Home / Pernikahan / BANGKITNYA SANG MENANTU HINA / Bab 4. Korban Perampokan

Share

Bab 4. Korban Perampokan

Author: Trinagi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Tolong ... tolong." Dari kejauhan terdengar suara seseorang minta tolong. Naya menatapku dengan wajah pucat pasi, nampaknya dia sangat ketakutan.

"Mas, kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini tidak aman bagi kita." Naya menarik paksa tanganku untuk segera menjauh pergi dari sini.

Belum selesai Naya berbicara tiba-tiba datang seorang bapak tua menghampiri kami yang masih terpaku di taman kota.

"Nak, bisa minta tolong?" Seorang bapak tua dengan pakaian compang camping datang dengan tergopoh-gopoh, beliau menjumpai kami berdua yang masih kebingungan dengan apa yang terjadi.

"Insya Allah, jika kami mampu, pasti akan kami bantu," ujar Naya sambil menyuruh si bapak itu untuk duduk. 

"Saya dirampok dan ponsel untuk menghubungi anak saya pun diambil oleh mereka." ujarnya sendu.

Tubuhnya gemetar terlihat bulir bening menetes membasahi kedua pipinya.

"Apa yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku dengan menatap manik mata tuanya.

"Saya gak tau mau pulang kemana, Nak. Nomor ponsel anak saya pun saya gak hapal!"

Tidak mungkin juga aku mengajak dia ikut kami, sementara tempat tinggal kami saat ini saja belum jelas.

"Bapak, sudah makan?" tanyaku pada pria yang memakai baju compang camping dan baunya sangat mengganggu indera penciuman. 

"Belum. Saya tadi mau ke rumah anak saya dengan naik taksi. Turun disini sebentar tujuan saya mau berbelanja ke market, membeli oleh-oleh untuk cucu saya. Eh tau-taunya dompet saya raib semua, nasi dan oleh-oleh akhirnya gak jadi saya beli," jelasnya kemudian.

"Jadi Bapak belum makan?" tanyaku memastikan.

Sementara jam sudah menunjukkan angka 17.00 sementara bapak tua tersebut belum makan sesuap pun. Sungguh miris nasibnya.

"Belum. Setiap warung yang bapak datangi, mereka pasti mengusir. Mungkin mereka mengira saya ini perampok yang menyamar menjadi pengemis," ujar bapak yang belakangan aku mengetahui namanya Herman.

"Ya udah. Bapak tunggu disini sebentar ya?" Aku segera berlari ke arah warung nasi dan membeli dua bungkus nasi. Satu bungkus untuk pak Herman dan satu lagi untuk aku dan Naya. Kebetulan kami juga belum makan dari tadi.

Uang di dompet yang tidak seberapa terpaksa kubelikan nasi rendang karena kasihan melihat kakek itu sangat lemah. Sementara untuk kami berdua nasi putih saja sudah cukup.

Setelah membeli dua bungkus nasi dan air minum segera aku kembali ke tempat Naya dan si kakek itu berada.

Mereka berdua masih asyik mengobrol saat aku sampai di taman.

"Ini, Pak. Dimakan. Siap makan saya antar Bapak pulang," ujarku seraya menyodorkan satu bungkus nasi lengkap dengan lauknya.

"Terima kasih, Nak." Beliau meraih bungkusan dengan tangan gemetar.

"Sama-sama. Kami duduk dibawah pohon itu ya, Pak." Jariku menunjuk ke arah bangku yang berada agak jauh dari tempat kami duduk sekarang.

Aku dan Naya sengaja menjauh dari bapak tersebut, karena malu jika bapak itu melihat kami makan nasi putih hanya dengan garam saja.

"Alhamdulillah, semoga besok kita ada rejeki untuk beli nasi padang ya, Sayang." Kulirik wanitaku, dia hanya tersenyum saja.

