BAGIAN 20
“Bercanda, Mbak. Saya bukan suaminya. Saya kakak sepupunya. Suami adik saya lagi di luar kota.” Pak Ken lalu meralat ucapannya. Akhirnya! Ini cowok bikin sport jantung aja!
“Oh, maaf-maaf. Maafkan saya, Bu, Pak. Saya pikir suami-istri. Soalnya mirip banget.” Muka mbak-mbak pendaftaran tersebut berubah merah. Dia pasti malu banget.
“Miriplah. Kan, sepupu.” Pak Ken menjawab PD. Sepupu dari Hongkong!
Aku hanya diam saja. Sementara mbak-mbak cantik tersebut kini mulai menyuruhku untuk menimbang berat badan.
“Sekarang timbang dulu ya, Bu.”
BAGIAN 21 “Semuanya lima ratus tujuh puluh ribu rupiah, Pak. Sudah ditambah biaya kartu dan konsultasi.” Mbak-mbak penjaga apotek sekaligus kasir praktik dokter tersebut muncul dari kaca dengan lubang di bagian paling bawah. Dia memberikan satu plastik obat dan struk pembayaran. Aku cepat mengeluarkan dompet. Menarik sisa-sisa uang cash dari dalam sana. Namun, Pak Ken malah menolaknya. “Aku yang bayar.” Muka Pak Ken garang. Dia gegas mengeluarkan dompet dan menyerahkan sekitar enam lembaran uang seratus ribuan kepada kasir berkulit putih dengan gingsul di gigi taring atas sebelah kanannya. “Ini, Mbak.”
BAGIAN 22 [Gis, ini suamimu, kan? Kok, perginya sama cewek lain?] Tepat pukul 21.00 malam, Nada mengirimiku pesan melalui WA. Di bawah pesan itu, dia menyisipkan foto yang membuat mataku membelalak sempurna. Tergambar jelas sosok Mas Faris yang berdiri di sebelah perempuan berjilbab. Mereka sedang berdiri di depan rak berisi makanan ringan. Foto di ambil menyamping sehingga yang tampak hanya muka Mas Faris. Sedang perempuan di sebelahnya tengah menatap Mas Faris. Yang membuatku makin syok adalah baju yang dikenakan perempuan tersebut. Satu stel piyama rumahan berwarna hitam dengan motif loreng putih dan pasmina plisket hitam sebagai tudung di kepalanya. Semua itu barang-barang milikku yang me
BAGIAN 23POV FARIS “Pagi, Sayangku.” Mataku langsung melek sempurna kala sapaan itu terdengar dari speaker ponselku. Suara itu mengalun lembut. Berasal dari milik Adiba yang memang kupinta untuk membangunkanku pagi ini via telepon. “D-diba … k-ka-mu nggak salah manggil?” Aku tertegun sendiri. Sontak bangkit dari pembaringan. Lelaki mana yang tidak senang dipanggil sayang oleh perempuan idolanya? “Kenapa, gitu? Nggak boleh?” Adiba seperti tersinggung. Aku menyesal sebab sudah salah bicara. Duh! “E-eh, bukan begitu. Aku cuma ngerasa surprised aja. Makasih ya, Sayang.” Aku mengulum senyuman. Kupeluk seerat mungkin g
BAGIAN 24 “Gis, ada bosmu di depan. Kamu dijemput sama dia?” Mama tiba-tiba masuk ke kamar saat aku masih mematut diri di depan kaca. Pagi ini, rasa eneg di perutku tak begitu menjadi-jadi seperti kemarin. Obat anti mual dan vitamin yang diberikan oleh dokter Setya sepertinya sangat cocok ke tubuhku. Alhamdulillah. Semoga sepanjang hari ini aku tak mual muntah lagi. “Oh, ya? Ya, ampun. Pagi banget dia jemput,” keluhku sambil memoles bedak tabur di wajah. Mama yang semula berada di ambang pintu, langsung masuk dan menutup pintu. Aku sekilas menoleh, tapi lanjut berdandan lagi supaya cepat keluar dari kamar. Tidak enak sama Pak Ken, pikirku. “Gis, bosmu itu apa ngg
BAGIAN 25 “P-pak Ken! Pak! Itu yang kecelakaan suamiku!” Aku refleks menjerit. Menunjuk-nunjuk ke arah pemutar radio plus video multimedia layar sentuh milik Pak Ken yang terpasang di bagian depan kabinnya. Pria yang tengah menyetir itu sontak menoleh ke arahku. Mukanya syok. Sama syoknya denganku. “Kecelakaan ini memakan dua orang korban yang menurut keterangan AKBP Irman Sunandar selaku kapolres setempat, sama-sama berprofesi sebagai PNS di sebuah instansi pemerintahan kota.” Penyiar yang masih membacakan berita di radio itu pun akhirnya menyebutkan dua korban yang aku yakin 1000% bahwa itu adalah Mas Faris dan Adiba. Ya Allah! Mereka berdua menjadi korban dalam laka lantas tersebut. Ternyata … suamiku menjemput perempuan itu lagi.
