****Helmi merasa sangat kesal dengan ulah Mariah belakangan ini, yang ia lakukan benar-benar di luar logika Helmi.'Apa dia tak pernah memikirkan jungkir baliknya aku untuk meraih kesuksesan seperti dulu? Apa dia tak pernah memikirkan setiap malam aku tak bisa nyenyak tidur karena hutangku pada Mas Bram yang menggunung?' gerutu Helmi dalam hati."Mas, aduh perutku sakit banget. Pinggirin dulu, dong, mobilnya!" pinta Mariah, sambil memegangi perutnya.Helmi menurut saja, ia langsung meminggirkan mobilnya dan berhenti tepat di depan SPBU. Mariah langsung turun dan berlari kecil ke arah toilet umum.Sekembalinya Mariah dari toilet."Ini, tuh gara-gara Mbak Dinda. Lihat, dia ingin membuatku sakit dan dehidrasi. Pasti dia ingin membuatku keguguran juga!" corocos Mariah tanpa jeda."Mas, kamu diam aja, sih?" protes Mariah."Terus aku harus apa? Kamu sendiri
****"Din, aku bukan anak Mama. Pantas saja selama ini Mama menginginkan cucu perempuan dari Helmi, huhuhu," ucap Galuh, di sela tangisannya yang mulai mereda."Loh, bagaimana bisa?" tanya Dinda penasaran.___________________Pagi itu Galuh datang ke rumah Wulan dengan perasaan kesal. Pasalnya, Wulan menghubunginya pagi-pagi buta, dan memaksanya untuk datang ke rumahnya tepat pukul 05:00 pagi."Mama ini, apa Helmi belum sanggup bayar orang untuk beres-beres rumah?" Galuh menggerutu."Galuh kan kasih Mama tiap bulan itu lumayan besar, apa tak cukup untuk membayar ART?" lanjut Galuh."Udah ada, cuma masakannya nggak seenak kamu!" sahut Wulan acuh."Lah, Mama 'kan bisa ajarkan, bagaimana cara membuat masakan yang Mama sukai!" "Sudahlah, kamu nggak perlu banyak omong. Kamu itu udah Mama besarkan, apa salahnya kamu berbakti sama Mama
****Mariah kewalahan ketika melihat mertuanya tak berhenti menangis sejak pagi. Ia sudah berusaha membujuknya, namun mertuanya tetap menangis.'Sudahlah, aku lelah menghadapi mertua yang batu begini, mending istirahat saja di kamar!'Sesampainya di kamar, ia sempatkan untuk mengabari Helmi, lalu rebahan sambil berselancar di media sosialnya.Mariah tersenyum puas ketika mengingat kejadian tadi pagi antara Galuh dan Mama mertuanya. Benar-benar di luar dugaan jika iparnya hanya anak pungut.Ia berpikir, jika ia melahirkan anak perempuan maka tak akan ada yang mampu menyingkirkan dirinya termasuk Galuh dan anak perempuannya, Laura. Karena mereka tak ada hubungan darah dan bisa dipastikan yang berhak sepenuhnya atas harta Wulan adalah Helmi, suaminya."Lihat, Adinda Putri syakira! Aku lah satu-satunya yang akan jadi pemenang di hati Helmi, juga mertuaku. Tinggal anak-anakmu yang perlu aku sing
****Keadaan Wulan memburuk, tentu saja membuat Helmi panik setengah mati. Wulan menolak untuk makan dan pergi ke Dokter, ia hanya terbaring di kamar dengan air mata yang selalu merembes membasahi pipinya."Ma, jangan begini, Helmi nggak mau Mama kenapa-kenapa!""Kita ke rumah sakit, ya, Ma!"Hening. Ya, Wulan menjadi irit bicara sejak kejadian itu. Baginya, ini adalah mimpi buruk yang selama ini ia takutkan. Nahasnya, ia harus menghadapinya sendirian tanpa suaminya, Almarhum Adi."Ma, makan, ya! Biar Mariah yang suapin!" bujuk Helmi. Ia terus berusaha membujuk mamanya untuk makan.Mariah mencebik, ingin rasanya ia menolak menyuapi mertuanya yang sangat manja itu, namun apa daya, ia takut Helmi semakin murka."Hel, antar Mama kerumah Galuh sekarang!" ucap Wulan sedikit memohon."Apa tak sebaiknya jangan sekarang? Mbak Galuh pasti belum mau ber
****Mendengar kabar mantan mertuanya sedang berada di rumah sakit, Dinda berinisiatif untuk mengabari Galuh, siapa tahu Galuh belum tahu tentang ini.