Share

Bab 4

Penulis: Ayaa Humaira
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-26 16:50:47

"Astaghfirullah," ucap Dahlia lirih.

Beras satu karung yang kuletakkan kemarin sama sekali tidak disentuh oleh ibu, bahkan memindahkannyapun tidak.

Sekarang beras itu sudah beserakan dimana-mana karena karungnya bocor dipatokin ayam, sementara cipratan air bercampur tanah mengotori permukaan karung.

Dahlia turun dan memungut beras yang berserakan, kemudian dimasukan kedalam kantong plastik. Sementara karung yang kotor dia lap pakar ujung bajunya. Aku menghardik ayam-ayam itu agar tidak mendekat lagi.

Suara knop pintu terdengar, sepertinya seseorang membuka dari dalam.

"Apa sih ribut-ribut?" Ibu keluar dengan mengucek matanya ynag masih setengah merem.

"Ini bu, berasnya ibu lupa masukan ya? Dimakan ayam, kan sayang?" ucap Dahlia sembari menyodorkan beras yang kami bawa kemrin.

"Sengaja gak dimasukan, biar untuk makan ayam, beras merk itu mana cocok dilidah ibu."

Dahlia mengelus dadanya, ibu langsung masuk dengan membanting pintu.

"Mas, kita bawa pulang saja berasnya," ucap Dahlia, matanya sudah memerah. Begitupun denganku, dada ini rasanya sempit, tak ada pasokan udara masuk kedalam.

"Iya," jawabku singkat.

Aku membopong beras yang masih basah itu keatas motor, Ridho yang masih mengantuk mendengakkan kepalanya, karena merasa ada pergerakan diatas motor.

"Sudah sampai ya pak?"

"Belum, baru mau berangkat," jawabku. Kemudian Ridho kembali membenamkan wajahnya diatas stang motor, melanjutkan tidurnya.

Setelah Dahlia naik keboncengan dengan memangku beras yang sudah tidak karuan bentuknya itu, kemudian aku jalankan motorku dengan kecepatan terendah, karena jalanan licin. Di desa tempatku dilahirkan memeng belum terjamah aspal, hanya dilapisi koral saja, jadi kalau hujan turun, jalanan akan bercampur lumpur menyebakan licin.

Setelah keluar dari desa, aku bisa menambah kecepatan laju motorku, ingin rasanya cepat sampai dan mengistirahatkan otak yang sangat capai, tapi aku harus berangkat kerja. Kulirik aku Dahlia lewat kaca spion, wanita yang kini dipanggil ibu oleh anakku itu menyeka air matanya yang menalir deras dipipi.

Kuraih tangganya yang masih setia memegangi karung beras diatara kami duduk. Kemudia kugenggam erat tangannya agar bisa mentranfer energi untuknya. Buka. Hanya dia yang terluka, tapi aku juga. Kami sama-sama terluka bukan karena orang ketiga, tapi karena ibuku.

"Fokulslah nyetir mas, nanti ada lubang kamu gak tahu." Dahlia. Mengurai gengaman tanganku. Akupun menurut.

Sampai dirumah, Ridho langsung kubopong kedalam kamar, pasti semalam dia begadang sama Farid, makanya dia tertidur sepanjang jalan. Sementara Dahlia langsung membawa beras dalam karung itu kebelakang.

Setelah meletakan Ridho diatas kasuh busa yang telah tipis, aku langsung mandi dan bersiap untuk berangkat kerja.

Dimeja makan audah ada lauk dari mas Rahmat yang sudah dipanaskan Dahlia. Akupun mengambil piring, kemudian menyendok nasi dari dalam megicom yang sudah patah penguncinya, maklum megikom sudah dipakai seumuran kami menikah.

"Dek," panggil pada Dahlia, terdengar dia sedang menampi beras disamping rumah. Dahlia tidak menjawab, mungkinn dia tidak dengan karena berisiknya suara ayam yang sedang makan bekas tampian Dahlia.