"Tenang saja, Mas. Bulan depan kita beli ya? Tinggu Adek gajian," cicit Naya. Dia tidak menyadari bahwa buku tabungan dan ATM  sudah dikuasai oleh ibunya.

"Tapi ATM sudah sama ibu. Bagaimana Adek mau belanja?" kelakar aku.

"Oh ya ... ya. Lupa," ucap Naya sembari menepuk jidatnya. Kami pun tertawa serentak. Menertawakan nasib ini tepatnya. Kemudian terdiam tidak berkata apa-apa lagi. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Dari kejauhan aku melihat di bapak berjalan menuju ke arah kami, tapi tiba-tiba saja beliau terjatuh dan tidak sadarkan. Segera aku berlari ke tempak bapak Herman jatuh.

"Pak ... Pak. Bangun, Pak." Kugoyangkan tubuh bapak itu lembut tetapi tidak ada respon.

Kulihat darah mengucur deras dari kepalanya. Mungkin akibat terbentur dengan batu waktu terjatuh tadi.

"Periksa nadinya, Mas. Semoga masih berdenyut." Aku pun segera memeriksa nadi pak Herman sesuai perintah Naya.

"Ayo kita bawa saja ke rumah sakit. Jangan di lama-lamain, Mas. Takut kehabisan darah," titah Naya dengan wajah pucat. Wanitaku sangat takut jika melihat darah apalagi darah orang yang kecelakaan begini.

"Bentar ya, Mas panggil becak dulu." 

Aku berdiri di bahu jalan menunggu becak. Tidak sampai satu menit ada becak lewat dan aku menyetopnya.

"Bang, di sana ada pasien kecelakaan. Minta tolong antarkan ke rumah sakit terdekat disini." Mohonku pada pria paruh baya itu.

Setelah sampai ke lokasi kejadian, segera kami membawa bapak tua tersebut. Semoga beliau bisa terselamatkan.

"Adek yang mengurus di rumah sakit, ya. Nanti Mas menyusul. Sekarang Mas mau melapor ke kantor polisi dulu." Naya mengangguk setuju. Aku takut juga diseret ke penjara seandainya terjadi apa-apa terhadap bapak tua itu. Takut dituduh sebagai orang yang mencelakai beliau. Walaupun beliau jatuh sendiri, tapi karena tidak ada bukti yang kuat, pasti akan memberatkan aku dan Naya nantinya.

Tidak berapa jauh dari taman kota terdapat kantor pos polisi. Aku melaporkan pada salah satu anggota yang sedang berjaga disitu, kronologi bagaimana bisa berjumpa pak Herman hingga dia pingsan.

Setelah memberikan keterangan di kantor polisi, aku di perbolehkan pulang. Sekarang kasus yang dialami pak Herman sudah ditangani oleh pihak keamanan. Tinggal tunggu saja proses berikutnya.

Keluar dari kantor polisi, aku kembali menuju ke rumah sakit untuk menjumpai Naya dan juga korban perampokan tadi. 

"Bapak, apa kabarnya. Sudah enakan?" tanyaku saat berada di ruang rawat inap rumah sakit tempat pak Herman di rawat.

"Sudah baikan, Nak. Terima kasih banyak atas semua pertolongan kalian terhadap Bapak. Kalau kalian tidak ada entah bagaimana nasib bapak saat ini," ujar lelaki bertubuh gempal itu.

"Jangan ngomong begitu, Pak. Semua itu terjadi atas kehendak Allah, takdir yang mempertemukan kita," ucapku seraya duduk dibibir ranjang.

"Maafkan bapak yamg sudah merepotkan kalian berdua, Nak. Oh iya. Kalian berdua mau kemana membawa-bawa tas sebesar itu?"

"Hmmm." Aku dan Naya saling pandang. Ingin mengatakan yang sejujurnya tetapi hati ini malu. 

