Napas Albian memburu, lelaki itu terlihat sangat gugup. Alana sendiri menunggu jawaban sambil mengepalkan kedua tangannya erat. Seorang lelaki yang sudah menodai kesuciannya, juga datang untuk menghina dan menjatuhkan harga dirinya. Apakah ada kata maaf dari Alana? Mungkin itu sesuatu yang mustahil terjadi.
"Aku nggak mungkin tahu kalau Alana di rumah sendirian kalau saja dia nggak ngasih tahu. Jadi, Alana ngundang aku ke sini bahkan berani bawa aku ke kamarnya. Tentu sebagai lelaki normal, aku tergiur untuk melakukan sesuatu yang lebih terutama Alana tidak melakukan penolakan. Siapa yang mau menyia-nyiakan kesempatan emas? Pemuda di luar sana juga akan melakukannya kalau berduaan dengan gadis seksi dalam kamar. Apa aku benar?"
"Hentikan bualanmu itu, Al. Aku mungkin sudah tidak suci lagi, tetapi kamu harus tahu kalau aku bukan pelacur!" gertak Alana semakin merasa terhina.
Dia menyesal pernah menaruh hati dan kepercayaan pada sosok seperti Albian. Jika saja tahu mereka akan berakhir seperti itu, pasti Alana akan terus menolak ketika diajak pacaran. Dia terlalu perasa sehingga menerima cinta Albian meskipun dia sendiri belum bisa move on dari mantan pacarnya yang meninggal karena kecelakaan.
Bahkan hingga kini, Alana masih sulit percaya dengan tingkah Albian. Benarkah dia seorang Albian yang dulunya selalu mengalah, penuh cinta dan kasih sayang? Ataukah mungkin dia semena-mena setelah mereguk madu yang selama ini Alana jaga? Serendah itukah Alana di mata mantan kekasih yang selama ini dia puja?
"Kamu bisa bilang pengakuanku ini bualan semata kalau saja kamu masih perawan, Na. Lebih baik kamu nenangin diri biar nggak stress amat. Aku mengakhiri hubungan kita dengan baik di depan mama kamu, jangan hubungi atau mencari aku lagi. Cari sendiri kebahagiaanmu, mama kamu nggak mau punya menantu pengangguran, bukan?" Albian tersenyum kecut, lalu menatap sekilas pada Ranti yang menyimpan amarah.
"Ya, aku tidak mau punya menantu pengecut dan pemalas seperti kamu. Sekarang lebih baik kamu pulang, aku nggak sudi ngeliat kamu ada di sini, anak sialan!"
Saat Albian membalikkan badan menuju pintu utama, Ranti segera mengambil sapu yang bersandar di tiang, tidak jauh dari tempat mereka berdiri, kemudian memukul punggung lelaki sialan itu. Dia sangat marah dan harus nekat jika ingin melampiaskannya. Dulu Ranti berpikir untuk memberi restu andai saja Albian serius dengan syarat setelah menikah harus giat bekerja mengingat lelaki itu sudah tidak punya orang tua dan terlihat penyayang. Namun, setelah mendengar kalimat hinaan yang menohok hati, mustahil ada kesempatan kedua.
"Hentikan, Ma. Al bisa mati!" cegah Alana mencengkram lengan ibunya.
"Mama lebih senang dia mati daripada melihat kamu menderita!" balas Ranti lagi. Sayangnya, Albian berhasil lolos dan berlari cepat meninggalkan rumah Alana yang selalu menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.
Ranti membuang napas kasar menatap kepergian Albian. Setelah mengunci pintu utama dua kali, dia langsung menarik tangan anak gadisnya menuju kamar karena khawatir ada tetangga lain yang menguping. Rasa kecewa, marah dan sedih bercampur jadi satu dalam hati Ranti apalagi ketika mendengar dan melihat sendiri anak gadisnya dihinakan oleh sosok yang pernah mengaku cinta.
Wanita tua itu memejamkan matanya beberapa detik sebelum akhirnya menggenggam tangan Alana erat. Dia harus memikirkan cara yang bagus agar bisa menemukan jawaban tanpa harus melukai siapa pun. Ranti memang harus melakukannya jika tidak ingin orang lain menganggap Alana adalah wanita panggilan.