Akupun menyusulnya kesamping rumah, karena aku akan segera berangkat kerja.

"Dek, mas berangkat dulu ya." Ternyata Dahlia tengah melamun. Dipangkuannya terdapat tampah yang berisi beras bercampur tanah.

"Dek," panggilku lagi.

"Eh iya mas, mas sudah sarapan?" tanyanya gugup. Tangan kanannya menyeka sudut netranya.

Aku mendekat dan ku1pengang pundaknya, "maafkan ibu ya!" pintaku, walaupun aku sangat membenci sikap ibu, tapi aku berusaha memaafkannya, walaupun susah.

"Satu kilo beras sangat berhaga untuk kita mas, aku cuma kasian sama ini beras, sama sekali gak dihargai, ini kan makanan."

"Maafin mas dek, sebenarnya kemrin ibu yang nyurih narok beras itu diteras, karena didalam sudah ada beras mahal pemberian mbak Tika."

"Mas berangkat gih, nanti terlambat. Gak usah ambil lembir mas," pintanya. Ya ... Aku rasa lemburku selama beberapa hari ini tak berarti apa-apa.

"Mas berangkat ya!" Dahlia menggangguk dan meraih tanganku untuk dia cium, kemudian kucium pucuk kepalanya.

Kuambil kunci motor yang kuletak dilemari penyimpanan, mataku tertuju pada Sekarung beras diabawah meja. Itu seperti beras yang kubeli di toko grosir kemarin. Jadi beras yang dibawa kerumah ibu beras siapa?

Akupun balik lagi kesamping rumah, demi memastika karung beras yang tadi kami bawa kerumah ibu.

Dan ternyata memang beda, setelah kuperhatikan bwras itu lebih malah dari yang kubeli. Rasanaya pulen dan teksturnya empuk.

"Dek, apa beras yang dibawa kerumah ibu kamu ganti?" tanyaku dengan hati-hati.

"I-iya mas .... maafkan aku mas, bukannya aku tidak menghargai kerja kerasmu lembur tiap malam, tapi aku setelah aku melihat beras yang mas beli untuk ibu, aku merasa akalau ibu tidak akan suka dengan beras yang kita bawa, makanya aku beli lagi yang sedikit mahal, agar ibu mau terima, biar yang itu untuk kita, tapi sepertinya sama aka mas, ibu tetap gak mau terima," ucapnya panjang lebar.

"Dek, kamu gak salah, gak perlu minta maaf, mas yang seharusnya minta maaf, nanti mas ganti uang kamu ya. Kalau ada lemburan nanti mas ambil, biar bisa ganti uang kamu."

"Mas gak usah, gak usaha diganti," ucap Dahlia lagi, dia beranja kedalam dan meletakan tampah berisi beras diatas meja makan.

"Ini bekalnya mas!" Dahlia menyodorkan kotak nasi yang dia masukan kedalam kantong plastik.

"Makasiha ya dek." Akupun beranjak menuju motorku yang masih terparkir dipinggir jalan. Kemudian menghidupkan mesinnya dan melaju menuju pabrik roti.

Aku berkerja dibagian produksi, sesekali aku juga diajak haji Mansur mengantar langsung pesanan roti ke acara-acara.

Belum sampai sore, adonan yang kubuat sudah selesai, akupun duduk diteras toko untuk melepas lelah, sambil membersihkan sisa adonan yang menempel ditangan.

"Tur, udah selesai?" teriak haji Mansur dari parkiran toko, disana haji Mansur biasa memarkirkan mobil operasional yang biasa untuk mengantar roti.

"Udah Ji," jawabku, sembari mendekat kearah haji Mansur. "Ada apa Ji?"

"Kawani aku antar roti, kamu yang nyetir ya," ucapnya.

"Oh nggeh Ji, monggo." Akupun langsung naik kedalam mobil dan duduk dibalik stir. Haji Mansurlah yang dulu mengajariku nyetir, katanya menambah keahlian itu penting.

