“Jangaaaaan.” Teriak Jihan kepada Reihan. Lelaki itu semakin mengangkat kedua tangannya. Kemudian memeluk istrinya.
“Aku ingin menikmati malam ini bersamamu.” Ucap lelaki itu. Merasa dijebak oleh sang suami, Jihan menatap Reihan dengan tatapan jengkel.
“Kamu ngerjain aku ya?” Tanya Jihan kepada suaminya. Mukanya cemberut. Membuat Reihan semakin gemas melihatnya.
Lelaki itu tertawa sesukanya. Ia berhasil menakut-nakuti istrinya yang sedari tadi terlihat cemas.
“Hahahaha. Abisnya kamu sih. Dari tadi takut mulu. Takut apa sih, Sayang? Gak ada hantu di sini. Malah hantunya yang takut sama kamu.” Goda Reihan. Jihan mencubit perut sang suami. Reihan masih tertawa senang, sedangkan Jihan masih cemberut dengan kejengkelannya terhadap suaminya.
Jihan berjalan menuju ranjangnya. Reihan mengikuti istrinya dari belakang.
“Ayo lah, Sayang. Aku ingin malam ini kita melakukannya. Ini kan hari pertama kita tinggal di rumah ini.”
“Salah sendiri. Siapa suruh nakutin istrinya? Aku kan jadi males.”
“Kan Cuma bercanda, Sayangku. Ayo lah.” Rengek Reihan yang kemudian memeluk erat istrinya dari belakang.
“Gimana ya?” Goda Jihan balik.
“Ya ya. Kamu besok mau apa? Aku beliin sepulang dari Rumah Makan. Ya.” Bujuk Reihan. Reihan mempunyai bisnis rumah makan di daerah kota. Ia berniat untuk membuka cabang baru di dekat tempat tinggalnya yang sekarang.
“Beneran nih?”
“Iya dong. Kamu mau apa?”
“Bawain aku martabak manis dan martabak telur. Bagaimana?”
“Gampang itu mah. Tapi sekarang kita.....” Kata Reihan mengode sambil menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya.
Jihan mengangguk.
“Yes.” Kata Reihan kegirangan. Reihan pun melancarkan aksinya. Ia mulai merogoh bagian tubuh Jihan yang terlihat sangat menonjol dari bagian tubuh lainnya. Diremasnya perlahan. Tangannya masuk menyeruai ke dalam baju tidur Jihan yang tipis. Jihan mengalungkan kedua tangannya ke leher sang suami. Bibir Reihan menjelajahi leher Jihan yang indah dan mulus. Rambutnya yang masih dikuncir kuda ia lepaskan. Nampak terlihat lebih indah jika rambut sang istri terurai panjang.
Jihan menikmati belaian yang diberikan Reihan. Ia meliuk-liukkan badannya yang sexy itu di atas pangkuan sang suami. Reihan keenakan. Ia memejamkan matanya. Sesekali ia ingin melihat ekpsresi istrinya yang menggairahkan.
“Astaga!!!” Reihan terkejut saat membuka matanya. Bukan istrinya yang berada di atasnya. Reihan melihat sesosok wanita menyeramkan berambut panjang. Dengan mengenakan kain putih sosok itu dengan lihainya menyetubuhi Reihan. Reihan mendorong sosok wanita itu. Namun seketika wajahnya kembali berubah menjadi Jihan.
“Aduh, Mas. Kamu ini kenapa sih?” Tanya Jihan yang terjatuh karena di dorong oleh suaminya yang ketakutan.
“Gak mungkin.” Jawab Reihan.
“Apanya yang gak mungkin, Mas?”
“Kamu beneran istriku kan?” Tanya Reihan meyakinkan sambil mengelus pipi Jihan.
“Maksud kamu apa sih, Mas? Aku gak ngerti. Ya aku istrimu lah.” Jawab Jihan bete.
Reihan masih tak menyangka jika istrinya tadi berubah menjadi wanita yang menyeramkan. Wajahnya pucat. Mulutnya menganga penuh dengan darah. Menatap mata Reihan dengan sangat tajam.
“Ah sudah lah. Aku sudah gak mood buat ngelanjutin ini. aku mau tidur saja.” Ucap Jihan kesal.
“Sayang. Jangan ngambek dong. sayang. Maafin aku” Rengek Reihan. Ia merasa bersalah karena sudah mendorong istrinya.
“Iya. Tapi aku mau tidur.” Jawab Jihan yang masih kesal dengan suaminya.