"Tadi kami mau mencari rumah sewa, Pak," ucap Naya sambil menarik kursi kecil disisi ranjang pasien dan mendudukkannya.

"Anak Bapak belum dikabari bahwa ayahnya sedang dirawat?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Udah ditelpon sama pihak rumah sakit. Mungkin besok menjelang subuh baru sampai ke sini," jelas lelaki berambut cepak tersebut sembari mengangkat tubuhnya untuk duduk.

"Bapak mau duduk?" tanyaku seraya membantu beliau duduk dan menyender di dinding kamar.

"Bukan, Nak. Bapak mau ke kamar mandi." ujarnya tertunduk. Tangannya masih terpasang infus sehingga menghambat gerak tubuhnya.

"Ayo, saya bantu," tawarku seraya memegang botol infus dan mengangkat setinggi kepala.

"Gak usah, Nak. Bapak masih tahan sampe Arman datang," jawabnya.

"Jangan gitu, Pak. Jangan tahan-tahan kencing, nanti kencing batu," ucapku seraya mengangkat tubuhnya dan membawanya ke kamar mandi, sementara botol infus dipegang oleh Naya.

"Bapak gak enak karena merepotkan kamu terus, Nak," ucapnya.

"Bapak tenang ajalah. Kami gak merasa di repotkan," ujarku seraya menurunkan pak Herman dari gendongan dan menutup pintu kamar mandi.

"Kalau udah siap panggil aja, Pak."

"Iya," jawabnya kemudian.

Setelah keluar dari kamar mandi, Pak Herman kembali tidur. Mungkin pengaruh obat penenang yang diberikan oleh dokter tadi sore.

Tak lama kemudian masuklah ke ruangan seorang lelaki dan dua orang wanita. Seorang wanita tua dan satu lagi masih muda, mungkin juga anaknya.

"Papa. Kenapa bisa begini!" Tangis pilu wanita berjilbab maroon pecah.

Related chapters

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 5. Keluarga Yang Baik

    "Assalamualaikum." Seorang wanita paruh baya dan seorang wanita masih muda berhamburan memeluk pak Herman yang sedang tergolek lemas diranjang pasien. "Papa kenapa bisa terjadi begini. Huhuhu." Wanita berjilbab maroon memeluk dan menangis terus seakan tidak mau melepaskan Pak Herman. Kurasa beliau istrinya."Papa ... mana yang sakit, Pa." Wanita muda berambut golden brown juga ikut menangis sambil terus meracau entah apa yang dikatakannya. Kaki pak Herman dipijat."Ini sakit, Pa?""Gak, Nak. Papa tidak mengalami cedera kok. Cuma syok aja. Untung aja ada nak Bayu yang menolong Papa. Kalo gak entah bagaimana nasib Papa sekarang." Kata pak Herman sambil berusaha bangkit dari tidurnya dan bersandar di dinding ranjang pasien."Bayu. Naya. Sini, Nak!" Pak Herman melambaikan tangannya kearah kami berdua yang masih duduk diatas sofa kamar pasien. Sebenarnya aku tidak suka terlalu berlebihan dipuja puji begini. Aku jadi salah tingkah dengan segala sanjungan dari pak Herman.Empat pasang mata

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab. 6

    "Terima kasih, Pak. Sudah menerima saya menjadi salah satu karyawan Bapak." ucapku sambil menangkupkan tangan di depan dada sebagai wujud rasa terima kasihku dan penghormatan atas kebaikan pak Herman."Sama-sama, Bay. Semoga kamu betah bekerja dengan saya." "Tentu, Pak. Tentu saya sangat betah kerja disini. Saya tau saya ini bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Pengalaman dalam bekerja pun saya sangat minim. Suatu kehormatan saya diterima disini. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak." Aku bangkit dan berdiri seraya membungkukkan tubuh ini."Bapak berharap kamu bisa bekerja dengan rajin dan tidak curang.""Tentu, Pak. Saya berjanji akan terus berusaha dan belajar. Saya berjanji tidak akan mengecewakan Bapak yang sudah menerima saya bekerja disini." Lanjutku lagi. "Harus ... kamu jangan buat saya kecewa. Walaupun belum berpengalaman kamu bisa membuktikan jika kamu lebih dari yang lain.""Baik, Pak." jawabku antusias. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini, bercampur aduk a

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 7.

