Langit sore itu sangat mendung dan sejak tiga jam yang lalu pikiran Alana penuh dengan Bella. Ya, gadis buta itu lah yang menjadi penyebab di semua masalah. Seharusnya Alana menghabisinya detik ini juga jika ingin rencana selanjutnya berakhir sempurna.Bella. Nama itu terus terngiang, Alana seperti tergoda untuk mengambil nyawanya. Rahang tiba-tiba mengeras, gadis itu mengepalkan kedua tangan melangkah cepat keluar dari kamar dan memukul setiap benda yang dilaluinya.Di sana, tepatnya di dekat pintu utama, Alana melihat Bella berdiri menatap lurus ke depan. Apa yang dia lakukan di sana? Ah, Alana tidak peduli dan segera mendekat untuk menyeret gadis itu masuk ke kamar mandi."Cepat!" geram Alana ketika Bella berusaha melawan."Alana, kamu ngapain? Rambut aku sakit ... aw!" pekik Bella penuh penderitaan.Namun, sayang sekali karena Alana tidak peduli jika gadis itu terus merintih memohon untuk dilepaskan. Alana sudah bosan menunggu saat yang tepat apalagi Albian belum ditemukan.Sebaga
"Alana, kamu yang ngunci Bella dalam gudang?"Alana yang sedang fokus membaca buku dalam kamar sedikit tersentak, kemudian menoleh malas pada ibunya lantas mengangguk tanpa rasa bersalah."Kenapa kamu kunci dia dalam gudang? Siniin kuncinya, kasian Bella kalau dalam ruangan pengap apalagi buta begitu.""Nggak, Ma. Mama kasian sama Bella, tetapi nggak mikirin perasaan aku? Mama lupa siapa yang sudah nyakitin aku, ngehina bahkan mungkin menganggap aku sebagai orang paling bodoh? Sebenarnya anak mama itu aku atau Bella, sih?"Ranti menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya kalau Alana punya sifat yang sangat pendendam dan kejam. Mungkin sesuatu yang wajar jika rasa benci, marah dan kecewa itu terus tumbuh dalam hatinya karena mereka pernah menjadi sahabat. Namun, menghukum sekejam itu apakah harus dibiarkan?Bagaimana pun, Bella bukan satu-satunya orang yang bersalah. Menurut Ranti, Alana juga salah karena mau termakan bujuk rayu Albian padahal sudah sering dinasihati. Mengurung di da
"Mama mau bicara apa?" Alana bertanya dengan nada malas. Pikirannya belum bisa fokus saat ini karena masih kesal pada sang ibu."Mama mau bicara tentang Rasya. Kenapa ya akhir-akhir ini dia nggak pernah datang ke kantor? Mama telepon dia terus, alasannya sibuk ngurusin kamu yang lagi sakit. Katanya kamu nggak mau kalau dia sampai kerja di sana gara-gara cemburu sama Viona. Apa iya, Na, kamu cemburu sama Viona?"Alana menghela napas panjang. Entah apa alasan Rasya mengadukan itu semua pada Devita. Lagi pula, bukankah dia terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kenapa sekarang orangtuanya mengatakan dia tidak pernah datang ke kantor?Alasan yang tidak masuk akal pun dia lontarkan. Oke lah, Alana memang cemburu, tetapi wanita itu tidak pernah melarang secara gamblang. Jika pun jarang ke kantor, bukankah mereka bisa membicarakannya di rumah atau jangan-jangan Rasya tinggal di luar?Mata Alana memicing. "Mama ngapain nanya ke aku? Rasya kan di rumah mama.""Rasya di rumah mama sejak kapan? Dia
Alana sudah menunggu kedatangan Devita di ruang tamu sejak satu jam yang lalu. Wanita itu tidak mau terus disudutkan, apa pun yang dikatakan mertuanya hari ini harus bisa dia tentang.Kenapa setiap ada masalah rumah tangga, istri selalu nomor satu disalahkan? Jika terus seperti itu, maka Alana akan mengubah prinsip mereka. Sekalipun miskin, dia tetap punya hak untuk bersuara.Penampilannya kini jauh lebih rapi dan segar. Alana tidak ingin disebut sebagai wanita kuyu yang sulit menjaga penampilan. Sedikit riasan tipis juga diaplikasikan pada wajahnya, tentu setelah membuat Bella bungkam dalam gudang terlebih dahulu.Bella, gadis buta itu diurus oleh Ranti. Sekarang mulutnya ditutup dengan lakban karena dia terus memberontak. Alana juga mengikatnya dengan tali tambang agar Devita tidak tahu keberadaannya.Suara ketukan di pintu, Alana bergegas membukanya dengan perasaan yang tidak karuan. Benar, sesuai tebakannya Devita datang seorang diri. "Masuk, Ma!""Mama kamu mana?""Di dalam, Ma."
