"Yaya ...," ucap Erik. Dia tampak terkejut melihat kehadiran gadis itu. Biasanya Yaya pulang kerja jam lima sore, tadi dia minta izin karena merasa kepalanya begitu sakit.
Rian berdiri dari duduknya, tapi tangannya di tarik Ellen, sehingga dia kembali duduk. Wajahnya cemberut melihat sang pria yang langsung berdiri. Bukan saja Ellen yang terlihat tidak senang atas kehadiran Yaya yang tiba-tiba, tapi juga sang ibu. Ayahnya hanya memandangi dengan tatapan datar tanpa ekspresi. "Kenapa Kakak pulang cepat? Sengaja ingin menguping obrolan kami?" tanya Ellen dengan suara ketus. "Aku tak ada waktu hanya sekedar untuk menguping obrolan tak penting!" seru Yaya dengan suara sedikit ketus. "Sombong sekali kau, apa kau pikir dirimu sudah hebat karena telah bekerja?" tanya Ibu tirinya Yaya dengan sinis. Rian menarik napas dalam. Dia terlihat gugup. Mungkin tak pernah menginginkan berada dalam posisi saat ini. "Yaya, aku minta izin untuk memakai semua persiapan pernikahan kita kemarin untuk pernikahan aku dan Ellen" ucap Rian dengan suara berhati-hati. Yaya tertawa mendengar ucapan Rian. Dengan tak tahu malunya dia meminta izin. Jika awalnya gadis itu akan merelakan semua yang telah terlanjur dia sewa, berbeda apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Dia tak akan merelakan begitu saja. Uang muka yang terlanjur diberikan akan dia minta sebagian. Karena memang ada uang Rian di sana. Jika W.O tak mau dan membatalkan perjanjian, dia tak peduli. Toh, pernikahan dia juga batal. "Kenapa minta izin denganku? Pakai saja kalau masih bisa. Aku juga tak butuh!" ucap Yaya. Yaya lalu berjalan menuju kamar. Menghempaskan tubuhnya yang terasa lelah. Satu jam mungkin cukup untuk beristirahat setelah itu dia akan mencoba meminta uang yang telah terlanjur di setor untuk pembayaran. "Kamu dengar sendiri'kan, Mas. Yaya itu telah mengizinkan kita pakai semua persiapan pernikahannya," ucap Ellen. "Tapi sebenarnya tak enak juga, El. Lagi pula semua pesanan yang Yaya lakukan sesuai seleranya, apa kamu tak keberatan?" tanya Rian. "Aku yakin selera Kak Yaya sama denganku. Seperti pria yang dia suka adalah kamu, aku juga mencintai kamu," jawab Ellen. Ellen memeluk lengan Rian, pria itu tampak risih. Mungkin malu karena ada kedua orang tua mereka. Rian berusaha menepis tangan Ellen dan tersenyum malu pada ayah dan ibu. Dia lalu pura-pura mengambil air minum agar Ellen tak marah dan tersinggung. Ellen yang merasakan jika Rian sengaja menepis tangannya, langsung cemberut. Baru dia ingin marah, Yaya keluar lagi dari kamar. Semua mata tertuju padanya. Gadis itu tampak sangat cantik. Tak ada terlihat jika dia baru saja putus cinta. Mata Rian memandangi lekat tanpa kedip. Hal itu membuat Ellen makin marah dan cemberut. "Kemana lagi kamu, Yaya?" tanya Ayah. Walau dia bertanya dengan sang putri tapi pandangannya entah kemana. Tangannya sibuk dengan rokok. "Aku mau cari uang buat makan. Jika bukan mencari nafkah buat diri sendiri, siapa yang mau menafkahi? Aku sudah tak memiliki siapa-siapa lagi!" seru Yaya. "Jaga ucapanmu! Kamu pikir siapa yang memberi kamu makan sehingga bisa tumbuh dewasa begini?" tanya Ayah dengan suara lantang. Tersulut emosi mendengar ucapan anak gadisnya itu. Yaya tersenyum miris mendengar ucapan ayahnya. Tentu saja pria itu tak tahu apa yang terjadi selama ini. Dia hanya sibuk mencari uang tanpa peduli anaknya. "Sejak ibu meninggal aku