    "Mungkin dosa dia terlalu banyak dikantor ini. Denger-denger sih, pak Andre menggelapkan uang perusahaan dan juga beliau ketauan berselingkuh."Aku tidak heran dengan informasi yang diberikan bu Mita. Diri ini sering melihat Andre menghambur-hamburkan uang. Pernah terpikir olehku, dari mana kekayaan karyawan sekelas mas Andre kalau bukan dari korupsi? "Mungkin, uang perusahaan habis untuk berfoya-foya dengan selingkuhannya atau untuk menutup mulut istri sahnya, biar gak melapor ke atasan, karena kalau ketahuan ada karyawan yang berselingkuh pasti di pecat." Ujar Mita memelankan suaranya tetapi sangat jelas terdengar di telingaku. "Betulkah begitu, Bu?" tanyaku tidak percaya.Sebenarnya bukan sekali dua kali aku melihat mas Andre check in di hotel dengan wanita simpanannya tetapi entah kenapa, aku masih juga tidak percaya mendengar berita pengkhianatan itu.Lelaki berusia tiga puluh tahun itu belum juga berubah, seharusnya dia bersyukur, sangat disayangi oleh mertuanya. Beda dengan

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 8.

    "Nanti akan tau sendiri siapa itu Haris." ucap pak Arman tenang."Kita ke ruang meeting." titah pak Arman seraya bangkit dari kursinya dan menuju ke ruangan meeting yang berada diujung lorong.Setelah kejadian tadi pagi aku jadi merasa malu menjadi bahan gosip karyawan dikantor. Aku melangkah canggung dibawah tatapan mata banyak orang. Namun aku berusaha tampil percaya diri.Ruang meeting seluruhnya berdinding kaca dan diisi dengan sebuah meja kayu panjang berwarna coklat mengkilap dengan dua puluh kursi di masing-masing sisi menjadi bagian utama ruangan."Pak Bayu, duduk disini. Sebentar ya, kita tunggu yang lainnya masuk semua." Pak Arman menarik kursi yang berada di kepala meja.Setahuku itu kursi untuk pemimpin rapat. Kenapa pak Arman menyuruh aku duduk dikursi tersebut? Aku tidak sanggup lagi untuk berfikir, kepala ini rasanya mau meledak saja, begitu banyak kejutan-kejutan yang aku terima hari ini.Satu per satu karyawan masuk ke ruangan meeting, tidak terkecuali mas Andre. Tata

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab.9

    Hari ini seharian aku habiskan waktuku di kamar untuk mempelajari berkas-berkas yang diberikan oleh pak Herman. Terlalu banyak kejanggalan dalam dokumen tersebut. Ternyata banyak kecurangan yang dilakukan mereka selama ini. Pantas saja mas Andre tidak pernah kehabisan uang. Ternyata dari sini asal uangnya lelaki yang selalu dielu-elukan mertuaku. Yang konon katanya kaya tujuh turunan. Begitulah ulah maling berdasi. Hidup selalu dipuja-puji. Berpakaian selalu rapi dan bersih. Memakai dasi, berwibawa dan selalu dihormati padahal hidup dari hasil mencuri. Gaya elit, kemana-mana memakai mobil. Gak kena panas dan hujan. Dan selalu disegani dan dihormati. Siapa sangka kerjaannya dari mencuri uang negara, sangat hina dan menurutku lebih hina dari aku yang selalu di katai sebagai benalu. Walaupun uang perusahan yang di tilep tetap juga namanya tikus. Tikus kantor ini namanya. Aku tidak main-main dalam memberantas kecurangan di perusahaan yang dipinpin pak Herman. Makanya aku harus punya bu

