"Seorang pelindung adalah seorang pelindung. Lingkaran tidak pernah ditakdirkan untuk menghancurkan berlian." Diantara semua kemelut itu, suara Pangeran Sofraz menggema di udara. Tapak tangan Tirza tertahan setengah jengkal dari dada sang Pangeran yang tegak merapatkan sepasang tangannya. Mata pemuda itu yang berwarna hazel berubah menjadi emas. Auranya sebagai seorang raja dipaksa keluar. Semakin Tirza mencoba menyerang, simbol di leher kirinya semakin bercahaya dan menciptakan rasa sakit yang hebat. Gadis itu memuntahkan darah. Sepasang mata emas nan sendu Pangeran Sofraz menatapnya dalam emosi yang pahit. Perlahan, warna mata sang Pangeran kembali ke warna hazel seiring dengan Tirza Antara yang jatuh berlutut didepannya. Gadis itu merasa tubuhnya remuk. "Cukup, Aqwazana Silfa. Aku tidak seperti dirimu!" kecam Tirza Antara sembari menahan sakitnya. Nilam Rencana yang melihat keadaan sudah terkendali datang mendekat dan langsung menampar mandara Pangeran Sofraz itu. Angin Nava Satra
Putri Tirza Antara terbangun oleh sedikit kebisingan yang terjadi. Gadis itu memang mudah terbangun hanya dengan sedikit keributan. Dia bangkit dari ranjang miliknya dan mengintip di celah pintu kamar yang dibukanya sedikit. Kamar Tirza adalah kamar tamu yang paling berdekatan dengan pos penjagaan istana. Dia melihat seorang pria dengan tergesa-gesa melaporkan sesuatu pada penjaga pos istana."Ular itu menyerang lagi..." Sayup, mandara Pangeran Sofraz dapat mendengar itu. Tanpa memperdulikan tubuhnya yang dalam proses pemulihan, gadis bermata biru itu lekas mengganti pakaiannya dengan pakaian tarung mandara yang senada dengan warna matanya. Dia keluar dari kamar tepat saat Panglima Timur dan puteranya Chandra sudah duduk diatas kuda dan bermaksud berangkat."Hendak kemana, Paman?" tanya Tirza pula. Panglima Timur memandang pakaian yang dikenakan Tirza Antara. "Putri sebaiknya beristrahat memulihkan diri.""Paman tidak menjawab pertanyaanku." Ucap Tirza sembari tersenyum manis, membua
Pangeran Sofraz memandang puing-puing pemukiman itu diantara para penduduk yang sibuk mengurus jenazah keluarga mereka yang malang. Dia melihat bekas pertempuran dan perlawanan yang hebat dimana-mana. Disini, mandaranya berjibaku bersama Chandra menghalau binatang buas itu dan gadis itu lenyap.Chandra mendekati sang pangeran dengan airmuka menyesal. "Maafkan Hamba, Pangeran. Hamba tidak mampu menolong Putri Tirza.""Kau sudah melakukan yang terbaik." Mata Pangeran Sofraz yang memandangi para penduduk yang histeris dengan kematian orang-orang dekat mereka. Dadanya mendadak sesak. Rakyat Sofraz benar-benar menderita saat ini. Bahkan mandaranya lenyap bagai di telan bumi. Menurut laporan Chandra, ketika dia kembali ke Balazan usai membawa orang-orang ke tempat yang aman, Tirza maupun makhluk itu tak ada lagi disana. Hanya tersisa puing-puing kehancuran yang memilukan. Besar kemungkinan sang mandara telah dimangsa binatang itu."Kau dimana?" Pangeran mengirimkan Acazana pada Tirza berhar
Putri bungsu Antara Dafruz itu tersentak sadar. Sekujur tubuhnya masih gemetar. Bahkan dia menyadari ada airmata yang mengalir dipipinya. Gadis itu bangun. Menetralkan nafasnya yang sempat sesak dan memandang berkeliling. Dia Berada di tempat asing yang terlihat damai. Lumut menutupi tanah, tanaman berbunga tumbuh disana. Dia terbaring di bawah pohon bunga Tirza yang tengah mekar dan memancarkan bau harum yang menenangkan. "Apa aku sudah menyatu alam?" batinnya bingung. Ingatan terakhirnya adalah saat-saat dimana dia sekarat. Masuk akal jika dia berpikir dirinya sudah mati saat itu. Saat itu seorang perempuan mendekatinya, duduk disampingnya dengan tenang. "Aqwazana..." Tirza tentu saja mengenalinya. Perempuan cantik yang merupakan nenek moyangnya itu tersenyum lembut padanya. "Kau sudah lihat bukan?" ucapnya pula. Perempuan itu kini mengenakan pakaian berwarna tembaga yang membuatnya terlihat semakin cantik. "Apa jadinya dirimu di masa depan, karna mencintai Pangeran Sofraz?"Tirza
