Menjelang sore, aku menuju pintu utama untuk duduk di depan rumah. Cuaca yang mendung menjadikan suasana terlihat tenang. Aku hanya ingin meredakan stress, berharap emosi dalam hati berkurang.Marah, kesal, sedih, penasaran bercampur menjadi satu. Kurasa amarah ini akan meledak apabila melihat sesuatu yang ganjil dan semoga tidak pernah terjadi.Tapi tunggu, lihat di ujung sana ada Bella dengan pakaian .... aku tidak bisa mendeskripsikannya sejauh ini, tetapi dia terlihat sangat berkelas dengan kacamata hitam yang mewah dan elegan."Bella?"Gadis itu tersentak, menoleh ke kanan dan kiri padahal aku ada di depannya. Dia memang memakai tongkat seperti biasa, tetapi penampilannya kenapa bisa berubah? Rambut itu bahkan terlihat habis di-creambath.Apa yang sudah terjadi? Bella pergi ke salon dan menemui seseorang di tempat lain? Tapi siapa?"Alana ... apa itu kamu?""Tentu saja." Sekali lagi aku memindai penampilan Bella. Semua barang yang dia pakai bukan milikku, lalu dari mana dia menda
"Alana! Alana!"Aku tidak peduli pada panggilan Rasya dari luar kamar karena menurut aku ini sudah keterlaluan. Dia ketahuan pulang diantar Viona, bukannya langsung masuk rumah melainkan pura-pura mengurus pekerjaan.Apa masih perlu membahas pekerjaan di luar jam kerja? Aku memang bodoh, tetapi pemandangan itu sudah cukup membuatku percaya kalau tidak ada lelaki yang setia pada satu wanita saja. Semuanya bohong dan serakah."Kamu jangan salah paham, Na. Viona bukan siapa-siapa, buka pintunya!" Lagi, Rasya mengetuk pintu.Untuk apa?Seharusnya dia punya sedikit rasa malu karena kami masih tinggal bersama mama, terutama Bella juga akan ikut menyaksikan walau dengan telinganya. Ah, sial. Kalau Bella tahu kami memiliki masalah, bukankah dia akan bersorak senang?Terpaksa aku melangkahkan kaki menuju pintu dan membukanya perlahan. Setelah itu meraih tangan Rasya keluar rumah karena melihat Bella berdiri di dekat pintu menuju dapur. Tebakan yang benar, dia akan selalu penasaran dengan semua
Beberapa menit menenggelamkan wajah di bantal, aku mendengar ponsel berdering sesaat. Saat mengecek, ternyata ada miscall dari Rasya juga satu pesan singkat darinya via aplikasi hijau.[Kita anggap semuanya selesai dan aku tidak ingin melanjutkan pernikahan ini lagi!]Pesan singkat itu bagai sambaran petir, mengusik telinga, membuatku merasa ketakutan. Tangis meledak, tetapi aku enggan memberitahu mama lebih dulu. Rasya benar-benar kejam, dia seperti yang lain, sulit menjaga perasaan.Bahuku terguncang, mama mendekat dan kembali membawaku dalam pelukan. Tidak lupa aku menekan tombol power pada ponsel agar pesan itu tidak terbaca oleh siapapun. Semuanya terlalu menyakitkan, aku sulit mengambil napas."Kenapa, Na? Siapa yang mengirim pesan?" Mama bertanya dengan nada khawatir.Tidak, belum saatnya untuk mama tahu semua masalah ini. Aku menggeleng, sambil terus mengeratkan pelukan. Isak tangisku semakin meledak, kini aku tidak bisa memendam dalam hati apalagi sampai menyembunyikannya dar
PoV Author_____Pagi-pagi sekali Alana dikejutkan oleh suara ribut di depan rumah. Semenjak dia ditinggalkan oleh Albian, sudah beberapa kali Alana harus terganggu oleh keributan. Jika dulu karena ingin diusir oleh tetangga tentang kasus kehamilannya, sekarang apakah karena Rasya?Gadis itu menggeleng, tidak mungkin. Dengan gerak cepat Alana turun dari tempat tidur, menoleh sekilas pada jam dinding yang menunjuk angka tujuh pagi. Setelah itu melangkah cepat menuju ke depan di mana Ranti sudah berdiri di sana."Nia, kamu tuh ngapain? Kalau mau cari Albian ya jangan ke sini. Rumah ini bukan tempat penitipan anak apalagi orang dewasa kayak dia," protes Alana langsung begitu samar mendengar nama Albian disebut.Gadis berambut sebahu itu mendengus kesal. Alana meminta Ranti untuk masuk ke dalam rumah saja daripada ikut meladeni orang yang Alana anggap tidak waras itu. Bagaimana tidak, dia datang mengomel dan mencari Albian sepagi ini?"Sebenarnya aku tuh nggak sudi datang ke sini kalau bu