"Albian terang-terangan ngehina kamu di depan mama. Itu artinya, semua yang dia katakan adalah kebenaran. Betul?"
"Tidak, Ma." Alana menggeleng cepat, air matanya menggenang seketika. "Albian bohong. Aku tidak pernah tidur sama lelaki mana pun dan tentang kehamilan ini, itu karena Albian yang maksa aku."
"Gimana pun, kamu sudah melakukan perbuatan dosa. Sekarang pikir, siapa yang akan menikahimu? Kalau kamu nggak nikah dalam waktu dekat, maka mama yakin kamu bakal jadi bulan-bulanan tetangga atau mungkin diviralin. Setelah anakmu lahir, mereka akan meledeknya sebagai anak haram." Ranti beranjak sambil berkata, "sudahlah, mama pusing mikirinnya!"
"Ma ...." Tapi tidak ada jawaban.
Air mata yang sejak tadi menggenang sudah tidak bisa Alana bendung lagi. Hati dan harapan gadis itu untuk membahagiakan ibunya sudah hancur karena seonggok daging dalam rahimnya. Alana terlalu bodoh sehingga menuruti keinginan Albian untuk melakukannya berulang kali bahkan tanpa pengaman.
Sekarang semua tinggal penyesalan dan sulit untuk memperbaiki segalanya. Albian hanya perlu menikah dengan Alana dan itu akan menghilangkan sedikit beban untuk si gadis. Hanya saja, semua itu sebatas kata andai.
***
"Ngapain kamu nyari Al? Dia nggak ada di rumah. Mungkin lagi jalan-jalan sama pacarnya!" ketus Hesti, tante Albian.
"Aku harus ketemu sama Al, Tan. Ada hal penting yang harus dia tahu."
Ya, si Gadis Malang itu kembali mendatangi rumah Albian di sore hari karena terus tertekan dengan keadaan. Dia selalu dihantui oleh pertanyaan sang ibu dan benar, sulit menemukan lelaki yang mau menikah dengan gadis yang gagal menjaga kesuciannya terutama saat sedang mengandung. Melempar kotoran ke wajah orang lain? Oh Tuhan, Alana bahkan sulit untuk membayangkannya.
"Heh, aku tahu kamu ke sini buat minta dinikahin, 'kan? Makanya jadi orang itu harus bisa menjaga diri. Minimal tidak murahan sama semua laki-laki. Giliran sudah bunting malah ngemis sama Al. Emangnya Al itu siapanya kamu? Orang cuma mantan. Harusnya minta tanggungjawab sama pacar sendiri. Enak aja melibatkan Al!"
Telunjuk Hesti yang mengarah tepat di depan wajah Alana segera Alana tepis kasar. Dia memang melakukan dosa besar, tetapi tidak pantas diperlakukan demikian. Apakah di dunia ini hanya Alana yang melakukan dosa? Omong kosong, mereka bahkan lebih buruk dari para pembunuh bayaran karena senang menyebar berita bohong dan beberapa kali menyebabkan si Buah Bibir depresi.
Setelah mengumpulkan keberanian bermodal rasa nekat, Alana maju selangkah dan memberi tatapan yang tidak kalah tajam pada Hesti. Usia mereka memang terpaut jauh, namun jika sudah direndahkan seperti tadi, apakah masih patut untuk dihargai? Berapa harga diri Hesti? Pertanyaan itu yang kini terngiang dalam benak Alana.
"Harusnya kamu malu sama umur. Sudah setengah abad begitu, tapi kelakuan masih bocah. Aku menghargai orang yang menghargai aku, dan umur tidak bisa menjadi tolak ukur. Nggak usah ngatain aku murahan lah kalau kamu aja dulunya bejat!" balas Alana pedas padahal dia sendiri tidak tahu bagaimana kehidupan Hesti di masa lalu.
"Anak kurang ajar!" Detik selanjutnya Alana berteriak histeris karena Hesti menarik kasar rambutnya.
"Lepaskan!" Teriakan menggema itu menghentikan aktivitas mereka berdua setelah dua menit melakukan aksi tarik-menarik rambut.
