Cukup lama aku berpikir, bahkan aku sampai telpon Dahlia untuk meminta saran. Pikiranku sudah terlalu buntu memikirkan ibu."Balik lagi mas, jangan sampai terjadi apa-apa sama ibu, iya kalau mbak Tika sama Guruh datang lagi, kalau tidak kan, ibu benar-benar sendiri disana," ucap Dahlia. Terbuat dari apa hati Dahlia. Kenapa dia begitu kuat menghadapi ibu? Sedangkan aku sendiri yang katanya anak kandungnya tak sekuat Dahlia.Akupun menuruti apa kata Dahlia. Tujuanku hanya satu, berbakti. Jika nanti ibu tidak mau menerimaku, ya sudah aku akan pulang.Sekitar setengah jam aku sudah sampai di depan puskesmas. Ada rasa ragu ketika hendak menuju ruangan ibu.Perlahan aku mendekati ruangan di mana ibu dirawat, terdengar suara ibu tengab berbincang, tapi aku tak mendengar siapa lawan bicara ibu."Kenapa cepat sekali?""Tika harus ketemu sama om Bas, Bu. Nanti dia marah kalau Tika telat. Bisa-bisa jatah Tika di kurangin." Ternyata sudah ada mbak Tika di dalam. Aku sengaja tidak langsung mas
Tanganku sudah menyentuh handel pintu, dengan posisi setengah tegak bertumpu pada lutut, ketika ibu memanggil. Badanku masih mematung antara ingin menoleh atau terus keluar."Tur ...," Panggilnya lagi.Akupun akhirnya menoleh kemudian mendekati ibu, "iya Bu, Ibu lapar atau haus?""Mana Tika sama Guruh?" tanya ibu tanpa melihatku."Guntur gak tau Bu, nomornya Guruh gak aktif," jawabku."Mana HP Ibu?" Akupun mengambilkan handphone ibu yang terletak di dalam laci nakas."Kamu ini gimana? Kenapa gak kesini?" tanya ibu dengan seseorang di dalam telpon, entah siapa yang ibu hubungi, kemungkinan mbak Tika."Kamu pulang aja Tur, sebentar lagi Tika kesini," perintah ibu setelah menyimpan handphone-nya di bawah bantal."Tapi ini sudah malam Bu, sudah jam sebelas. Apa mungkin mbak Tika kesini?" Aku melirik arlojiku dan benar sudah pukul sebelas lewat dua puluh menit. "Kamu pulang saja!" Ibu membuang muka dan memiringkan badannya kekiri membelakangiku.Tanpa berkata apa-apa lagi, aku beranjak k
SriHidup di rumah yang besar seorang diri, terkandang membuatku kesepian. Itulah kenapa aku suruh Tika--anak sulungku mengantarkan Febi, anak bungsunya ke rumahku. Namun Febi tidak betah jika lama-lama berada disini, Tika lebih sering mengantarkan anaknya ke rumah mertuanya, atas permintaan Rendi. Sementara anaknya Guruh dan Fika diasuh oleh pengasuh yang mereka sewa, mereka terutama Fika istri Guruh tidak mengizinkan anaknya diasuh olehku. Aku sebenarnya sangat menyayangi Fika, dia cantik dan pintar, tapi dia jarang mau main ke rumah, dengan alasan sibuk bekerja.Siang itu aku tak sengaja terpeleset di kamar mandi, kemudian aku pingsan. Aku tidak tahu siapa yang menolongku, hingga aku sadar orang yang pertama aku lihat adalah Guntur dan istrinya, orang tak pernah aku harapkan kehadirannya. Setiap kali melihat Guntur, aku selalu terbayang kejadian menyakitkan hingga aku sempat mengalami depresi.Plak ... Tamparan demi tamparan selalu kudapatkan setiap dari dari mas Arman--suamiku ay
