Chapter 4
Vanya melemparkan tas dan sepatu kepada Dario yang berada di bawah, gadis itu berdiri di atas tembok pagar rumah setinggi dua meter. Memangnya Ares bisa menghalanginya? Tentu saja Vanya memiliki seribu cara untuk membebaskan diri, keluar melalui jendela kamar dan melompati pagar adalah beberapa keahliannya."Sial! Jangan melompat atau kakimu akan patah!" geram Dario.Vanya menyeringai. "Tenang saja, ini bukan kali pertama aku naik ke pagar.""Kenapa tidak lewat pintu gerbang saja?"Vanya benar-benar melompat dari ketinggian dua meter kemudian mengambil sepatunya dari tangan Dario. "Ada anjing baru di rumahku.""Anjing baru?" tanya Dario seraya menatap Vanya yang sedang memasang sepatu. "Kau takut anjing?"Vanya mencibir. "Aku takut anjing? Yang benar saja.""Lalu?""Aku hanya malas saja, dia bisa menyalak.""Ayo, Wilson pasti sudah menunggu kita," kata Dario seraya berjalan menuju mobil sportnya diikuti Vanya.Lima belas menit kemudian mereka tiba di sebuah rumah besar yang dibangun di tengah-tengah pekarangan yang luas, setelah memarkirkan mobil, keduanya berjalan ke arah bagian samping di mana Wilson dan yang lainnya berkumpul di tepi kolam renang diiringi suara dentuman musik yang lumayan keras.Tammy, Dera, dan Yora juga berada di sana karena mereka memang anggota club renang. Vanya mencibir di dalam benaknya, geng sampah!"Hi, Man!" seru Dario seraya melambaikan tangan.Wilson Morales, pemuda bertubuh tinggi dengan penampilan santai dan memiliki wajah tampan itu menoleh ke arah Vanya dan Dario dan melambaikan tangan seraya tersenyum.Vanya mengikuti langkah Dario untuk bergabung bersama teman-temannya di tepi kolam renang."Kalian terlambat!" ucap Wilson seraya mengacungkan tinjunya kepada Dario.Dario menyambut tinju Wilson. "Kau tahu, 'kan? Tuan Putri kita harus menunggu ibunya tidur baru dia bisa keluar rumah."Wilson terkekeh dan merangkul Vanya. "Jangan-jangan kau adalah Cinderella.""Sepertinya," desah Vanya."Kalau begitu, kau punya sepatu kaca?" tanya Wilson.Vanya menyeringai dan menggeleng. "Sayangnya tidak.""Oh, ya? Bagaimana jika kubelikan? Apa kau mau memakainya?" tanya Wilson.Vanya memiringkan kepalanya dan menatap Wilson, bibirnya tersenyum. "Boleh saja.""Guys, si Tuan Putri baru saja datang! Bagaimana jika dia harus minum tiga gelas karena terlambat?" kata Tammy yang berada agak jauh dari tempat Vanya dan melemparkan senyum sinis.Semua yang berada di sana setuju dan bersorak memprovokasi Vanya. Mereka jelas tahu jika Vanya dan Tammy sekarang bermusuhan dan Vanya adalah tipe yang tidak bisa mengabaikan tantangan meskipun jelas-jelas dirinya tidak terlalu biasa mengonsumsi minuman beralkohol."Siapa takut?" kata Vanya.Yora menyodorkan gelas kepada Vanya dan dengan ekspresi angkuh Vanya mengambilnya lalu mengangkat gelasnya tinggi-tinggi dan tersenyum sinis kepada Yora, Tammy, dan Dera."Untuk Wilson," ucap Vanya lalu menenggak isi gelasnya dan rasa pengar seketika memenuhi mulutnya.Wilson hanya diam, tetapi ketika gelas kedua disodorkan Yora, Wilson justru mengambilnya."Biar aku yang menggantikan," ucap Wilson dan sukses membuat Tammy merengut."Gelas ke tiga biar aku yang menggantikan, karena aku juga terlambat" ucap Dario seraya tersenyum dan menaikkan sebelah alisnya kepada Vanya."Dia memang perayu yang andal!" seru Dera seraya memutar bola matanya."Dasar, keturunan perayu!" timpal Yora.Cemoohan seperti itu sudah sering didengar dan lagi pula siapa yang merayu? Jelas-jelas Wilson dan Dario melakukannya dengan suka rela tanpa diminta. Vanya ingin sekali memukuli ketiga orang yang memperlakukannya dengan tidak adil, bagaimanapun kelakuan ibunya tidak ada hubungannya dengan dirinya."Sudah. Tidak perlu