"Bu, Alhamdulillah ini ada beras bisa untuk tambah-tambah kebutuhan ibu," ucapku seraya meletakkan dua kilo beras diatas meja dekat kompor. Didalam plastik itu juga ada gula satu kilo dan teh satu kotak.Ibu membuka bungkusan plastik itu, seketika mukanya berubah masam, "kalau gak niat ngasih, lebih baik gak usah ngasih sekalian Tur, ini mah cuma cukup untuk makan sehari!" cela ibu seraya meletakan dengan kasar gula kedalam plastik."Mbok ya dicontoh adikmu Guruh, dia kalau ngasih ibu itu minimal satu karung, bukan yang lima kilo tapi yang dua puluh kilo. Belum lagi gula, teh, kopi, perlengkapan mandi juga gak ketinggalan. Udah gitu ninggalin uang lagi. Lah kamu? Jangankan uang, beras aja cuma dua kilo kamu kasih ke ibu, kok kayak ngasih makan ayam aja." sungut ibu.Aku hanya diam, ada rasa nyeri dalam dadaku, memang nasibku tidak seberuntung Guruh, selepas lulus kuliah dia langsung diterima bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang tinggi, sedangkan aku? Aku hanya lulusan SMA yang
Perih rasa hatiku bagai tersayat sembiluh. Beras dua kilo jika untuku dan keluarga bisa dimasak untuk makan dua hari, terkadang lebih. Tapi dengan mata kepalaku sendiri beras yang mungkin sangat berharga itu harus kandas dilahap ayam.Gajiku bekerja di pabrik roti sebesar satu juta dua ratus ribu rupiah dan di bayarkan setiap satu minggu sekali, jadi aku menerima gaji sebesar 300 ribu per minggu, semua sudah ada post-nya masing-masing, 125 ribu aku sisihkan untuk bayar angsuran. Selebihnya untuk kebutuhan sehari-hari, seperti membeli beras, bayar listrik, air uang saku Ridho dan jika bersisa akan ditabung Dahlia untuk biaya tak terduga, tapi lebih sering kurang daripada lebih.Aku mempunyai angsuran di bank milik pemerintah, yang aku gunakan untuk biaya wisuda Guruh waktu itu. "Coba kamu ajukan pinjaman di bank, Tur. Ibu sudah gak ada uang untuk biaya wisuda Guruh.""Pakai jaminan apa bu? Sertipikat rumah ini kan sudah digadaikan." jawabku waktu itu."Kan bisa pakai sertipikat rumahm
Kulangkahkan kaki menuju motor kembali, Dahlia sudah hendak masuk kedalam rumah ibu, namun urung dia lakukan. Beruntung Dahlia yang tadi sempat berbincang dengan mbak Yuli, tidak mendengar ucapan ibu. "Gak ketemu ibu dulu sama mbak Tika?" "Mbak Tika mungkin sudah di rumah mas Rahmat." Aku memundurkan motor hingga ke tepi jalan, sementara Dahlia mengekor dibelakangku."Itu berasnya kenapa diletak diteras mas? Nanti dimakan ayam?""Ruang tamu ibu penuh Dek, jadi mas tarok disitu dulu," bohongku.Aku tuntun motor menuju rumah mas Rahmat yang hanya berjarak 500 meter dari rumah ibu. Dahlia berjalan disamping kananku dengan menjinjing tas yang sudah mulai usang.Rumah mas Rahmat sudah dipenuhi orang. Dahlia menurunkan bawaan dan langsung berbaur dengan ibu-ibu yang tengah memasak."Eh Lia, sini masuk." Terdengar suara mbak Atin--istri mas Rahmat mempersilahkan Dahlia masuk, sementara aku berbaur dengan bapak-bapak yang sedang memasang tarup. Setelahnya aku tak mendengar lagi celoteh ibu-