"Mau diantar kemana Ji?" tanyaku, karena biasanya dia kan mengantar ditempat orang-orang penting saja.

"Ke rumah walikota, ada acara syukuran nanti malam."

Akupun mengangguk, pak Walikota adalah langganan kami, setiap mengadalan acara pasti pesan roti ke toko haji Mansur. Dengan gesit aku melajukan kendaraan ini, karena sudah hapal jalannya, aku tak perlu bertanya pada haji Mansur.

Sesampainya dikediaman walikota, aku langsung menurunkan kotak-kotak berisi roti dan membawa masuk kedalam rumah pak Walikota melewati pintu samping.

Selesai angkut roti, akupun membereskan mobil.

"Mas ini ada titipan dari bu Walikota," ucap seorang wanita berusia setengah baya menyerahkan uang satu lembar bergambar presiden dan wakil presiden pertama Indonesia.

Tanganku mengulur ragu, "apa ini bu?"

"Uang tips, katanya."

"Tapi saya sudah digaji pak haji Mansur?' tolakku, sembari menoleh kearah haji Mansur yang tengah berbincang dengan pak Walikota. Diapun mengangguk, akhirnya dengan persetujuan haji Mansur, aku menerima uang itu.

"Makasih ya Bu." Wanita yang kutaksir seumuran ibu itu mengangguk dan berlalu masuk kedalam rumah.

Hampir Magrib kami sampai di pelataran toko, akupun langsung pamit.

"Sebentar Tur," cegah haji Mansur.

"Iya Ji."

"Ini untuk tambahan beli beras." Lelaki bersahaja itu mengulurkan uang berwarna biru.

"Tapi tadi kan sudah dikasih bu walikota Ji," tolakku.

"Udah, gak apa-apa. Nih."

"Makasih Ji." Akupun mencium uang itu dengan berkaca-kaca. Uang ini bisa untuk menggantikan uang Dahlia yang dia gunakan untuk membeli beras premium kemarin.

Sampai dirumah, aku sudah tidak sabar memberikan uang ini kepada Dahlia.

"Mbok jadi orang itu mikir! kalau udah dikasih ngapa diambil lagi!" bentak seseorang dari dalam rumah.

****

Bab terkait

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 5

    Suara ribut-ribut dari dalam rumah seketika melenyapkan senyuman dari bibirku. Suara teriakan ibu paling mendominasi, tapi sama sekali tak kudengar suara balasan dari Dahlia.Segera kusenderkan motor bututku begitu saja didinding rumah. Langkah kaki sengaja kuperlebar agar segera sampai kedalam rumah."Ibu, mbak Tika, ada apa?" tanyaku bingung. Ternyata air mata Dahlia sudah melaut. Entah sejak kapan mereka berdebat, bahkan kini sudah mendekati Magrib."Ini lagi, anak gak berg*na, bisa-bisanya kalian ambil lagi beras yang sudah kalian kasih." bentak ibu sambil menunjuk wajahku."Astaghfirullah, Bu. Jadi Ibu sama mbak Tika ribut-ribut hanya karena beras? Jangan begini dong bu! Gak enak sama tetangga." sentakku. Karena tidak habis pikir, datang Magrib hanya karena meributkan soal beras."Bu, itu beras Ibu kan sudah tidak mau, jadi daripada mubazir sampai kehujanan, mending Guntur bawa pulang lagi. Ibu kan tidak mau makan beras yang itu." protesku."Memang bukan untuk ibu, untuk ayam-aya

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-26
  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 6