BAGIAN 26 “Saya rasa, itu sebaiknya tidak dibahas, ibu-ibu. Apa pun yang terjadi pada Gista maupun suaminya, Faris, itu adalah ranah pribadi mereka.” Pak Ken menyerobot. Membuat berpasang-pasang mata langsung tertuju padanya. Aku hanya bisa diam. Tak berani menjawab. Tubuhku pun makin gemetar saja rasanya. “Baiklah kalau begitu. Saya minta maaf kalau pertanyaan tadi kurang berkenan.” Mbak Ambar langsung menganggukan kepalanya agak dalam. Dia lalu beringsut dari hadapanku. Diikuti oleh Bu Qoni, Nabila, dan beberapa orang perempuan lainnya. Mereka membubarkan diri, mungkin karena tak puas dengan jawaban Pak Ken barusan. “Kamu sudah enakan? Sudah siap untuk ketemu s
BAGIAN 27 “G-gista ….” Bibir Mas Faris bergerak. Lelaki itu tiba-tiba memanggil namaku saat kusentuh tangannya. Aku kaget luar biasa melihat pria yang kini tengah dipasangi neck collar alias alat penyangga leher itu mulai membuka matanya perlahan. Jemari Mas Faris pun mulai bergerak-gerak, seolah ingin memberikan kode bahwa dia sudah mulai sadar.Kata dokter, berdasarkan hasil rontgen dan CT scan, Mas Faris hanya mengalami cedera tulang leher dan cedera kepala ringan. Kesadarannya bisa segera pulih, serta presentase untuk sembuh total sangat besar. Semua yang dokter bilang terbukti kebenarannya. Tepat di pukul 10.00 pagi, suamiku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya akan segera sadar penuh.“Mas,” panggilku. Kudekatkan wajahku ke telinganya. Membisiki pria yang masih dipa
BAGIAN 28 “Iya, Bu. Aku hamil. Sudah USG ke dokter kandungan kemarin. Pak Ken yang temani. Iya kan, Pak?” ucapku sambil menoleh ke arah Pak Ken. Lelaki yang telah mencopot jasnya tersebut mengangguk. Dia lalu beralih menatap ibu mertuaku dengan mata yang teduh. “Sudah enam minggu.” Mas Faris seharusnya malu saat mendengar kalimat Pak Ken barusan. Lelaki lain, yang bahkan tidak punya hubungan sangkut pau apa pun denganku, malah lebih tahu kondisi kehamilanku ketimbang suami sendiri. Sabar, Gis. Bukankah di depan sudah terlihat seperti apa balasan dari suami yang zalim? “Masyaallah!” Ibu langsung memeluk tubuhku erat. Menangis lagi dalam pelukannya yang semak
BAGIAN 41ENDINGBAHAGIA ADALAH PILIHANKU “Saya terima nikahnya Gista Visesa binti Herlambang dengan mas kawin seratus gram logam mulia dan sebidang tanah seluas 400 meter persegi dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Air mataku sontak menetes. Debaran lembut di dada ini pun kian mengencang saat sosok pria di sebelahku yang mengenakan beskap putih dan blangkon batik di kepalanya tersebut mulai merangkulkan tangannya ke pundak. “Sayang, kita sudah sah,”
BAGIAN 40 Aku hanya membaca pesan tersebut. Tanpa berniat untuk membalasnya kembali. Entah mengapa, hatiku masih kesal saja. Aku pun heran, mengapa perasaan ini bisa sekeras karang jika berhubungan dengan Mas Faris sekeluarga, kecuali Farah tentunya. “Siapa, Gis?” tanya Mama kepadaku. “Ibu.” Mata Mama memicing. “Ibu siapa?” tanyany heran. “Ibunya Mas Faris, Ma,” sahutku pelan. Mas Ken yang sedang memainkan ponsel, langsung menoleh. Mata kami saling bertatap. Entah mengapa, wajah Mas Ken tampak kurang
BAGIAN 39 “Gista, nifasmu masih lama, ya?” Mas Ken bertanya saat dirinya menyambangiku di rumah. Usia Shaki tepat tiga minggu hari ini. Itu artinya, belum juga sebulan tepat aku melahirkan. Eh, Mas Ken malah nanyain nifasku masih lama atau belum. Aku meringis. Tertawa kecil sambil menggendong Shaki. Bocah itu baru selesai menyusu. Kenyang. Saat Mas Ken datang dan mengetuk pintu kamar, anak itu langsung tidur. Aku bawa saja dia ke ruang tengah. Tak hanya ada kami bertiga di sini. Ada Gio yang menemani. Dia berbaring di atas karpet, tak jauh dari tempatku duduk. Sambil mainan ponsel tentunya. Yang jelas, kalau Mas Ken datang ‘mengapel’ aku selalu mengikutsertakan keluargaku. Entah itu Mama, Papa, atau Gio. “Masih, Mas. Kan, nifas itu sel