mencari uang buat makan dan jajanku sendiri. Walau sebenarnya di usia sepuluh tahun itu masih tanggung jawab orang tua. Aku bisa apa, karena tak memiliki orang tua lagi!" ucap Yaya. Wajah ibu tirinya yang bernama Maura memerah. Dia tahu jika Yaya menyindir dirinya. Selama ini suaminya tak tahu perlakuannya pada Yaya. Dia mengancam gadis itu jika berani mengadu. Lagi pula sang suami tak pernah mau mendengar apa pun ucapan putrinya itu. "Jangan banyak omong kamu! Kamu pikir siapa yang mencari uang untuk makan kamu selama ini? Apa kamu lupa jika kamu bisa tumbuh besar karena makanan di rumah ini yang dibeli dari hasil kerja kerasku!" seru Ayah dengan lantang. "Perlu Ayah tau, sejak ayah menikah dengan ibu Ayu, aku hanya boleh makan satu kali sehari. Dan kadang itu juga hanya dengan nasi tanpa lauk. Jajan sekolah aku cari sendiri dengan berjualan apa saja. Aku di usia sekecil itu harus bertarung dengan kerasnya hidup!" ujar Yaya. Dadanya sesak mengingat semua perjuangannya selama ini. Mungkin kegagalan pernikahannya ini adalah petunjuk Tuhan agar dia segera pergi dari orang-orang toxic di rumah ini. Ayah dan Ibu langsung berdiri mendengar ucapan Yaya. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Dulu Yaya sangat berharap Rian akan melindunginya dari kerasnya dunia ini, tapi ternyata pria itu justru menambah lukanya. Dia jadi tak percaya dengan namanya pria. Ayah yang menyakiti hatinya dan kekasih yang menggoreskan luka makin dalam. "Jangan sembarangan bicara kamu, Yaya. Aku selalu memberi kamu makan. Jika pun aku hanya memberi nasi, karena memang lauk telah habis. Ayahmu bukanlah pria dengan penghasilan gede, sehingga aku harus bisa berhemat," ucap Ibu Ellen mencoba membela diri. "Mulutnya memang keterlaluan, Yaya! Ayah tau, jika kamu masih sakit hati karena pernikahan Ellen dan Rian, tapi bukan berarti kamu harus memfitnah ibumu. Walaupun dia hanya ibu sambung, tapi dia yang menjagamu hingga bisa seperti saat ini. Jangan kau lupakan semua itu!" seru Hendra, ayah Yaya. Yaya tertawa mendengar ucapan ayahnya. Baginya itu sangat lucu. "Aku sudah yakin jika ayah tak akan percaya dengan ucapanku ini, makanya aku tak pernah mengatakan apa pun tentang ibu. Biarlah semua aku tanggung sendiri. Aku hanya meminta, semoga suatu saat Tuhan membukakan hati Ayah dan melihat siapa sebenarnya yang salah!" Setelah mengucapkan itu Yaya langsung berjalan tanpa menunggu jawaban dari ayah atau ibunya. Dia harus segera meminta uang yang terlanjur di beri. Jika uang muka tak bisa kembali, biar saja. Itu juga sebagian uangnya Rian. "Ayah lihat sendiri'kan. Kak Yaya itu iri denganku. Dia ingin menjelekkan ibu agar Mas Rian ikut membenci Ibu," ucap Ellen. "Sudahlah. Ayah pusing. Ayah mau istirahat dulu," jawab Ayah. Pria itu lalu berjalan menuju kamar. "Ibu juga mau istirahat, dan setelah itu masak untuk makan malam. Bukankah kalian ingin pergi ke sewa pelaminan untuk memajukan acara. Sebaiknya pergilah. Takutnya bentrok dengan orang lain," ucap Ibu Maura. "Ayo, Mas. Benar kata ibu, kita harus segera konfirmasi ulang tanggal pernikahan," ajak Ellen. Rian mengangguk setuju. Dia lalu berdiri dan pamitan dengan calon mertuanya itu.Rian dan Ellen turun dari motor dan keduanya berjalan menuju ke tempat sebuah ruko tempat penyewaan tenda dan pelaminan yang pria itu pesan bersama Yaya sebulan yang lalu.Langkah Rian tampak ragu, di jalan tadi dia sempat