dipedulikan," bisik Wilson yang menyadari jika diam-diam tangan Vanya mengepal."Sebenarnya aku tidak ingin membuat pestamu menjadi kacau. Tapi, kau lihat sendiri, 'kan?" geram Vanya."Kumohon jangan berkelahi di sini," kata Wilson dan membawa Vanya ke sebuah kursi dan mereka duduk berhadapan"Seingatku kau tidak berulang tahun hari ini," kata Vanya memulai obrolannya.Wilson meraih sebuah gelas dan mengisinya dengan vodka. "Aku hanya merasa sedang bosan."Bibir Vanya menyunggingkan senyum. "Pertama mengenalmu, kupikir kau orang yang sangat serius."Wilson memutar gelasnya dan sebelah alisnya terangkat. "Karena aku berprestasi?"Vanya mengedikkan bahunya. "Bagaimana caranya kau membagi waktumu? Kau sangat sibuk."Wilson menjilat bibirnya. "Aku berjanji pada ayahku akan menamatkan pendidikan SMA dengan sebaik-baiknya karena kelak aku tidak ingin melanjutkan pendidikan ke universitas.""Maksudmu?""Aku ingin fokus untuk menjadi pembalap."Vanya nyaris tersedak karena pengakuan Wilson. Ia berdehem pelan. "Apa orang tuamu mendukung?""Tidak juga, tapi tidak melarang."Vanya mengusap hidungnya dengan punggung telapak tangannya. "Kau yakin dengan cita-citamu itu?"Wilson tersenyum dan menatap Vanya. "Kau tahu Julio Callas, 'kan?"Vanya benar-benar tersedak kali ini. Bagaimana tidak tahu? Julio dan dirinya berasal dari satu rahim."Ya. Dia sedang naik daun sekarang," kata Vanya diiringi senyum lembut."Aku mengaguminya, dia memiliki bakat alami. Sejak kecil dia sudah diperkenalkan dengan dunia balap oleh ayahnya. Julio sangat beruntung dan jujur saja aku iri karena dia mendapatkan dukungan seperti itu dari orang tuanya."Wilson mungkin benar jika Julio sangat beruntung karena perhatian ayah mereka hampir 100% tercurah kepada Julio. Tetapi, tidak ada yang tahu jika ibunya sama sekali tidak pernah mendukung kariernya. Bahkan pernah saat Julio mengalami cedera, Tania sama sekali tidak memberikan empati kepada Julio meskipun sedikit."Ya. Dia hebat," desah Vanya."Omong-omong, kalian memiliki nama belakang yang sama," kata Wilson kemudian menenggak vodka di gelasnya.Vanya tersenyum. "Itu hanya kebetulan.""Lalu bagaimana denganmu? Maksudku setelah lulus SMA, apa yang ingin kau lakukan."Vanya menyandarkan punggungnya dan berpikir keras karena dia belum berencana untuk melanjutkan studi. Tetapi, kuliah di Amerika mungkin ide yang bagus untuk membebaskan diri dari semua kekangan ibunya."Aku ingin kuliah di luar negeri," jawab Vanya dan pandangannya tertuju pada Tammy yang sedang mendekat ke arahnya."Apa pendidikan di sini kurang baik menurutmu?"Vanya tidak menjawab karena Tammy berdiri di belakang Wilson dan meletakkan tangannya di pundak pemuda tampan itu."Wilson, bisa tinggalkan aku dan Vanya? Ada yang ingin kubicarakan," kata Tammy dengan nada manja.Vanya nyaris muntah mendengarnya, andai saja bukan baru sebulan yang lalu ia dikeluarkan dari kantor polisi karena memukul kepala orang, Vanya ingin memukul Tammy.Wilson menatap Vanya beberapa detik kemudian mengedikkan bahunya seraya mengisi kembali gelasnya dengan vodka.Wilson berdiri, membawa gelas vodkanya lalu beringsut untuk bergabung dengan Dario dan yang lainnya sementara Vanya juga berdiri lalu menatap Tammy dengan dingin dan dagu terangkat."Jangan pernah berpikir jika kau bisa mendapatkan Wilson," kata Tammy.Vanya tersenyum mengejek, Wilson memang keren dan menjadi salah satu idola murid perempuan di sekolah. Tetapi, Vanya tidak tertarik karena Wilson bukan tipenya."Aku belum membalas perbuatanmu tadi di sekolah. Jadi, jangan coba-coba memancingku di sini," ucap Vanya kemudian tersenyum mengejek."Kau tidak akan bisa membalasku," ucap Tammy.Jemari Vanya menyisir rambutnya dari atas ke bawah. "Yakin