadwal dulu. Apa di tanggal itu penuh pemakaian tenda ata
"Yaya ...," ucap Erik. Dia tampak terkejut melihat kehadiran gadis itu. Biasanya Yaya pulang kerja jam lima sore, tadi dia minta izin karena merasa kepalanya begitu sakit.Rian berdiri dari duduknya, tapi tangannya di tarik Ellen, sehingga dia kembali duduk. Wajahnya cemberut melihat sang pria yang langsung berdiri.Bukan saja Ellen yang terlihat tidak senang atas kehadiran Yaya yang tiba-tiba, tapi juga sang ibu. Ayahnya hanya memandangi dengan tatapan datar tanpa ekspresi."Kenapa Kakak pulang cepat? Sengaja ingin menguping obrolan kami?" tanya Ellen dengan suara ketus. "Aku tak ada waktu hanya sekedar untuk menguping obrolan tak penting!" seru Yaya dengan suara sedikit ketus."Sombong sekali kau, apa kau pikir dirimu sudah hebat karena telah bekerja?" tanya Ibu tirinya Yaya dengan sinis. Rian menarik napas dalam. Dia terlihat gugup. Mungkin tak pernah menginginkan berada dalam posisi saat ini."Yaya, aku minta izin untuk memakai semua persiapan pernikahan kita kemarin untuk perni
Yaya menghapus air matanya. Dia kembali tertawa. Menertawai kebodohannya selama ini. Ayah maju dan mendekati putrinya. Memegang kedua bahu sang putri."Yaya, mungkin ini berat bagimu, Nak. Tapi lebih baik gagal sekarang dari pada nanti saat kamu telah berkeluarga. Cinta itu tak bisa dipaksakan. Kamu harus ikhlas melepaskan Rian untuk Ellen. Mungkin dia bukan jodohmu," ucap Ayah mencoba menghibur.Kembali Yaya tertawa mendengar ucapan ayahnya. Apakah hanya ini yang bisa ayahnya lakukan."Jangan takut, Yah. Aku telah ikhlas melepaskan Rian untuk Ellen. Aku juga bersyukur karena Tuhan membukakan mataku sebelum kami menikah. Bagiku Rian tak pantas mendapatkan cintaku yang tulus. Sampah cocoknya dengan sampah!" ucap Yaya dengan penuh penekanan.Mendengar ucapan Yaya, tentu saja Ellen tak terima. Dia dikatakan sampah, baginya ini satu penghinaan. Dia menatap kakaknya itu dengan tajam."Orang yang kau katakan sampah ini sedang mengandung anak dari tunanganmu. Kau yang pantas dikatakan sampah