[Mbak, sudah tahu Mama Wulan di rawat di rumah sakit?] Dinda mengiriminya sebuah pesan.[Tahu. Tapi, Mbak rasa itu tak penting lagi, Din?]Dari isi pesan balasan Galuh, sepertinya dia belum mau berdamai dengan kenyataan. [Banyak alasan kenapa Mbak harus menjaga hubungan baik dengan Mama, salah satunya Mbak bisa mencari tahu orang tua kandung Mbak. Kedua, bagaimanapun Mama wulan telah membesarkan Mbak. Maaf kalau aku lancang!]Satu menit, lima menit, bahkan setengah jam kemudian tak ada balasan lagi dari Galuh, itu membuat Dinda sedikit khawatir.'Apa Mbak Galuh marah? Hm, biarlah aku akan meminta maaf, jika dia tak menghubungiku lagi hari ini,' batin Dinda."Mbak Amel, bagaimana sudah kerasan k
"Mbak, tolong aku, Mbak!"Derap langkah Helmi mengejutkan Galuh dan Wulan. Mariah terkulai lemas, ia tak sadarkan diri dalam gendongan Helmi."Dia kenapa, Hel?" tanya Galuh dan Wulan hampir berbarengan."Aku tak sengaja mendorongnya," jawab Helmi pelan."Apa-apaan, Hel? Kamu tahu 'kan dia sedang hamil?"Sentak Wulan. Ia tampak khawatir dengan keadaan menantunya itu, sedangkan Galuh, ia hanya diam saja tanpa bereaksi apapun."Kamu ini malah diam saja, cepat panggil Dokter, Hel!" Dengan sisa-sisa tenaganya Wulan berusaha untuk bangkit dari ranjangnya untuk membantu Mariah agar segera sadar. Namun, karena memang tubuhnya yang lemah ia gagal dan kembali berbaring seperti semula."Mama mau ngapain sih? Mama ini masih sakit, biarkan Helmi saja yang urus Mariah!" larang Galuh."Ta-tapi Mama takut terjadi hal buruk pada kandungan Mariah, Galuh!""
****"Apa semuanya sudah di siapkan, Mbak Amel?" tanya Dinda, ia tampak masih mengancingkan baju anak bungsunya itu."Sudah, Bu." "Oke, kita tinggal tunggu Ayah datang, ya, Sayang!" ucap Dinda sambil mencium kening Alif dengan hangat."Oke, Bunda!" sahut Alif riang.Kemarin malam Helmi sudah memberi kabar kalau pagi ini ia akan menjemput Alif untuk berkunjung ke rumah Galuh, sekalian untuk menjenguk mamanya pasca kepulangannya dari rumah sakit.Meski Dinda khawatir melepas Alif tanpa pengawasan dirinya, tapi ia yakin tak mungkin Helmi membiarkan hal buruk terjadi pada anak kandungnya. Lagipula ia akan meminta Amel untuk terus mendampingi Alif.Pukul 09:00 pagi, Helmi datang. Dinda meminta Mbak Sri membuatkan kopi hitam kesukaannya dulu. Suasana mendadak kaku, mereka terdiam dalam keheningan, sibuk dengan pikiran masing-masing."Din," Helmi dengan susah paya
(Pov Amel)****Namaku Amelia. Perempuan berusia 25 tahun, dengan paras lumayan cantik membuat mata lelaki jelalatan menatapku. Namun, aku tak pernah merasa puas diri, atau memanfaatkan kecantikan yang kumiliki untuk mendapatkan apa yang kumau."Sayang, orang tuaku ingin bertemu denganmu, bisa?" ujar Sam, lelaki yang berstatus kekasihku."Secepat itu?"Ya, memangnya salah?""Tidak. Cuma aku belum siap saja, Sam.""Siap nggak siap kamu harus mau, Amel!" desaknya lagi sambil memanyunkan bibirnya beberapa centi."Ta-tapi, aku ...." "Sudah, aku tak suka penolakanmu. Bukannya kamu pernah bilang kamu rindu memiliki orang tua?" ujar Sam, mengingatkan kerinduanku pada kedua orang tuaku.Ya, aku memang haus kasih sayang orang tua. Karena orang tuaku sudah meninggal dunia ketika aku masih SMA, kecelakaan maut yang merenggut nyawa keduanya.
