Balasan untuk suamiku 9****"Disha, tolong jaga Alif selama Kakak keluar, ya! Jangan biarkan perempuan itu mengambil kesempatan untuk mendekati Alif, cukup Mas Helmi saja yang berpaling!" Dinda berpesan pada adiknya, Disha."Siap, Kak!" sahutnya semangat.Belum kakinya melangkah, tiba-tiba Mariah dan Helmi berjalan dengan terburu-buru menghampiri Dinda. Wajah keduanya terlihat panik membuat Dinda sedikit penasaran."Dinda, aku pinjam mobilmu, mobilku sedang di bengkel!" pinta Mas Helmi."Tidak bisa, Mas. Hari ini aku ada urusan," jawab Dinda acuh."Kamu, kan bisa pergi pakai taksi online, Din!" ucap Helmi kemudian."Kenapa tak kamu saja yang pakai taksi, Mas?" Dinda mulai sewot."Ini darurat. Bapaknya Mariah sedang kritis di rumah sakit. Tolong, Din!" sahut Helmi dengan wajah memelas."Hah, bukankah bapaknya sudah meninggal, Mas?" Dinda keceplosan.Wajah Helmi tiba-tiba memucat. Dia terlihat gugup dan salah tingkah mendengar ucapan dinda.'Hm, jadi Hana berbohong padaku? Tega sekali d
****"Aku, aku cuma ingin Dinda menerima pernikahan keduaku," sahut Helmi tanpa rasa salah sedikit pun."Lalu bagaimana jika anakku tidak bisa?" tanya Abi lagi."Dinda harus Mau, Abi. Karena aku dan Mama menginginkan anak perempuan. Kita semua tahu juga, kalau Dinda tak mungkin bisa hamil lagi, karena sudah nggak memiliki rahim, bukan?" jelas Helmi lantang menyudutkan Dinda."Jadi itu alasanmu, Helmi? Sampai-sampai kamu tega mengecewakan anak kami." ujar Abi. Ia mengulas senyum getir di bibirnya."Iya, Helmi diam-diam menikah itu karena punya alasan yang kuat. Sedangkan anak kalian, wataknya keras dan tidak bisa di ajak bicara baik-baik." sela Wulan semakin menyudutkan posisi Dinda. Dinda terus membaca istighfar sebanyak mungkin, menenangkan hati yang rapuh karena mendengar mereka yang terus menyudutkannya atas pernikahan kedua Helmi."Bagaimana, Dinda? Kamu sudah mendengar semuanya, silahkan mengambil keputusan. Ambil menurutmu yang terbaik untuk kamu, Adam dan Alif!" tegas Abi menat
****Semalam, Helmi pulang larut malam bersama Mariah, Wajah kusut keduanya membuat Dinda sangat penasaran. Namun, belum juga Dinda mendekat, mereka menatapnya dengan berang seperti hendak menerkam.Melihat tatapannya, nyali Dinda tidak menciut sedikit pun, malah ia melangkah dengan penuh percaya diri menghampirinya."Bersyukurlah, kalian tidak menginap di balik jeruji besi," ejek Dinda penuh kemenangan."Aku yakin, ini ada hubungannya dengan kamu, Mbak!" pekik Mariah, meluapkan kemarahannya pada Dinda."Punya bukti?" tanya Dinda, dengan tatapan penuh ejekan."Akan segera kudapatkan, tunggu saja!" ucap Mariah dengan ketus."Silakan!" Dinda tak kalah tegas."Oh, iya, Mas. besok pagi kalian semua harus sudah angkat kaki dari rumah ini!" lanjut Dinda kemudian."Dinda, kamu itu keterlaluan sekali, pengacaramu saja memberikanku waktu 1×24 jam untuk berpikir, kenapa kamu malah mengusirku?" sergah Helmi."Untuk apa berpikir? Semuanya sudah selesai, Mas!" bentak Dinda."Uangku sudah kamu bekuk
****'Secantik apapun kamu merawat diri dan menjaga hati, kalau memang sudah dasarnya lelaki itu tak setia, tetap saja dia akan berpaling dari kamu, Din!''Hai, lihatlah dunia tak berhenti ketika ucapan talak itu jatuh. Kamu