Setelah melihat suasana hati Alana sedikit membaik, Ranti menghampirinya hendak menyampaikan sesuatu. Sebuah saran yang sudah lama dia pikirkan bahkan Alana sendiri pun sering mendengarnya. Bukan karena menghindari masalah, tetapi Ranti berpikir bahwa saran itu bisa membuatnya sedikit lupa pada luka yang terus merebak cepat dalam hati. Setiap malam Ranti selalu mengingat racauan tetangga tentangnya yang gagal mendidik anak sendiri sampai habis di luar nikah sementara tidak pernah alpa mendidik siswa di sekolah. Mereka kini duduk saling berhadapan. "Alana, ada yang perlu kita luruskan di sini." "Luruskan?" Alana mengangkat wajahnya, menatap bingung pada sang ibu yang kini merekahkan senyum. Sebuah senyum palsu, Ranti harus melakukannya agar emosi tidak menghampiri. "Maksud mama, masalah kamu tentang Albian ternyata sangat panjang. Mama pikir semuanya sudah berakhir karena lelaki itu tidak pernah datang berbuat onar, ternyata mama salah. Albian menghilang supaya Nia datang ke sini da
Pukul sepuluh pagi, Alana dan ibunya sudah berada di rumah tetangga yang mengadakan syukuran karena putrinya baru saja naik jabatan. Alana tidak terlalu ingin tahu pekerjaan apa yang dijalani oleh putri tetangganya itu setelah menyelesaikan pasca sarjana di kampus ternama karena pikirannya fokus pada Rasya.Sejak tadi, dia tidak membantu tetangganya melainkan memilih duduk di sudut ruangan, menekuk lututnya merenungi semua kejadian yang sudah dia lalui. Terlalu banyak pasang mata yang memandang padanya, bahkan telinga Alana panas mendengar ocehan dari orang-orang.Saat yang lain mengatainya sebagai anak sial karena hidup tanpa ayah juga tidak melanjutkan pendidikan setelah tamat SMA, maka tetangga lainnya turut memberi komentar tentang penampilan Alana yang terkesan mewah, tetapi hidup hancur ditinggal suami.Kenapa orang-orang sangat suka menghujatnya? Alana sendiri tidak mengerti seolah dia punya kesalahan besar pada mereka semua sampai harus menumbuhkan dendam. Alana menelan saliva
Begitu tiba di depan rumah, dia melihat Rasya berdiri di sana menghadap pintu utama. Penampilannya tidak jauh berbeda ketika terakhir kali Alana melihatnya. Dia datang dengan kemeja biru muda dan celana bahan hitam, dasi biru navy ikut menghiasi penampilannya.Lelaki itu terlihat semakin tampan dan bersih. Sebagai seorang manager, bukankah seharusnya memang seperti itu? Akan tetapi, kenapa dia sendiri dan kendaraan apa yang dia pakai? Alana celingukan mencari tahu, tetapi tidak menemukan jawaban."Rasya, kamu ...." Alana sengaja menggantung ucapannya begitu lelaki itu memutar badan.Alana bisa melihat keterkejutan di mata lelaki itu. Rasya juga tampak salah tingkah sampai harus menggaruk kepala berujung tangan yang disembunyikan dalam kantong celananya. Apa tujuannya datang kalau tidak meninggalkan sepatah kata pun?Dengan sedikit gemetar, Alana terus menunggu di tempatnya. Dia berharap lelaki itu mendekat, kemudian meraih tangannya dan meminta untuk kembali."Sya, kamu nggak kerja?"