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 10

    "Nay, ayo kita pulang. Tinggalkan laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu." Tiba-tiba saja ibu mertua sudah masuk ke kamar tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Kedatangan beliau telah membuat kami berdua sangat kaget. Karena tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja beliau ingin menjemput Naya, istriku. "Untuk apa Naya pulang ke rumah sementara Naya punya suami, biarlah Naya disini saja. Tugas istri hanya tunduk dan patuh kepada suami. Jadi kemana saja mas Bayu pergi, Naya akan selalu ikut untuk mendampinginya, Bu." Ucap Naya berusaha membela aku sebagai suaminya. "Suami yang bagaimana sekarang yang wajib kita patuhi? Kamu menyiksa diri, Nay. Lelaki benalu seperti itu kamu bela? Naya ... Naya. Kau sudah di guna-gunai sama parasit itu. Percaya sama Ibu. Anak itu hanya menjadi sampah saja dalam rumah tangga kalian." Hinaan ibu mertua entah yang keberapa kali tetap saja ku terima dengan lapang dada. "Selama ini Naya tidak pernah merasakan jika mas Bayu sebagai sampah, Bu

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 11

    "Ibu, saya berjanji akan selalu membahagiakan Naya." Janjiku pada wanita paruh baya yang telah melahirkan istriku tersebut."Jangan menggombal kamu. Emang apa yang sudah kamu berikan untuk anakku?" tanyanya dengan tatapan penuh amarah."Ibu tanya saja sama Naya. Apa yang sudah saya berikan untuknya." Kualihkan pandanganku pada wanita yang telah membersamaiku selama setahun belakangan ini."Bu, Naya sudah dewasa. Naya tau mana yang baik atau yang buruk untuk Naya. Dan Ibu lihat sendiri anak ibu bahagia hidup bersama mas Bayu," ucap Naya."Kamu sudah babak belur begitu kamu bilang bahagia, Naya? Kamu sudah kurang waras nampaknya, Nak!" cerocos mertua. Beliau mulai menyimpan semua barang di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas."Ayo ayo pulang. Jangan melawan. Kamu harus dengar Ibu. Bentar Ibu suruh buka infus sama perawat ya?" Sesudah mengatakan itu ibu keluar dari ruangan untuk menjumpai petugas rumah sakit. Tidak lama kemudian tersengar suara beliau sedang memarahi salah satu petu

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 12.

    "Hmph!! Tolong!!" Walaupun mulut ini dilakban tapi aku tetap berusaha berteriak. Mana tahu ada orang lewat yang mendengar teriakanku. Walaupun itu sangat mustahil. Tapi apa salahnya berusaha. Sementara mas Bayu tergeletak tidak sadarkan diri ditanah dengan bersimbah darah. "Hphm!! Tolong!!" teriakanku rasanya sia-sia. Karena mulut ditutup lakban, suara aku pun tidak kedengaran. "Naya ... Bayu ... Tohir! Kalian dimana?" Terdengar suara seseorang memanggil namaku. "Hmph." Air mata jatuh berderai saat melihat mas Bayu sudah satu jam lebih tidak sadarkan diri. Apakah dia sudah tiada, mengingat begitu kerasnya para penjahat itu menghantam kepala lelaki yang telah membersamaiku selama setahun belakangan ini. "Bayu ..." "Naya ..." "Tohir ..." mereka terus saja memanggil-manggil nama kami bertiga. Terdengar juga suara sepatu yang sedang berpencar mengelilingi gubuk tempat dimana kami disekap saat ini. "Mungkin mereka di dalam gubuk ini, Pak." Aku mendengar seperti suara pak Arman

