Hampir Lisa tersedak cheese cake demi mendengar perkataan Didit. Oh, mengapa ia tak menyadarinya? Mengapa ia tak berpikir ke arah sana? Yang Lisa pikirkan adalah pastilah pemilik Three Times Coffee sangat mengenal Didit. Pantas saja kita bisa makan nasi goreng waktu itu, ucap Lisa dalam hati. Ia menepuk-nepuk jidatnya sendiri. Feel silly.
Tiba-tiba Lisa teringat sesuatu. Ia bangkit dan berjalan menuju rak buku. Dengan menaiki kursi, ia mengambil bundle kumpulan majalah anak-anak lalu kembali duduk di tempat semula.
“Jadi, ini pasti memiliki cerita.” Lisa memperlihatkan bundle majalah di depan layar hand phone. Melihat itu, Didit tertawa ringan. “Ya. Itu kenangan masa kecil yang indah. Kamu akan tahu ceritanya setelah aku kembali.” “Gambar depannya bagus, aku menyukainya. Kamu yang menggambar?” &nbs"Selamat pagi, Nona Lisa. Aku senang dengan balasan chat kamu tadi malam.” “Selamat pagi, Kapten. Tadi malam sangat menyenangkan.” “Good to know. Sekarang, kamu simak video ini.” Didit mengalihkan layar hand phone ke arah laptop miliknya. Sebuah video music dengan lagu berirama riang. “Nona Lisa? Aku pernah mendengarnya. Siapa deh, yang nyanyi?” “Yap, Nona Lisa dari Chrisye. Keren, kan? Nanti kamu akanmendengarnya saat menuju kantor, karena Pak Sapri sedang dalam perjalanan menjemput kamu dan akan tiba sekitar lima belas menit.” “Apa? Didit, aku tak bisa.” “Ayolah, Lisa. Pasti tadi malam melelahkan, bukan? Kamu bisa istirahat selama empat puluh lima menit dalam mobil tanpa khawatir tertinggal bus atau terlambat.”Ya, memang tadi malam cukup melelahkan, pulang larut d
Segelas teh hangat dan dua potong roti telah berada di atas meja kerja Lisa. Di luar, hujan deras turun tak lama setelah dirinya tiba ke kantor. Huft, ia memikirkan Pak Sapri. Segera dikeluarkannya hand phone, bermaksud memberi kabar pada Didit.'Hey, Cap. Aku sudah tiba di kantor. Hujan deras barusan dan aku tak tahu bagaimana keadaan Pak Sapri.’Lisa menekan tombol kirim dan menyalakan komputer. Belum lima menit, seseorang menghampiri. Sandra. “Hei, Lisa. kamu baru datang?”Wah, sungguh priviledge sekali dapat kunjungan dari nona sempurna ini. Rekan-rekan satu lantai tahu jika Sandra sangat memilih teman. Jika ia merasa orang itu tak keren seperti Lisa, ia akan menjaga jarak. Tak seperti Sarita yang modis dan Abimanyu yang dandy, Lisa jarang disapa, bahkan Sarita sering memergoki Sandra melihat Lisa dengan pandangan mencemooh. Tapi kali ini, Sandra rela naik satu lantai untuk menemuinya. Ada apa ini?&n
Lisa duduk di belakang kursi penumpang, memandang ke luar jendela. Semburat senja merah kekuningan mengikuti mobil yang dikendarai Pak Sapri yang melaju di jalan tol. Hari ini sungguh melelahkan. Pikirannya berkecamuk oleh perkataan Sandra saat makan siang. Mereka duduk berhadap-hadapan. Situasi agak canggung di antara mereka berdua jika tak ada Sarita yang duduk di sebelah Sandra. "Aku enggak nyangka kalau pemilik Three times Coffee itu adalah cowok kamu, Lis. Hebatlah selera kamu memilih pacar."Lisa mengerutkan kening. "Jadi, apa kita masih bisa makan bareng seperti sekarang? Sejak kamu pindah divisi, dan tak berhubungan lagi dengan Rio." "Hei, apa tak ada lagi pembicaraan yang lebih bermutu?" Sarita memotong. "Tentu aja ini bermutu. Setidaknya aku bisa memastikan Lisa memiliki hubungan yang bahagia bersama Didit." &