    Sikap Dahlia mendadak berubah tampak seperti orang yang sedang salah tingkah semenjak kedatangan mas Rendi. Dia makin banyak diam, padahal biasanya dia akan banyak biacara mengomentari ini itu.Selesai menurunkan atap rumbia, karyawan toko bangunan tadi langsung pulang. Sudah kutawari untuk mampir, sekedar minum kopi, tetapi dia tidak mau,katanya masih banyak kerjaan yang harus dia selesaikan."Mas Rendi tadi ngapain kesini Dek?" tanyaku sembari menyeruput kopi buatan Dahlia."Cuma mampir, kangen Ridho katanya Mas, sama kasih jajan untuk Ridho." Dahlia membenarkan posisi duduknya, seperti ada yang tak nyaman ketika aku menanyakan mas Rendi.Selama ini aku tak pernah melihat Dahlia ngobrol berdua langsung. Jika sedang berkunjung ke rumah ibu dan di sana ada mbak Tika dan mas Rendi, Dahlia selalu menghindar. Aku rasa karena mbak Tika memang selalu judes terhadap Dahlia."Oh," jawabku singkat. Tak ingin mencurigai Dahlia, walaupun sebenarnya hatiku berkata lain. Seperti ada yang disembun

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-16
  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 7

    Dahlia"Mas Rendi ngapain kesini tadi Dek?" tanya mas Guntur tiba-tiba, diasaat hatiku tengah mengontrol perasaan yang tak menentu."Cuma mampir, kangen Ridho katanya Mas, sama kasih jajan untuk Ridho." Berkali-kali aku membenarkan posisi dudukku agar tak begitu kentara jika aku tengah salah tingkah dan gugup.Mas Rendi, orang yang dulu sangat kucintai dan kuharapkan dia yang menjadi ayah dari anak-anakku, namun nyatanya laki-laki itu pergi sehari sebelum melamarku. Acara lamaran yang sudah aku dan orang tuaku persiapkan harus kandas begitu saja.Jangan ditanya bagaimana rasa, sudah pasti sakit, bahkan karena kegagalan itu, aku sempat mengurung diri di kamar selama berhari-hari. Aku tidak pernah lagi berbaur dengan tetangga selama berbulan-bulan. Tak hanya itu, akupun menutup diri dari media sosial. Keseharianku hanya kuhabiskan dengan menulis, menulis surat tepatnya. Setiap hari aku selalu menulis surat untuk mas Rendi, apapun yang aku rasakan aku tulis didalam surat itu. Tapi surat

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-16
  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 8

    "Kamu gak apa-apa Dek?" Tak kujawab pertanyaan mas Guntur. Tanganku masih kuletakan dibawah guyuran air kran.Hatiku berdebar tidak karuan, dunia ini kadang terasa sempit, dulu ketika mas Rendi pergi begitu saja, sangat sulit aku temukan. Bahkan dirumahnya dia tidak pernah muncul. Orang tuanya pun seakan-akan lupa tetang diriku.Sekarang dia hadir dan menjadi kakak iparku. Bod0hnya aku tidak menyelidiki keluarga mas Guntur sebelumnya."Gak apa-apa Mas, cuma panas sedikit," jawabku, seraya mengoleskan pasta gigi kearea tangan yang terkena air panas."Kamu istirahat aja di kamar, biar Mas yang beresin depan sekalian buatkan kopi lagi untuk mas Rendi."Deg ... Jadi benar yang didepan itu mas Rendi, tadinya aku berharap aku hanya salah lihat dan kebetulan mirip dengan mas Rendi.Aku menurut dengan perkataan mas Guntur, segera aku ke kamar untuk menenangkan diriku. Tak berapa lama mas Guntur menyusulku ke kamar, dia membawa kotak yang dibungkus dengan kertas kado."Ini dari mas Rendi, Dek.

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-17
  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 9