Latest chapter

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab. 105. Selesai

    Tiga bulan telah berlalu. "Kak, tadi malam pak Bayu melamar kakak untuk menjadi istrinya. Beliau sangat menginginkan kakak menjadi ibu sambung bagi putra semata wayangnya," ujarku pada kakak ipar yang sedang membuat sarapan untuk sekeluarga. "Kamu jawab apa?" tanyanya seraya terus mengaduk nasi diatas penggorengan. "Bayu belum berani membuat keputusan. Semua keputusan Bayu serahkan kepada Kakak. Kan yang menjalani rumah tangga bersama pak Abdi, Kakak. Bukan Bayu," ujarku seraya duduk diatas kursi meja makan Pagi-pagi aku telah bertandang ke rumah mertua untuk menyampaikan berita gembira ini. Menurut aku sih kabar gembira. Karena akhirnya kak Melly dilamar oleh pak Bayu yang merupakan seorang perwira polisi. Setelah rumah kami selesai dibangun, kami bertiga pindah ke rumah baru. Sementara kak Melly dan ibu mertua tetap bertahan di rumah sewa, begitu juga pak Abdi. Jadi mereka tetap bertentangga sampai sekarang. "Kakak tidak mau, Bay. Kakak masih betah menjanda," jawab kak Melly.

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 104. Keinginan Aldo.

    Melly"Tante, kenapa tidak mau menikah dengan ayahku. Apa ayahku terlalu jelek sehingga tante tidak mau menjadi istrinya?" tanya Aldo memelas.Bukan aku tidak mau menjadi istri dari pak Abdi. Tapi bagaimana ya? Pak Abdi sendiri tidak pernah membahas masalah itu. Masak aku duluan yang harus nyosor beliau? Dimana harga diri aku sebagai wanita. Walaupun seorang janda aku juga punya harga diri. Tidak mudah obral sana sini."Tante tidak bisa menikah dengan polisi. Tante takut melihat lelaki berseragam coklat. Bisa-bisa Tante pipis di celana karena ketakutan," ujarku berbohong. Pak Abdi hanya melihat sekilas saja, kemudian melempar pandangannya keluar kamar hotel. "Ayah Aldo tidak jahat, Tante. Ayolah Tante menikah dengan ayah Aldo. Kalau tidak mau, Aldo bunuh diri!" Ancam bocah lima tahun itu. Kemudian dia berlari ke luar penginapan. Baru saja sampai penginapan dia sudah banyak drama, padahal capeknya saja belum hilang."Aldo!" Teriak pak Abdi seraya mengejar jagoannya yang hendak menyebe

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 103. Andre Diringkus Kembali

    "Bajingan kamu," teriak Andre. Tangannya memegang sebilah belati dan melempar ke arahku. Bersyukur tidak mengenai tubuh ini karena sempat mengelaknya. "Jangan kau harap akan keluar hidup-hidup dari sini." Ancam mas Andre dengan melancarkan tendangan demi tendangan ke arahku sehingga mengenai perut ini. Bugh Sebuah tendangan mengenai dada membuat tubuh ini limbung dan hampir saja terjatuh jika saja tidak segera aku pegangan ke dinding. Sebelum dia melancarkan kembali aksinya, para aparat keamanan sudah mengepung sehingga membuat dia tidak bisa berkutik lagi. Aku segera mundur dan polisi pun melaksanakan tugasnya. "Bedebah kau, pengkhianat. Kau menjebakku dengan pura-pura menjadi kurir. Dasar bajingan!" Segala sumpah serapah keluar dari mulut busuk mas Andre. Dia sangat sakit hati karena telah dijebak tetapi dia tidak sadar jika perbuatannya dengan menjebak aku dengan Risma lebih sakit lagi. "Kamu tidak kenapa-kenapa kan, Bay?" tanya pak Abdi. Dia bertanya dengan nafas tersengal-s

