BABY SITTER PLUS-PLUS
Bab 9
"Pah, jangan lihat video itu," rayu Mas Hendra. Aku pun meliriknya, lalu menarik bibirku yang sebelah, agar terlihat sinis dan tegar di hadapan Mas Hendra, padahal hati ini rapuh ingin teriak sekencang-kencangnya.
"Eyang ... Ayu pingin jus melon," ucap Ayu yang tiba-tiba datang meminta jus, aku rasa ini hasutan Tini, tidak mungkin Ayu meminta pada Eyangnya sambil merengek seperti itu.
"Ayu, Sayang, kamu main dulu, ya. Mama adalah urusan, nanti jus nya diantar oleh pelayan," sahutku pelan. Ayu pun mengangguk dan kembali ke tempat arena bermain.
Sedangkan aku kembali fokus pada video yang sudah kusimpan di laptop.
Aku scroll bagian video durasi lima belas menit, tapi kucari sudah tidak ada, apa dihapus oleh Mas Hendra ketika Ayu merengek minta jus?
Aku menoleh ke arah Mas Hendra, kemudian melihat ia tersenyum tipis ke arahku. Lalu ia berbisik tepat di telingaku, "Kamu kalah
Bab 10Aku meraih secarik kertas yang berisikan pemindahan aset perusahaan atas nama Ayu. Ada rasa gemetar ketika mama menuduhku yang bukan-bukan. Ya, aku akui kesalahan yang sangat gegabah dalam mengambil tindakan. Seharusnya, aku bicarakan ini ketika berhadapan dengan mama juga.Nasi sudah menjadi bubur, tak mungkin bisa diulang kembali. Aku tetap mengakui kesalahan yang membuat papa terkena serangan jantung."Mah, maaf ya, tapi bukan ini penyebabnya," sahutku sambil menyeka air mata yang sudah mengembun di sudut netraku."Lalu apa?" tanyanya dengan mata membulat. Tiba-tiba Mas Hendra datang sambil menggendong Ayu."Kamu tahu apa yang telah dibicarakan Mila, Hendra?" Mas Hendra seketika tercengang sambil menelan salivanya, terlihat dari kerongkongannya yang bergerak.Kemudian, baby sitter yang sangat cari perhatian itu menghampiri juga."Ayu, ikut kakak, yuk!" pinta Tini."Kamu sudah
Bab 11Aku mundur satu langkah agak ke belakang, khawatir malah memperkeruh keadaan. Namun, ternyata khayalanku salah."Usir laki-laki baji*gan ini, Mah!" cetus papa meskipun sambil memegang dadanya. Mama yang tadi sempat menyalahkan aku atas sakitnya papa pun terlihat kebingungan. Matanya menyipit ke arahku, kedua alisnya ditautkan bagai ulat bulu."Mila, ke sinilah!" suruhnya.Aku menghampiri papa selangkah kembali, tapi papa meminta untuk terus mendekat."Ada apa ini? Kenapa Papa malah memanggil istrimu dan mengusir kamu, Hendra!" cecar mama. Mas Hendra pun mulai mengeluarkan keringat dingin, ia tampak gugup hingga melipat bibirnya ke dalam."Mah, usir dia bersama wanita jalang yang bernama Tini, usir Mah!" sentak papa hingga terbatuk-batuk."Pah, Papa tenang ya, maafkan Mila, Pah," lirihku pada papa."Kamu tak perlu minta maaf, Mila, aku tak sudi memiliki anak peng
Bab 12"Tini! Apa-apaan kamu bicara seperti itu dengan anakku," cetusku."Sudah Mila, jangan ribut di rumah sakit!" cegah mama."Iya, Mah.""Tini, saya pinta kamu pergi dari sini!" seru mama."Tapi Bu, nanti Ayu sendirian," sahutnya."Kamu pergi! Jangan kembali lagi ke rumah anak menantu saya!" tegas mama sekali lagi. Tini pun meraih tasnya, lalu ia pergi dengan cepat.Wanita yang sudah menghancurkan hubungan rumah tangga orang lain, menurutku dia bukan wanita baik. Jadi, jika dijadikan pengasuh pun tidak akan baik untuk Ayu.Aku bernapas lega, karena mama sudah mengusir wanita yang sengaja masuk dan hadir di tengah-tengah keluargaku."Bu, Ayu saya bawa pulang ya!" celetuk Mbok Asih tiba-tiba. Aku yang sedang melamun terkejut hingga buyar semuanya."Silahkan, Mbok. Oh ya, satu lagi, pastikan Tini sudah angkat kaki dari rumah," perintahku pad