"Na, tadi mama dengar kok ada suara laki-laki. Siapa?"Alana menoleh, menghapus jejak di pipinya ketika menatap sang ibu yang baru datang dari arah dapur. Wanita tua itu duduk di samping Alana, kini raut wajahnya berubah bingung."Albian, Ma. Tadi Albian datang ke sini.""Serius?""Iya, tapi sebelum Al, Bu Devita juga datang.""Mertua kamu? Apa katanya?"Terlalu berat rasanya menceritakan hal itu pada sang ibu, tetapi Alana harus melakukannya. Setelah menghela napas berat, dia berkata, "Mama Devita nawarin aku uang kalau mau pisah sama Rasya, Ma. Uang dua ratus juta, tapi aku nggak nerima uang itu karena lebih memilih Rasya. Bukan nggak butuh uang, apalagi Rasya sekarang masih tanpa kepastian, tetapi hati aku memilih menolak. Menurut mama, apa aku salah?""Bentar, mama mikir dulu."Alana mengangguk membiarkan sang ibu ikut berpikir. Sekalipun nanti keputusannya dianggap salah, dia tidak boleh menyesal. Hidup penuh pilihan dan hanya ada satu kesempatan. Alana telah memilih untuk tetap
Sejak tadi sampai malam telah larut, Alana terus mengunci diri dalam kamar menyesali segalanya. Dia pikir bisa bersikap biasa saja setelah beberapa waktu berlalu, nyatanya ketika luka itu berangsur pulih, Albian datang dengan sosok berbeda.Tidak lagi merendahkan Alana, dia bahkan mengakui semua kesalahannya dan itu sedikit meluluhkan hati Alana. Akan tetapi, dia malu mengaku untuk memberi maaf pada Albian setelah bersumpah pada diri sendiri untuk tidak membiarkan lelaki itu hidup tenang.Belum lagi tentang Rasya yang juga ikut meninggalkannya. Alana memijit kening karena pikiran semakin kacau. Dia sadar kalau dirinya juga bersalah mengingat nasihat ibunya kalau dia memang jauh dari Tuhan.Saat melirik ke jam dinding, sebentar lagi pukul dua belas malam. Alana menghela napas berat, dia merasa sangat kesepian. Sore tadi sempat terbesit dalam pikiran untuk menyiksa Bella atau mungkin sekadar melihat keadaannya, tetapi pikiran membuatnya malas bergerak."Apa besok aku cari Rasya aja dari
"Siapa kamu, hah? Jangan berani dalam gelap doang!" balas Alana setelah berhasil menepi rasa takutnya.Tidak ada jawaban, Alana berusaha berdiri, terus meraba sampai dia berhasil meraih handel pintu kamar. Sialan, ternyata seluruh lampu dalam rumah sudah dipadamkan.Wanita itu meringis kesakitan ketika tempurung lututnya mengenai sudut ranjang. Beberapa saat kemudian dia tersentak mendengar teriakan ibunya meminta tolong. Akan tetapi, dia tidak bisa berbuat banyak dalam keadaan gelap.Tangannya yang gemetar terus mencari ponsel itu. Tidak berapa lama kemudian, dia kembali mendengar suara. "Jangan mencoba mengadu pada siapapun atau ibumu akan mati detik ini juga!" ancam orang itu lagi.Alana berusaha acuh tak acuh, sesaat kemudian bibirnya mengulum senyum karena berhasil menemukan ponselnya. Ada banyak panggilan yang masuk dari nomor WhatsApp Rasya, dia juga mengirim banyak pesan.[Kamu di mana? Kenapa sangat lama?][Alana, supirku sudah lama menunggu, tetapi kamu malah mematikan lampu