Senja di hari Jumat terasa sejuk setelah panas terik seharian. Lisa melangkah keluar gedung menuju Three Times Coffee seperti janji mereka tadi malam akan bertemu di tempat itu sepulang bekerja. Terasa ada titik di mana kerinduan membuncah, begitu juga kekhawatiran jika ia hanya mengharap sebuah ending yang indah. Memasuki Three Times Coffee, pandangannya menyapu seluruh ruangan. Hampir semua meja terisi oleh pengunjung sehingga semua kru sibuk, tapi Lisa tak melihat sosok Didit. Debar jantungnya semakin terasa berdetak saat berjalan menuju meja order, namun langkahnya terhenti oleh sepasang tangan yang menghalangi pandangan matanya. Tangan itu menutup kedua mata Lisa. Dengan gerakan refleks Lisa mencoba melepas tangan itu dan membalikkan tubuh. Di sana, Didit tersenyum lebar. Pada titik itu, suasana seakan menjadi tenang, suara-suara menghilang, tak ada orang-orang ngobrol dan suara mesin kopi di dalam ruang it
Lisa mengangkat bahu dengan sedikit ragu, seakan mengisyarakan jika ia tak memperkirakan pertanyaan dari Didit. Matanya memicing, memikirkan jawaban yang tepat. “Kukira kita akan membahas buku.” Lisa menjawab sekenanya. “Terlalu biasa.” “Lalu apa ide kamu?” “Hmm, mungkin nanti kamu akan tahu sendiri. Sekarang, kita makan dulu. Kamu kan terbiasa makan tepat waktu.” Lisa mengangguk, lalu berjalan di sebelah Didit. Tangan kanannya digenggam oleh tangan besar lelaki itu. Mereka berjalan menuju lobi samping dan sepanjang perjalanan, Didit tak melepaskan genggaman tangannya. Gadis itu mencoba menyejajarkan langkahnya dengan langkah Didit yang panjang. Ugh, dia harus hati-hati berjalan saat menggunakan wedges. Sesekali ia melirik ke arah lelaki itu. Tatapan lurus dan air muka segar, sesegar aroma tubuhnya. Jadi terkuak
Sabtu pagi pukul setengah enam, Lisa telah berada di dalam mobil bersama Didit dan Pak Sapri yang mengantar mereka. Mobil meluncur menembus jalan Jakarta. Lisa mengira mereka akan jogging, namun saat mobil memasuki tol Jagorawi, ia merasa heran. "Kita akan ke mana, Dit?" "Nanti kamu akan tahu, dan kuyakinkan kamu pasti menyukainya dan bisa menjadikannya hobi saat weekend." "Aku tak suka kejutan." "Kenapa?" "Terkadang aku tak menyukai perhatian yang belum tentu aku suka." "Kamu pernah mengalaminya?"Gadis itu mengangguk, "Dikerjain saat ulang tahun." "Kan seru. Memang seperti apa dikerjainnya?" "Mereka membuatku harus turun naik tangga, entah menyuruhku membawa buku dari perpustakaan dan ternyata salah buku, lalu berbohong mengatakan jika