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 102. Ternyata Andre

    "Tadi malam wanita yang bernama Sofia menelpon aku. Dia mengancam akan menyebarkan foto bugil kita berdua jika kita tidak jadi menikahi!" ucapan Risma membuat emosiku naik keubun-ubun."Jadi, dalangnya Sofi?" tanyaku dan dijawab dengan anggukan oleh wanita yang telah dijebak denganku dikamar hotel itu."Kamu kenal wanita itu?" tanya Risma takut-takut."Aku gak terlalu kenal sama dia tapi setauku, Sofi sahabat dekat dengan Andre, mantan kakak ipar," beberku. Kurasa ini ada hubungannya dengan Andre. Mungkin juga dia sudah keluar dari tahanan dan pasti sedang merencanakan kehancuran aku dan Naya. Aku tidak akan tinggal diam atas perlakuan mereka itu. Akan kutuntut siapapun dia, walaupun sampai ke lobang semut. Tidak akan kubiarkan mereka bebas menikmati udara segar diluar sana."Tapi kenapa aku yang dijadikan korban disini?" tanya Risma dengan suara serak."Kebetulan saja kamu ada disitu," jawabku dengan tangan mengepal kuat, buku-buku jariku memutih sangking kuatnya. Jika ada Andre di

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 101. Pelakunya Adalah

    "Kau harus menikah dengan Bayu." titah Sopia."Kau tau sendiri 'kan. Bayu itu sudah punya anak dan istri. Aku tidak sudi berbagi suami. Aku tidak mau menjadi pelakor dalam rumah tangga orang," tandasku."Sekarang pilihan semuanya kuserahkan padamu. Menikah dengan Bayu dan namamu akan bersih. Video syur kamu akan ku hapus tetapi ... " suara Sopia terputus dan aku merasakan ada yang tidak beres dengan perkataannnya."Tetapi apa." Aku semakin penasaran dengan wanita berhati srigala ini. Yang jelas aku sudah dijebak oleh mereka."Jika kamu menolaknya siap - siap aja kamu menerima hinaan dan cacian karena foto syur kamu dengan Bayu akan aku sebarkan.""Kamu manusia paling jahat berhati iblis.""Hahaha ... sekarang kamu pilih mana. Aku tidak akan memaksamu. Semua ku serahkan kepadamu," ujar Sofia seraya memutuskan panggilannya.Aku harus mengikuti perintah Sofia sebelum foto itu disebar. Diri ini menjadi curiga kenapa bisa aku dan Bayu bisa berada sekamar hotel. Berarti Sofia yang telah mem

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 100. Siapa Pelakunya?

    "AAAAARRRRGGGGHHHH." Aku menyugar kasar rambut ini. Apa yang telah terjadi tadi malam. Kenapa diri ini bisa berada di kamar hotel bersama wanita? Siapa yang telah membawa aku berdua dengan Risma kemari?Dan ...Wanita ini kenapa tidak menolak saat dibawa ke hotel dan tidur dengan orang yang tidak dikenal sama sekali. Atau ini semua hasil perbuatan Risma? Otakku terus bertanya - tanya.Masih teringat terakhir aku minum jus orange dan aku masih sadar, sesudah itu kepala ini terasa sangat pusing dan tiba - tiba saja pandangan ikut gelap. Hmmm ... apakah ada orang yang sengaja menjebakku dengan menaroh sesuatu dalam minuman?"Aku gak mau tau. Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu terhadap aku.""Risma ... aku gak kenal kamu. Dan aku juga tidak tahu apa yang telah terjadi tadi malam. Aku yakin kamu telah menjebak aku. Kamu kan yang menaruh obat dalam minumanku?" Tuduhku kepada wanita yang baru kukenal tetapi telah membuat hancur duniaku. Apa yang akan terjadi jika Naya mengetahui