Satu jam setelahnya, Bahzar dan Devita pamit pulang meskipun sudah dicegah oleh Alana. Bukan tanpa alasan, tetapi keduanya adalah orang sibuk dan Alana harus mengerti itu terutama ketika sang suami turut menjelaskan.Besok weekend, Rasya menolak untuk tidur lebih cepat padahal jam menunjuk angka satu dini hari. Berbeda dengan Alana, wanita itu terus menguap karena kantuk yang sudah meraja. Padahal beberapa menit sebelumnya, dia tidak pernah berhenti mengulum senyum mengingat bisikan cinta Rasya tadi."Sya, aku tidur aja ya?" Mata Alana setengah terpejam, Rasya menanggapi dengan gelengan membuat wanita itu merengek."Malam ini harus berlalu begitu panjang. Alana, kita harus bercengkrama sedikit lebih lama lagi untuk membalas saat-saat di mana aku nggak bisa ngeliat kamu. Menebus rindu yang terus tumbuh dalam hati."Alana tersenyum malu-malu mendengarnya. Sekalipun mengantuk, tetapi pikirannya masih bisa mencerna kalau Rasya sedang menyampaikan rindu. Ah, untuk sesaat lelaki itu bisa te
Selesai mandi sore, Alana memilih mengurung diri dalam kamar bersama putra kesayangannya karena Ali sedang terlelap. Merasa jenuh, akhirnya dia membuka aplikasi sosial media. Mulai dari Instag-ram, Face-book hingga aplikasi hijau yang dikenal dengan sebutan Whats-App.Alana membuka story teman-temannya. Mereka memang masih saling menyimpan kontak, tetapi tidak pernah bertukar pesan selain menonton story masing-masing. Terutama Alana yang memang tidak mau mempublish masalahnya ke media sosial.Menyebar masalah ke sosial media bagi Alana itu buruk. Selain mengundang gibah, beberapa dari mereka juga bertanya bukan karena peduli atau ingin memberi solusi melainkan kepo saja. Lagi pula, masalah rumah tangga itu hal privasi.Alana menekan layar ponselnya ketika tiba di story Whats-App milik Rasya. Ada foto mereka berdua di sana dengan caption 'Bidadari Surgaku' yang disertai emotikon love dan bunga mawar merah."Lah, ini bener?" tanya Alana menatap tidak percaya.Entah kenapa, tiba-tiba hat
"Sepertinya, aku harus pergi lagi sebelum perasaan ini tumbuh sangat dalam dan untuk itu aku butuh kamu," jawab Shaka dengan perasaan sedih.Hasna terdiam beberapa saat, kemudian melirik ke kanan dan kiri. Sayang sekali karena tidak ada pembeli agar dia bisa menghindari Shaka.Jujur saja, dia belum bisa membuka hati untuk orang baru. Memang benar kalau saat ini Hasna butuh seseorang untuk menemaninya menjalani hidup. Dia bosan menumpang pada Siti karena selalu dijadikan kambing hitam, dituduh dalang dari setiap masalah yang ada.Hidupnya kacau balau, terkadang Hasna ingin menyerah jika saja iman tidak ada dalam dada. Hasna mendesah kesal, entah mengapa. Saat kembali menatap Shaka, ada rasa iba dalam dirinya. Lelaki itu setengah mati berjuang melupakan Zanna, haruskah dia mengorbankan perasaan sendiri demi membantunya kembali ke hakikat diri?Berat. Hasna rasa tidak mudah mengubah pendirian seseorang. Apalagi sosok seperti Shaka yang setahu Hasna sudah lama alpa dari perintah Tuhan yak
I lay my love on youIt's all I wanna doEvery time I breathe I feel brand newYou opened up my heartShow me all your love and walk right throughAs I lay my love on you....Shaka sengaja mendengarkan lagu romansa dari Westlife sebagai gambaran perasaannya saat ini. Memang benar bahwa Alana lah yang membuka hatinya untuk tidak larut mencintai Zanna yang telah tiada. Sayang sekali, dia tidak bisa memiliki wanita itu.Mencintai seseorang yang sudah menikah dan suaminya adalah adik sendiri itu