Embusan angin dingin menerpa wajah Lisa. Dipandangi langit biru berhias burung yang terbang di kejauhan. Sungguh tak ia duga bisa melayang bersama Didit. Lelaki yang ia temui di peron bus way bukan lelaki biasa dengan kehidupan yang tak biasa. Sarita benar, terkadang orang-orang yang kelihatannya hanya pekerja biasa dan menjalani kegiatannya secara monoton, di baliknya sangat menyukai hal-hal ekstrem. Mereka, uptown people, urban person, kebanyakan menghabiskan waktu senggang dengan nongkrong di kafe, club, gym. Tapi Didit punya cara lain. Dan ia mengajak aku, bisiknya. Di tengah kenikmatannya memandang alam nan indah di bawah sana serta langit membiru bersemilir angin sejuk menerpa, di kepala gadis itu hanya terputar lagu Nona Lisa. Beat lagu tersebut cocok dengan detak jantungnya sekarang. "Lisa, kita akan turun, naikkan kakimu. Saat mendarat, aku yang menjejakkan kaki sedang kamu akan terduduk. Kamu siap?" &
Mobil bergerak naik hingga ke puncak lalu turun menuju Cipanas. Lisa menikmati perjalanan ini hingga sempat tertidur. Angin sepoi-sepoi menerpa kulit hingga mata terpejam tanpa sadar. Hingga di hampir tujuan, Lisa terbangun dan mendapati Didit sedang memainkan hand phone miliknya. "Ah, kamu sudah bangun. Sebentar lagi kita akan tiba. Dan, ini," Ia mengambil topi dari kantong kursi, "Kamu pakai topi karena matahari sudah mulai tinggi." Mobil berhenti pada suatu perkebunan. Lisa memakai topi lalu keluar, disusul Didit. Keduanya memasuki halaman yang penuh dengan bunga berwarna-warni dan beraneka bentuk kemudian keduanya disambut oleh pemilik perkebunan. Dengan ramah, bapak Asep mengantarkan mereka ke kebun miliknya yang ternyata lebih luas dari kelihatannya. Melihat betapa luasnya perkebunan penuh bunga tersebut membuat Lisa kagum hingga mulutnya terbuka. Bunga krisan beraneka warna dan bentuk
Akhir-akhir ini Lisa merasa kurang fit. Entah bagaimana ia merasa pusing tanpa sebab. Ia akui, selama tak lagi bersama Didit, pola makannya jadi tidak teratur, lebih banyak di kantor untuk menyibukkan diri. Sebenarnya Pak Benny telah menegur dirinya untuk tidak sering pulang terlambat. “Saya tak ingin kamu sakit, Lisa. Kita harus mengejar target sampai akhir tahun dan saya butuh kamu dan yang lain untuk fit. Lagi pula, manajemen bisa menganggap kamu tak mampu menyelesaikankan pekerjaan sesuai jam kerja.” Baiklah. Gadis itu tak punya pilihan lain. Sepuluh menit sebelum pulang kantor, Lisa telah merapikan semua pekerjaan dan bersiap-siap ke toilet. Namun sebelum melangkah, androidnya berbunyi. Sarita pasti mengajaknya pulang bareng. "Halo." "Lisa, kamu sibuk ya?" Gadis itu tak lekas menjawab. Ah, Rio. Dia sudah kembali dari Singapura? "Lisa, aku sedang di lobi bawah sekarang dan menunggu kamu turun. Aku ingin kita bisa makan
Yeah, mestinya Lisa tidak tenggelam begitu dalam hingga lupa jika kalung itu masih ia pakai. Salahnya sendiri karena menunda-nunda untuk mengembalikan kembali kalung itu ke tempatnya karena masih merindukan sosok Didit. Tapi, apakah kamu akan seperti Lisa, begitu berat akan kehilangan dan masih mengenang benda yang menjadi bukti ikatan mereka hingga berat untuk melepasnya? Lagi pula, hell yeah, kalung ini sangat cantik. Lisa mengangguk. "Ya, Didit memberikannya padaku." ujar Lisa pelan, seraya melepas kaitan kalung tersebut. Diambilnya kotak dari dalam tas dan meletakkan kembali perhiasan tersebut. "Aku kembalikan pada kamu, Mae. Aku tidak menginginkannya, begitu juga ini." Lisa mengeluarkan satu kotak kecil berisi cincin. "Aku yakin Didit belum beri tahu kamu, tapi kami sudah tak lag