Reihan pun mengalah. Ia membiarkan istrinya tidur. Ia merasa bahwa ketakutan yang di rasakan istrinya itu adalah benar. Rumah ini memang ada yang tidak beres. Merasa takut, Reihan menyusul istrinya tidur.
*
*
*
“Sayang. Bangun. Sudah subuh nih. Kita jama’ah dulu.” Kata Jihan membangunkan suaminya yang masih tertidur pulas.
“Bentar lagi ya, Sayang. Masih ngantuk nih.” Rengek Reihan yang masih mengantuk.
“Ayo bangun.” Jihan memaksa Reihan dengan menarik tangannya. Lelaki itu pun terbangun dari tidurnya.
“Mas. Antar aku ke kamar Alea dong. kita bangunin Alea sama-sama.” Ajak Jihan yang sebenarnya ia masih merasa takut jika harus menyusuri rumah itu sendirian.
“Iya. Ayo.”
Mereka berdua pun berjalan menuju kamar Alea. Dibukanya pintu kamar sang anak secara perlahan. Terlihat Alea masih tertidur pulas. Jihan dan Reihan mendekat ke arah Alea.
“Sayang. Bangun yuk. Kita sholat subuh dulu. Abis itu kita jalan-jalan.” Kata Jihan sambil mengelus rambut sang anak.
Alea menggeliat. Ia menatap wajah mama dan ayahnya dengan mata sayu.
“Iya, Ma.” Jawab gadis cantik itu sambil mengucek kedua matanya.
Mereka bertiga segera mengambil air wudhu kemudian menuju ruangan sholat. Reihan dan Alea nampak khusyu menjalankan ibadahnya. Namun tidak dengan Jihan. Ia takut jika ada yang meniup dan membisikkan sesuatu di telinganya lagi.
Telah sampai di rokaat terakhir. Tidak ada kejadian mengganjal yang menimpa Jihan. Ia merasa sangat lega karena apa yang ia khawatirkan tidak terjadi.
Diciumnya tangan sang suami. Alea juga mencium tangan kedua orang tuanya.
“Pagi ini kita jalan-jalan yuk.” Ajak Reihan kepada kedua wanitanya.
“Kemana, Yah?” Tanya Alea.
“Ya di sekitar sini aja. Ayah kenalkan dengan tetangga sebelah. Di sini udaranya sejuk banget loh kalau setelah subuh.”
“Tapi di sini tidak ada anak kecil lagi ya, Yah. Selain Jeny? Di sini orang-orangnya sudah pada kakek nenek. “
“Alea, sebentar lagi kan kamu sekolah di sekolah yang baru. Kamu gak usah khawatir jika tidak mempunyai teman. Pasti teman Alea di sekolah nantinya banyak.” Kata Reihan kepada puterinya.
“Memangnya Ayah sudah daftarin Alea ke sekolah yang baru?” Tanya gadis cantik tersebut.
“Belum sih. Tapi secepat mungkin Ayah akan mendaftarkan Alea ke sekolah yang baru ya.” Ucap Reihan. Alea mengangguk mendengar perkataan sang Ayah.
“Mending sekarang kita ganti baju. Kita siap-siap untuk jalan-jalan pagi.” Ucap Jihan kepada suami dan anaknya.
“Oke, Ma. Alea ke kamar dulu ya. Mau ganti baju.” Ucap Alea. Jihan mengusap kepala sang anak. Gadis cantik itu pergi meninggalkan ruangan sholat dan menuju ke kamarnya.
Begitu juga dengan Jihan dan Reihan. Mereka juga segera ganti baju dan menjalankan aktifitas baru mereka di lingkungan yang baru.
30 menit telah berlalu. Alea tidak kunjung keluar dari kamarnya.
“Mas. Alea kok belum keluar dari kamarnya ya?” Tanya Jihan kepada suaminya yang sudah sedari tadi menunggu Alea di teras rumah.
“Iya. Coba kamu panggil. Mungkin saja Alea ketiduran.” Perintah Reihan.
“Iya, Mas. Sebentar.” Jihan pergi meninggalkan Reihan dan menyusul Alea di kamarnya.
Pintu kamarnya tertutup. Jihan membuka pintu kamar tersebut. Dalam waktu yang bersamaan, Alea juga membuka pintu kamarnya.
Jihan dan Alea saling terkejut.
“Alea. Mama kaget, Nak. Kenapa kamu lama sekali ganti bajunya? Ayah sudah menunggu kamu sedari tadi di teras rumah.”