sekali," gumamnya."Sekarang aku menantangmu! Kita bertaruh!"Vanya tersenyum miring. "Apa?""Kita bertanding renang! Siapa yang menang, dia yang mendapatkan Wilson!"Vanya tersedak karena itu dan ia tertawa keras-keras hingga semua yang berada di tepi kolam renang menoleh ke arahnya.Vanya mengangkat tangan kanannya. "Guys, Tammy menantangku berenang dan bertaruh. Dan dia bilang, yang menang dia akan mendapatkan Wilson."Wilson mendekat kepada keduanya dan mengerutkan keningnya. "Sial! Apa-apaan kalian?"Vanya mengedikkan bahunya dengan gerakan sangat santai. "Bukan aku, Tammy yang punya ide.""Bohong!" seru Tammy. "Jelas-jelas Vanya yang memiliki ide! Dia diam-diam sudah lama menaruh hati padamu, Wilson!"Bersambung....Jangan lupa untuk tinggalkan komentar dan bintangin!Terima kasih dan salam manis dari Cherry yang manis.šā„ļøāŗļøChapter 5Paginya Vanya bangun dan cuaca sangat cerah, gadis itu mengenakan bikini lalu masuk ke kolam renang indoor yang ada di dalam rumah.Ternyata tinggal di rumah mewah ada gunanya juga, pikir Vanya seraya berenang-renang seperti seekor lumba-lumba yang lincah dan gesit. Sepulang sekolah Tammy menantangnya berenang dan menjadikan Wilson hadiah seperti barang saja. Tetapi, bukan Vanya namanya kalau tidak menerima tantangan meskipun dia tidak tertarik dengan Wilson. Ia lebih baik menerima tantangan Tammy dari pada diejek Tammy dan kawan-kawannya, dianggap tidak berani bertarung. Enak saja, siapa yang takut?Hanya saja, karena Vanya tidak tertarik berpacaran dengan Wilson, Vanya berencana akan memperlambat kecepatan renangnya dengan ketara agar semua yang menyaksikan tahu kalau dirinya hanya mengalah di detik terakhir. Biarkan saja Tammy yang mendapatkan Wilson. Vanya terus meskipun menyadari kedatangan Ares, ia memilih mengabaikan kakak tirinya yang mengenakan setelan jas dan b
Hola, enjoy this chapter.Chapter 6Vanya mendengus dan keluar dari mobil Wilson kemudian memasuki mobil Ares, tetapi tidak duduk di jok sebelah pengemudi melainkan di jok belakang. "Ternyata kau tidak jauh berbeda dengan ibuku," ucap Vanya ketika mobil yang dikemudikan Ares meninggalkan lokasi tempat tinggal mereka. Ares melirik Vanya melalui kaca spion. "Tania selalu mengkhawatirkanmu, Vanya." Bibir Vanya mencibir ucapan Ares. "Itu hanya kekhawatiran yang dilebih-lebihkan." "Vanya... Tania benar-benar menyayangimu, dia....""Aku berbeda dengan ibuku yang sembrono dan tidak bisa menjaga diri hingga terjerumus dalam pergaulan bebas. Aku tidak seperti dia!" potong Vanya.Ares tersenyum mengejek. "Kau juga keluar diam-diam tengah malam, pergi bersama laki-laki. Apa bedanya?" "Mereka hanya teman," kata Vanya dengan tegas. "Dan aku tidak pergi ke club ataupun bar. Kami hanya mengobrol di rumah Wilson." "Kalau hanya mengobrol di rumah teman, kenapa tidak berpamitan pada ibumu? Kenapa
Hola, enjoy this chapter!Chapter 7Stepbrother Ketika Ares tiba di ruang kepala sekolah, dia tidak mendapati keberadaan kepala sekolah di sana. Hanya ada Vanya yang duduk di atas meja dengan kaki menjuntai ke bawah dan bergoyang-goyang. Telinga gadis mengenakan earphone dan mulutnya terisi lolipop, sikapnya seperti bocah taman kanak-kanak yang sedang menunggu jemputan ayahnya. Ares diam-diam menghela napas, merasa jengkel karena sepertinya hari ini telah mengambil keputusan bodoh untuk mengurus gadis bandel yang mengharuskan dirinya belajar menahan emosi. "Ayo, pulang," ucap Ares setelah berada tepat di depan Vanya. "Apa?" tanya Vanya seraya mendongak dan melepaskan sebelah earphone-nya."Pulang," kata Ares dengan nada dingin. Vanya menggeleng dan tatapannya polos seperti tidak pernah melakukan kesalahan. "Tapi, tadi kau bilang hari ini tidak boleh membolos." "Kau diskors mulai hari ini," ujar Ares."Wow, ini rekor baru," ujar Vanya dengan mata terbelalak seraya melompat turun