"Tur ...," Panggilku.Tangannya sudah menyentuh handel pintu, bersiap untuk keluar."Tur ...," panggilku sekali lagi. Anak laki-lakiku yang tak pernah mendapatkan kasih sayangku itu akhirnya berbalik badan dan mendekat. "Iya Bu, Ibu lapar atau haus?""Mana Tika sama Guruh?" tanyaku tanpa melihatnya, aku tak mau terlihat lemah di matanya, aku takut dia melihatku menangis."Guntur gak tau Bu, nomornya Guruh gak aktif," jawabnya. Pandangannya menunduk dalam"Mana HP Ibu?" Guntur mengambilkan HP yang berada di atas nakas, kemudian aku menghubungi Tika untuk menemaniku di sini."Kamu ini gimana? Kenapa gak kesini?" tanyaku dengan kesal."Apaan sih, Bu. Tika masih sibuk, kalau Tika pulang Om Bas bisa marah, suruh aja Guruh temani ibu. Tika sibuk!" Tut ... Tut ... Panggil telpon dimatikan sepihak oleh Tika.Dadaku nyeri, mataku mulai memanas, tapisekuat tanaga aku tak mau menjatuhkannya di depan Guntur. Aku tidak mau anak itu tahu jika aku sebenarnya lemah.Jauh dalam lubuk hatiku, sebenar
Aku tak mempedulikan pertemuanku dengan mbak Tika, sebenarnya aku sangat penasaran dengan laki-laki Yang bersamanya. Karena laki-laki itu berbeda dengan bandot tua yang aku temui tempo hari.Seandainya aku tidak buru-buru, sudah pasti aku akan seret wanita itu dan membawanya ke ibu. Tak habis pikir aku dengannya, ibu sedang sakit, bahkan kehadirannya sangat diharapkan, tetapi malah bersenang-senang dengan laki-laki lain di hotel.Aku terus berjalan sedikit belari menuju aula, sembari mengecek arlojiku, ternyata aku sudah telat hampir sepuluh menit.Sesampainya di aula, ternyata acara belum dimulai, akupun langsung mengambil tempat dudukku sebelumnya. Sembari ngobrol ringan, aku berkenalan dengan dua orang di samping kanan dan kiriku. Mereka berdua owner Ratu Bakso dan satunya owner Steak Waw, kedua tempat makan itu sudah terkenal di penjuru antero di kotaku. Mereka semua masih sangat muda, tatapi sudah sukses dalam menjalankan bisnisnya. Maka dari itu, aku sempat minder dengan mere
"Bahkan Guntur belum bicara apa-apa tentang hotel, KATAKAN!" Bentak mas Rendi."EH ... Anu Mas, gak,. Maksud aku.""Apa?" Mata mas Rendi melotot sepertiaunkeliar. "Dengan kamu berbicara seperti itu, kamu sendiri yang membuka aib kamu sendiri, padahal aku sebelumnya tidak tahu kalau kamu selama tiga hari ini tidak pulang ke rumah karena nginap di hotel dengan laki-laki lain.""Mas, aku bisa jelaskan," sahut mbak Tika. Kami bertiga hanya menjadi pendengar setia."Penjelasan apa lagi? Mulai detik ini kamu bukan istriku lagi!" teriak mas Rendi. Kemudian mas Rendi bangkit dan mendekati ibu."Mas, gak bisa gitu," protes mbak Tika. Namun mas Rendi tidak menghiraukan."Bu, maafkan saya, tidak bisa mendidik Tika me jadi istri yang baik, saya pamit. Febi akan saya bawa bersama saya." Ibu tak berkata apa-apa, tatapannya kosong. Mas Rendi berlalu meninggalkan mbak Tika yang masih mengomel. "Mas, tunggu, kamu gak bisa ceraikan aku gitu saja!" Mbak Tika berlati menyusul mas Rendi, namun telat, mo
"Semoga saja si Guntur itu di pecat, jadi aku yang akan meneruskan pengelolaan toko ini.""Jangan lupa apa kamu janjikan kalau berhasil," sahut seseorang yang kutebak itu suara pak Opik. Akupun langsung mengeluarkan handphone untuk merekam pembicaraan mereka. Kudekatkan handphone-ku di celah pintu agar suara mereka terekam jelas."Mbak juga janji lho mau kasih aku jabatan kepala di cabang baru, masa aku yang lulusan S1 hanya jadi kepala pemasaran," timpal suara yang mirip dengan Mamad. Jadi mereka bertiga sekongkol mau menyingkirkan aku dari sini."Kamu sudah pastikan semua orang termasuk Guntur sudah pulang, kan?" Suara mbak Putri kembali terdengar."Sudah, Mbak. Sudah aku periksa di seluruh ruarang, motornya juga sudah tidak ada di parkiran," sahut Mamad. Aku terus menajamkan mendengarkan pembicaraan mereka"Jadi bahan-bahan kamarin aman, kan?""Aman, besok aku jual ke warung-warung biar jadi duit, lumayan kan?""Bagus, kalian boleh keluar, aku mau manipulasi data dulu."Mendengar