berhenti dan berdebat dengan Ellen. Pria itu menyarankan agar pernikahan mereka secara sederhana saja, hanya mengundang kerabat terdekat. Namun, Ellen tak setuju. Dia ingin pesta seperti yang kakaknya rencanakan.Mereka masuk ke Ruko itu dan mengatakan ingin bertemu dengan pemiliknya. Pekerja meminta mereka masuk ke salah satu ruangan. Kebetulan pemiliknya ada di tempat.Setelah masuk, keduanya dipersilahkan duduk. Rian yang pernah bertemu dengan wanita itu tersenyum kikuk."Mas Rian, Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita yang bernama Laura itu. Raut wajahnya tampak sedikit terkejut."Begini, Mbak. Saya ingin memajukan pesta pernikahannya. Seminggu lagi, apakah bisa?" tanya Rian dengan ragu."Saya lihat jadwal dulu. Apa di tanggal itu penuh pemakaian tenda ata
Setelah berdiskusi, akhirnya Ellen terpaksa menerima kalau pelaminan yang akan dia sewa dan pakai buat pernikahan nanti berbeda dengan pilihan Yaya. Rian hanya mampu membayar yang sederhana. Itu juga separuhnya uang dari ayah Yaya. Sepanjang perjalanan pulang, Ellen tak mengeluarkan sepatah kata pun. Sepertinya masih kesal dengan pilihan pelaminan untuk pesta pernikahan mereka. Ketika Rian mengajaknya makan bakso, dia juga tak mau. Ellen ingin segera pulang dan bertemu Yaya. Sampai di halaman rumah mereka, wanita itu langsung turun dari motor. Saat akan berjalan, tangannya di tahan sang pria."Sayang, jangan kamu marahi Yaya. Itu hak dia. Uangnya. Jangan buat aku malu. Jika nanti uangku sudah terkumpul, kita bisa mengadakan pesta kedua kali, atau saat anak kita lahir" ucap Rian.Ellen menyentak tangannya agar cekalan di tangannya terlepas. Dia memandangi wajah Rian dengan tatapan tajam."Kenapa kamu masih terus memikirkan Kak Yaya? Apa kamu masih sangat mencintainya?" tanya Ellen de
Ellen dan ibunya telah masuk ke kamar masing-masing. Sedangkan ayah masih duduk termenung di sofa ruang keluarga. Masih teringat ucapan putrinya tadi. Dulu dia begitu menyayangi sang putri. Namun, sejak kepergian sang istri dia jadi membenci Yaya.Apa lagi setelah dia menikah lagi dengan mantan kekasihnya dulu, Maura. Mereka dulu pernah berpacaran."Maafkan Ayah, melihatmu seperti aku melihat ibumu hidup kembali, Yaya. Itulah alasannya ayah selalu menghindari kamu. Sedih dan benci bercampur jadi satu. Ibumu meninggal karena ingin menjemputmu ke sekolah. Sehingga dalam pikiran ini, kau lah penyebab kematian ibumu," gumam Ayah dalam hatinya.Ayah Yaya menghisap rokoknya kembali.Saat dia sedang termenung, dia melihat Yaya keluar dari kamarnya dengan menyeret tas koper. Pandangannya tajam, menatap sang putri tanpa kedip.Saat Yaya makin dekat dengannya, pria itu berdiri. Kali ini Yaya yang menatap tajam pada sang ayah."Mau kemana kamu? Ini sudah malam!" ucap Ayah dengan suara sedikit le
"Ibu, apa kabar? Tak baik marah-marah. Bukankah ini hari bahagia putri Ibu!" ucap Yaya sambil tersenyum.Ibu Maura mengepalkan jari tangannya mendengar ucapan anak tirinya itu. Ya selalu saja mengucapkan kata-kata yang membuatnya emosi."Pergilah kau dari rumah ini! Bukankah kau sendiri yang minggat, kenapa kembali di saat Ellen menikah. Jika tidak berkeinginan mengganggu pernikahan Ellen, buat apa kau datang lagi?" Ibu masih mengajukan pertanyaan yang sama."Bu, aku datang hanya ingin mengambil motorku. Di mana Ibu letakan. Aku ingin membawanya. Setelah itu aku akan pergi," jawab Yaya."Motormu sudah tak ada," balas Ibu Maura.Mata Yaya melotot mendengar jawaban dari ibu tirinya. Apa lagi yang mereka lakukan pada motor miliknya. Mana STNK motor ada di bawah jok."Maksud Ibu apa? Aku tak paham!" seru Yaya.Walau dia sudah bisa menebak apa yang telah mereka lakukan pada motornya, tetap saja dia ingin mendengar langsung dari bibir ibu tirinya itu. Gaya yakin semua yang dilakukan atas ke