Aqwazana Silfa melayang ke udara dengan kedua tangan terentang disamping tubuh. Pukulan Tirza Antara menghantam dahan dan membuatnya hancur berderai dengan asap biru menguar kemana-mana. Gadis itu mengejar Aqwazana dengan gesit. Keduanya kemudian mendarat diatas tanah dan saling berhadap-hadapan. "Aku hanya bermaksud membantu." ucap Aqwazana Silfa dengan senyum tanpa dosa."Apa yang kau lakukan adalah pelanggaran terbesarku selama aku hidup." tutur Tirza Antara pula. "Aku bukan perempuan jalang. Aqwazana Silfa, kita memang merasakan banyak hal yang sama. Tapi aku tidak pernah berpikir untuk melakukan hal sememalukan tadi." Airmuka Tirza Antara masih terlihat kemerahan, membawa jejak rasa malu sekaligus kemarahan yang kentara.Aqwazana Silfa mengangkat tangannya ke udara. Secercah sinar muncul dan tiba-tiba membentuk tudung tak kasat mata yang melindungi keduanya. "Tudung Penghilang Jejak." batin Tirza Antara saat dia melirik hal yang dilakukan Aqwazana Silfa. Dia menyadari itu kar
Bunyi bergemuruh disertai hawa yang mendadak memekat membuat para penduduk pemukiman tepi sungai merasa was-was. Mereka mulai berlari kesana kemari untuk menyelamatkan diri. "Nahama sudah datang! Lari! Lari! Cari perlindungan!" teriakan panik terdengar dari segala arah. Kali ini bukan lagi pemukiman Balazan yang jadi sasaran, namun juga pemukiman-pemukiman tersisa yang paling dekat dengan hutan Pavadan.Binatang besar itu memiliki kecepatan gerak yang luarbiasa, setiap jejak tubuhnya bersifat destruktif dan merusak. Ekornya yang dua kali lebih besar dari pohon kelapa melibas kesana kemari. Mulutnya menganga mencari mangsa. Yang menarik kali ini di atas kepala binatang raksasa itu, berdiri sosok seorang perempuan berpakaian tembaga. Rambutnya yang indah berkibar-kibar tertiup angin, sedikit menutupi wajahnya. Dia terus tertawa sembari menyuruh nahama merusak apapun yang dilihatnya. Disamping perempuan ini, Tirza Antara tegak dengan pandangan miris melihat kekacauan di bawah sana. Gadi
"Kau sudah keterlaluan, Tirza Antara." Raja Sofraz maju ke depan, membuat Antara Dafruz yang mukanya telah berubah saga mundur ke belakang. Sang Raja yang bermata hazel itu menatap putri mandaranya itu yang tengah menatap datar ke arahnya."Aku mengutusmu ke Sofraz Timur bukan untuk menjadi biang kekacauan. Kau datang dengan keinginan jahat hendak menyerang. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?""Yang Mulia..." desis Tirza Antara sambil tersenyum sinis. "Kau tidak perlu tahu apa yang terjadi padaku. Penyerangan yang datang kepadamu hari ini berasal dari rasa muak dan rasa kecewaku terhadap Sofraz. Aku adalah mandara Pangeran Sofraz, embel-embel mandara yang membungkus tugasku yang tak lebih dari budak kerajaan. Di tuntut menjadi sempurna, dibenci oleh kaum bangsawan yang takut tersaingi, dan dipaksa meminta maaf untuk hal yang tidak pernah disebabkan olehku. Sebut, di bagian mana aku masih harus menyisakan cinta terhadap negeri ini?""Kau merasa sakit hati?" Raja Sofraz menggeleng-gele
Suatu ketika petir biru Tirza Antara berhasil menyambar dan mengoyakkan jubah permai sang raja. Menciptakan garis tabasan hangus di area dada. Raja Sofraz terhempas keluar dari kancah pertarungan. Mengalirkan energi ke bagian yang terluka untuk segera mengantisipasi. Saat itu Tirza Antara dengan wajah kejamnya menyerbu dengan tubuh horizontal, menghunus pedang mandaranya yang telah di keluarkan dari tubuh. Semua orang berseru tertahan. Dan Sang Raja berdiri tegak disana, dia bahkan tidak memiliki kesempatan untuk mengelak. Segala sesuatu terjadi begitu cepat. Semua orang hanya sempat melihat sosok Tirza Antara terlempar ke udara. Namun dia masih bisa berdiri diatas kakinya. Matanya yang telah berubah menjadi biru pekat memicing, menyaksikan sosok tegap Angin Nava Satra yang muncul disana. Pemuda itu yang mendorongnya sehingga serangannya mental entah kemana. Nilam Rencana juga sudah muncul disana. Dia berdiri agak jauh di belakang Angin Nava Satra. Tirza Antara mendengus. "Kau muncu