Alana murka karena melihat Albian datang bersama Bella. Kenapa harus gadis itu yang berdiri di sisinya? Akan tetapi, Alana harus menyembunyikan rasa cemburu sebelum terbaca oleh mereka berdua. Kedatangannya ke rumah itu bukan untuk bertengkar apalagi menambah beban pikiran. Entah kenapa dia sendiri merasa yakin kalau Albian masih ingin kembali."Kamu ternyata emang tempramental, ya, Na? Tante Hesti itu saudara kandung mendiang mamaku, tetapi kamu malah menjambak rambutnya. Selain itu, umur kalian terpaut jauh, di mana sopan santunmu? Apa mungkin kamu masih sakit hati? Ayolah, lupakan saja masalah itu biar kamu bisa hidup tenang."Alana tertawa kecil mendengar penuturan Albian. Melupakan? Apa dia sudah gila? Oh, tidak, Alana harus bisa mengalahkan mereka bertiga bahkan ketika dia harus kehilangan nyawanya. Bukankah bagus jika mereka menjadi tersangka pembunuhan?Sekarang pandangan matanya fokus pada Bella yang menatap penuh tanda tanya. Namun, Alana tidak ingin mengambil pusing selama
"Antar?" Alana berdecih. "Aku bisa pulang sendiri, tetapi sebelum itu kamu harus jawab, sejak kapan kamu pacaran sama Al?"Jantung Alana berdegup terlalu cepat karena tersulut emosi. Ah, bahkan rasa amarahnya sudah sampai di ubun-ubun. Berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan agar bisa menenangkan diri. Dengan perasaan malu kepada Tuhan, dia membaca dzikir karena pernah mendengar penceramah meminta para jamaah untuk berzikir ketika pikiran sedang kacau."Besok sudah tiga bulan. Puas?"Tiga bulan? Itu bukan waktu yang singkat. Berarti selama ini Albian berbohong bahwa dirinya sibuk di luar untuk mencari pekerjaan, ternyata demi menemui Bella. Meskipun masih samar, Alana yakin itu lah yang terjadi. Dalam tiga bulan itu pula, dia sering dicium secara tiba-tiba sehingga melahirkan bunga-bunga cinta.Alana tidak menduga jika Albian melakukannya karena tidak ingin ketahuan telah selingkuh. Setiap sentuhan darinya ternyata berubah menjadi kutukan dan penghinaan. Alan
"Kamu sudah gila? Aku bahkan tidak tahu nama kamu, tapi sudah ngajak pacaran aja. Kamu siapa, sih?!"Lelaki itu melepaskan cengkramannya, beralih menjabat paksa tangan Alana. Dia tersenyum penuh percaya diri seolah dia seorang pangeran. "Aku Rasya, ingat itu."Alana tertegun. Dia berusaha memutar otak mengingat hari-hari sebelumnya. Tidak, bahkan sejak kecil gadis itu belum pernah mempunyai teman dengan nama Rasya. Akan tetapi, lelaki itu terlihat familiar, entah dia datang dari mana."Aku nggak kenal sama kamu.""Jangan jutek seperti itu, Na. Kalau kamu nggak kenal sama aku, lebih baik aku perkenalkan diri. Gimana?"Lelaki yang sangat nekat, Alana bisa langsung menebak kalau dia tipikal egois dan ingin menang sendiri. Namun, mengajak berpacaran di pertemuan pertama membuat gadis itu merasa curiga.Tentu bukan tanpa alasan dia mengutarakan cintanya bahkan ketika menatap mata Rasya, yang ada hanya kebohongan dan luka di sana. Alana memahami karena sudah sering berkaca dengan ekspresi i