"Kejadian yang mana?" "Yang di kantorku."Dengan terpaksa aku berbalik badan, "dengar ya pak Rendi yang terhormat ...." Kujeda kata terakhir dan kuberi sedikit penekanan. "Tanpa uangmu aku bisa hidup, jangan pernah merasa jadi pahlawan hanya karena melariskan daganganku, dengar itu!" ucapku sedikit berteriak, ingin rasanya kuteriaki dengan suara kencang, namun tidak enak, di sini tempat umum.Selama ini mas Rendilah ternyata yang selalu memesan mie ayamku dalam jumlah banyak, awalnya 15 bungkus yang waktu itu kuah mie ayamnya ketinggalan. Tanpa curiga aku membuatkan pesanan itu, karena memang si ibu yang memesan tidak pernah menyebutkan alamatnya. Beliau selalu mengirimkan ojek online ketika pesanan sudah siap.Waktu itu si ibu yang kuketahui bernama bu Emi kembali memesan mie ayam goreng dalam jumlah banyak, kali ini mencapai 30 bungkus. Seperti biasa bu Emi sudah memesankan ojek online untuk mengambil pesanan."Mas, nanti selepas ngantar mie ayam ini bisa antarkan aku ke pasar? Keb
Guruh mendudukan ibunya di kursi khusus pelanggan, "Mbak tolong pangkas habis rambut Ibu saya!""Hah? Jangan! Jangan lakukan itu pada Ibu, Ruh!" Tega kamu Ruh. Darinkecil Ibu sayang-sayanh, udah besar, mentang-mentang kamu udah bisa cari uang sendiri malah mau berbuat seenaknya sama Ibu," Sri masih saja meronta-ronta.Pegawai salon hanya bingung melihat Guruh dan ibunya. Mereka belum berani mendekat. Mereka hanya berbisik-bisik antar sesama karyawan.Sri semakin meronta ketika melihat seseorang di luar salon tampak tengah merekam aksi Guruh yang ingin membotaki rambunya. Wanita paruh baya itu teriak meminta tolong untuk melepasnya dari Guruh."Tolong, anak saya mau membotaki rambut saya," ujar Sri.Pria jangkung itu akhirnya geram melihat seseorang yang tengah merekamnya. Dia bergerak menuju pintu masuk salon dan menghardik perekaman video itu."Apa? Kalian mau memviralkan saya?" Melihat Guruh melotot, orang tersebut langsung mematikan kameranya. Dan tanpa berkata sepatah katapun dia
****Dua tahun kemudian "Sin, Mbah minta ayamnya sedikit saja.""Ngak boleh, kata Mama, Mbah tu cuma boleh makan tempe goreng!" Wanita tua itu hanya menelan ludahnya berkali-kali karena melihat sang cucu menikmati gurihnya ayam krispi. Sudah sangat lama sekali Sri ingin sekali mencicipi ayam berbalut tepung yang renyah itu. Suara krenyes-krenyes di dalam mulut Sindi membuat liur Sri tak mampu ia tahanNamun angan hanya tinggal angan, ketika Sindi sang cucu lebih memilih memberikan sisa ayamnya kepada Cery--kucing kesayangannya dibanding memberikan oada neneknya.Hati Sri berdesir melihat pemandangan itu, teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dia lebih memilih memberikan beras yang dibelikan Guntur anak tengahnya kepada ayam kesayangan."Yaa Allah, apa ini balasan untukku?" Lirih Sri dalam tangisnya.Sudah dua tahun terakhir, Sri tinggal besama Guruh, anak bungsunya. Dan selama itulah dia hanya memakan makanan sisa anak dan menantunya makan. Bahkan lezatnya ayam gorengpun sud
"Nah ini orangnya datang." Ternyata di sana ada Fahri dan keluarganya. Apa mereka tengah membicarakan perihal tanah itu?Aku dan Dahlia dipersilahkan masuk oleh Ibunya Nia. Wanita berjilbab instan itu kemudian masuk