****"Mariah, kamukah itu?" Dinda mengernyitkan keningnya, melihat Mariah yang berdiri di depannya, jelas banyak berubah dengan Mariah yang di kenalnya selama ini."Iya, ini aku, Mbak!" ucap Mariah sambil tersenyum.Dinda terdiam. Ia khawatir Mariah akan melakukan hal yang membahayakannya seperti dulu."Mbak jangan takut, aku sengaja datang ke sini untuk meminta maaf sama Mbak Dinda!" ucapnya lagi.Dinda masih bergeming. Mariah menurunkan anak kecil itu dari gendongannya hingga anak itu duduk beralaskan rumput taman. Kemudian Mariah menurunkan tubuhnya sampai berjongkok. Tidak sampai di situ, Mariah seperti hendak bersujud tepat di kakipermpuan yang dulu telah di sakitinya."Mar, Bangun, Mar! Kamu mau ngapain, Mar?" teriak Dinda. Ia mundur beberapa langkah demi menghindari Mariah yang masih bersimpuh."Mbak Dinda, Maafkan aku! Aku memang salah sudah merebu
****"Dua minggu lagi aku akan menikahi Dinda, Ma. Aku harap, Mama bisa menerima keputusan ini dengan hati yang lapang!" ucap Bram. "Hm, apa kamu sudah pikirkan baik-baik? Masalahnya, Helmi mengidap penyakit kelam*in. Ada kemungkinan Dinda juga sudah tertular, Bram!" sahut Wulan."Beberapa hari lalu, Dinda sudah melakukan cek darah di sebuah klinik. Alhamdulilah, hasilnya negatif.""Apa? Jadi Dinda baik-baik saja?" seru Helmi. Ia baru saja datang dan ikut bergabung dengan Wulan dan Bram."Ya, Dinda negatif, Hel!""Lalu, dari mana sumber penyakit ini? Karena akhir-akhir ini aku tidak pernah melakukan hubungan itu dengan perempuan manapun!" umpat Helmi kesal."Coba kamu ingat-ingat lagi! Mungkin kamu pernah transfusi darah atau menggunakan jarum suntik yang tidak steril? Karena penularan penyakit itu tidak melulu dari hubungan badan saja, Hel!""Aku bukan pem
****"Bram, silakan duduk!" sambut Abi Ahmad terdengar ramah.Bram mengangguk dan mengikuti perintah Abi Ahmad. Ia sedikit demi sedikit berusaha mengurai kegugupannya di depan orang tuanya Dinda.Bibi datang dengan nampan berisi minuman di tangannya. Dinda dengan cekatan membantu pekerjaan ART-nya.'Sungguh, calon istri idaman!' puji Bram dalam hati."Maksud kedatangan Nak Bram sudah kami dengar dari Dinda. Namun, kali ini kami ingin mendengarnya langsung dari Nak Bram. Apa keberatan?" Pertanyaan Abi Ahmad mampu meluluh lantakkan pertahanan Bram untuk tetap tenang di depan orang tua kekasihnya. Namun, detik kemudian Bram berhasil menguasai dirinya kembali."Bismillahirrohmanirrohim, saya datang kesini karena saya ingin meminta restu dari Abi dan Umi. Saya mencintai Adinda dan berniat menikahinya dalam waktu dekat. Itupun jika Abi dan Umi memberikan restu."Singkat, padat dan j
****Samudra bertamu dengan membawa kabar baik untuk Dinda, ia akan melakukan pernikahan dengan Amel dalam waktu dekat ini."Selamat, ya, Sam. Akhirnya kamu menemukan cinta sejatimu di rumahku!" kelakar Dinda setelah memberi ucapan selamat untuk Samudra."Haha, kamu bisa aja, Din! Tapi ... Maaf,nih, mungkin setelah aku menikahi Amel, Amel akan berhenti bekerja sebagi baby sitternya Alif. Kamu nggak pa-pa, kan?" tanya Samudra ragu-ragu."Nggak pa-pa, Sam. Lagipula, aku sudah memprediksikan ini. Mana mungkin istri seorang pengusaha masih bekerja jadi baby sitter di rumahku?" sahut Dinda."Makasih, untuk pengertiannya, Din. Kamu memang sahabat terbaikku!""Sama-sama, tapi jangan lupa kamu harus jaga Amel layaknya berlian!" tegas Dinda."Siap!"Dinda semringah melihat lembaran undangan berwarna cream di tangannya. Nama Amelia dan Samudra tertulis di sana dengan indah. Ia jadi membayangkan bagaimana pernikahannya nanti dengan Samudra? Apa harus meriah atau han
****"Hai, Om Bram!" Alif menyambut Bram dengan sangat ramah. Bahkan, kadang-kadang ia tak akan sungkan untuk memeluk lelaki dewasa itu."Apa kabarmu? Bagaimana sekolahmu?" tanya Bram pada bocah itu."Kabarku baik dan sekolahku sangat menyenangkan. Aku sudah bilang pada teman-temanku, kalau Om Bram sebentar lagi menjadi papaku!" Dengan polosnya Alif bercerita."Wow! Alif di ajarin siapa cerita-cerita begitu?" Dinda tampak bertanduk mendengar cerita dua lelaki beda usia di depannya."Memangnya nggak boleh, ya, Bunda?" Alif balik bertanya, tatapannya berubah menjadi sendu."Sutt!" Bram memberi kode isyarat."Em, boleh. Tapi cuma ke teman dekat saja ,ya!" jawab Dinda sedikit terpaksa karena kode dari Bram."Siapa teman dekatnya Alif?" Bram menyela pembicaraan antara Dinda dan Alif."Itu, anaknya Bu RT. Namanya Salwa, Om."