menyakitkan. Shaka diam-diam menghela napas berat tanpa memudarkan senyum di bibirnya. Dia ingin menikmati kesempatan itu dengan bahagia."Andai saja aku pulang lebih cepat dan ketemu sama kamu, aku yakin kita akan menjadi pasangan romantis. Aku nggak bakal ngebiarin Rasya buat nikahin kamu karena kesempatan itu nggak datang dua kali.""Andai saja kita bisa kembali ke masa lalu," gumam Alana membuang pandangan ke arah samping."Bahkan kamu lebih menginginkan aku daripada Rasya. Jelas sekali karen
Sesampainya di rumah, Ranti langsung menemui menantunya yang sedang duduk di samping ayunan Ali sambil menonton YouTube. Melihat kesedihan di wajahnya membuat wanita tua itu mengurungkan niat, kemudian menyerahkan ponselnya pada sang anak."Tadi mama sempat rekam pembicaraan kita di rumah Siti. Kamu kasih sama Rasya sebagai bukti, mama mau balik ke rumah dulu," bisik Ranti, lantas melangkah cepat meninggalkan Alana.Wanita itu melipat bibir. Jujur saja, dia sedikit kesal pada tingkah suaminya yang sangat mudah termakan omongan tetangga. Padahal, dia sudah tahu bagaimana perangai Siti selama ini. Lulusan sarjana, tetapi begitu mudah dikelabui.Alana tidak habis pikir, hatinya pun masih menyimpan perih setelah mendapat tamparan tadi. Kalau saja bukan mau bersikap dewasa, dia pasti sudah balas menampar Rasya. Ah, pikirannya kalut. Kini, pandangan mereka bertemu ... masih terlihat binar cinta di kedua matanya."Dengerin sendiri!" Alana meletakkan ponsel ibunya, kemudian ikut duduk di deka
Rasya tentu tidak mau kalah, dengan cepat dia menyusul Alana ke kamar, kemudian membawanya ke tempat semula dengan sedikit paksaan. Dia bisa saja melanjutkan perdebatan itu dalam kamar, tetapi Ali tidak boleh ditinggal sendirian.Kembali, Rasya membuang napas berat. Ada perasaan sedih dalam hatinya karena dia percaya pada apa yang Siti katakan. Mengingat Shaka pernah menganggap Alana adalah Zanna, maka tidak menutup kemungkinan apa yang diadukan Siti benar adanya dan Alana sedang mencoba untuk lari dari masalah.Apa gunanya bertanya pada Ranti jika dia akan membela anaknya sendiri karena takut kalau Alana menjadi janda di usia muda apalagi pernikahan mereka belum terlalu lama ditambah Ali masih kecil. Memikirkan itu semua semakin menambah pikiran Rasya saja."Kalau kamu nggak percaya, ya sudah.""Hari itu saja aku lihat kamu dipeluk sama Shaka padahal ada banyak pelayan di rumah. Sementara tadi, hanya ada kalian. Setan selalu hadir sebagai orang ketiga saat ada yang berduaan. Okelah a
"Bu Siti tahu dari mana kalau Alana romantis-romantisan?"Siti mengibaskan kipasnya, padahal cuaca biasa saja. "Ya aku lihat sendiri lah. Tahu sendiri kan kalau Hasna kerja di warung mertua kamu, sebagai tante yang baik untuk Hasna dan tetangga baik buat kalian, jadinya beli nasi uduk ke sana. Eh, sebelum kesampean malah liat laki-laki lagi gendong Ali, terus Alana malah senyum-senyum tidak jelas. Agak lama sih posisi mereka kayak gitu, sesekali Alana bercandain Ali. Pokoknya aku nggak bisa gambarin secara gamblang, intinya mereka romantisan. Mungkin karena Hasna sama mertua kamu lagi keluar jadi mereka mikirnya dunia cuma milik berdua. Iya, toh?"Mendengar itu semakin menambah amarah di hati Rasya. Kedua matanya berubah merah, rahang pun mengetat sempurna. Bagaimana mungkin Alana bersikap romantis pada lelaki lain?Satu hal yang membuat Rasya bingung. Dia belum bisa menebak siapa lelaki yang berhasil merebut posisinya. Sejak dulu Rasya sudah berpesan agar Alana tidak pernah tersenyum