Para tamu undangan yang terdiri dari tetangga masih menyicipi hidangan sehingga waktu untuk Yaya bicara masih panjang. Mungkin mereka pikir, Yaya hanya sekedar mengobrol dengan keluarganya saja. Tapi, tak sedikit yang memandang dengan tatapan heran. Mereka tahu jika Rian adalah tunangan Yaya, tapi yang dinikahi adiknya. Yang menjadi pertanyaan, kenapa gadis itu tak tampak sedih. Banyak yang ingin tahu kebenarannya. Yaya menyalami ayah dan ibunya. Berhadapan dengan sang ayah, air matanya tak bisa lagi dibendung. Bukan karena sedih, tapi kecewa. Pria yang seharusnya jadi cinta pertamanya tapi justru orang yang paling banyak menorehkan luka. Jika cinta pertamamu tidak bisa lagi memberikan kenyamanan, untuk apa masih bertahan. Anak hanya ingin menjaga kewarasannya. Jangan sampai dia nekat bunuh diri. "Ayah, aku pamit. Terima kasih atas semua yang pernah kau lakukan untukku. Baik itu kebahagiaan atau pun luka yang kau beri. Bagimu mungkin aku bukan putri yang baik, yang bisa kau bangg
Yaya menyeret kopernya menuju ruang tunggu. Hanya satu tas koper berisi pakaian kerja yang dia bawa. Tak ingin nanti saat mengambil pakaian di rumah ayahnya, akan ada drama lagi. Beruntung tabungannya kembali setelah dia meminta uang yang terlanjur di setor buat penyewaan pelaminan dan tenda. Saat sedang termenung, Yaya mendengar ponselnya berdering. Dia lalu mengambilnya dari dalam tas. Terlihat ada pesan masuk dari Rian. Dia membukanya. Entah di mana pria itu, sehingga bisa mengirim pesan."Ana, dari lubuk hatiku terdalam, aku mohon maaf. Mungkin kata maaf ini tak cukup untuk mengobati luka hati yang aku torehkan, tapi sebenarnya aku tak pernah bermaksud menyakiti hatimu. Aku merindukan setiap momen yang kita habiskan bersama. Aku merindukan sentuharımu, tapi menyakitkan karena aku tidak bisa bersamamu, karena akulah penyebab rasa sakit mu. Aku benar-benar minta maaf."Pesan pertama dari Rian. Ternyata itu terkirim dua jam yang lalu. Dan dibawahnya, ada pesan lain."Sayang, aku tel
Satu tahun telah berlaluTak terasa telah satu tahun Yaya bekerja di kantor pusat perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Tak ada kesulitan berarti yang dia temukan. Dengan keramahan dirinya, banyak karyawan yang langsung menyukai.Yaya juga tak segan bertanya jika ada yang salah. Dia langsung dapat teman akrab bernama Laras. Mereka tinggal di satu kamar kost yang sama. Tepatnya rumah untuk karyawan single yang disediakan perusahaan."Yaya, nanti makan siang di kafe depan kantor yuk! Bosan kalau di kantin terus, ajak Laras pagi ini."Ras, mikirin makan melulu. Baru aja nyampe. Belum mulai kerja, dah mikirin makan siang" jawab Yaya."Harus dong, kan moto hidupku, "hidup untuk makan" ucap Laras sambil tertawa.Kedua gadis itu lalu tertawa. Walau sambil becanda, mereka tetap melakukan pekerjaan. Sehingga tak ada pekerjaan yang terbengkalai.Yaya dan Laras telah menjadi teman baik sejak dia bekerja di kantor ini. Setiap hari, mereka selalu menyempatkan diri untuk pergi makan siang bersama.