    Posisiku menjadi guru honor terancam, karena tak lama lagi akan ada guru PNS yang akan ditugaskan di SD tempatku mengajar.Bukan aku tak pernah mendaftar diri menjadi CPNS, tetapi memang belum rezekiku menjadi abdi negara. Awal semester depan aku sudah tidak bisa lagi mengajar, posisi lainpun sudah penuh. Dengan sangat terpaksa aku harus mencari pekerjaan lain.Begitupun dengan Nia, dia senasib denganku. Dia akan lebih dulu keluar dari sekolah yang hampir 10 tahun ini menja diladang mencari rezeki, tetapi kami lebih suka menyebutnya sebagai tempat berbagi ilmu"Gak usah ngelamun gitu, masih banyak rezeki kita selain disini," ujar Nia mengagetkan lamunanku."Bukan itu yang aku pikirkan Nia, tapi pasti moment seperti ini tidak akan terulang lagi. Kumpul bareng begini, makan dikantin bareng-bareng. Pasti kita akan jarang ketemu, apalagi kalau kamu nanti ikit suami kamu." Nia tersenyum."Perpisahan disini bukan berarti kita tidak bisa ketemu ditempat lain. Di rumahku misal, atau kamu," uj

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-17
  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 10

    Rencanaku untuk membuka warung mie ayam disambut baik oleh bapak dan ibu, bahkan mereka siap untuk menambah modal jika uang yang aku punya masih kurang. Bapak yang paling semangat untuk membuatkanku warung. Pagi sekali Bapak sudah datang ketika aku masih sibuk di dapur. Celoteh bapak dan mas Guntur terdengar hingga kesini. Aku langsung membuatkan kopi hitam untuk bapak. Aku sangat bersyukur karena kedua orang tuaku masih ada dan sehat, walaupun perlakuan ibu mertuaku tidak sebaik yang aku kira diawal menikah, bahkah bisa dikatakan tidak baik. Aku tetap berusaha bersikap sebagai selayaknya seorang menanntu. Membantu jika bisa aku bantu dan memberi selagi bisa aku beri.Aku juga sebisa mungkin membujuk mas Guntur untuk tidak membenci ibu, dengan perlakuan yang semena-menanya itu. Aku tidak mau pada akhirnya nanti akan berbalik pada kami nantinya sebagai orang tua. Tugas kita hanya berbakti dan mendoakan kebaikan untuk orang tua.Setelah berbincang sebentar dengan bapak, kami berdua

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-17
  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 11

    Mas Rendi menarik paksa tangan mbak Tika dari rambutku. Perlahan jambakan itu terlepas, aku langsung berlalu masuk kedalam kamar untuk mencari jilbab.Saat aku keluar dari kamar, mas Guntur sudah berdiri didepan pintu. Dari raut wajahnya, dia sangat mencemaskan aku."Kamu gak apa-apa, Dek? Pipi kamu merah. Biar mas kompres dulu ya." Aku hanya mengangguk, air mata yang sedari tadi aku tahan, nyatanya tak mampu kubendung lagi. Kemudian kulangkahkan kaki menuju kursi didekat meja makan. Di ruang tamu kami bisa mendengar jika mbak Tika dan mas Rendi tengah berdebat. Samar terdengar mbak Tika masih saja mengataiku."Sudah Mama bilang, jangan pernah berhubungan lagi dengan perempuan gatal itu.""Stop Tika, jangan katakan lagi kamu katakan Dahlia perempuan gatal!"Setelah memeberiku kompres dengan batu es, aku dan mas Guntur keluar, kemudian duduk didepan mereka."Ada apa ini, Mas? Apa ini karena kedatangan Mas Rendi kesini kemarin?" Mas Guntur menengahi mereka yang masih bersitegang."Dia!

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-18
  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 12

    RendiAku dan Dahlia sepakat untuk melanjutkan kejenjang yang lebih serius setelah tiga tahun pacaran. Semenjak Dahlia sekolah kelas dua SMA, gadis itu memang tak berniat melanjutkan kuliah karena keterbatasan biaya.Beruntung waktu itu aku sudah bekerja diperkebunan milik pemerintah sebagai karyawan tetap, jadi nanti selepas menikah jika Dahlia ingin melanjutkan kuliah, akan aku biayai. Karen semngat Dahlia untuk menutut ilmu msih sangat tinggi, terlebih cita-cita dia menjadi seorang guru.Aku tinggal di mess belakang kantor, karena jarak tempuh dari rumahku ke tempatku bekerja memakan waktu sekitar dua jam, jadi kalau harus bolak balik, akan capai dijalan.Waktu itu pertama kali bertemu dengan Dahlia ketika motornya mogok ditengah jalan. Aku yang kebetulan lewat hendak cari sarapan berniat membantunya. Setelah kuperiksa, ternyata businya mati. Terpaksa harus ganti dengan busi yang baru.Aku membantu dia mendorong motornya hingga sampai di bengkel terdekat. Waktu itu Dahlia hendak be