Hola, happy reading and enjoy this chapter!Chapter 8Ares menatap Vanya yang keluar dari ruang kerjanya bersama Leo, asistennya. Menurutnya, Vanya sangat cerdik dalam setiap tindakan bahkan terlalu licik. Salah satunya saat dengan menggandengnya di menuju tempat parkir. Vanya tentunya sudah memperhitungkan jika mereka akan menjadi buah bibir di sekolah, gadis itu bersikap dengan cara yang sangat natural hingga Ares tidak menaruh sedikit pun kecurigaan saat itu. Juga saat Vanya duduk dengan tenang dan mereka menyantap makan siang bersama, tidak sedikit pun Vanya menunjukkan gelagat kalau dirinya sedang digosipkan di obrolan grup sekolah. Gadis itu benar-benar pandai berakting, tidak ada kepanikan, apa lagi menunjukkan emosinya. Menarik, batin Ares dan dia penasaran bagaimana cara membuat seekor rubah yang licik menurut layaknya seekor poodle yang manis. Ares merogoh saku jasnya dan mengambil ponsel untuk menghubungi Leya, berharap Leya dapat memberikan solusi atas masalahnya."Kau
Hola, happy reading and enjoy this chapter!Chapter 9Ketika Leo memberitahu bahwa Vanya didorong ke kolam renang oleh salah satu siswi hingga basah kuyup, Ares sedang berada di ruang pertemuan. Melalui pesan teks ia memerintahkan Leo agar Vanya mandi dan mengganti pakaian di ruang istirahat pribadinya. Ada beberapa kemeja bersih yang terletak di dalam lemari dan tidak lupa Ares juga memerintahkan Leo untuk menyiapkan segelas cokelat panas untuk Vanya. Pukul empat sore pertemuan baru saja usai, Ares kembali ke ruang kerjanya. Sebuah paper bag tergeletak di atas meja kerjanya, Ares tidak memeriksa isinya karena yakin isinya adalah pakaian baru Vanya yang dibeli oleh Leo. Ares lalu membawa paper bag itu ke ruang pribadinya agar Vanya mengganti pakaiannya, tetapi ia justru mendapati mata Vanya terpejam dan bernapas dengan teratur. Ares bergerak perlahan mendekati tempat tidur, diamatinya Vanya yang bahkan dalam keadaan terlelap pun gadis itu berekspresi cemberut. Bibir Ares mengulas s
Hola, enjoy this chapter dan tolong bantu share cerita ini yaa....Chapter 10Vanya melemparkan bantal ke arah pintu meskipun bantal yang dilemparkan tidak mengenai pintu, hanya melayang beberapa meter dari tempat tidurnya. Memiliki kamar yang terlalu besar ternyata menjengkelkan juga, terutama saat pintu diketuk dari luar Vanya tidak bisa membukanya sambil tetap memejamkan mata atau berteriak agar orang itu berhenti mengetuk pintu. Vanya mengentakkan kakinya ke lantai seraya mengumpat kemudian membuka pintu. "Apa kau tidak melihat tulisan di pintuku?" "Ini sudah jam sepuluh, Vanya," kata Ares seraya menatap Vanya yang tentu saja cemberut. "Memangnya siapa yang peduli pada jam? Ini Sabtu dan aku ingin tidur sepanjang hari, kalau perlu sampai Senin!" bentak Vanya seraya bermaksud menutup kembali pintu kamarnya. Dia sangat jengkel karena Ares tidak membaca tulisan di depan pintu kamarnya : JANGAN GANGGU VANYA! "Tidur terlalu lama tidak bagus untuk kesehatan dan tubuhmu perlu makan,
Hola, enjoy this chapter!Chapter 11Ketika Vanya membuka pintu Bugatti yang dikemudikan Ares, Julio sedang menyiram pepohonan di area sekitar rumah. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Ares, Vanya keluar dari mobil lalu berlari ke arah Julio. "Julio...." seru Vanya dan Julio segera melepaskan selang air yang dipegangnya kemudian merentangkan tangannya seraya menyongsong kedatangan Vanya. "Aku merindukanmu," ucap Julio seraya memeluk Vanya. "Aku sangat merindukanmu, di mana Papa?" "Papa masih di tempat kerja," ucap Julio seraya melepaskan pelukannya kemudian mematikan kran air."Ada acara apa? Kenapa Papa mengundangku makan malam hari ini?" tanya Vanya.Julio merangkul pundak Vanya dan mereka berjalan ke arah pintu masuk. "Jadi, kalau Papa tidak mengundangmu ke sini, kau tidak akan mengunjungi kami?" Vanya menyeringai. "Kau tahu sendiri, 'kan? Aku kesulitan mendapatkan izin keluar rumah." Julio terkekeh. "Tapi kau bisa melarikan diri kalau malam." Vanya menyeringai. "Seka