masih punya Adam dan Alif yang harus kamu jaga dan besarkan!'Dinda terus menata hati dengan hal-hal yang mampu membangkitkan semangatnya. Malam kemarin ia habiskan dengan menangis, menyesalkan kepercayaan penuh yang ia berikan untuk Helmi. Tetapi, tidak untuk hari ini, ia harus lebih siap menyambut bahagia bersama kedua anak lelakinya.Siang ini, Dinda berkutat dengan pekerjaan barunya. Ia berniat mengganti semua peraturan yang sudah di buat oleh Helmi sejak lama. Ia hanya perlu memanggil satu orang karyawan dari setiap toko untuk diberikan pengarahan."Selamat siang! Berhubung toko-toko saya yang kelola, mungkin saya akan menerapkan peraturan baru. Saya ingin, karyawan perempuan yang bekerja di sini semua memakai hijab dan berpakaian yang tidak menampakkan lekuk
****Hancur, adalah kata yang paling tepat untuk kehidupan Helmi saat ini. dia tak memiliki apa-apa, bahkan untuk sekadar menyewa rumah yang layak untuk Mariah saja, dia tak sanggup. Akhirnya, dia memutuskan untuk menitipkan Mariah di rumah Wulan, mamanya.Helmi tak menyangka, Dinda yang dulu penurut dan tak pernah menentang apa yang Helmi katakan, sekarang dia menjelma bak monster, memberontak sekaligus.Rumah, serta usaha yang mereka bangun selama belasan tahun, Dinda ambil semuanya. Dinda hanya mau membagi toko yang baru menetas, dan belum memiliki pelanggan tetap untuk Helmi.Gara-gara video Helmi dengan Mariah yang viral di jagat maya, mau tak mau Helmi harus berurusan dengan polisi juga.Helmi berusaha membujuk Luna, dia karyawan Helmi di tempat lama. Luna, Hana, Mariah mereka masih kerabat dekat. Besar harapannya, mereka bersedia membantu untuk mengembangkan bisnisnya di Jakart
****"Apa kamu sudah pikirkan baik-baik, Din?" tanya Vio, sahabat terdekat perempuan yang beberapa hari lalu di talak suaminya karena tak ingin di madu."Ya, memangnya kenapa, Vi?" Dinda balik bertanya."Enggak, sih! Membuang buaya buntung itu udah yang paling tepat, tapi bagai mana dengan Adam dan Alif?" ujar Vio."Mungkin, nanti aku akan cari waktu yang tepat untuk menjelaskan pada anak-anak," lirih Dinda hampir tak terdengar.Dinda tahu, hal yang paling menyakitkan untuk dirinya adalah ketika kedua anaknya tahu kebenarannya. Mungkin saja sekarang Alif terlihat biasa saja karena belum paham, Namun beda lagi ceritanya dengan Adam, dia cukup dewasa untuk mengerti semuanya."Hai, jangan melamun! Aku tahu kamu dalam situasi sulit, yang sabar, pasti ada jalan!" ucap Vio sambil menepuk pelan bahu Dinda."Apapun keputusan kamu, aku do'akan agar menjadi keputusan yang
****Pagi-pagi sekali Dinda dapat kabar dari Bu Nuri, kalau adam sedang sakit. tentu saja membuatnya sangat khawatir dengan kondisi Adam saat ini, apalagi Adam tengah jauh dari dirinya."Ibu Dinda tenang saja, semalam sudah di bawa ke klinik terdekat. Tapi, jika siang ini Adam belum membaik Ibu dan Bapak boleh menjemputnya, untuk di rawat di rumah saja." Bu Nuri pelan-pelan menjelaskan lewat sambungan telepon.Kekhawatiran Dinda mulai menjadi ketika mengingat rumah tangganya yang telah pincang, bagai mana jika Adam menanyakan Mas Helmi ketika di rumah nanti? Apa yang akan ia katakan pada putra sulungnya?Dinda terus merapalkan do'a untuk kesembuhan