“Maaf ya, Ma. Tadi Alea diajak ngobrol sebentar sama Jeny. Dia tadi curhat ke Alea, Ma. Jadi mau gak mau Alea harus dengerin curhatannya Jeny.”
“Curhat? Curhat apa?” Jihan penasaran dengan apa yang diceritakan oleh teman ghoib anaknya. Berharap ada petunjuk dari cerita tersebut tentang teror semalam yang menimpanya.
“Maaf, Ma. Jeny gak ngebolehin Alea cerita ke siapapun soal curhatannya. Jadi Alea gak bisa cerita ke Mama atau pun Ayah.” Ucap Alea. Jihan berusaha mengerti apa yang dikatakan oleh puterinya.
“No problem. Sekarang kita ke depan yuk. Sudah ditungguin Ayah.” Jihan dan Alea pun pergi untuk jalan-jalan pagi.
"Sepertinya Alea sangat dekat dengan teman ghoibnya. Apa ada hubungannya dengan mimpiku semalam? Ayah? Siapa Ayah anak itu? Hingga ia meneror keluargaku."
Udara begitu sejuk. Banyak pepohonan yang memayungi desa tua itu. Reihan, Jihan dan Alea sangat menikmati kesegaran yang mereka hirup. Maklum, di kota mana sempat menghirup udara sesegar ini? Banyak polusi udara yang disebabkan oleh asap kendaraan bermotor dan juga asap pabrik. “Haaaahh. Sejuknya.” Kata Jihan sambil merentangkan kedua tangannya. “Apa aku bilang? Kamu suka kan?” Tanya Reihan. Jihan menjawab dengan hanya menganggukkan kepalanya. “Itu. Bu Rah lagi duduk-duduk di teras rumahnya. Yuk kita kesana.” Ajak Reihan kepada istri dan juga anaknya. “Assalamualaikum, Bu Rah.” Ucap Reihan. “Waalaikumsalam.” Jawab wanita tua tersebut. “Gimana kabarnya, Bu Rah? Baik?” Tanya Reihan sambil mencium punggung tangan wanita tua yang ada di hadapannya itu. “Baik.” Jawabnya singkat. Wanita tua bernama Rah itu memang tidak banyak bicara. Ia hanya akan bicara jika ada hal penting yang harus dijawab. “Perkenalkan. Ini istri saya. Namanya Jihan.” Kata Reihan yang memperkenalkan J
Pagi ini terasa biasa saja. Tidak ada yang aneh dan mengganjal. Ini hari ke dua mereka tinggal di rumah itu. Jihan menyiapkan hidangan untuk sarapan. “Ma, Alea bantu ya?” Tawar sang puteri. “Iya, Sayang. Tolong bawakan ini ke meja makan ya.” Kata Jihan sambil menyodorkan piring berisikan potongan ayam goreng. “Oke, Ma.” Gadis kecil itu pun menuruti apa yang diperintahkan ibunya. Begitu juga Jihan yang menyusul di belakangnya dengan membawa nasi dan juga sayuran. “Makanannya sudah siap. Ayo kita sarapan.” Kata Jihan. Mereka bertiga pun mulai mengambil makanan yang telah tersaji di hadapannya. Dengan lahapnya Reihan menyantap masakan istrinya itu. “Ini enak banget loh.” Puji Reihan. “Kapan kamu bilang masakanku gak enak? Perasaan kamu bilangnya enak terus, Mas.” Kata Jihan menggoda suaminya. “Karena masakan kamu memang gak pernah gak enak. Semuanya enak. Itu yang menjadikan kita sekarang bisa memiliki rumah makan kan? Ingat jaman kita dulu waktu masih susah-susahnya
“Mama.” Panggil Alea secara tiba-tiba. Belum sempat membuka buku yang diduganya adalah buku diary itu, tiba-tiba Alea memanggilnya dari belakang. Sehingga ia buru-buru menutupnya dan menyimpannya kembali ke dalam laci tersebut. “Eh. Iya, Sayang. Ada apa?” Tanya Jihan kepada puterinya. “Ma. Kapan Alea sekolah lagi? Alea bosen di rumah. Gak ada temennya. Palingan Cuma si Jeny yang nemenin Alea.” Ucap gadis imut itu. Namanya juga anak-anak. Maklum kalau dia merasa sepi tidak ada teman. Apa lagi di tempat tinggalnya tidak ada anak kecil selain dia. Semuanya sudah lanjut usia. “Sabar, Sayang. Besok Mama ajak Ayah untuk cari sekolahan buat kamu ya.” Bujuk Jihan. Gadis itu pun mengangguk pertanda ia mengerti. Jihan pun akan lebih tenang jika waktu siang hari ia meninggalkan rumah itu. Ia bisa pergi mengantar puterinya bersekolah. Namun ia harus tetap mencari tahu, misteri apa yang tersimpan di rumah in? Ia tidak mau jika keluargaya berlarut-larut dalam ketakutan karena teror yang