Chapter 12Pukul enam pagi, ponsel Ares berdering. Pria itu pastinya akan mengumpat jika yang meneleponnya bukan Leya. "Kuharap, aku tidak mengganggu waktu tidurmu," ucap Leya dengan nada lembut. Ares menguap. "Jika kau tidak sedang berada di San Diego, aku akan meminta pertanggungjawabanmu." Leya membalasnya dengan tawa riang. "Aku baru mendarat di John F. Kennedy dan harus menunggu tiga jam lagi untuk penerbangan selanjutnya." "Oh, sekarang kau sedang melampiaskan kebosananmu padaku?" tanya Ares dengan nada malas."Ya. Dan kau harus mau karena mustahil aku menelepon Vanya." Mata Ares terbuka. "Kita belum membicarakan ini, bagaimana menurutmu adik tiriku itu?" "Dia manis, cantik, menarik, dan mudah bergaul." Omong kosong! Leya pastinya sudah masuk dalam jebakan Vanya. Gadis itu hanya berpura-pura manis di depan Leya. "Jadi, kau berpikir jika aku yang tidak pandai dalam mengakrabkan diri padanya?" Leya terkekeh renyah. "Aku tidak bilang begitu, tetapi syukurlah kau menyadari k
Chapter 90(end)Berita Julio melamar Alana yang selama dua Minggu menghiasi berbagai halaman media sosial dan pencarian internet seketika tenggelam ketika foto cincin di jemari Vanya dan Ares yang diunggah oleh Vanya di media sosialnya satu hari sebelum pernikahan mereka digelar.Berita itu benar-benar menjadi berita yang paling sensasional di tahun ini, bahkan Leandro pun merasa sangat terkejut karena selama ini ia hanya tahu jika Vanya dan Ares tinggal bersama karena Ares-lah yang mengurus karier Vanya di dunia entertainment.Apa lagi Vanya memberikan keterangan bahwa mereka telah saling jatuh cinta sejak Vanya masih duduk di bangku sekolah SMA, hal itu semakin membuat orang-orang membicarakan mereka dengan memberikan komentar miring di kolom komentar. Tetapi, Vanya tidak ingin menggubrisnya karena baginya siapa saja berhak memberikan komentar baik maupun buruk.Pesta pernikahan yang dipersiapkan hanya dalam waktu dua Minggu berjalan sesuai keinginan Vanya dan Ares. Awalnya mereka h
Chapter 89Empat tahun kemudian Vanya sedang menjalani syuting, pengambilan adegan kebanyakan diadakan di dalam ruangan yang telah dirancang khusus. Beberapa adegan yang Vanya mainkan adalah adegan perkelahian yang menggunakan senjata tajam dan juga gerakan-gerakan berbahaya yang melibatkan fisik karena ia membintangi film kolosal bergenre Fantasi. Hari itu Vanya telah selesai berdandan, tetapi ia masih mengenakan kemejanya. Belum mengenakan kostum yang akan digunakan dalam pengambilan adegan. Ia berdiri seraya memegangi buku naskah di tangan kirinya dan sebilah pedang palsu di tangan kanannya, di depannya seorang pria bernama Isac Jules juga memegangi buku naskah. Isac adalah pemeran pria utama dan dia merupakan aktor yang sudah cukup lama bergelut di dunia akting, Vanya merasa beruntung karena dapat beradu akting dengan Isac. Isac pria yang sopan dan tidak pernah membeda-bedakan siapa pun, meskipun pengalaman Vanya di dunia akting masih sangat sedikit, Isac tidak segan membantu Va