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-18

Bab terbaru

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 70

    Guruh mendudukan ibunya di kursi khusus pelanggan, "Mbak tolong pangkas habis rambut Ibu saya!""Hah? Jangan! Jangan lakukan itu pada Ibu, Ruh!" Tega kamu Ruh. Darinkecil Ibu sayang-sayanh, udah besar, mentang-mentang kamu udah bisa cari uang sendiri malah mau berbuat seenaknya sama Ibu," Sri masih saja meronta-ronta.Pegawai salon hanya bingung melihat Guruh dan ibunya. Mereka belum berani mendekat. Mereka hanya berbisik-bisik antar sesama karyawan.Sri semakin meronta ketika melihat seseorang di luar salon tampak tengah merekam aksi Guruh yang ingin membotaki rambunya. Wanita paruh baya itu teriak meminta tolong untuk melepasnya dari Guruh."Tolong, anak saya mau membotaki rambut saya," ujar Sri.Pria jangkung itu akhirnya geram melihat seseorang yang tengah merekamnya. Dia bergerak menuju pintu masuk salon dan menghardik perekaman video itu."Apa? Kalian mau memviralkan saya?" Melihat Guruh melotot, orang tersebut langsung mematikan kameranya. Dan tanpa berkata sepatah katapun dia

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 69

    ****Dua tahun kemudian "Sin, Mbah minta ayamnya sedikit saja.""Ngak boleh, kata Mama, Mbah tu cuma boleh makan tempe goreng!" Wanita tua itu hanya menelan ludahnya berkali-kali karena melihat sang cucu menikmati gurihnya ayam krispi. Sudah sangat lama sekali Sri ingin sekali mencicipi ayam berbalut tepung yang renyah itu. Suara krenyes-krenyes di dalam mulut Sindi membuat liur Sri tak mampu ia tahanNamun angan hanya tinggal angan, ketika Sindi sang cucu lebih memilih memberikan sisa ayamnya kepada Cery--kucing kesayangannya dibanding memberikan oada neneknya.Hati Sri berdesir melihat pemandangan itu, teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dia lebih memilih memberikan beras yang dibelikan Guntur anak tengahnya kepada ayam kesayangan."Yaa Allah, apa ini balasan untukku?" Lirih Sri dalam tangisnya.Sudah dua tahun terakhir, Sri tinggal besama Guruh, anak bungsunya. Dan selama itulah dia hanya memakan makanan sisa anak dan menantunya makan. Bahkan lezatnya ayam gorengpun sud

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 68

    "Nah ini orangnya datang." Ternyata di sana ada Fahri dan keluarganya. Apa mereka tengah membicarakan perihal tanah itu?Aku dan Dahlia dipersilahkan masuk oleh Ibunya Nia. Wanita berjilbab instan itu kemudian masuk ke dalam dapur.Di ruang tamu rumah orang tua Nia ada Fahri dan juga kedua orang tuanya. Laki-laki itu menatap sinis ke arahku. Sementara Nia tidak terlihat. Mungkin dia sedang menidurkan bayinya.Beberapa saat kami hanya saling diam. Aupun bingung harus memulai dari mana. Karena aku dan Dahlia merasa tidak enak jika memamg mereka datang untuk membicarakan masalah rumah tangga Nia dan Fahri.Fahri yang tadinya terlihat seperti ingin menerkamku, kini laki-laki itu diam seribu bahasa. Hanya menatap tak suka dengan kehadiranku dan Dahlia."Maaf, Pak. Saya boleh menyusul Ibu ke dapur," ucap Dahlia akhirnya membuka suara"Oh. Silahkan Lia. Itu si Nia lagi di kamar, tadi anaknya rewel," jawab Bapaknya Nia.Dahlia memang sudah akrab dengan orang tua Nia sejak mereka SMA dulu. Da