Langit sore itu sangat mendung dan sejak tiga jam yang lalu pikiran Alana penuh dengan Bella. Ya, gadis buta itu lah yang menjadi penyebab di semua masalah. Seharusnya Alana menghabisinya detik ini juga jika ingin rencana selanjutnya berakhir sempurna.Bella. Nama itu terus terngiang, Alana seperti tergoda untuk mengambil nyawanya. Rahang tiba-tiba mengeras, gadis itu mengepalkan kedua tangan melangkah cepat keluar dari kamar dan memukul setiap benda yang dilaluinya.Di sana, tepatnya di dekat pintu utama, Alana melihat Bella berdiri menatap lurus ke depan. Apa yang dia lakukan di sana? Ah, Alana tidak peduli dan segera mendekat untuk menyeret gadis itu masuk ke kamar mandi."Cepat!" geram Alana ketika Bella berusaha melawan."Alana, kamu ngapain? Rambut aku sakit ... aw!" pekik Bella penuh penderitaan.Namun, sayang sekali karena Alana tidak peduli jika gadis itu terus merintih memohon untuk dilepaskan. Alana sudah bosan menunggu saat yang tepat apalagi Albian belum ditemukan.Sebaga
Selesai mandi sore, Alana memilih mengurung diri dalam kamar bersama putra kesayangannya karena Ali sedang terlelap. Merasa jenuh, akhirnya dia membuka aplikasi sosial media. Mulai dari Instag-ram, Face-book hingga aplikasi hijau yang dikenal dengan sebutan Whats-App.Alana membuka story teman-temannya. Mereka memang masih saling menyimpan kontak, tetapi tidak pernah bertukar pesan selain menonton story masing-masing. Terutama Alana yang memang tidak mau mempublish masalahnya ke media sosial.Menyebar masalah ke sosial media bagi Alana itu buruk. Selain mengundang gibah, beberapa dari mereka juga bertanya bukan karena peduli atau ingin memberi solusi melainkan kepo saja. Lagi pula, masalah rumah tangga itu hal privasi.Alana menekan layar ponselnya ketika tiba di story Whats-App milik Rasya. Ada foto mereka berdua di sana dengan caption 'Bidadari Surgaku' yang disertai emotikon love dan bunga mawar merah."Lah, ini bener?" tanya Alana menatap tidak percaya.Entah kenapa, tiba-tiba hat
"Sepertinya, aku harus pergi lagi sebelum perasaan ini tumbuh sangat dalam dan untuk itu aku butuh kamu," jawab Shaka dengan perasaan sedih.Hasna terdiam beberapa saat, kemudian melirik ke kanan dan kiri. Sayang sekali karena tidak ada pembeli agar dia bisa menghindari Shaka.Jujur saja, dia belum bisa membuka hati untuk orang baru. Memang benar kalau saat ini Hasna butuh seseorang untuk menemaninya menjalani hidup. Dia bosan menumpang pada Siti karena selalu dijadikan kambing hitam, dituduh dalang dari setiap masalah yang ada.Hidupnya kacau balau, terkadang Hasna ingin menyerah jika saja iman tidak ada dalam dada. Hasna mendesah kesal, entah mengapa. Saat kembali menatap Shaka, ada rasa iba dalam dirinya. Lelaki itu setengah mati berjuang melupakan Zanna, haruskah dia mengorbankan perasaan sendiri demi membantunya kembali ke hakikat diri?Berat. Hasna rasa tidak mudah mengubah pendirian seseorang. Apalagi sosok seperti Shaka yang setahu Hasna sudah lama alpa dari perintah Tuhan yak