"Siapa kamu? Kenapa ada di kamar mandi wanita?" tanya Yaya dengan suara penuh penekanan.Yaya menurunkan bajunya. Bukannya takut, pria itu justru tersenyum simpul mendemgar pertanyaan gadis itu.Melihat pria itu tersenyum, Yaya menjadi geram. Tangannya terkepal menahan amarah."Kenapa tersenyum? Dasar Oom-oom mesum! Pasti sengaja masuk kamar mandi perempuan untuk melihat gadis-gadis yang ke kamar mandi!" ujar Yaya dengan ketus.Pria itu masih diam, tak ada suara. Dia hanya menaik turunkan alisnya dan mengangkat bahunya, seperti mengatakan ketidak peduliannya. Pria itu lalu berjalan menuju pintu keluar.Yaya yang merasa belum puas menegur pria itu tak terima saat melihat dia ingin pergi. Cepat-cepat menahan dengan memegang pergelangan tangannya."Mau lari kemana, Om? Kamu harus dipertemukan dengan pihak keamanan. Jelaskan di pos jaga tujuan dan maksud kamu masuk ke kamar mandi wanita!" ucap yaya dengan penuh keyakinan."Kamu yang harus ke pos jaga! Masuk ke kamar mandi pria, pasti ingi
Bima terdiam mendengar pertanyaan ibu Maura. Tak tahu harus menjawab apa. Jika berkata jujur, pasti nama Yaya yang akan jelek. Apa lagi dia sudah tahu bagaimana perilaku sang ibu tiri. Tadi Joe telah menyelidiki dengan bertanya pada beberapa tetangga mereka."Apa Nak Bima dan Yaya telah menikah?" Kembali ibu Maura mengajukan pertanyaan.Yaya yang baru datang dengan Arabella setelah mengantar makanan untuk tetangganya yang telah baik dan memberikan kabar, langsung tersenyum sinis mendengar pertanyaan ibu tirinya itu."Kenapa Ibu ingin tau, apakah itu ada pengaruhnya buat kehidupan Ibu? Menikah atau pun belum, aku tak pernah minta tolong dengan Ibu, jadi berhenti ingin tau tentang kehidupanku!" seru Yaya.Ibu Maura cukup terkejut mendengar ucapan Yaya. Dia pikir gadis itu akan diam saja seperti di rumah sakit. Dia ingin menarik perhatian Bima setelah melihat mobil dan royalnya pria itu. Buat ustad sekelas kampung saja dia memberikan uang jutaan."Jangan berkata begitu, Yaya. Walau aku i
Jenazah ayah terbaring di tengah ruang tamu. Yaya masih terus menangis. Arabella yang selalu berada di samping gadis itu selalu menghapus air matanya. Sambil sesekali mencium pipinya.Banyak tetangga memandangi gadis itu. Mungkin dalam hati mereka bertanya, siapa gadis cilik yang nempel dengannya. Sementara itu Bima dan Joe duduk di halaman rumah Yaya di bawah tenda sederhana.Dengan berjalan perlahan Ellen mendekati dua pria itu. Dia membawa baki berisi dua gelas teh hangat dan kue."Silakan minum, Mas. Pasti capek perjalanan menuju ke sini," ucap Ellen dengan centilnya.Bima tak menanggapi ucapan Ellen, justru membuang muka. Hanya Joe yang mencoba tersenyum."Terima kasih," ucap Joe."Apakah Mas tak ingin masuk?" tanya Ellen. Joe menjawab dengan gelengan kepala.Saat ini jenazah sedang di mandikan. Setelah tu kembali di bawa ke ruang tamu. Saat kain kafan akan ditutup, Yaya mendekati jenazah. Dia meninggalkan Arabella sebentar. Untung bocah itu mau di tinggal."Ayah, ini terakhir ka