"Astaghfirullah," ucap Dahlia lirih.Beras satu karung yang kuletakkan kemarin sama sekali tidak disentuh oleh ibu, bahkan memindahkannyapun tidak. Sekarang beras itu sudah beserakan dimana-mana karena karungnya bocor dipatokin ayam, sementara cipratan air bercampur tanah mengotori permukaan karung.Dahlia turun dan memungut beras yang berserakan, kemudian dimasukan kedalam kantong plastik. Sementara karung yang kotor dia lap pakar ujung bajunya. Aku menghardik ayam-ayam itu agar tidak mendekat lagi.Suara knop pintu terdengar, sepertinya seseorang membuka dari dalam."Apa sih ribut-ribut?" Ibu keluar dengan mengucek matanya ynag masih setengah merem."Ini bu, berasnya ibu lupa masukan ya? Dimakan ayam, kan sayang?" ucap Dahlia sembari menyodorkan beras yang kami bawa kemrin."Sengaja gak dimasukan, biar untuk makan ayam, beras merk itu mana cocok dilidah ibu."Dahlia mengelus dadanya, ibu langsung masuk dengan membanting pintu."Mas, kita bawa pulang saja berasnya," ucap Dahlia, ma
Suara ribut-ribut dari dalam rumah seketika melenyapkan senyuman dari bibirku. Suara teriakan ibu paling mendominasi, tapi sama sekali tak kudengar suara balasan dari Dahlia.Segera kusenderkan motor bututku begitu saja didinding rumah. Langkah kaki sengaja kuperlebar agar segera sampai kedalam rumah."Ibu, mbak Tika, ada apa?" tanyaku bingung. Ternyata air mata Dahlia sudah melaut. Entah sejak kapan mereka berdebat, bahkan kini sudah mendekati Magrib."Ini lagi, anak gak berg*na, bisa-bisanya kalian ambil lagi beras yang sudah kalian kasih." bentak ibu sambil menunjuk wajahku."Astaghfirullah, Bu. Jadi Ibu sama mbak Tika ribut-ribut hanya karena beras? Jangan begini dong bu! Gak enak sama tetangga." sentakku. Karena tidak habis pikir, datang Magrib hanya karena meributkan soal beras."Bu, itu beras Ibu kan sudah tidak mau, jadi daripada mubazir sampai kehujanan, mending Guntur bawa pulang lagi. Ibu kan tidak mau makan beras yang itu." protesku."Memang bukan untuk ibu, untuk ayam-aya
Sikap Dahlia mendadak berubah tampak seperti orang yang sedang salah tingkah semenjak kedatangan mas Rendi. Dia makin banyak diam, padahal biasanya dia akan banyak biacara mengomentari ini itu.Selesai menurunkan atap rumbia, karyawan toko bangunan tadi langsung pulang. Sudah kutawari untuk mampir, sekedar minum kopi, tetapi dia tidak mau,katanya masih banyak kerjaan yang harus dia selesaikan."Mas Rendi tadi ngapain kesini Dek?" tanyaku sembari menyeruput kopi buatan Dahlia."Cuma mampir, kangen Ridho katanya Mas, sama kasih jajan untuk Ridho." Dahlia membenarkan posisi duduknya, seperti ada yang tak nyaman ketika aku menanyakan mas Rendi.Selama ini aku tak pernah melihat Dahlia ngobrol berdua langsung. Jika sedang berkunjung ke rumah ibu dan di sana ada mbak Tika dan mas Rendi, Dahlia selalu menghindar. Aku rasa karena mbak Tika memang selalu judes terhadap Dahlia."Oh," jawabku singkat. Tak ingin mencurigai Dahlia, walaupun sebenarnya hatiku berkata lain. Seperti ada yang disembun
Dahlia"Mas Rendi ngapain kesini tadi Dek?" tanya mas Guntur tiba-tiba, diasaat hatiku tengah mengontrol perasaan yang tak menentu."Cuma mampir, kangen Ridho katanya Mas, sama kasih jajan untuk Ridho." Berkali-kali aku membenarkan posisi dudukku agar tak begitu kentara jika aku tengah salah tingkah dan gugup.Mas Rendi, orang yang dulu sangat kucintai dan kuharapkan dia yang menjadi ayah dari anak-anakku, namun nyatanya laki-laki itu pergi sehari sebelum melamarku. Acara lamaran yang sudah aku dan orang tuaku persiapkan harus kandas begitu saja.Jangan ditanya bagaimana rasa, sudah pasti sakit, bahkan karena kegagalan itu, aku sempat mengurung diri di kamar selama berhari-hari. Aku tidak pernah lagi berbaur dengan tetangga selama berbulan-bulan. Tak hanya itu, akupun menutup diri dari media sosial. Keseharianku hanya kuhabiskan dengan menulis, menulis surat tepatnya. Setiap hari aku selalu menulis surat untuk mas Rendi, apapun yang aku rasakan aku tulis didalam surat itu. Tapi surat