I lay my love on youIt's all I wanna doEvery time I breathe I feel brand newYou opened up my heartShow me all your love and walk right throughAs I lay my love on you....Shaka sengaja mendengarkan lagu romansa dari Westlife sebagai gambaran perasaannya saat ini. Memang benar bahwa Alana lah yang membuka hatinya untuk tidak larut mencintai Zanna yang telah tiada. Sayang sekali, dia tidak bisa memiliki wanita itu.Mencintai seseorang yang sudah menikah dan suaminya adalah adik sendiri itu menyakitkan. Shaka diam-diam menghela napas berat tanpa memudarkan senyum di bibirnya. Dia ingin menikmati kesempatan itu dengan bahagia."Andai saja aku pulang lebih cepat dan ketemu sama kamu, aku yakin kita akan menjadi pasangan romantis. Aku nggak bakal ngebiarin Rasya buat nikahin kamu karena kesempatan itu nggak datang dua kali.""Andai saja kita bisa kembali ke masa lalu," gumam Alana membuang pandangan ke arah samping."Bahkan kamu lebih menginginkan aku daripada Rasya. Jelas sekali karen
Sesampainya di rumah, Ranti langsung menemui menantunya yang sedang duduk di samping ayunan Ali sambil menonton YouTube. Melihat kesedihan di wajahnya membuat wanita tua itu mengurungkan niat, kemudian menyerahkan ponselnya pada sang anak."Tadi mama sempat rekam pembicaraan kita di rumah Siti. Kamu kasih sama Rasya sebagai bukti, mama mau balik ke rumah dulu," bisik Ranti, lantas melangkah cepat meninggalkan Alana.Wanita itu melipat bibir. Jujur saja, dia sedikit kesal pada tingkah suaminya yang sangat mudah termakan omongan tetangga. Padahal, dia sudah tahu bagaimana perangai Siti selama ini. Lulusan sarjana, tetapi begitu mudah dikelabui.Alana tidak habis pikir, hatinya pun masih menyimpan perih setelah mendapat tamparan tadi. Kalau saja bukan mau bersikap dewasa, dia pasti sudah balas menampar Rasya. Ah, pikirannya kalut. Kini, pandangan mereka bertemu ... masih terlihat binar cinta di kedua matanya."Dengerin sendiri!" Alana meletakkan ponsel ibunya, kemudian ikut duduk di deka
Rasya tentu tidak mau kalah, dengan cepat dia menyusul Alana ke kamar, kemudian membawanya ke tempat semula dengan sedikit paksaan. Dia bisa saja melanjutkan perdebatan itu dalam kamar, tetapi Ali tidak boleh ditinggal sendirian.Kembali, Rasya membuang napas berat. Ada perasaan sedih dalam hatinya karena dia percaya pada apa yang Siti katakan. Mengingat Shaka pernah menganggap Alana adalah Zanna, maka tidak menutup kemungkinan apa yang diadukan Siti benar adanya dan Alana sedang mencoba untuk lari dari masalah.Apa gunanya bertanya pada Ranti jika dia akan membela anaknya sendiri karena takut kalau Alana menjadi janda di usia muda apalagi pernikahan mereka belum terlalu lama ditambah Ali masih kecil. Memikirkan itu semua semakin menambah pikiran Rasya saja."Kalau kamu nggak percaya, ya sudah.""Hari itu saja aku lihat kamu dipeluk sama Shaka padahal ada banyak pelayan di rumah. Sementara tadi, hanya ada kalian. Setan selalu hadir sebagai orang ketiga saat ada yang berduaan. Okelah a
"Bu Siti tahu dari mana kalau Alana romantis-romantisan?"Siti mengibaskan kipasnya, padahal cuaca biasa saja. "Ya aku lihat sendiri lah. Tahu sendiri kan kalau Hasna kerja di warung mertua kamu, sebagai tante yang baik untuk Hasna dan tetangga baik buat kalian, jadinya beli nasi uduk ke sana. Eh, sebelum kesampean malah liat laki-laki lagi gendong Ali, terus Alana malah senyum-senyum tidak jelas. Agak lama sih posisi mereka kayak gitu, sesekali Alana bercandain Ali. Pokoknya aku nggak bisa gambarin secara gamblang, intinya mereka romantisan. Mungkin karena Hasna sama mertua kamu lagi keluar jadi mereka mikirnya dunia cuma milik berdua. Iya, toh?"Mendengar itu semakin menambah amarah di hati Rasya. Kedua matanya berubah merah, rahang pun mengetat sempurna. Bagaimana mungkin Alana bersikap romantis pada lelaki lain?Satu hal yang membuat Rasya bingung. Dia belum bisa menebak siapa lelaki yang berhasil merebut posisinya. Sejak dulu Rasya sudah berpesan agar Alana tidak pernah tersenyum