Bab 13"Aku percaya pada Mila, ketimbang kamu, Rika," ucap mama masih dengan tatapan nanar. Namun, ucapannya barusan membuatku bernapas lega. Jantungku yang tadi berdegup sangat kencang mulai normal kembali."Mah, terima kasih telah mempercayaiku lagi," sahutku sambil mengelus-ngelus punggungnya.Kemudian, mama mengajakku duduk di sudut kursi tunggu. Kami melewati Mas Hendra yang sedang duduk menunggu kabar kondisi papa juga. Ia bangkit ketika kami lewat."Mah, mau ke mana?" tanya Mas Hendra, tapi mama terdiam, tak menjawab pertanyaan Mas Hendra."Bude, aku pamit ya," ucap Rika menghampiri. Aku rasa ini karena mama tak percaya ucapannya tadi.Rika mengecup punggung tangan mama, tapi tak ada respon senyuman yang terpancar di wajah mama untuk Rika."Mas, aku balik ya, semoga Pakde lekas sembuh," sambung Rika."Makasih, Rika," sahut Mas Hen
Bab 14"Mah, Rika itu sepupu Mas Hendra, kan?" tanyaku. Kemudian mama mengangguk."Iya, tapi mereka dekat, dari kecil sering main bareng," ucapnya."Mah, kita tidur dulu, siapa tahu besok ada perubahan dengan kondisi Papa," ajakku ketika melihat kantong mata yang terpancar di wajah mama. Sedari tadi ia menangisi papa, sehingga kantong matanya membesar.Mama pun mengangguk, kami tidur di depan ruangan tempat papa diberikan perawatan intensif.Aku berharap besok Hermawan memberikan informasi lebih tentang Rika juga. Bukan hanya Tini yang mendapatkan balasan, Rika pun harus mendapatkannya. Sebab, awal mulanya pasti dari dia.Aku dan mama memejamkan mata, agar kami dapat melihat perkembangan kondisi papa esok hari.***"Mah, bangun, sudah pagi," bisikku di telinga mama yang menyandar di pundakku."Mila, apa suster sudah memberikan informasi?" tanya mama."A
Bab 15Aku ambil foto yang berukuran 3R itu, jantungku lemas seketika, ketika melihat sosok wanita yang bersebelahan dengan Tini alias Dini."Della?" gumanku. Seketika wajah ini membeku melihat foto yang Hermawan berikan."Apa Bu Mila kenal?" tanya Hermawan.Aku masih syok melihat wajah yang ternyata sudah meninggal akibat bunuh diri."Itu artinya Dini sedang memainkan peran untuk membalas dendam ke suamiku?" tanyaku pada Hermawan. Ia mulai serius ketika mendengar penuturanku barusan. Kedua telapak tangannya sampai menyanggah di bawah dagu."Jadi, Della itu suka dengan Pak Hendra? Lalu bunuh diri gara-gara Bu Mila nikah dengan Pak Hendra?" Hermawan mengurutkan dadanya pelan-pelan seraya tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Sama, aku juga masih tak percaya bahwa perselingkuhan ini dibuat dengan sengaja."Ya, mereka dulu pasangan kekasih, entahlah apa yang membuat mereka
Bab 16"Bu, kata Tini, ia hari ini terakhir kerja, makanya sedang beres-beres pakaian, di dalam ada sedang dibantu oleh Ayu," cetus Mbok Asih membuatku sontak mematikan mesin mobil. Tanpa bertanya lagi, aku pun mencabut kunci lalu turun dan melihat mereka.Aku langkahkan kaki ini setengah berlari, agar cepat sampai di kamar Tini. Setibanya di depan kamar, aku pun membuka pintunya. Namun, mereka tidak ada di tempat.Mbok Asih yang berada di sampingku pun terheran."Bu, tadi mereka di sini," ucap Mbok Asih. Aku rasa ia panik juga, karena ia yang ia informasikan salah."Bantu cari, Mbok," sahutku sambil berlalu."Ayu!" teriakku kencang. Kemudian, aku pun mencari ke kamarnya, tapi tidak ada.Mbok Asih pun menemui aku dan melaporkan bahwa tidak ada di sudut mana pun.Aku terdiam, mengatur napas agar bisa berpikir jernih. Kemudian, Mas Hendra
Bab 17Aku perlihatkan foto sosok dua wanita yang pernah singgah di hati Mas Hendra."Ini Della dan Tini? Apa mereka sahabatan?" tanya Mas Hendra keheranan."Ini biodata Tini, dia bukan Tini," tegasku. Kemudian, mama merampas foto mereka berdua. Mas Hendra masih fokus menelaah dan mencerna data Tini yang kuberikan."Astaga, wanita ini, bukankah yang hadir dalam pernikahanmu hingga nangis-nangis?" tanya mama. Mas Hendra pun terdiam, ia seperti syok ketika membaca biodata Tini alias Dini."Dini adik dari Della? Aku tidak pernah tahu tentang ini. Della nggak pernah cerita," sahut Mas Hendra."Bukan hanya itu, Della sudah meninggal karena bunuh diri," ucapku membuat mama melempar foto tersebut. Mulutnya ditutup oleh kedua telapak tangannya."Apa kamu bilang, Mila? Jangan becanda!" cetus Mas Hendra. Mungkin ia takut sekaligus tidak percaya, karena kini ia malah berhubungan gelap dengan