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 67

    Aku tidak peduli dengan jal*ng itu. Dia sudah kuceraikan.""Jangan bercada kamu Fahri!"Fahri melirikku sinis, "sudah jangan banyak bicara! Sekarang katakan kau setuju yang mana?"Aku menatap laki-laki bermata bengis itu sejenak. Sepertinya pria ini tidak bisa di ajak berunding. Percuma saja aku menghubungi Nia, toh dia sudah di cerai dan tanah itu memang belum balik nama atas nama dia.Aku kira hanya dengan surat kuasa, maka semuanya akan beres, ternyata Nia memalsukan surat itu."Aku akan berunding dengan Dahlia terlebih dahulu," jawabku kemudian."Oke, satu hari. Kalau sampai besok belum juga ada keputusan, maka semua yang ada di sini akan aku robohkan rata dengan tanah!""Iya," jawabku. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan keluar tanpa berpamitan.Aku menarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan itu, Dahlia masuk tanpa Mariam di gendongnnya. Sudah di pastikan anak bayi itu sudah menjadi bahan candaan para karyawan di depan."Mas, ayo pulang!" Tiba-tiba Dahli

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 66

    Guruh bicara tanpa jeda. Nada bicaranya sangat tinggi dan berapi-api. Sementara taku hanya terdiam mendengar penuturan adik bungsuku itu. Apa maksud semua yang di bicarakan Guruh? Aku benar-benar tak mengerti."Maksud kamu apa, Guruh?" bentakku."Halah, nggak usah pura-pura beg0 gitu, Mas. Kurang apa lagi sih Ibu di mata kamu? Di sudah berubah, tapi kamu malah buang Ibu. Kamu mau balas dendam, hah?" teriak Guruh di seberang telepon. Pernyataannya semakin membuatku tak mengerti apa yang sedang terjadi."Hei, Guruh. Jangan belibet. Ngomong yang jelas!" balasku"Memang, kalau dari dulu pembawa sial ya seperti ini!" Tut ... Tut ... Tut. Sambung telepon di putus sepihak. Hampir saja kata-kata kasar keluar dari mulutku. "Astaghfirullah," ucapku sambil mengelus dada, menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Dahlia mendekat dan mengusap bahuku pelan, "ada apa, Mas? Kenapa ngomongnya sampai teriak-teriak begitu?""Ini si Guruh, bilang kalau aku buang Ibu. Apalah yang Ibu katakan sama Guru

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 65

    Sepeninggalan Ibu, aku da Dahlia bersiap untuk membuka kedai yg ada di depan rumah. Jam delpan, Mariam sudah tidur serelah di mandikan Dahlia.Bayi berumur tujuh bulan itu memang suka bangun di kala subuh dan akan tidur setelah makan dan mandi pagi. Siang setelah dzuhur bisanya dia akan tidur lagi. Begitulah rutinitasnya setiap hari. Kesempatan itu Dahlia ambil untuk mempersiapkan jualan mie ayam kami. Selesai mempersiapkan jualan, aku langsung berangkat menuju kedai pinggir pantai. Di sana bisanya ramai ketika jam makan siang. Jadi dari jm sepuluh pagi sampai jam sebelas waktunya santai-santai, karena di jam-jam tersebut, pelanggan masih sepi.Jam sembilan kurang aku sudah sampai di kedai pinggir pantai. Di sana beberapa karyawan sudah menunggu. Mereka langsung menurunkan barang yang sudah aku siapakan di rumah. Sembari mengawasi para karyawan, aku membuka laptop untuk mengecak penjualan yang roti milik Haji Mansur. Aku lihat sekilas omset di toko roti milik Haji Mansur mengalami p

