"Maaf, permisi, dengan Ibu Karina?" Tanya seorang suster di IGD pada seorang wanita yang tampak tertidur di ruang tunggu."Ng, I-iya Sus. Saya Karin, Ibunya Fathir." Jawab perempuan itu cepat meski agak kaget karena tidurnya terganggu."Fathir sudah selesai ditangani oleh Dokter Fadli, masa ktitisnya sudah lewat ya, Bu. Sekarang tinggal menunggu untuk dipindah ke ruang perawatan saja," jelas sang Suster lagi.Wanita bernama Karina itu menggangguk seraya beranjak dari ruang tunggu mengekor langkah sang suster menuju IGD.Sesampainya di IGD, dilihatnya Fathir sang buah hati kini tampak tertidur pulas. Beberapa alat bantu medis tertancap di tubuh kurus bocah itu.Ragu-ragu Karina mendekat ke arah brangkar sang anak karena seorang lelaki berseragam Dokter masih tampak memeriksa Fathir di sana.Merasakan kehadiran Karina, sang Dokter tampan itu pun menoleh dan tersenyum ke arah Karina."Ibunya Fathir?" Tanya sang Dokter, suaranya terdengar lembut di telinga Karin."I-iya, Dok. Saya ibunya
Cuaca cerah mendadak kelabu saat sinar matahari senja mulai tenggelam di ufuk barat. Disusul awan mendung yang perlahan menguasai langit.Seorang lelaki tampak membuka payung untuk melindungi seorang lelaki lain yang masih terdiam di sisi makam seseorang.Melindungi lelaki di sisi makam itu dari rintik gerimis yang mulai terjatuh satu persatu.Setelah menabur bunga, Regi pun beranjak dari makam Jhio untuk kembali ke mobil yang terparkir tak jauh dari sana.Tristan masih setia memayungi Regi saat itu."Aldo baru saja mengabari, paket yang anda kirim katanya sudah diterima oleh Nona Tazkia." Ucap Tristan sesaat setelah mereka memasuki mobil."Apa Aldo bertemu Rafa?" Tanya Regi dengan suaranya yang terdengar pelan."Iya, kebetulan tadi sore Rafa sedang bermain di taman bersama Nona Tazkia.""Bagaimana keadaannya?""Baik, Pak. Rafassya sehat, dan dia sangat mirip dengan anda," jawab Tristan seraya memulas senyum tipis, sama halnya dengan Regi. Meski dari tatapannya, tak bisa dipungkiri ba
Regi langsung meninggalkan lokasi TKP ditemukannya mayat seorang bocah lelaki yang diduga bernama Fathir Aliando setelah kedatangan Tristan dan Pak Jay.Dengan identitas barunya saat ini, Regi tak mungkin berhubungan langsung dengan pihak kepolisian.Sehingga Tristan pun turun tangan merancang cerita palsu atas penemuan mayat tersebut pada pihak kepolisian.Rencana pertemuannya dengan Profesor Bergas membuat Regi dan Tristan harus lekas bertolak ke lokasi pertemuan.Saat itu, Regi memang tidak bertatap muka langsung dengan Profesor Bergas, karena ini sudah menjadi mandat dari almarhum Jhio sang Kakak pada Regi untuk tidak menunjukkan jati dirinya dengan orang lain dalam bisnis mereka mengingat betapa berbahayanya bisnis ini.Hal yang sudah Jhio terapkan sejak dulu kini Regi terapkan juga dalam menjalani bisnis hitam yang digelutinya.Itulah sebabnya, Tristan menjadi satu-satunya orang kepercayaan Regi yang akan menjadi kaki tangan Regi untuk melakukan segala transaksi bisnis dan kerjas
Satu minggu berlalu sejak kejadian naas yang menimpa Fathir, sampai detik ini kasus itu belum juga menemukan titik terang.Tak ada bukti apapun yang bisa ditemukan polisi untuk mengungkap kasus tersebut, bahkan kamera CCTV rumah sakit pun tak berhasil merekam kejadian aneh apapun.Sepertinya, pelaku kejahatan ini bukan orang biasa.Atau memang mereka berkomplot sehingga sukses mengecoh pihak kepolisian.Jam dinas Fadli baru saja selesai, dia hendak berpamitan pulang saat asistennya mengatakan bahwa ada seseorang yang menunggunya di luar ruangan.Setelah memakai jaket dan meraih tas kerjanya, sekalian pulang, Fadli berniat untuk menemui orang yang dimaksud sang suster tadi."Eh, Bu Karin?" Sapa Fadli sumringah saat melihat Karin berdiri tak jauh dari pintu ruang kerjanya di rumah sakit.Sebuah rantang terjinjing di tangan Karina saat itu."Maaf Dok kalau kedatangan saya mengganggu. Saya cuma mau mengantar ini saja. Tadi, saya masak terlalu banyak, daripada mubazir, jadi lebih baik saya