BAGIAN 38POV BU AGIT “Faris, kamu cuma bikin malu Ibu aja!” Aku murka. Marah besar. Merasa dipermalukan di depan Gista sebab memohon agar perempuan itu mau diajak rujuk oleh anakku. Pulang dari rumah Gista, aku langsung memarahi Faris habis-habisan. Bagiku, anak itu harus kuhajar habis-habisan hari ini! “M-maafkan aku, Bu.” Faris menyahut dengan suaranya yang serak dan terbata. Anak lelaki yang semula sangat kusayangi itu kini duduk berlutut di bawah kakiku. Dia memohon. Tangannya sampai gemetaran saat meminta ampun. “Nggak ada maaf-maafan! Ibu kan, sudah bilang ke kamu, Ris! Jangan mau minta rujuk segala sama Gista! Dia nggak akan mau. Nggak bakalan sudi! Apalagi, sejak kamu kecelakaan itu, nama baikmu sudah tercoreng di masya
BAGIAN 37 Shaki Aiman Emeraldy Faris. Begitulah nama bocah lelaki itu. Bayi tampan berkulit putih dengan bola mata yang cemerlang nan indah. Dialah anakku. Putra semata wayang hasil pernikahanku dengan mantan suami, Mas Faris. Meskipun aku belum bisa melupakan seperti apa kelakuan Mas Faris maupun ibunya, tetap saja tersemat nama Faris di belakang nama anak lelakiku. Tak apa. Dia berhak mendapatkan nama belakang dari nama ayahnya. Anakku memanglah keturunan dari Mas Faris. Walau kami sudah resmi bercerai, Shaki tetaplah darah daging dari mantan suamiku tersebut. Sejak kehadiran Shaki, hidupku rasanya semakin sempurna. Apalagi, bocah itu tidak rewel sama sekali. Dia tidak menangis kencang di tengah malam. Hanya bangun untuk minum ASI dan kembali tidur nyenyak. Shaki
BAGIAN 36Menjelang persalinan Gista ….POV AUTHOR “Izinkan Faris masuk ke dalam, Pa.” Faris memohon pada Herlambang agar bisa masuk ke ruang bersalin mendampingi Gista. Namun, jelas permintaan itu ditolak mentah-mentah. “Kalian bukan suami istri lagi. Kamu cukup menunggu di luar sini. Tolong jangan mengacau.” Herlambang menatap sengit kepada Faris yang beberapa bulan lalu sudah resmi menduda. Tangan Herlambang pun mendorong lengan Faris agar pria itu keluar dari ambang pintu utama ruang kebidanan. Sigap, Herlambang pun kembali masuk seraya menutup pintu. Berjalan menuju bilik di mana Gista tengah mempertaruhkan separuh nyawanya demi kelahiran sang putra pertama. Langkah Faris gontai. Dia terpaksa duduk di
BAGIAN 35 “Eh, mukanya biasa aja, dong. Jangan tegang kaya gitu!” Pak Ken meledekku. Membuat detakan jantung semakin tambah kencang saja. “Ih, udah ah. Bapak pulang sana!” Usirku sambil mengibaskan tangan. “Tuh, kan. Bapak lagi. Ayolah, Gis. Mas Ken. Cepet! Aku pengen dengar kamu ngomong begitu.” “Nggak! Nggak ada mas ken-mas kenan! Sekali Bapak ya tetap aja bapak!” Pak Ken terlihat mengembuskan napasnya. “Susah. Keras kepala,” gumamnya pelan. “Siapa yang keras kepala? Aku? Emang!&r
BAGIAN 34 “Gista!” Ibu yang tengah duduk sambil menangis tersedu di samping tempat tidur Mas Faris langsung berseru memanggil namaku. Beliau bangkit. Terlihat sisa air mata yang membasahi wajah kusut Ibu. Aku baru saja masuk ke ruangan tempat Mas Faris menginap. Di dampingi Mama dan Papa. Di dalam ruangan, kulihat sudah ada Farah dan Pak Ken. Sedang Mas Faris masih terbaring lemah di atas pembaringan, lengkap dengan pelindung leher dan perban di kepalanya. “Iya, Bu.” Aku menyahut dengan suara datar. Mendatangi Ibu tanpa sebuah perasaan apa pun di dada. Semuanya biasa. Aku sepertinya memang sudah kehilangan respect kepada ibu mertuaku.
BAGIAN 33 Mas Faris sudah dipindahkan ke ruang perawatan yang berada di lantai dua. Informasi itu kami dapatkan dari perawat jaga IGD tempat suamiku tadinya dirawat. Kami pun gegas naik ke lantai dua. Menuju ke ruang VIP 1 tempat Mas Faris menginap. Baru saja kaki kami menginjakkan lorong yang menghubungkan ruang demi ruangan VIP, suara ribut-ribut sudah terdengar menggelegar. Pekik jerit dan adu mulut riuh rendah. Dua orang satpam bahkan tampak kewalahan untuk melerai pertengkaran itu. “Semua gara anakmu! Anakku sekarang mati! Cepat tanggung jawab! Hidupkan anakku lagi!” Pekik itu menggema memenuhi lorong. Berasal dari beberapa meter di depan sana. Tak jauh dari sebuah pintu dengan plang di atasnya yang tertulis VIP 1.