Android Lisa beberapa kali berdering. Nomor tak dikenal. Gadis itu hanya melihat sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya mengecek stok barang dalam gudang kantor. Beberapa minggu ini pemesanan brand baru yang ia pegang semakin meningkat. Ini menjadikannya bertambah sibuk mengatur produk yang ingin didistribusikan berdasarkan pemesanan. Setidaknya pekerjaan ini mengalihkan pikirannya dari Didit. Lelaki itu tidak menghubunginya lagi sejak terakhir Pak Sapri mengantarnya ke kantor. Namun Lisa merasakan jika dirinya diikuti. Ada kekhawatiran Didit sudah kembali ke Jakarta dan menguntitnya. Atau bisa jadi bukan dia. Bisa saja orang yang dibayar untuk mengikutinya kemana pun ia pergi. Ah, semoga itu hanya perasaannya yang masih merasakan kesepian. Suara ketukan di pintu mengagetkannya. "Hei, Lisa. Sudah sore, kamu enggak siap-siap pulang?" "Sedikit
Tatapan mata Lisa menerawang ke halaman dari balik jendela kamarnya yang berada di lantai atas. Halaman samping rumah kosnya terdapat parkiran kecil dengan beberapa kendaraan milik penghuni kos. Pukul enam pagi di hari Rabu. Beberapa kali Didit menelepon dan mengirim pesan, tapi tidak ia gubris. Tak ada telepon dari lelaki itu yang ia jawab. Bahkan ia menolak saat Pak Sapri menjemputnya. Sudah dua hari ini ia menerima tawaran Sarita untuk ikut berangkat kerja bareng. Sebenarnya ia enggan karena sering Sarita berangkat kerja bersama suaminya. Namun lebih baik dari pada harus diantar Pak Sapri. Tiga hari ini sangat berat. Lisa tak mengira ia jatuh begitu dalam. Mata bengkak sebagai pertanda sisa air mata berikut kurang tidur, sesuatu yang belum pernah terjadi selama ia menjalin hubungan dengan seorang lelaki, tidak juga dengan Rio. Hal ini cukup mengganggu ritme kerja. Ia jadi lebih suka berada dalam gudang, memeriksa barang sam
Yang terlihat di depannya sekarang adalah satu kesempurnaan yang telah tuhan ciptakan. Wajahnya bersih bersinar, hidung bangir dengan mata indah berkelopak ditambah alis yang dibentuk alami oleh sang pencipta, tulang pipi menawan, dan bibirnya itu. Bibir Melissa begitu indah dan senyumnya bagai magnet, bahkan Lisa sesaat terpesona olehnya. Belum lagi postur tubuh perempuan yang berdiri tepat di depan Didit. Kulit putih dengan bentuk tubuh proporsional, begitu terawat. Tak ada yang kurang dari perempuan ini. Bahkan kedipan mata Melissa mampu menggoda setiap yang menatapnya. "Kamu belum mengembalikan kunci seperti yang kuminta." "Sudah, tapi aku hanya meminjam pada Mae. Ada barang-barangku yang masih tertinggal." Pandangan Melissa beralih pada Lisa. Dua pasang mata beradu, bertatapan tanpa senyum sama sekali. Oh, dia sungguh cantik, desis hati Lisa. &nbs