Adam, walau bagaimanapun ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya kepada Adam, apalagi saat ini ia sedang sakit.Akhirnya Dinda meminta saran Umi Aisyah, karena masalah ini menyangkut kesehatan putranya, tak mungkin juga ia tega membiark
****"Assalamu'alaikum, Mas Adam!" Suara itu begitu Adam kenal, ia menoleh. Seketika saja ia tersenyum. Dinda, hanya menunduk karena tak sanggup menahan air mata yang memaksa jatuh, demi melihat pemandangan yang begitu menyakitkan di depan matanya."Ayah," panggil Adam."Maaf, Ayah baru datang. Ayah ..." ucap Helmi ragu."Adam tahu, Ayah sibuk, kan?" sahut Adam, wajahnya tertunduk lesu."Maaf," ucap Helmi, ia mengusap rambut putranya dengan lembut.Setelah bercengkrama sejenak dengan Adam, Helmi meminta Dinda untuk berbicara di luar saja.Dinda mengangguk, meski dalam hatinya amarah membuncah untuk Helmi.Ketika di luar, Dinda tampak berdiri di dekat pintu ruangan, meskipun beberapa kali Helmi memintanya untuk duduk di sampingnya."Dinda, demi Tuhan aku tak sengaja, aku baru mengecek ponsel tadi subuh, aku enggak tahu kamu mengh
****"Mariah, kamukah itu?" Dinda mengernyitkan keningnya, melihat Mariah yang berdiri di depannya, jelas banyak berubah dengan Mariah yang di kenalnya selama ini."Iya, ini aku, Mbak!" ucap Mariah sambil tersenyum.Dinda terdiam. Ia khawatir Mariah akan melakukan hal yang membahayakannya seperti dulu."Mbak jangan takut, aku sengaja datang ke sini untuk meminta maaf sama Mbak Dinda!" ucapnya lagi.Dinda masih bergeming. Mariah menurunkan anak kecil itu dari gendongannya hingga anak itu duduk beralaskan rumput taman. Kemudian Mariah menurunkan tubuhnya sampai berjongkok. Tidak sampai di situ, Mariah seperti hendak bersujud tepat di kakipermpuan yang dulu telah di sakitinya."Mar, Bangun, Mar! Kamu mau ngapain, Mar?" teriak Dinda. Ia mundur beberapa langkah demi menghindari Mariah yang masih bersimpuh."Mbak Dinda, Maafkan aku! Aku memang salah sudah merebu
****"Dua minggu lagi aku akan menikahi Dinda, Ma. Aku harap, Mama bisa menerima keputusan ini dengan hati yang lapang!" ucap Bram. "Hm, apa kamu sudah pikirkan baik-baik? Masalahnya, Helmi mengidap penyakit kelam*in. Ada kemungkinan Dinda juga sudah tertular, Bram!" sahut Wulan."Beberapa hari lalu, Dinda sudah melakukan cek darah di sebuah klinik. Alhamdulilah, hasilnya negatif.""Apa? Jadi Dinda baik-baik saja?" seru Helmi. Ia baru saja datang dan ikut bergabung dengan Wulan dan Bram."Ya, Dinda negatif, Hel!""Lalu, dari mana sumber penyakit ini? Karena akhir-akhir ini aku tidak pernah melakukan hubungan itu dengan perempuan manapun!" umpat Helmi kesal."Coba kamu ingat-ingat lagi! Mungkin kamu pernah transfusi darah atau menggunakan jarum suntik yang tidak steril? Karena penularan penyakit itu tidak melulu dari hubungan badan saja, Hel!""Aku bukan pem
****"Bram, silakan duduk!" sambut Abi Ahmad terdengar ramah.Bram mengangguk dan mengikuti perintah Abi Ahmad. Ia sedikit demi sedikit berusaha mengurai kegugupannya di depan orang tuanya Dinda.Bibi datang dengan nampan berisi minuman di tangannya. Dinda dengan cekatan membantu pekerjaan ART-nya.'Sungguh, calon istri idaman!' puji Bram dalam hati."Maksud kedatangan Nak Bram sudah kami