"Oke, deal. Kita pacar bohongan demi misi. Tapi aku masih bingung harus ngelakuin apa dan sebelum itu ada yang mau aku kasih tahu ke kamu, Sya." Alana berucap ragu.Bukankah kehamilannya adalah sebuah aib dan sama saja bodoh jika memberitahu Rasya tentang janin itu? Mereka tidak saling mencintai dan ada kemungkinan Rasya membatalkan kerja sama mereka. Namun, kalau terus diam apakah kelak tidak menyesalinya?Alana menggigit bibir bawahnya begitu Rasya menatap lekat menunggu Alana kembali bicara. Selain Bella, dia tidak pernah punya teman dekat karena di luar sana banyak teman yang memakan teman sendiri dam ternyata hal itu terjadi padanya juga. Alana juga takut jatuh cinta jika saja sering bertemu sama Rasya."Kamu mau ngasih tahu apa mau nanya? Mau nanya aku kerja apa? Tenang saja, papaku orang kaya dan tahun depan bakal jadi pewaris tunggal, meskipun sekarang masih yah lebih sering kumpul sama teman. Istilahnya menikmati masa pengangguran sebelum benar-benar sibuk. Lagian kita cuma p
Air mata Alana semakin menggenang, dia pun mengangkat tangannya di udara siap untuk menusuk perut sendiri. Sekalipun itu akan sangat menyakitkan, tetap saja dia harus melakukannya. Alana berharap setelah ini semua orang hanya menganggapnya depresi bukan karena hamil.Napasnya kini memburu sementara kaki berubah pucat. Alana menggigit bibir berusaha memantapkan hati untuk tidak memikirkan hal lain lagi. Dengan gerakan cepat, dia mengarahkan gunting itu ke perutnya."Alana!" teriak Ranti histeris. Untung saja dia berhasil mencekal tangan anak gadisnya sebelum ujung gunting itu berhasil merobek perutnya yang masih rata. "Kamu sudah gila, hah?!""Lepasin, aku mau mati!" Gadis malang itu kesetanan, dia mendorong ibunya sendiri.Bukankah orang depresi memang seperti itu? Dia akan kehilangan kendali, tepatnya alam bawah sadar yang lebih kuat bekerja. Alana tertawa keras melihat ibunya sendiri tersungkur di lantai. Tidak, pandangan gadis itu terganggu oleh halusinasi. Dia mengira wanita yang
"Al, aku tahu banyak kekurangan dan kelebihanmu bahkan aib-aibmu aku tahu. Jadi, nggak usah ngeledek Rasya. Iya, dia pacarku dan kamu nggak lebih baik dari dia. Manusia pengecut kayak kamu nggak pantes disebut laki, mungkin ban-ci?" Alana tertawa kecil, lalu mengajak Rasya kembali melanjutkan perjalanan.Namun sayang, sebelum Alana menaiki motor hitam itu, tangannya sudah dicekal oleh Siti si tetangga paling julid dan toxic. Dia datang bersama Leha dengan wajah penuh intimidasi. "Ada apa?" tanya Alana malas."Oh, jadi ini kelakuan asli kamu, Na? Dengar-dengar kamu hamil sama Albian, tapi kok jalannya sama laki-laki lain? Albian malah kena pukul. Emang anak durhaka, udah hamil gitu malah mau bunuh mama sendiri. Kamu nggak guna hidup tau nggak? Pergi aja deh dari sini sebelum sikap burukmu ditiru sama anak-anakku. Ih, amit-amit."Alana merasa ingin muntah melihat ekspresi Siti yang sangat dramatis. Kenapa dia senang mengurus urusan orang lain? Apa dia dibayar oleh presiden? Alana tidak
"Mama!" teriak Alana bangun dari tidurnya dan melihat jam di detik yang sama. Sudah pukul dua dini hari, rupanya dia ketiduran di sana.Gadis itu terjaga karena memimpikan ibunya meraung meminta tolong. Hati Alana gelisah, dia berusaha menelepon sang ibu, tetapi ponselnya tidak aktif. Terlalu larut jika dia berangkat ke klinik sekarang apalagi Alana tidak tahu apakah Rasya sudah kembali atau belum.Bagaimana jika dia keluar dari kamar mencari Rasya? Ah, tidak. Alana ingat kalau kehadirannya di sana harus dirahasiakan. Mungkin dia akan menuai kontroversi atau ada alasan lain. Saat menunggu, entah kenapa waktu bergerak begitu lambat. Alana melempar bantal kesal ke lantai berharap fajar segera tiba.Tiba-tiba pintu kamarnya terketuk. Alana dilema apakah harus dibuka atau dibiarkan saja? Dia menggigit bibir bawahnya, merasa gugup seolah sosok di balik pintu adalah malaikat maut. Tenggorokannya bagai tersekat sampai ada SMS dari Rasya meminta dibukakan pintu kamar.[Kamu nggak bakal macam-