Lisa duduk berhadapan dengan Sarita di sudut kafe dekat jendela, memegang secangkir besar moccachino. Sebenarnya, Lisa bukan pecinta kopi. Ia lebih menyukai teh dengan perasan jeruk, atau tanpa jeruk pun tak masalah. Rasa teh yang simpel menyimpan kesederhanaan dan tak rumit. DIsajikan hangat atau dingin, teh tetaplah teh. Simpel, sederhana, mudah. Tapi ia tak menolak jika harus berhadapan dengan kerumitan kopi, yang memiliki rasa lebih kaya dan sensasi yang diberikan. Demikian juga dirinya dan hidup yang sekarang ia jalani. Ia tak berpikir jika hubungannya dengan Didit sedemikian rumit. Mestinya simpel; mereka menjalin kasih, Didit melamar, lalu menikah. Layaknya teh, rasa ringan dan menenangkan. Kalaupun ada senggolan-senggolan, tentunya takkan serumit yang sekarang ia hadapi. Tapi, entah bagaimana, Lisa justru tak memiliki kekuatan untuk menjauh. Inikah cinta? “Hei, apa sekarang kit
Sayup-sayup lagu You mengalun di dalam kafe. Didit menggenggam tangan Lisa, melewati kursi-kursi yang telah penuh oleh pengunjung, berjalan ke arah meja barista menuju pintu yang didesain seperti tembok. Begitu masuk, yang pertama kali terlihat adalah ruang kantor dengan luas sekitar tiga kali tiga meter berjendela kaca hingga ruangan tersebut bisa terlihat dari luar. Di sisi kanan, Lisa melihat dapur yang kelihatannya kecil tapi memiliki peralatan masak lengkap. Paling pojok terdapat meja makan untuk dua orang. Seorang barista sedang memasak sesuatu. Sepertinya disinilah mereka bisa beristirahat dan memasak makanan sendiri. Begitu melihat Didit, ia tersenyum dan menyapa. Didit membalas dengan menepuk pundaknya, lalu berjalan menuju lemari pendingin. "Kita akan masak apa, Lisa?" Tanya Didit seraya membuka lemari pendingin, melihat-lihat sebentar, lalu pandangannya beralih ke arah Lisa. "Ehm, n
'Hei, Lisa. Aku merindukanmu.'Lisa tercenung menatap pesan dari Rio. Perlukah dirinya membalas pesan itu? Apa yang akan ia katakan? Hei, Rio. Aku tak merindukanmu. Atau, Hei, Rio. Jangan hubungi aku lagi. Oh. Ia takkan menulis itu. Rio tetaplah lelaki yang pernah menghiasi relung hati dan selalu ada pada awal ia bekerja di perusahaan sekarang, sering memberi tahu cara kerja mereka dan tak bisa ia lupa betapa hangat sikap lelaki itu. Ia masih tetap baik di mata Lisa. "Lisa, kamu sudah siap?" Suara Didit terdengar dari balik pintu kamar. Sore telah menjamah waktu tanpa terasa, dan mereka berencana akan ke Three Times Coffee. Pada sabtu malam, kafe itu ramai oleh pengunjung, karena gedung perkantoran tempat Three Times Coffee bersebelahan dengan mal. Lisa membuka pintu. Di luar, lelaki itu telah menunggu. Ia tersenyum melihat pakaian Lisa yang begit
Seketika otak Lisa membeku, tak bisa berpikir apapun kecuali satu kata spontan yang telah keluar dari mulutnya sejenak setelah mendengar apa yang barusan dikatakan Didit. Antara percaya dan tidak, beberapa detik semua kata menghilang. Didit mengangguk, lalu, "Aku sudah bertemu bapak dan ibu kamu sebelum kencan kita yang kedua. Saat kuutarakan maksudku, ibumu menangis dan bertanya, apakah kamu hamil. Ibumu sangat mudah panik dan menangis dan menelepon kakak lelaki kamu, Mas Setya. Aku jelaskan bahwa kamu baik-baik saja, tak ada yang hamil dan tak terjadi apa-apa di antara kita." Lisa mengangkat tangannya sebagai tanda agar Didit berhenti bicara. "Kamu ke rumah orang tuaku? Are you insane?" "Tidak. Aku memikirkan semuanya, Lisa." Lisa bangkit dari duduk, berdiri gelisah sambil memegang