dengar dari Dinda. Namun, kali ini kami ingin mendengarnya langsung dari Nak Bram. Apa keberatan?" Pertanyaan Abi Ahmad mampu meluluh lantakkan pertahanan Bram untuk tetap tenang di depan orang tua kekasihnya. Namun, detik kemudian Bram berhasil menguasai dirinya kembali."Bismillahirrohmanirrohim, saya datang kesini karena saya ingin meminta restu dari Abi dan Umi. Saya mencintai Adinda dan berniat menikahinya dalam waktu dekat. Itupun jika Abi dan Umi memberikan restu."Singkat, padat dan j
****Samudra bertamu dengan membawa kabar baik untuk Dinda, ia akan melakukan pernikahan dengan Amel dalam waktu dekat ini."Selamat, ya, Sam. Akhirnya kamu menemukan cinta sejatimu di rumahku!" kelakar Dinda setelah memberi ucapan selamat untuk Samudra."Haha, kamu bisa aja, Din! Tapi ... Maaf,nih, mungkin setelah aku menikahi Amel, Amel akan berhenti bekerja sebagi baby sitternya Alif. Kamu nggak pa-pa, kan?" tanya Samudra ragu-ragu."Nggak pa-pa, Sam. Lagipula, aku sudah memprediksikan ini. Mana mungkin istri seorang pengusaha masih bekerja jadi baby sitter di rumahku?" sahut Dinda."Makasih, untuk pengertiannya, Din. Kamu memang sahabat terbaikku!""Sama-sama, tapi jangan lupa kamu harus jaga Amel layaknya berlian!" tegas Dinda."Siap!"Dinda semringah melihat lembaran undangan berwarna cream di tangannya. Nama Amelia dan Samudra tertulis di sana dengan indah. Ia jadi membayangkan bagaimana pernikahannya nanti dengan Samudra? Apa harus meriah atau han
****"Hai, Om Bram!" Alif menyambut Bram dengan sangat ramah. Bahkan, kadang-kadang ia tak akan sungkan untuk memeluk lelaki dewasa itu."Apa kabarmu? Bagaimana sekolahmu?" tanya Bram pada bocah itu."Kabarku baik dan sekolahku sangat menyenangkan. Aku sudah bilang pada teman-temanku, kalau Om Bram sebentar lagi menjadi papaku!" Dengan polosnya Alif bercerita."Wow! Alif di ajarin siapa cerita-cerita begitu?" Dinda tampak bertanduk mendengar cerita dua lelaki beda usia di depannya."Memangnya nggak boleh, ya, Bunda?" Alif balik bertanya, tatapannya berubah menjadi sendu."Sutt!" Bram memberi kode isyarat."Em, boleh. Tapi cuma ke teman dekat saja ,ya!" jawab Dinda sedikit terpaksa karena kode dari Bram."Siapa teman dekatnya Alif?" Bram menyela pembicaraan antara Dinda dan Alif."Itu, anaknya Bu RT. Namanya Salwa, Om."
****"Pak, bangun, Pak! Ini sudah siang, Pak Helmi sudah melewatkan sarapan dan minum obat setengah jam yang lalu." Rena memberanikan diri untuk membangunkan Helmi."Hoam!" Helmi menguap sambil menggeliat. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering mengantuk padahal semalam tidurnya sangat nyenyak."Ini sarapan dan obatnya saya taruh di sini, ya!" ucap Rena lagi. Lalu, ia kembali keluar kamar karena ada pekerjaan yang harus di selesaikannya.Helmi berjalan tertatih, tangannya bertumpu pada tembok. Ia melakukan terapi sendirian. Dari tempat tidur ke kamar mandi saja, Helmi membutuhkan waktu yang lumayan lama, karena kakinya terasa sangat lemas."Argh, andai saja aku tak ceroboh,tak mungkin aku akan menderita seperti ini!" gerutu Helmi. Dengan penuh perjuangan, akhirnya ia sampai juga di kamar mandi.Di dapur Rena berpapasan dengan Wulan, jangankan menyapa dengan ramah, sekadar senyum pun tidak.