ke dalam dapur.Di ruang tamu rumah orang tua Nia ada Fahri dan juga kedua orang tuanya. Laki-laki itu menatap sinis ke arahku. Sementara Nia tidak terlihat. Mungkin dia sedang menidurkan bayinya.Beberapa saat kami hanya saling diam. Aupun bingung harus memulai dari mana. Karena aku dan Dahlia merasa tidak enak jika memamg mereka datang untuk membicarakan masalah rumah tangga Nia dan Fahri.Fahri yang tadinya terlihat seperti ingin menerkamku, kini laki-laki itu diam seribu bahasa. Hanya menatap tak suka dengan kehadiranku dan Dahlia."Maaf, Pak. Saya boleh menyusul Ibu ke dapur," ucap Dahlia akhirnya membuka suara"Oh. Silahkan Lia. Itu si Nia lagi di kamar, tadi anaknya rewel," jawab Bapaknya Nia.Dahlia memang sudah akrab dengan orang tua Nia sejak mereka SMA dulu. Da
Aku tidak peduli dengan jal*ng itu. Dia sudah kuceraikan.""Jangan bercada kamu Fahri!"Fahri melirikku sinis, "sudah jangan banyak bicara! Sekarang katakan kau setuju yang mana?"Aku menatap laki-laki bermata bengis itu sejenak. Sepertinya pria ini tidak bisa di ajak berunding. Percuma saja aku menghubungi Nia, toh dia sudah di cerai dan tanah itu memang belum balik nama atas nama dia.Aku kira hanya dengan surat kuasa, maka semuanya akan beres, ternyata Nia memalsukan surat itu."Aku akan berunding dengan Dahlia terlebih dahulu," jawabku kemudian."Oke, satu hari. Kalau sampai besok belum juga ada keputusan, maka semua yang ada di sini akan aku robohkan rata dengan tanah!""Iya," jawabku. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan keluar tanpa berpamitan.Aku menarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan itu, Dahlia masuk tanpa Mariam di gendongnnya. Sudah di pastikan anak bayi itu sudah menjadi bahan candaan para karyawan di depan."Mas, ayo pulang!" Tiba-tiba Dahli
Guruh bicara tanpa jeda. Nada bicaranya sangat tinggi dan berapi-api. Sementara taku hanya terdiam mendengar penuturan adik bungsuku itu. Apa maksud semua yang di bicarakan Guruh? Aku benar-benar tak mengerti."Maksud kamu apa, Guruh?" bentakku."Halah, nggak usah pura-pura beg0 gitu, Mas. Kurang apa lagi sih Ibu di mata kamu? Di sudah berubah, tapi kamu malah buang Ibu. Kamu mau balas dendam, hah?" teriak Guruh di seberang telepon. Pernyataannya semakin membuatku tak mengerti apa yang sedang terjadi."Hei, Guruh. Jangan belibet. Ngomong yang jelas!" balasku"Memang, kalau dari dulu pembawa sial ya seperti ini!" Tut ... Tut ... Tut. Sambung telepon di putus sepihak. Hampir saja kata-kata kasar keluar dari mulutku. "Astaghfirullah," ucapku sambil mengelus dada, menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Dahlia mendekat dan mengusap bahuku pelan, "ada apa, Mas? Kenapa ngomongnya sampai teriak-teriak begitu?""Ini si Guruh, bilang kalau aku buang Ibu. Apalah yang Ibu katakan sama Guru
Sepeninggalan Ibu, aku da Dahlia bersiap untuk membuka kedai yg ada di depan rumah. Jam delpan, Mariam sudah tidur serelah di mandikan Dahlia.Bayi berumur tujuh bulan itu memang suka bangun di kala subuh dan akan tidur setelah makan dan mandi pagi. Siang setelah dzuhur bisanya dia akan tidur lagi. Begitulah rutinitasnya setiap hari. Kesempatan itu Dahlia ambil untuk mempersiapkan jualan mie ayam kami. Selesai mempersiapkan jualan, aku langsung berangkat menuju kedai pinggir pantai. Di sana bisanya ramai ketika jam makan siang. Jadi dari jm sepuluh pagi sampai jam sebelas waktunya santai-santai, karena di jam-jam tersebut, pelanggan masih sepi.Jam sembilan kurang aku sudah sampai di kedai pinggir pantai. Di sana beberapa karyawan sudah menunggu. Mereka langsung menurunkan barang yang sudah aku siapakan di rumah. Sembari mengawasi para karyawan, aku membuka laptop untuk mengecak penjualan yang roti milik Haji Mansur. Aku lihat sekilas omset di toko roti milik Haji Mansur mengalami p