“Alea. Mama kira kamu kemana. Ternyata ada di sini.” Kata Jihan yang menemukan Alea baru saja keluar dari kamar mandi. “Hehe. Iya, Ma. Tadi Alea kebelet banget. Sebelum Mama salam, Alea sudah salam duluan. Abisnya sudah gak tahan, Ma.” Jawab gadis cantik itu. “Iya, Nak. Gak apa-apa.”Tok tok tokTiba-tiba pintu rumah Jihan diketuk oleh seseorang. “Iya. sebentar.” Pikirnya, mungkin itu adalah suaminya. Ternyata saat ia membuka pintu, bukanlah suaminya yang datang, melainkan seorang laki-laki pengantar makanan. “Dengan Ibu Jihan?” Tanya laki-laki itu. “Iya. Saya Jihan, Mas.” “Ini. Saya mau mengantarkan makanan yang dipesan oleh Bapak Reihan untuk Ibu Jihan. Ada martabak telur dan juga martabak manis.” Kata laki-laki itu. Jihan heran. Sebenarnya kemana Reihan? Kenapa ia sampai menyuruh pengantar makanan untuk mengantarkan pesanannya? Tapi laki-laki ini terlihat aneh. “Baik lah. Saya terima ya, Mas. Terimakasih.” Ucap Jihan kepada laki-laki tersebut.Tanpa menjawab apapun d
Tidak ada siapapun di kamar mandi itu kecuali dirinya. Reihan yang mulai merinding segera meraih handuk dan juga pakaiannya. Ia keluar dari kamar mandi dengan badan yang masih basah. Ia langsung menuju ke ruang makan untuk menemui istri dan juga anaknya. “Lho, Mas? kok masih basah semua gitu? Memangnya gak ada handuk?” Tanya Jihan yang melihat suaminya keluar dari kamar mandi, namun ekspresinya seperti ketakutan. “Ada apa, Mas? kok kamu seperti ketakutan begitu?” Tanya Jihan lagi. “Kamu tadi masuk kamar mandi gak, Sayang?” Tanya Reihan yang memastikan bahwa yang memeluknya tadi adalah Jhan atau bukan. “Tidak, Mas. Aku dari tadi di sini sama Alea nungguin kamu mandi gak selesai-selesai.” “Serius?” Tanya Reihan lagi. “Serius, Mas. Memangnya kenapa sih?” Tanya Jihan penasaran. “Gak apa-apa. Kita makan bareng aja yuk. Perutku sudah lapar.” Kata Reihan yang berusaha mengalihkan pembicaraannya. “Apalagi Alea. Alea dari tadi sudah lapar, Ayah. Nungguin Ayah gak datang-datang
TapAda tangan yang tiba-tiba memegang pundaknya dari belakang. Jihan terkejut dan langsung menoleh ke arah belakangnya. “Kamu kenapa belum tidur, Sayang?” Tanya seseorang yang menepuk pundak Jihan yang ternyata itu adalah Reihan. “Ada... ada...” Kata Jihan terbata-bata. Karena ia takut mendengar suara tangisan yang tiba-tiba menghilang itu. “Ada apa?” Tanya Reihan penasaran. “Ada suara wanita menangis, Mas.” “Dimana? Aku tidak mendengarnya.” Ucap Reihan. “Di situ, Mas. Aku tadi mendengarnya.” Kata Jihan sambil menunjuk ke arah asal suara tangisan itu. “Seperti apa suaranya?” Tanya Reihan lagi. “Ya seperti suara tangisan perempuan, Mas.” Jawab Jihan. “Apa suaranya seperti ini? Heemmm heeemmm.” Tiba-tiba Reihan yang tadinya baik-baik saja menjadi menyeramkan. Suara menangisnya sama persis seperti apa yang didengar oleh Jihan tadi. Jihan menjadi takut. Ia semakin mundur. Sedangkan Reihan semakin mendekatinya. “Siapa kamu?” Tanya Jihan yang berusaha melawan rasa taku