****Seminggu kemudian dari kejadian Bram mengenalkan Dinda sebagai calon istrinya, kesehatan Helmi kembali menurun. Kepalanya yang sering tiba-tiba sakit dan demam tinggi sering menyerangnya malam-malam. Beruntung ia sudah mendapatkan orang yang bersedia untuk merawat serta mengurus semua keperluannya. Dari mulai makan, menyiapkan pakaian, juga hal-hal kecil lainnya."Hel, apa kamu yakin ingin mengurus Amera sedangkan kondisi kamu saja seperti ini?" tanya Wulan. Ia tiba-tiba masuk kamar dengan wajah yang kusut. Pasti gara-gara belum di kasih jatah bulanan."Terus kalau bukan kita yang urus, mau siapa lagi, Ma?" Helmi balik menatap mamanya."Ya, misal di titip di panti asuhan. Kita bisa menjenguknya kapanpun kita mau. Iya, kan?" ucap Wulan sambil menunduk.Sebenarnya ia tak enak memberi ide seperti ini kepada Helmi. Apalagi, dulu ia sangat menginginkan cucu perempuan dari Helmi. Tetapi ketika Helmi
*****Sore hari, Helmi pulang ke rumah. Baru saja ia sampai di ruang tamu, Wulan menyambutnya dengan bibir yang mengerucut."Hel, bagaimana kabar si Amera? Apa sudah ada kemajuan hari ini?" tanya Wulan dengan mata yang sedikit mendelik."Belum, Ma.""Harus berapa lama lagi dia di rawat di NICU? Lama-lama bisa tekor persediaan uang kita, tabungan Mama sudah mulai berkurang, loh!" sungut Wulan, tampak sedikit kesal."Sabar, ya,Ma. Kita berdo'a untuk Amera agar berat badannya cepat stabil dan bisa di rawat di rumah saja.""Pasti," sahut Wulan datar."Aku mandi dulu, ya, Ma.""Hm!"Helmi mengayuh roda kursi yang ia duduki dengan dua tangannya. Ia harus belajar mandiri, apalagi nanti kalau Amera sudah pulang ke rumah, ia harus bisa mengurus diri sendiri dan mengasuh Amera sekaligus.Helmi mengguyur tubuhnya yang terasa lengket dengan air hangat. Aroma sabun mandi yang menyegarkan menguar dari t
****Bram tampak segar sore ini, setelah mandi dan bersiap-siap ia segera melangkah ke kamar putrinya dengan cepat."Kamu sudah siap, Laura?" teriak Bram sambil mengetuk pintu kamar putrinya yang mulai beranjak remaja."Sedikit lagi, Pa!" teriaknya dari dalam tanpa membukakan pintu untuk papanya."Huh, perempuan sama saja! Masih bocah atau dewasa sama saja, sama-sama suka lama kalau dandan!" gerutu Bram di depan pintu kamar anaknya."Papa tunggu di depan saja, ya!" "Iya, Pa."Bram berjalan ke depan dengan gontai sambil bersiul-siul. Wajahnya kali ini tampak riang tak sekusut sebelumnya, berharap apa yang telah di susun rapi dengan putrinya berjalan sesuai dengan keinginannya.Setengah jam kemudian, Laura menghampirinya sambil senyum-senyum. Dandanan Laura kali ini bikin sakit mata. Bagaimana tidak? Dia memakai rok selutut warna kuning, di padukan dengan atasan k