Lagi-lagi aku dibuat melongo dengan pernyataan Ibu barusan. Wanita itu mempersilakan Haji Mansur masuk ke dalam rumah, sementara aku masih diam terapku di teras rumah."Mas, ayo masuk! Kita sarapan." Tepukan di pundakku membuat aku tersadar."Mana Ibu?" tanyaku linglung. Padahal aku tahu mereka sudah masuk ke dalam rumah."Apa mereka janjian Mas?" bisik Dahlia. Aku menggeleng."Nggak tahu, Dek. Tiba-tiba yang datang kok Haji Mansur, aku kira malah brondong," balasku. Dahlia menatapku heran."Yaudah ayo ajak Pak Mansur sarapan dulu." Akupun mengangguk. Kemudian masuk ke dalam rumah.Ketika aku masuk, Kedua insan di ruang tamu itu tengah mengobrol hal yang seru. Ibu terkekeh riang, sementara Haji Mansur hanya menimpali dengan tawa lirihnya."Lia, biar Mami saja yang menyiapkan sarapan. Kamu urus Mariam aja," ucap Ibu ketika Dahlia hendak masuk ke dapur.Setelah Ibu sudah tak telihat dari pandangan mata, akupun duduk di sebelah Haji Mansur."Memangnya ada acara apa Pak? Kok sepagi ini su
"Pokoknya Mami mau tinggal sama Guruh. Kalian jahat!" rajuk Ibu. Ck ... benar-benar seperti anak kecil. "Udah malam, Bu. Kalau mau ke tempat Guruh besok saja," balasku, tanpa menghiraukan ibu yang masih saja mengoceh. Aku menghidupkan mesin mobil dan bersiap untuk keluar dari parkiran."Besok sebelum ke rumah Guruh, kita pengajian rutin di rumah Bu RT dulu, ya Bu. Minggu kemarin Ibu nggak datang, ditanyain lho sama ustadzah Khadijah." Aku dengar Dahlia mencoba membujuk Ibu untuk hadir ke pengajian.Aku baru ingat, sudah dua Minggu kemarin Ibu tidak datang ke pengajian rutin setiap hari Jum'at sore. Semenjak tinggal bersamaku, Ibu selalu ikut Dahlia ke pengajian. Semakin hari sikap Ibu semakin berubah dan hingga saat ini, entah bagaimana ceritanya Ibu berubah menjadi seperti ini. Teman-temannya yang aku temui di cafe tadi, sama sekali aku tak mengenal. Entah darimana ibu bisa dapat teman-teman model seperti tadi."Mami! Pokoknya aku maunya dipanggil Mami!" protes Ibu dengan suara dib
Wanita itu sangat mirip sekali dengan Ibu, pakaian dan dan juga tas yang dia jinjing, tapi ada yang berbeda. Wanita itu tidak berjilbab dan rambutnya ....""Astaghfirullah ...."Perempuan setengah baya lebih itu mengecat rambutnya dengan kombinasi berbagai warna. Hampir saja aku di buat pingsan dengan ulah nenek-nenek itu."Mas Dodo ke Ibu ya, Bapak mau ngejar Mbah uti dulu." Aku menunjuk Dahlia yang sedang mengantre."Iya, Pak." Bocah laki-laki itu berlari menuju dimana Dahlia berdiri.Setelah memastikan Dahlia melihat Ridho menyusulnya, aku bergegas naik ke lantai dua dengan sedikit berlari. Sampai lantai dua aku sedikit kesulitan mencari keberadaan Ibu, karena di lantai dua ini merupakan pusat perbelanjaan pakaian dan dan semacamnya. Selain itu ada beberapa kafe, arena bermain anak dan juga tempat karaoke.Aku putari tempat demi tampat perbelanjaan disana, tetapi tak jua menemukan sosok yang Ibu kini menjelma menjadi ABG dengan fashion kekinian itu.Kakiku sudah mulai lelah, perutk