"Kamu gak apa-apa Dek?" Tak kujawab pertanyaan mas Guntur. Tanganku masih kuletakan dibawah guyuran air kran.Hatiku berdebar tidak karuan, dunia ini kadang terasa sempit, dulu ketika mas Rendi pergi begitu saja, sangat sulit aku temukan. Bahkan dirumahnya dia tidak pernah muncul. Orang tuanya pun seakan-akan lupa tetang diriku.Sekarang dia hadir dan menjadi kakak iparku. Bod0hnya aku tidak menyelidiki keluarga mas Guntur sebelumnya."Gak apa-apa Mas, cuma panas sedikit," jawabku, seraya mengoleskan pasta gigi kearea tangan yang terkena air panas."Kamu istirahat aja di kamar, biar Mas yang beresin depan sekalian buatkan kopi lagi untuk mas Rendi."Deg ... Jadi benar yang didepan itu mas Rendi, tadinya aku berharap aku hanya salah lihat dan kebetulan mirip dengan mas Rendi.Aku menurut dengan perkataan mas Guntur, segera aku ke kamar untuk menenangkan diriku. Tak berapa lama mas Guntur menyusulku ke kamar, dia membawa kotak yang dibungkus dengan kertas kado."Ini dari mas Rendi, Dek.
Guruh mendudukan ibunya di kursi khusus pelanggan, "Mbak tolong pangkas habis rambut Ibu saya!""Hah? Jangan! Jangan lakukan itu pada Ibu, Ruh!" Tega kamu Ruh. Darinkecil Ibu sayang-sayanh, udah besar, mentang-mentang kamu udah bisa cari uang sendiri malah mau berbuat seenaknya sama Ibu," Sri masih saja meronta-ronta.Pegawai salon hanya bingung melihat Guruh dan ibunya. Mereka belum berani mendekat. Mereka hanya berbisik-bisik antar sesama karyawan.Sri semakin meronta ketika melihat seseorang di luar salon tampak tengah merekam aksi Guruh yang ingin membotaki rambunya. Wanita paruh baya itu teriak meminta tolong untuk melepasnya dari Guruh."Tolong, anak saya mau membotaki rambut saya," ujar Sri.Pria jangkung itu akhirnya geram melihat seseorang yang tengah merekamnya. Dia bergerak menuju pintu masuk salon dan menghardik perekaman video itu."Apa? Kalian mau memviralkan saya?" Melihat Guruh melotot, orang tersebut langsung mematikan kameranya. Dan tanpa berkata sepatah katapun dia
****Dua tahun kemudian "Sin, Mbah minta ayamnya sedikit saja.""Ngak boleh, kata Mama, Mbah tu cuma boleh makan tempe goreng!" Wanita tua itu hanya menelan ludahnya berkali-kali karena melihat sang cucu menikmati gurihnya ayam krispi. Sudah sangat lama sekali Sri ingin sekali mencicipi ayam berbalut tepung yang renyah itu. Suara krenyes-krenyes di dalam mulut Sindi membuat liur Sri tak mampu ia tahanNamun angan hanya tinggal angan, ketika Sindi sang cucu lebih memilih memberikan sisa ayamnya kepada Cery--kucing kesayangannya dibanding memberikan oada neneknya.Hati Sri berdesir melihat pemandangan itu, teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dia lebih memilih memberikan beras yang dibelikan Guntur anak tengahnya kepada ayam kesayangan."Yaa Allah, apa ini balasan untukku?" Lirih Sri dalam tangisnya.Sudah dua tahun terakhir, Sri tinggal besama Guruh, anak bungsunya. Dan selama itulah dia hanya memakan makanan sisa anak dan menantunya makan. Bahkan lezatnya ayam gorengpun sud
"Nah ini orangnya datang." Ternyata di sana ada Fahri dan keluarganya. Apa mereka tengah membicarakan perihal tanah itu?Aku dan Dahlia dipersilahkan masuk oleh Ibunya Nia. Wanita berjilbab instan itu