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 64

    Lagi-lagi aku dibuat melongo dengan pernyataan Ibu barusan. Wanita itu mempersilakan Haji Mansur masuk ke dalam rumah, sementara aku masih diam terapku di teras rumah."Mas, ayo masuk! Kita sarapan." Tepukan di pundakku membuat aku tersadar."Mana Ibu?" tanyaku linglung. Padahal aku tahu mereka sudah masuk ke dalam rumah."Apa mereka janjian Mas?" bisik Dahlia. Aku menggeleng."Nggak tahu, Dek. Tiba-tiba yang datang kok Haji Mansur, aku kira malah brondong," balasku. Dahlia menatapku heran."Yaudah ayo ajak Pak Mansur sarapan dulu." Akupun mengangguk. Kemudian masuk ke dalam rumah.Ketika aku masuk, Kedua insan di ruang tamu itu tengah mengobrol hal yang seru. Ibu terkekeh riang, sementara Haji Mansur hanya menimpali dengan tawa lirihnya."Lia, biar Mami saja yang menyiapkan sarapan. Kamu urus Mariam aja," ucap Ibu ketika Dahlia hendak masuk ke dapur.Setelah Ibu sudah tak telihat dari pandangan mata, akupun duduk di sebelah Haji Mansur."Memangnya ada acara apa Pak? Kok sepagi ini su

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 63

    "Pokoknya Mami mau tinggal sama Guruh. Kalian jahat!" rajuk Ibu. Ck ... benar-benar seperti anak kecil. "Udah malam, Bu. Kalau mau ke tempat Guruh besok saja," balasku, tanpa menghiraukan ibu yang masih saja mengoceh. Aku menghidupkan mesin mobil dan bersiap untuk keluar dari parkiran."Besok sebelum ke rumah Guruh, kita pengajian rutin di rumah Bu RT dulu, ya Bu. Minggu kemarin Ibu nggak datang, ditanyain lho sama ustadzah Khadijah." Aku dengar Dahlia mencoba membujuk Ibu untuk hadir ke pengajian.Aku baru ingat, sudah dua Minggu kemarin Ibu tidak datang ke pengajian rutin setiap hari Jum'at sore. Semenjak tinggal bersamaku, Ibu selalu ikut Dahlia ke pengajian. Semakin hari sikap Ibu semakin berubah dan hingga saat ini, entah bagaimana ceritanya Ibu berubah menjadi seperti ini. Teman-temannya yang aku temui di cafe tadi, sama sekali aku tak mengenal. Entah darimana ibu bisa dapat teman-teman model seperti tadi."Mami! Pokoknya aku maunya dipanggil Mami!" protes Ibu dengan suara dib

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 62

    Wanita itu sangat mirip sekali dengan Ibu, pakaian dan dan juga tas yang dia jinjing, tapi ada yang berbeda. Wanita itu tidak berjilbab dan rambutnya ....""Astaghfirullah ...."Perempuan setengah baya lebih itu mengecat rambutnya dengan kombinasi berbagai warna. Hampir saja aku di buat pingsan dengan ulah nenek-nenek itu."Mas Dodo ke Ibu ya, Bapak mau ngejar Mbah uti dulu." Aku menunjuk Dahlia yang sedang mengantre."Iya, Pak." Bocah laki-laki itu berlari menuju dimana Dahlia berdiri.Setelah memastikan Dahlia melihat Ridho menyusulnya, aku bergegas naik ke lantai dua dengan sedikit berlari. Sampai lantai dua aku sedikit kesulitan mencari keberadaan Ibu, karena di lantai dua ini merupakan pusat perbelanjaan pakaian dan dan semacamnya. Selain itu ada beberapa kafe, arena bermain anak dan juga tempat karaoke.Aku putari tempat demi tampat perbelanjaan disana, tetapi tak jua menemukan sosok yang Ibu kini menjelma menjadi ABG dengan fashion kekinian itu.Kakiku sudah mulai lelah, perutk

DMCA.com Protection Status