Dalam hitungan detik, mereka sudah berdiri di ambang pintu dan menemukan sosok laki-laki tengah membuka laci demi laci seperti sedang mencari sesuatu. Alana menggeram, dia baru menyadari kalau rumahnya kemasukan pencuri begitu melihat sosok itu ternyata memakai topeng. Maka dengan penuh berani, dia berteriak lantang, "mau apa kamu, hah?!"Lelaki pencuri itu menghentikan gerakannya, kemudian berdiri mendekati Ranti yang ketakutan di tempat tidurnya. "Diam di tempat atau aku bunuh wanita tua ini!"Alana memicingkan mata, dia merasa tahu siapa pemilik suara itu meskipun masih tidak yakin. Sementara Rasya sendiri langsung melayangkan tendangan keras di bagian dada kiri si pencuri sehingga dia tersungkur ke belakang. Dia memegang kepalanya karena terbentur di tembok.Detik selanjutnya, Rasya mencengkram kerah baju lelaki itu dengan sekuat tenaga. "Katakan, siapa yang menyuruhmu ke sini, hah?!"Tidak ada jawaban semakin memancing amarah Rasya. Dia terus membentak dan menampar wajah lelaki i
Selesai mandi sore, Alana memilih mengurung diri dalam kamar bersama putra kesayangannya karena Ali sedang terlelap. Merasa jenuh, akhirnya dia membuka aplikasi sosial media. Mulai dari Instag-ram, Face-book hingga aplikasi hijau yang dikenal dengan sebutan Whats-App.Alana membuka story teman-temannya. Mereka memang masih saling menyimpan kontak, tetapi tidak pernah bertukar pesan selain menonton story masing-masing. Terutama Alana yang memang tidak mau mempublish masalahnya ke media sosial.Menyebar masalah ke sosial media bagi Alana itu buruk. Selain mengundang gibah, beberapa dari mereka juga bertanya bukan karena peduli atau ingin memberi solusi melainkan kepo saja. Lagi pula, masalah rumah tangga itu hal privasi.Alana menekan layar ponselnya ketika tiba di story Whats-App milik Rasya. Ada foto mereka berdua di sana dengan caption 'Bidadari Surgaku' yang disertai emotikon love dan bunga mawar merah."Lah, ini bener?" tanya Alana menatap tidak percaya.Entah kenapa, tiba-tiba hat
"Sepertinya, aku harus pergi lagi sebelum perasaan ini tumbuh sangat dalam dan untuk itu aku butuh kamu," jawab Shaka dengan perasaan sedih.Hasna terdiam beberapa saat, kemudian melirik ke kanan dan kiri. Sayang sekali karena tidak ada pembeli agar dia bisa menghindari Shaka.Jujur saja, dia belum bisa membuka hati untuk orang baru. Memang benar kalau saat ini Hasna butuh seseorang untuk menemaninya menjalani hidup. Dia bosan menumpang pada Siti karena selalu dijadikan kambing hitam, dituduh dalang dari setiap masalah yang ada.Hidupnya kacau balau, terkadang Hasna ingin menyerah jika saja iman tidak ada dalam dada. Hasna mendesah kesal, entah mengapa. Saat kembali menatap Shaka, ada rasa iba dalam dirinya. Lelaki itu setengah mati berjuang melupakan Zanna, haruskah dia mengorbankan perasaan sendiri demi membantunya kembali ke hakikat diri?Berat. Hasna rasa tidak mudah mengubah pendirian seseorang. Apalagi sosok seperti Shaka yang setahu Hasna sudah lama alpa dari perintah Tuhan yak