Yaya mengangkat wajahnya dan melihat Arabella berlari mendekati. Di belakang bocah itu ada Bima dan Joe. Gadis itu merentangkan tangannya agar sang bocah masuk dalam pelukannya. Saat ini dia memang butuh pelukan walau hanya dari anak kecil. Tangis Yaya pecah saat Arabella telah berada dalam pelukannya. Membuat bocah itu ikut menangis. "Mami bohong. Mami mau tinggalin aku'kan?" tanya Arabella di sela tangisnya. "Mami ada perlu, Sayang," jawab Yaya di sela Isak tangisnya. Tadi siang, sepulang sekolah, gadis cilik itu meminta bertemu Yaya sesuai janji Oma dan papinya. Saat dibilang Yaya tak ada di perusahaan karena pulang kampung dia tantrum dan tak mau makan. Hingga malam tak juga menyentuh nasi. Akhirnya Bu Rangga, meminta sang putra mengantar cucunya bertemu Yaya. Pria itu terpaksa mencari tahu alamatnya dari file di perusahaan. Jam sepuluh malam mereka berangkat. Bu Rangga tak mengizinkan dia
Yaya akhirnya mendapat izin masuk walau sebenarnya jam besuk telah selesai. Dia meletakan tas di bangku tunggu. Berjalan masuk dengan perlahan.Ketika dia masuk ke ruangan itu, dia hampir tidak bisa mengenali ayahnya. Wajahnya pucat dan lesu, terhubung dengan berbagai alat yang membuatnya tampak rapuh dan rentan. Tangis Yaya tak dapat lagi dia tahan. Air mata jatuh membasahi pipinya."Ayah, bangunlah. Aku tak sanggup melihat ayah begini. Walau ayah tak menyayangiku, itu lebih baik dari pada melihatmu begini," rengek Yaya sambil mengusap matanya yang berair.Tiba-tiba, ayahnya Yaya terlihat bergerak perlahan. Matanya yang terpejam sepertinya mencoba membuka sedikit demi sedikit. Yaya langsung mendekatinya."Ayah, maafkan aku," ucap Yaya terisak.Ayahnya Yaya tampak berusaha tersenyum. Tangannya terangkat perlahan seperti ingin bersalaman. Gadis itu meraihnya dan menggenggamnya. Dia lalu menciumnya."Maaf, karena aku baru bisa pulang," ujar Yaya dengan suara terbata karena menangis.Air
Yaya akhirnya memutuskan pulang kampung. Bersyukur juga dia bisa menenangkan Arabella. Bocah itu tak merengek lagi minta ikut karena dijanjikan akan bertemu lagi besok dan seterusnya setelah pulang sekolah.Bima memberikan cuti seminggu. Kebetulan Yaya memang telah satu tahun bekerja di perusahaannya.Yaya termenung dalam bus yang membawanya pulang. Satu tahun sudah dia meninggalkan kampung halamannya. Hari raya saja dia tak pulang.Ketika hampir sampai di kampung, gadis itu menarik napas dalam untuk menenangkan gejolak dalam dadanya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia gugup, walau telah satu tahun berlalu luka itu belum sembuh dengan sempurna.Yaya memang memberikan nomornya pada salah satu tetangga. Tujuannya memang untuk bertanya tentang ayah. Walau sebesar apa pun kecewanya pada sang ayah, tapi tak bisa menutupi rasa cintanya.Sampai di terminal, Yaya langsung menuju rumah dengan menggunakan ojek. Dia hanya membawa tas kecil dengan
Yaya menggandeng tangan bocah cilik itu menuju ke ruang kerja atasannya. Saat sampai di depan ruang itu, Yaya mengetuknya. Hingga terdengar suara sahutan barulah gadis itu masuk. Di dalam ruangan tampak Joe sedang sibuk dengan laptopnya.Gadis itu tersenyum dengan Joe dan Bima. Dia lalu mendekati meja kerja atasannya itu."Pak, Ara minta di antarkan ke ruang ini.""Ya, Yaya. Sekali lagi aku minta maaf karena telah merepotkan kamu," ucap Bima."Tak perlu minta maaf, Pak. Ara tak ada mengganggu saya," balas Yaya.Bima berdiri dari duduknya dan mendekati Arabella lalu menggendong. Yaya tersenyum melihat itu. Dipikirnya sang bocah pasti sudah mau di tinggalkan. Dia lalu pamit."Pak, kalau begitu saya pamit dulu," ucap Yaya."Ya, Yaya." Bima hanya menjawab dengan singkat.Yaya lalu berbalik dan berjalan menuju pintu keluar, tapi menjelang sampai diambang pintu terdengar teriakan Arabella. Dia menangis minta ikut. Gad