Hari kedua Shaka bekerja, dia ternyata sosok yang rajin. Datang lima menit lebih cepat dan pulang lebih lambat karena membantu Ranti membereskan warung terlebih dahulu.Sebenarnya Ranti masih sungkan mempekerjakan saudara menantunya, tetapi dia terus mendesak. Sudah berulang kali Ranti memintanya pulang ke rumah atau bekerja di kantor, Shaka tidak pernah mengindahkannya.Sekarang, jam sudah mendekati pukul tiga sore dan Shaka belum juga kembali sejak empat jam yang lalu. Ada rasa khawatir yang menyelimuti jiwa Ranti dan juga Hasna karena makanan-makanan itu diantar tidak terlalu jauh dari rumah dan jumlahnya pun tidak banyak.Dalam waktu normal, Ranti memperkirakan Shaka sudah tiba di rumah sejak setengah jam yang lalu. Entahlah, dia mendesah ingin putus asa terutama ketika Hasna mengatakan kalau nomor telepon Shaka tidak aktif. Ke mana dia? Apa dia baik-baik saja?"Kalau Shaka kenapa-napa?""Hust!" Ranti menempelkan jari telunjuknya di bibir Hasna beberapa detik, kemudian melanjutkan
Hari sabtu, hari yang biasanya Alana nantikan karena Rasya tidak harus berangkat ke kantor. Bagaimana dengan sekarang? Mungkin sedikit sulit karena sudah beberapa hari ini tidak ada canda dan tawa di antara keduanya.Rasya hanya akan berbicara pada Alana ketika ada sesuatu yang penting, begitu juga sebaliknya. Alana bukan tidak mau meraih rida suami, tetapi Rasya yang terlihat menghindari.Tepatnya karena merasa bersalah. Entah kenapa lelaki itu sangat sulit mengurai kata maaf di hadapan Alana. Rasa bersalah yang terlalu dalam, mungkin. Sekarang pun dia sengaja berlama-lama di kamar mandi karena khawatir berpapasan dengan Alana.Sementara Alana sendiri melipat pakaian yang dia cuci kemarin karena Ali terlelap di dalam ayunan. Untung saja pangeran mereka tidak lagi rewel, mungkin saja berusaha mengerti keadaan orangtuanya.Jam sudah menunjuk angka delapan, Ranti yang berada di penjualan terlihat penat. Dia pun memilih duduk sebentar karena tadi malam harus begadang setelah menerima pes
"Tidak mungkin, Na. Aku nggak yakin ada yang suka sama aku. Kamu tahu sendiri aku nggak ada kelebihan selain jago jualan." Hasna tertawa renyah, kemudian melanjutkan, "sulit. Aku harap tidak ada."Alana tersenyum hangat. Kalau dia jadi Hasna, mungkin akan merasakan hal yang sama pula. Hidup di perantauan bersama seorang tante yang sangat cerewet dan senang memfitnah orang itu tidak menyenangkan, hari-hari berlalu pasti dipenuhi dengan tekanan yang membebani pikiran apalagi jika dijadikan babu karena hidup menumpang.Sebenarnya bukan menumpang semata, Hasna juga menyisihkan gajinya untuk membeli beras atau lauk, tetapi tetap saja Siti menganggapnya beban dan kalau suatu hari nanti ada yang berniat baik, tentu merupakan berita baik.Ada satu masalah, Hasna tidak akan semudah itu mendapat restu. Dia yang kini hidup jauh dari kota kelahirannya memaksa diri untuk tetap tenang, sabar dan selalu semangat dalam keadaan apa pun. Hasna sebenarnya sangat butuh dukungan dari keluarga, hanya takdi