Chapter 88Vanya memasuki tempat tinggal Julio dan langsung menuju ruang di mana Julio biasanya berkutat dengan mainannya yang berupa mesin motor yang telah terpisah-pisah dari rangkanya dan mungkin hanya Julio yang memahaminya."Julio, kurasa kita perlu bicara," ucap Vanya tanpa berbasa-basi, ia sudah muak mencoba menghubungi Julio melalui telepon dan pesan teks tetapi pria itu sama sekali tidak menggubrisnya.Julio menatap Vanya beberapa saat. "Bagaimana keadaanmu?" "Sangat buruk," jawab Vanya dengan ketus. "Kenapa kau ke sini kalau belum sembuh?" tanya Julio dengan nada acuh lalu kembali menatap benda-benda yang mungkin di mata orang lain menyerupai rongsokan. Vanya mendekati Julio dan mengambil obeng di tangan pria itu. "Apa yang terjadi padamu? Kau mengabaikanku sepanjang waktu, kau bahkan tidak menjengukku di rumah sakit." "Aku sangat sibuk, Vanya. Aku harus mempersiapkan diri untuk menghadapi musim panas kali ini dan ini adalah pertandingan terakhirku di timku saat ini." V
Hola, happy reading and enjoy!Chapter 87Paginya Vanya meminta Ares membawanya keluar dari kamar inapnya karena merasa bosan di dalam kamar meskipun baru satu malam, ia ingin menghirup udara segar pagi hari di taman rumah sakit. Tetapi, baru saja beberapa langkah berjalan meninggalkan kamar mereka bertemu Rico. Ares berhenti mendorong kursi roda yang diduduki Vanya dan segera menghampiri Rico. "Setelah apa yang kau lakukan, kau masih berani menunjukkan wajahmu di depan Vanya?" ucapnya dan tatapannya sangat mengerikan seolah hendak mematahkan leher Rico saat itu juga. Rico tersenyum. "Aku ingin bicara dengan putriku," sahutnya dengan nada sangat tenang. "Vanya tidak sudi bertemu denganmu." Rico menatap Ares dengan sinis. "Kau tidak berhak melarangku, kau bukan apa-apa baginya." Bukan apa-apa baginya? Jika Rico tahu siapa dirinya bagi Vanya, akankah Rico bisa mengucapkan kalimat sinis itu atau mungkin malah akan menjilat di depannya, pikir Ares.Ares tersenyum miring lalu berkata,
Hola, happy reading and enjoy!Chapter 86Mobil Vanya mengalami kerusakan parah, sementara Vanya mengalami beberapa luka ringan dan beberapa jahit di bagian lengannya, beberapa memar di bahu dan jidatnya tidak terlalu serius begitu juga dengan luka akibat serpihan kaca di wajahnya juga tidak ada yang terlalu dalam. Tetapi, ia masih harus dirawat di rumah sakit untuk memastikan adanya luka di dalam tubuhnya yang diakibatkan oleh benturan yang keras. Vanya duduk bersandar di ranjang pasien dan menatap jendela rumah sakit, ia tidak memedulikan Ares yang berada di sana. Ia bahkan tidak menatap mata Ares sedikit pun sejak pria itu tiba di Instalasi Gawat Darurat dengan terburu-buru dan sangat mengkhawatirkan kondisinya saat dokter menjahit luka di lengan Vanya. Ares duduk di sofa yang ia seret mendekat ranjang pasien seraya terus menggenggam telapak tangan Vanya. "Apa ada yang terasa sakit?" Pertanyaan itu sudah Ares lontarkan untuk ke sekian kalinya. Namun, Vanya masih saja tidak mengg
Hola, happy reading and enjoy!Chapter 85"Pa, kau di sini?" seru Vanya dan Leandro perlahan bangkit dari kursinya. "Ya. Papa bertemu kenalan lama Papa di sini," ujar Leandro seraya tersenyum canggung. "Tidak menyangka bertemu kau di sini." "Pa, bagaimana kabarmu?" tanya Vanya lalu bergelayut dengan manja di pinggang Leandro."Papa sedikit sibuk dan sangat merindukanmu," ucap Leandro. "Aku juga merindukanmu," kata Vanya seraya menatap Leandro dan tersenyum manja. "Sudah lama kau tidak mengunjungi Papa," kata Leandro seraya membelai rambut di kepala Vanya."Jadwalku sedikit padat akhir-akhir ini. Bagaimana kabar Vanesa?" "Dia merindukanmu dan sering menanyakanmu." Vanya menyeringai. "Aku akan mengunjungi kalian nanti." "Dia pasti akan senang sekali kalau kau datang dan akan menyiapkan banyak makanan untukmu," kata Leandro. Vanya justru menatap Leandro dengan tatapan menggoda. "Kau atau Vanesa? Seingatku, kau yang selalu heboh berbelanja setiap aku mau datang ke rumah kalian."