"Ternyata bocah itu memang menyukaimu secara ugal-ugalan." ucap Laras sambil tersenyum.Yaya tersenyum ke arah Arabella. Bocah cilik itu langsung memeluk Yaya. Karyawan yang lain menatap ke arah gadis itu dengan heran, apa lagi melihat Bima dan mamanya yang berjalan di belakang sang bocah. Sudah pasti langsung terjawab pertanyaan mereka tentang siapa gadis cilik itu, tak lain dan tak bukan pasti keluarganya atasan mereka, walau tak tahu statusnya apa dengan sang bos.Akan tetapi tak seorangpun karyawan yang berani bergosip karena mata Bima yang menatap tajam ke arah mereka. Seperti ingin mengatakan, jika ada yang membicarakan tentang Yaya, maka berhadapan dengannya.Namun, bagi karyawan yang telah lebih dari lima tahun bekerja, tahu siapa bocah itu sehingga menatap Yaya dengan tatapan penuh tanya. Kenapa sang bocah memanggil mami?"Ara, Sayang. Apa kabar?" tanya Yaya dengan tersenyum."Mami, kenapa mami pergi kerja tak bangunkan aku dulu. Aku mau besok Mami tak pergi kerja sebelum aku
Pagi harinya Arabella kembali berulah. Dia tak mau mandi dan makan. Hal itu membuat Rakha dan mamanya kewalahan. Begitu juga dengan Pak Rangga."Aku mau mami!" teriak Arabella di pagi buta. Dia mencari keberadaan Yaya di setiap sudut rumahnya. Ketika tak menemui keberadaan gadis itu, dia mengamuk dan berteriak."Itu bukan mami kamu, Ara!" ucap Bima dengan suara tak kalah kerasnya. Habis sudah kesabarannya."Mami kamu sudah pergi jauh, tak pernah ingat kamu!" seru Bima lagi.Ucapan Bima membuat Pak Rangga dan Bu Rangga marah. Dia menasehati putranya."Cukup Bima! Mana Ara mengerti dengan ucapanmu itu. Dia pasti akan menjadi sedih karena berpikir maminya tak ingat dia." ucap Mamanya Bima"Memang kenyataan jika maminya tak pernah menginginkan dia. Dan tak pernah ingat anaknya sekalipun. Tak ada keinginan untuk bertemu." balas Bima. "Bukan begitu caranya mengatakan pada anakmu. Dia begitu sejak di ledek temannya jika dia tak punya mami." ucap Pak Rangga.Pak Rangga lalu mencoba mendekati
Yaya akhirnya berdiri dengan tetap menggendong Arabella. Bocah cilik itu tak mau sedikitpun melepaskan dirinya dari pelukannya.Yaya dan Laras di minta pindah ke meja keluarga. Awalnya mereka ragu, tapi Bu Rangga meyakinkan jika semua tak apa, apa lagi Arabella masih tak mau lepas dari Yaya.Saat sampai di meja keluarga, Yaya lalu mendudukkan Arabella di kursi. Bocah itu langsung memeluk lengan Yaya, takut lepas."Ara mau makan apa?" tanya Ibu Rangga begitu Yaya dan Laras duduk. Cucunya itu duduk dengan merapatkan tubuhnya ke gadis itu."Aku tadi sudah makan di suapin Mami." jawab Arabella.Bima menatap Yaya tanpa kedip mendengar ucapan bocah itu. Dia heran kenapa anaknya sampai memiliki pikiran jika itu maminya. Dan yang makin membuat dia heran karena sang bocah mau makan tanpa paksaan."Kamu makan sama Mami?" tanya Bima tak percaya. Arabella biasanya paling susah makan dan harus dengan rayuan maut barulah dia mau."Iya, Mami suapin dengan ikan," ucap Arabella dengan polosnya.Bu Ran