Setibanya Fadli dan Tazkia di rumah sakit tempat di mana Damar berada, Fadli harus menerima kenyataan pahit atas kepergian Damar untuk selama-lamanya.Akibat insiden penusukan tersebut, Damar kehilangan banyak darah, terlebih waktu dari kejadian penusukan tersebut dengan waktu saat Damar ditemukan warga jedanya cukup lama. Itulah sebabnya nyawa Damar tak bisa diselamatkan.Mungkin jika saja Damar mendapat penanganan lebih cepat setelah kejadian berlangsung, besar dugaan, nyawa Damar bisa terselamatkan. Hanya saja, semua kembali lagi pada takdir Tuhan.Damar pun dinyatakan meninggal dan kini mayatnya masih dalam proses autopsi oleh pihak medis dari kepolisian."Permisi, dengan Pak Fadli?" Tanya salah seorang polisi yang baru saja keluar dari ruang autopsi jenazah.Fadli yang memang masih mencoba menghubungi kerabat Damar diminta untuk tetap stay di rumah sakit baik oleh pihak medis atau pun pihak berwajib."Dari data ponsel milik korban, ditemukan pesan singkat bahwa tadi malam, anda d
Adzan Shubuh yang berkumandang di kejauhan seolah menjadi alarm alami bagi Tazkia untuk bangun dan memulai aktifitas kesehariannya.Mendapati sang suami tak ada di sisinya, Tazkia sedikit heran karena tak biasanya Fadli bangun lebih dulu dari pada dirinya.Setelah merelaksasi tubuh sekilas, sedikit merenggangkan otot-otot tubuhnya, Tazkia merapikan kerudung yang dia kenakan dan beranjak keluar kamar.Mendapati Fadli yang kini tertidur di sofa ruang tengah dengan kondisi laptop yang masih menyala, Tazkia jadi geleng-geleng kepala."Mas, Mas, bangun, udah Shubuh," ucapnya seraya mengguncang pelan bahu sang suami. "Ngerjain apalagi sih sampe ketiduran di sini?" Tazkia tampak mematikan laptop dan merapikan meja yang berantakan.Fadli mengucek kedua mata dan bangkit dari sofa, tanpa menghiraukan ucapan sang istri. Lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi dan langsung mandi.Tazkia menatap lekat pintu kamar mandi. Merasa ada yang aneh, hingga setelahnya, dia mengingat bahwa semalam, saat dia m
Fadli baru saja menangani pasien terakhirnya, untungnya hari ini tidak banyak pasien yang berobat sehingga Fadli tidak terlalu sibuk.Fokusnya bekerja memang agak berkurang akibat kurangnya tidur serta beban pikiran atas masalah yang kini dihadapinya karena Arini.Fadli baru saja menenggak air bening terakhir di botol minumannya. Lelaki itu hendak keluar dari ruang kerjanya untuk mampir ke Kantin rumah sakit sebentar.Ini sudah hampir sore, tapi dia belum memakan apapun karena waktu jam makan siangnya tadi Fadli habiskan untuk berkutat di depan laptop.Bunyi ponsel yang berdering membuat langkah Fadli terhenti di pintu. Merogoh saku jas Snellinya dan mengeluarkan benda pipih itu dari sana.Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal tertera di layar ponsel sang dokter.Mengernyitkan dahi menatap layar ponselnya yang menyala-nyala, berusaha berpikir positif, Fadli pun mengangkat panggilan itu."Hallo, Assalamualaikum, ini siapa?" Tanyanya dengan sopan.Hening sempat tercipta beberapa
"Rafassya..." Teriak seorang wanita berhijab dengan perut buncitnya yang terlihat berjalan cepat mengitari taman bermain di sekitar komplek perumahannya. Wajahnya tampak panik dengan kelopak matanya yang berair.Dia sedang bercakap dengan seorang tetangga ketika Rafa sang anak yang kini berusia tiga tahun itu sedang bermain perosotan di taman itu.Semua terjadi begitu cepat, bahkan belum sampai dua menit dia tak menengok Rafa, namun sang anak sudah menghilang dari perosotan itu.Setelah lelah mencari keberadaan sang anak dibantu beberapa warga sekitar, Tazkia pun menelepon sang suami agar lekas pulang untuk membantunya mencari Rafa."Gimana ceritanya Rafa bisa hilang?" Ucap sebuah suara lelaki di seberang, terdengar panik. Dia melepas jas putih kebanggaannya seraya beranjak dari ruang kerjanya."Tadi aku lagi suapin dia di taman, Mas. Terus kan ada Bu Rika ajak aku ngobrol, aku sempet ngebelakangin dia, tapi cuma sebentar kok. Pas aku nengok dia udah nggak ada. Gimana dong Mas? Aku ud