kemudian masuk ke dalam dapur.Di ruang tamu rumah orang tua Nia ada Fahri dan juga kedua orang tuanya. Laki-laki itu menatap sinis ke arahku. Sementara Nia tidak terlihat. Mungkin dia sedang menidurkan bayinya.Beberapa saat kami hanya saling diam. Aupun bingung harus memulai dari mana. Karena aku dan Dahlia merasa tidak enak jika memamg mereka datang untuk membicarakan masalah rumah tangga Nia dan Fahri.Fahri yang tadinya terlihat seperti ingin menerkamku, kini laki-laki itu diam seribu bahasa. Hanya menatap tak suka dengan kehadiranku dan Dahlia."Maaf, Pak. Saya boleh menyusul Ibu ke dapur," ucap Dahlia akhirnya membuka suara"Oh. Silahkan Lia. Itu si Nia lagi di kamar, tadi anaknya rewel," jawab Bapaknya Nia.Dahlia memang sudah akrab dengan orang tua Nia sejak mereka SMA dulu. Da
Aku tidak peduli dengan jal*ng itu. Dia sudah kuceraikan.""Jangan bercada kamu Fahri!"Fahri melirikku sinis, "sudah jangan banyak bicara! Sekarang katakan kau setuju yang mana?"Aku menatap laki-laki bermata bengis itu sejenak. Sepertinya pria ini tidak bisa di ajak berunding. Percuma saja aku menghubungi Nia, toh dia sudah di cerai dan tanah itu memang belum balik nama atas nama dia.Aku kira hanya dengan surat kuasa, maka semuanya akan beres, ternyata Nia memalsukan surat itu."Aku akan berunding dengan Dahlia terlebih dahulu," jawabku kemudian."Oke, satu hari. Kalau sampai besok belum juga ada keputusan, maka semua yang ada di sini akan aku robohkan rata dengan tanah!""Iya," jawabku. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan keluar tanpa berpamitan.Aku menarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan itu, Dahlia masuk tanpa Mariam di gendongnnya. Sudah di pastikan anak bayi itu sudah menjadi bahan candaan para karyawan di depan."Mas, ayo pulang!" Tiba-tiba Dahli
Guruh bicara tanpa jeda. Nada bicaranya sangat tinggi dan berapi-api. Sementara taku hanya terdiam mendengar penuturan adik bungsuku itu. Apa maksud semua yang di bicarakan Guruh? Aku benar-benar tak mengerti."Maksud kamu apa, Guruh?" bentakku."Halah, nggak usah pura-pura beg0 gitu, Mas. Kurang apa lagi sih Ibu di mata kamu? Di sudah berubah, tapi kamu malah buang Ibu. Kamu mau balas dendam, hah?" teriak Guruh di seberang telepon. Pernyataannya semakin membuatku tak mengerti apa yang sedang terjadi."Hei, Guruh. Jangan belibet. Ngomong yang jelas!" balasku"Memang, kalau dari dulu pembawa sial ya seperti ini!" Tut ... Tut ... Tut. Sambung telepon di putus sepihak. Hampir saja kata-kata kasar keluar dari mulutku. "Astaghfirullah," ucapku sambil mengelus dada, menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Dahlia mendekat dan mengusap bahuku pelan, "ada apa, Mas? Kenapa ngomongnya sampai teriak-teriak begitu?""Ini si Guruh, bilang kalau aku buang Ibu. Apalah yang Ibu katakan sama Guru
Sepeninggalan Ibu, aku da Dahlia bersiap untuk membuka kedai yg ada di depan rumah. Jam delpan, Mariam sudah tidur serelah di mandikan Dahlia.Bayi berumur tujuh bulan itu memang suka bangun di kala subuh dan akan tidur setelah makan dan mandi pagi. Siang setelah dzuhur bisanya dia akan tidur lagi. Begitulah rutinitasnya setiap hari. Kesempatan itu Dahlia ambil untuk mempersiapkan jualan mie ayam kami. Selesai mempersiapkan jualan, aku langsung berangkat menuju kedai pinggir pantai. Di sana bisanya ramai ketika jam makan siang. Jadi dari jm sepuluh pagi sampai jam sebelas waktunya santai-santai, karena di jam-jam tersebut, pelanggan masih sepi.Jam sembilan kurang aku sudah sampai di kedai pinggir pantai. Di sana beberapa karyawan sudah menunggu. Mereka langsung menurunkan barang yang sudah aku siapakan di rumah. Sembari mengawasi para karyawan, aku membuka laptop untuk mengecak penjualan yang roti milik Haji Mansur. Aku lihat sekilas omset di toko roti milik Haji Mansur mengalami p