I lay my love on youIt's all I wanna doEvery time I breathe I feel brand newYou opened up my heartShow me all your love and walk right throughAs I lay my love on you....Shaka sengaja mendengarkan lagu romansa dari Westlife sebagai gambaran perasaannya saat ini. Memang benar bahwa Alana lah yang membuka hatinya untuk tidak larut mencintai Zanna yang telah tiada. Sayang sekali, dia tidak bisa memiliki wanita itu.Mencintai seseorang yang sudah menikah dan suaminya adalah adik sendiri itu menyakitkan. Shaka diam-diam menghela napas berat tanpa memudarkan senyum di bibirnya. Dia ingin menikmati kesempatan itu dengan bahagia."Andai saja aku pulang lebih cepat dan ketemu sama kamu, aku yakin kita akan menjadi pasangan romantis. Aku nggak bakal ngebiarin Rasya buat nikahin kamu karena kesempatan itu nggak datang dua kali.""Andai saja kita bisa kembali ke masa lalu," gumam Alana membuang pandangan ke arah samping."Bahkan kamu lebih menginginkan aku daripada Rasya. Jelas sekali karen
Sesampainya di rumah, Ranti langsung menemui menantunya yang sedang duduk di samping ayunan Ali sambil menonton YouTube. Melihat kesedihan di wajahnya membuat wanita tua itu mengurungkan niat, kemudian menyerahkan ponselnya pada sang anak."Tadi mama sempat rekam pembicaraan kita di rumah Siti. Kamu kasih sama Rasya sebagai bukti, mama mau balik ke rumah dulu," bisik Ranti, lantas melangkah cepat meninggalkan Alana.Wanita itu melipat bibir. Jujur saja, dia sedikit kesal pada tingkah suaminya yang sangat mudah termakan omongan tetangga. Padahal, dia sudah tahu bagaimana perangai Siti selama ini. Lulusan sarjana, tetapi begitu mudah dikelabui.Alana tidak habis pikir, hatinya pun masih menyimpan perih setelah mendapat tamparan tadi. Kalau saja bukan mau bersikap dewasa, dia pasti sudah balas menampar Rasya. Ah, pikirannya kalut. Kini, pandangan mereka bertemu ... masih terlihat binar cinta di kedua matanya."Dengerin sendiri!" Alana meletakkan ponsel ibunya, kemudian ikut duduk di deka
Rasya tentu tidak mau kalah, dengan cepat dia menyusul Alana ke kamar, kemudian membawanya ke tempat semula dengan sedikit paksaan. Dia bisa saja melanjutkan perdebatan itu dalam kamar, tetapi Ali tidak boleh ditinggal sendirian.Kembali, Rasya membuang napas berat. Ada perasaan sedih dalam hatinya karena dia percaya pada apa yang Siti katakan. Mengingat Shaka pernah menganggap Alana adalah Zanna, maka tidak menutup kemungkinan apa yang diadukan Siti benar adanya dan Alana sedang mencoba untuk lari dari masalah.Apa gunanya bertanya pada Ranti jika dia akan membela anaknya sendiri karena takut kalau Alana menjadi janda di usia muda apalagi pernikahan mereka belum terlalu lama ditambah Ali masih kecil. Memikirkan itu semua semakin menambah pikiran Rasya saja."Kalau kamu nggak percaya, ya sudah.""Hari itu saja aku lihat kamu dipeluk sama Shaka padahal ada banyak pelayan di rumah. Sementara tadi, hanya ada kalian. Setan selalu hadir sebagai orang ketiga saat ada yang berduaan. Okelah a
"Bu Siti tahu dari mana kalau Alana romantis-romantisan?"Siti mengibaskan kipasnya, padahal cuaca biasa saja. "Ya aku lihat sendiri lah. Tahu sendiri kan kalau Hasna kerja di warung mertua kamu, sebagai tante yang baik untuk Hasna dan tetangga baik buat kalian, jadinya beli nasi uduk ke sana. Eh, sebelum kesampean malah liat laki-laki lagi gendong Ali, terus Alana malah senyum-senyum tidak jelas. Agak lama sih posisi mereka kayak gitu, sesekali Alana bercandain Ali. Pokoknya aku nggak bisa gambarin secara gamblang, intinya mereka romantisan. Mungkin karena Hasna sama mertua kamu lagi keluar jadi mereka mikirnya dunia cuma milik berdua. Iya, toh?"Mendengar itu semakin menambah amarah di hati Rasya. Kedua matanya berubah merah, rahang pun mengetat sempurna. Bagaimana mungkin Alana bersikap romantis pada lelaki lain?Satu hal yang membuat Rasya bingung. Dia belum bisa menebak siapa lelaki yang berhasil merebut posisinya. Sejak dulu Rasya sudah berpesan agar Alana tidak pernah tersenyum