Hari kedua Shaka bekerja, dia ternyata sosok yang rajin. Datang lima menit lebih cepat dan pulang lebih lambat karena membantu Ranti membereskan warung terlebih dahulu.Sebenarnya Ranti masih sungkan mempekerjakan saudara menantunya, tetapi dia terus mendesak. Sudah berulang kali Ranti memintanya pulang ke rumah atau bekerja di kantor, Shaka tidak pernah mengindahkannya.Sekarang, jam sudah mendekati pukul tiga sore dan Shaka belum juga kembali sejak empat jam yang lalu. Ada rasa khawatir yang menyelimuti jiwa Ranti dan juga Hasna karena makanan-makanan itu diantar tidak terlalu jauh dari rumah dan jumlahnya pun tidak banyak.Dalam waktu normal, Ranti memperkirakan Shaka sudah tiba di rumah sejak setengah jam yang lalu. Entahlah, dia mendesah ingin putus asa terutama ketika Hasna mengatakan kalau nomor telepon Shaka tidak aktif. Ke mana dia? Apa dia baik-baik saja?"Kalau Shaka kenapa-napa?""Hust!" Ranti menempelkan jari telunjuknya di bibir Hasna beberapa detik, kemudian melanjutkan
Hari sabtu, hari yang biasanya Alana nantikan karena Rasya tidak harus berangkat ke kantor. Bagaimana dengan sekarang? Mungkin sedikit sulit karena sudah beberapa hari ini tidak ada canda dan tawa di antara keduanya.Rasya hanya akan berbicara pada Alana ketika ada sesuatu yang penting, begitu juga sebaliknya. Alana bukan tidak mau meraih rida suami, tetapi Rasya yang terlihat menghindari.Tepatnya karena merasa bersalah. Entah kenapa lelaki itu sangat sulit mengurai kata maaf di hadapan Alana. Rasa bersalah yang terlalu dalam, mungkin. Sekarang pun dia sengaja berlama-lama di kamar mandi karena khawatir berpapasan dengan Alana.Sementara Alana sendiri melipat pakaian yang dia cuci kemarin karena Ali terlelap di dalam ayunan. Untung saja pangeran mereka tidak lagi rewel, mungkin saja berusaha mengerti keadaan orangtuanya.Jam sudah menunjuk angka delapan, Ranti yang berada di penjualan terlihat penat. Dia pun memilih duduk sebentar karena tadi malam harus begadang setelah menerima pes
"Tidak mungkin, Na. Aku nggak yakin ada yang suka sama aku. Kamu tahu sendiri aku nggak ada kelebihan selain jago jualan." Hasna tertawa renyah, kemudian melanjutkan, "sulit. Aku harap tidak ada."Alana tersenyum hangat. Kalau dia jadi Hasna, mungkin akan merasakan hal yang sama pula. Hidup di perantauan bersama seorang tante yang sangat cerewet dan senang memfitnah orang itu tidak menyenangkan, hari-hari berlalu pasti dipenuhi dengan tekanan yang membebani pikiran apalagi jika dijadikan babu karena hidup menumpang.Sebenarnya bukan menumpang semata, Hasna juga menyisihkan gajinya untuk membeli beras atau lauk, tetapi tetap saja Siti menganggapnya beban dan kalau suatu hari nanti ada yang berniat baik, tentu merupakan berita baik.Ada satu masalah, Hasna tidak akan semudah itu mendapat restu. Dia yang kini hidup jauh dari kota kelahirannya memaksa diri untuk tetap tenang, sabar dan selalu semangat dalam keadaan apa pun. Hasna sebenarnya sangat butuh dukungan dari keluarga, hanya takdi