****"Pak, bangun, Pak! Ini sudah siang, Pak Helmi sudah melewatkan sarapan dan minum obat setengah jam yang lalu." Rena memberanikan diri untuk membangunkan Helmi."Hoam!" Helmi menguap sambil menggeliat. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering mengantuk padahal semalam tidurnya sangat nyenyak."Ini sarapan dan obatnya saya taruh di sini, ya!" ucap Rena lagi. Lalu, ia kembali keluar kamar karena ada pekerjaan yang harus di selesaikannya.Helmi berjalan tertatih, tangannya bertumpu pada tembok. Ia melakukan terapi sendirian. Dari tempat tidur ke kamar mandi saja, Helmi membutuhkan waktu yang lumayan lama, karena kakinya terasa sangat lemas."Argh, andai saja aku tak ceroboh,tak mungkin aku akan menderita seperti ini!" gerutu Helmi. Dengan penuh perjuangan, akhirnya ia sampai juga di kamar mandi.Di dapur Rena berpapasan dengan Wulan, jangankan menyapa dengan ramah, sekadar senyum pun tidak.
****Seminggu kemudian dari kejadian Bram mengenalkan Dinda sebagai calon istrinya, kesehatan Helmi kembali menurun. Kepalanya yang sering tiba-tiba sakit dan demam tinggi sering menyerangnya malam-malam. Beruntung ia sudah mendapatkan orang yang bersedia untuk merawat serta mengurus semua keperluannya. Dari mulai makan, menyiapkan pakaian, juga hal-hal kecil lainnya."Hel, apa kamu yakin ingin mengurus Amera sedangkan kondisi kamu saja seperti ini?" tanya Wulan. Ia tiba-tiba masuk kamar dengan wajah yang kusut. Pasti gara-gara belum di kasih jatah bulanan."Terus kalau bukan kita yang urus, mau siapa lagi, Ma?" Helmi balik menatap mamanya."Ya, misal di titip di panti asuhan. Kita bisa menjenguknya kapanpun kita mau. Iya, kan?" ucap Wulan sambil menunduk.Sebenarnya ia tak enak memberi ide seperti ini kepada Helmi. Apalagi, dulu ia sangat menginginkan cucu perempuan dari Helmi. Tetapi ketika Helmi
*****Sore hari, Helmi pulang ke rumah. Baru saja ia sampai di ruang tamu, Wulan menyambutnya dengan bibir yang mengerucut."Hel, bagaimana kabar si Amera? Apa sudah ada kemajuan hari ini?" tanya Wulan dengan mata yang sedikit mendelik."Belum, Ma.""Harus berapa lama lagi dia di rawat di NICU? Lama-lama bisa tekor persediaan uang kita, tabungan Mama sudah mulai berkurang, loh!" sungut Wulan, tampak sedikit kesal."Sabar, ya,Ma. Kita berdo'a untuk Amera agar berat badannya cepat stabil dan bisa di rawat di rumah saja.""Pasti," sahut Wulan datar."Aku mandi dulu, ya, Ma.""Hm!"Helmi mengayuh roda kursi yang ia duduki dengan dua tangannya. Ia harus belajar mandiri, apalagi nanti kalau Amera sudah pulang ke rumah, ia harus bisa mengurus diri sendiri dan mengasuh Amera sekaligus.Helmi mengguyur tubuhnya yang terasa lengket dengan air hangat. Aroma sabun mandi yang menyegarkan menguar dari t
****Bram tampak segar sore ini, setelah mandi dan bersiap-siap ia segera melangkah ke kamar putrinya dengan cepat."Kamu sudah siap, Laura?" teriak Bram sambil mengetuk pintu kamar putrinya yang mulai beranjak remaja."Sedikit lagi, Pa!" teriaknya dari dalam tanpa membukakan pintu untuk papanya."Huh, perempuan sama saja! Masih bocah atau dewasa sama saja, sama-sama suka lama kalau dandan!" gerutu Bram di depan pintu kamar anaknya."Papa tunggu di depan saja, ya!" "Iya, Pa."Bram berjalan ke depan dengan gontai sambil bersiul-siul. Wajahnya kali ini tampak riang tak sekusut sebelumnya, berharap apa yang telah di susun rapi dengan putrinya berjalan sesuai dengan keinginannya.Setengah jam kemudian, Laura menghampirinya sambil senyum-senyum. Dandanan Laura kali ini bikin sakit mata. Bagaimana tidak? Dia memakai rok selutut warna kuning, di padukan dengan atasan k