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 99. Dijebak

    "Bay, aku ke kamar mandi dulu, ya?" pamit Hendra. "Silahkan, Hen." Setelah kepergian Hendra aku sendirian saja duduk dikursi tamu. Tidak ada yang berkeinginan untuk duduk sekedar basa basi saja. Diri ini seperti tersangka yang siap dikuliti hidup-hidup. Tidak enak rasanya seperti ini. Kalau tahu begini jadinya tidak akan aku menghadiri acara ini. Mereka betul - betul telah memperlakukan aku begitu hina didepan khalayak ramai. Tak berapa lama datang seorang wanita muda dan aku betul-betul tidak ingat siapa namanya. Sepertinya dia bukan kalangan pengusaha. Mungkin salah satu istri dari anggota pengusaha. Entahlah. Aku pusing gara-gara Ratih yang sedang meringkuk di jeruji besi. "Bay, aku tau bagaimana serba salahnya kamu. Aku juga tau kamu tidak bersalah dalam masalah ini. Gak usah terlalu kamu pikirkan mereka itu yang bisanya hanya menuduh dan menghakimi orang aja bisa tanpa mau tau kebenarannya." Aku hanya melihat wanita yang sok akrab tersebut tanpa bereaksi apa-apa. Entah kenap

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 98. Fitnah

    "Dek, Mas berangkat dulu, ya?" Berat rasanya meninggalkan belahan jiwaku. Kenapa rasanya seperti akan meninggalkan mereka dalam waktu yang lama? Aku sangat menyayangi Naya dan Daffa. Bersama merekalah aku bahagia. Naya pandai menghargai aku sebagai seorang suami. Bersamanya aku bisa merasakan menjadi lelaki seutuhnya, lelaki yang mempunyai martabat dan harga diri. "Iya. Hati-hati ya, Mas. Jangan lama-lama pulang. Nanti kami kangen," titah Naya seraya tersenyum. "Iyalah. Sebenarnya Mas sangat malas menghadiri acara itu. Gak ada manfaatnya bagi kita. Makanya mas ajak Adek biar ada alasan nanti jika mau pulang sebelum jam 12.00." "Kalau Adek sih mau-mau aja. Kasian Daffa kena angin malam, Mas!" "Kan gak setiap malam kita bergadang di jalan. Sekali setahun. Yok lah." Ajakku dan tetap saja Kinan menolaknya. "Bukan masalah begadang. Bahaya bawa anak kecil di jalan malam-malam. Jalannya macet, padat merayap. Biasanya banyak kecelakaan. Nauzubillah. Mas hati-hati ya?" pesan Naya seraya

  • BANGKITNYA SANG MENANTU HINA   Bab 97. Bisnis Baru

    "Mas, jangan lupa besok lusa ada acara temu ramah dan silaturrahim antara pengurus dan anggota Himpunan pengusaha muda di hotel Leon jalan pahlawan, ya!" ujar Naya mengingatkan karena dia sangat tau jika suaminya pelupa. "Adek ikut juga ya." ajakku. "Kalau Adek ikut, bagaimana dengan Daffa? Dia sudah terlalu sering kita tinggal, Mas. Anak itu jadi kurang kasih sayang dari orang tuanya. Takutnya dia tidak dekat sama kita. Malah lebih nurut kepada orang lain daripada orang tuaya sendiri." Alasan Naya ada benarnya juga. "Bukan gitu, Dek. Mas ingin mengenali istri kepada sesama pengusaha muda, Nay? Mereka gak ada yang kenal Adek katanya." "Adek rasa tidak perlu juga adek terlalu dikenali sama kawan Mas. Nanti mereka kepincut pula," seloroh Naya sambil berlalu dan aku hanya bisa tersenyum - senyum sendiri melihat tingkah istriku. "Dek, besok ikut aja ya?" Aku memohon pada Naya untuk tetap menemaniku pada acara temu ramah yang diadakan dihotel menjelang pergantian tahun. Acara puncak d

DMCA.com Protection Status