Hari kedua Shaka bekerja, dia ternyata sosok yang rajin. Datang lima menit lebih cepat dan pulang lebih lambat karena membantu Ranti membereskan warung terlebih dahulu.Sebenarnya Ranti masih sungkan mempekerjakan saudara menantunya, tetapi dia terus mendesak. Sudah berulang kali Ranti memintanya pulang ke rumah atau bekerja di kantor, Shaka tidak pernah mengindahkannya.Sekarang, jam sudah mendekati pukul tiga sore dan Shaka belum juga kembali sejak empat jam yang lalu. Ada rasa khawatir yang menyelimuti jiwa Ranti dan juga Hasna karena makanan-makanan itu diantar tidak terlalu jauh dari rumah dan jumlahnya pun tidak banyak.Dalam waktu normal, Ranti memperkirakan Shaka sudah tiba di rumah sejak setengah jam yang lalu. Entahlah, dia mendesah ingin putus asa terutama ketika Hasna mengatakan kalau nomor telepon Shaka tidak aktif. Ke mana dia? Apa dia baik-baik saja?"Kalau Shaka kenapa-napa?""Hust!" Ranti menempelkan jari telunjuknya di bibir Hasna beberapa detik, kemudian melanjutkan
Hari sabtu, hari yang biasanya Alana nantikan karena Rasya tidak harus berangkat ke kantor. Bagaimana dengan sekarang? Mungkin sedikit sulit karena sudah beberapa hari ini tidak ada canda dan tawa di antara keduanya.Rasya hanya akan berbicara pada Alana ketika ada sesuatu yang penting, begitu juga sebaliknya. Alana bukan tidak mau meraih rida suami, tetapi Rasya yang terlihat menghindari.Tepatnya karena merasa bersalah. Entah kenapa lelaki itu sangat sulit mengurai kata maaf di hadapan Alana. Rasa bersalah yang terlalu dalam, mungkin. Sekarang pun dia sengaja berlama-lama di kamar mandi karena khawatir berpapasan dengan Alana.Sementara Alana sendiri melipat pakaian yang dia cuci kemarin karena Ali terlelap di dalam ayunan. Untung saja pangeran mereka tidak lagi rewel, mungkin saja berusaha mengerti keadaan orangtuanya.Jam sudah menunjuk angka delapan, Ranti yang berada di penjualan terlihat penat. Dia pun memilih duduk sebentar karena tadi malam harus begadang setelah menerima pes
"Tidak mungkin, Na. Aku nggak yakin ada yang suka sama aku. Kamu tahu sendiri aku nggak ada kelebihan selain jago jualan." Hasna tertawa renyah, kemudian melanjutkan, "sulit. Aku harap tidak ada."Alana tersenyum hangat. Kalau dia jadi Hasna, mungkin akan merasakan hal yang sama pula. Hidup di perantauan bersama seorang tante yang sangat cerewet dan senang memfitnah orang itu tidak menyenangkan, hari-hari berlalu pasti dipenuhi dengan tekanan yang membebani pikiran apalagi jika dijadikan babu karena hidup menumpang.Sebenarnya bukan menumpang semata, Hasna juga menyisihkan gajinya untuk membeli beras atau lauk, tetapi tetap saja Siti menganggapnya beban dan kalau suatu hari nanti ada yang berniat baik, tentu merupakan berita baik.Ada satu masalah, Hasna tidak akan semudah itu mendapat restu. Dia yang kini hidup jauh dari kota kelahirannya memaksa diri untuk tetap tenang, sabar dan selalu semangat dalam keadaan apa pun. Hasna sebenarnya sangat butuh dukungan dari keluarga, hanya takdi