Lagi-lagi aku dibuat melongo dengan pernyataan Ibu barusan. Wanita itu mempersilakan Haji Mansur masuk ke dalam rumah, sementara aku masih diam terapku di teras rumah."Mas, ayo masuk! Kita sarapan." Tepukan di pundakku membuat aku tersadar."Mana Ibu?" tanyaku linglung. Padahal aku tahu mereka sudah masuk ke dalam rumah."Apa mereka janjian Mas?" bisik Dahlia. Aku menggeleng."Nggak tahu, Dek. Tiba-tiba yang datang kok Haji Mansur, aku kira malah brondong," balasku. Dahlia menatapku heran."Yaudah ayo ajak Pak Mansur sarapan dulu." Akupun mengangguk. Kemudian masuk ke dalam rumah.Ketika aku masuk, Kedua insan di ruang tamu itu tengah mengobrol hal yang seru. Ibu terkekeh riang, sementara Haji Mansur hanya menimpali dengan tawa lirihnya."Lia, biar Mami saja yang menyiapkan sarapan. Kamu urus Mariam aja," ucap Ibu ketika Dahlia hendak masuk ke dapur.Setelah Ibu sudah tak telihat dari pandangan mata, akupun duduk di sebelah Haji Mansur."Memangnya ada acara apa Pak? Kok sepagi ini su
"Pokoknya Mami mau tinggal sama Guruh. Kalian jahat!" rajuk Ibu. Ck ... benar-benar seperti anak kecil. "Udah malam, Bu. Kalau mau ke tempat Guruh besok saja," balasku, tanpa menghiraukan ibu yang masih saja mengoceh. Aku menghidupkan mesin mobil dan bersiap untuk keluar dari parkiran."Besok sebelum ke rumah Guruh, kita pengajian rutin di rumah Bu RT dulu, ya Bu. Minggu kemarin Ibu nggak datang, ditanyain lho sama ustadzah Khadijah." Aku dengar Dahlia mencoba membujuk Ibu untuk hadir ke pengajian.Aku baru ingat, sudah dua Minggu kemarin Ibu tidak datang ke pengajian rutin setiap hari Jum'at sore. Semenjak tinggal bersamaku, Ibu selalu ikut Dahlia ke pengajian. Semakin hari sikap Ibu semakin berubah dan hingga saat ini, entah bagaimana ceritanya Ibu berubah menjadi seperti ini. Teman-temannya yang aku temui di cafe tadi, sama sekali aku tak mengenal. Entah darimana ibu bisa dapat teman-teman model seperti tadi."Mami! Pokoknya aku maunya dipanggil Mami!" protes Ibu dengan suara dib
Wanita itu sangat mirip sekali dengan Ibu, pakaian dan dan juga tas yang dia jinjing, tapi ada yang berbeda. Wanita itu tidak berjilbab dan rambutnya ....""Astaghfirullah ...."Perempuan setengah baya lebih itu mengecat rambutnya dengan kombinasi berbagai warna. Hampir saja aku di buat pingsan dengan ulah nenek-nenek itu."Mas Dodo ke Ibu ya, Bapak mau ngejar Mbah uti dulu." Aku menunjuk Dahlia yang sedang mengantre."Iya, Pak." Bocah laki-laki itu berlari menuju dimana Dahlia berdiri.Setelah memastikan Dahlia melihat Ridho menyusulnya, aku bergegas naik ke lantai dua dengan sedikit berlari. Sampai lantai dua aku sedikit kesulitan mencari keberadaan Ibu, karena di lantai dua ini merupakan pusat perbelanjaan pakaian dan dan semacamnya. Selain itu ada beberapa kafe, arena bermain anak dan juga tempat karaoke.Aku putari tempat demi tampat perbelanjaan disana, tetapi tak jua menemukan sosok yang Ibu kini menjelma menjadi ABG dengan fashion kekinian itu.Kakiku sudah mulai lelah, perutk