Hola, happy reading and enjoy!Chapter 84Mata kuliah pertama Vanya berakhir pukul dua belas siang dan ia masih memiliki jadwal mata kuliah ke dua jam tiga siang. Jadi, untuk mengisi waktu istirahatnya yang lumayan lama Vanya memutuskan untuk menghubungi Evan, Ares sedang pergi ke Malaysia untuk urusan MotoGP kemudian Vanya mengemudikan mobilnya ke kantor Evan. "Andai Ares sedang tidak pergi ke luar negeri, aku yakin kau tidak akan pernah menginjakkan kakimu ke sini," goda Evan yang menyambut Vanya di lobi kantornya."Jangan coba-coba membalikkan fakta, kaulah yang selalu sok sibuk sampai-sampai hampir tidak memiliki waktu untuk berkumpul bersama keluarga," balas Vanya. Evan terkekeh dan merangkul pundak Vanya dengan sangat lembut. "Aku benar-benar sibuk, adikku." Vanya mencebik. "Kalau sangat sibuk, kenapa kau masih punya waktu untuk berkeliaran di lobi?" Evan memiringkan kepalanya menatap Vanya dan sebelah alisnya terangkat. "Ini pertama kalinya kau ke sini, tentunya aku harus m
Hola happy reading and enjoy!Chapter 83Barang-barang Vanya telah tersusun rapi pada tempatnya di kamar barunya. Jadi, ia membersihkan tubuhnya kemudian merobek kemasan masker wajah lalu mengenakan masker berbentuk topeng berwarna putih dan duduk berselonjor di atas tempat tidurnya seraya bersandar di kepala tempat tidur dengan menggunakan jubah mandinya yang berwarna ungu. Di kepalanya melilit handuk yang juga berwarna ungu untuk menutupi rambutnya yang masih basah, ia seperti tidak memiliki tenaga lagi untuk meraih pengering rambut. "Boleh aku masuk?" Suara itu membuat Vanya mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya. Ares berdiri di ambang pintu, masih mengenakan setelan jas lengkap bahkan jepitan dasi pemberiannya masih rapi di tempatnya. Vanya memang tidak menutup pintu kamar karena berpikir jika mereka hanya tinggal berdua, tidak perlu harus selalu menutup atau mengunci pintu meskipun ia memerlukan privasi. "Kau pulang lebih awal?" tanya Vanya seraya tersenyum kepada Ares
Hola, happy reading and enjoy!Chapter 82Dua hari kemudian, sekretaris Tania mengetuk pintu ruang kerjanya dan berkata, "Madam, seorang pejabat publik ingin bertemu denganmu." Tania yang sedang memeriksa berkas-berkas di atas meja mendongak. "Bukankah aku tidak memiliki jadwal bertemu dengan salah satu pejabat publik hari ini?" "Seharusnya. Tetapi, dia bilang kalau dia memiliki urusan yang sangat penting denganmu." "Katakan padanya untuk kembali besok," kata Tania kemudian matanya kembali pada berkasnya. "Dia mengatakan kau harus menemuinya hari ini, kalau tidak dia akan...." Tania melepaskan kacamata bacanya dan menekan bagian atas batang hidungnya. "Berani sekali mengancamku, katakan padanya kalau aku sedang tidak bisa ditemui." "Dia menyuruhku memberitahukan mamanya padamu." "Sebenarnya aku sama sekali tidak peduli dia siapa," kata Tania dengan nada jengkel. "Jadi, siapa namanya?" "Namanya Federico Castellano." Sesaat dunia Tania seperti berhenti berputar, ia membeku kemu