Reihan yang mendengar Alea berkata seperti itu langsung menoleh ke arah puterinya dan menghentikan wudhunya. “Yah. Kok ilang?” Kata Alea. “Sayang. Kamu lihat Jeny?” Tanya Jihan kepada Alea. “Iya, Ma. Tadi dia berdiri di samping Ayah.” Jelas Alea. Reihan segera melanjutkan wudhunya. Kemudian ia menunggu Jihan dan juga Alea selesai wudhu. Ia takut kalau harus pergi ke ruang ibadah sendirian.Setelah wudhu, mereka bertiga langsung menuju ke ruang ibadah untuk menunaikan sholat subuh. Suasana hening, tanpa ada aba-aba dari kokokan ayam atau pun suara kicauan burung yang menandakan pagi akan segera tiba.Reihan melantunkan surah pendek dengan baik. Pelafadzannya juga lumayan bagus. Sedangkan Jihan dan Alea mendengarkan dan mengikuti gerakan imam. Mereka bertiga terlihat khusyu saat menjalankan sholat.***Matahari mulai menampakkan sinarnya. Hari ini Reihan libur bekerja karena harus mendaftarkan Alea ke sekolahnya yang baru. “Alea. Kamu sudah siap kan belajar di sekolah yang baru
“Tidak tahu. Coba aku periksa dulu.” Reihan pun turun dari mobil. Jihan dan Alea menunggu di dalam mobil. “Ada apa, Ma? Kenapa mobilnya berhenti?” Tanya Alea kepada ibunya. “Tidak tahu, Nak. Kita tunggu Ayah sampai selesai mengeceknya ya.” Jawab Jihan.Beberapa menit kemudian, Reihan belum juga bisa menemukan kendala yang sedang menimpa mobilnya. Jihan dan Alea pun turun dari mobil. Menanyakan keadaan kendaraan yang mereka tumpangi saat ini. “Kenapa, Mas? Apa ada masalah?” Tanya Jihan kepada Reihan yang masih meneliti kerusakan yang menyebabkan mobilnya berhenti mendadak. Jihan merasa takut. Karena kondisi jalanan sangat sepi, mengingat mereka sedang berada di sepanjang jalan yang kanan kiri penuh dengan pepohonan. Ya bisa dibilang masih seperti hutan. “Aku belum menemukan kerusakannya. Sabar ya.” Kata Reihan yang berusaha menenangkan kedua wanitanya. “Hei. Kenapa kamu berlari.” Kata Alea kepada sosok yang dilihatnya. “Ada apa, Alea? Siapa yang kamu maksud barusan?” Tan
### "Kamu pakai ini aja." Reihan menyerahkan gaun putih kepada Sekar untuk dipakai. "Kok gaunnya tipis banget, Mas? Pasti terawang." Sekar membolak-balikkan gaun yang ia pegang. Ia tak yakin kalau harus memakai gaun pemberian dari Reihan. "Kamu gak usah khawatir. Aku gak akan ngapa-ngapain kamu kok. Justru gaun seperti ini lah yang biasanya dipakai sama para model," bujuk Reihan dengan senyum menyeringai. "Baik deh, Mas. Aku akan memakainya. Tapi janji ya, lukisannya harus bagus." "Iya. Pasti. Tenang aja. Aku akan buat lukisan yang cantik seperti dirimu."Dengan wajah malu-malu, Sekar mulai berganti pakaian di kamarnya. Kebetulan hari ini ayah dan ibunya Sekar sedang tidak ada di rumah. Mereka sedang bekerja di kebun tetangga. Maka dari itu Reihan menggunakan kesempatan ini untuk bisa mendekati Sekar.Tak lama kemudian, gadis cantik tersebut keluar dari kamarnya. Dengan mengenakan gaun putih tembus pandang. Tentu saja dal*aman yang dikenakan Sekar terlihat jelas. Reihan yan
"Aku? K-kenapa denganku?" tanya Reihan gugup dan terbata-bata. Gelagatnya menampakkan seperti orang salah tingkah. Nasi sudah menjadi bubur. Jika benar pelakunya adalah Reihan, maka ia harus bersiap menanggung akibatnya. Jihan berjalan menghampiri suaminya secara perlahan. Dengan tatapan yang tajam, wanita tersebut meminta penjelasan kepada pria yang digadang-gadang sudah menghancurkan hidup Sekar di masa lalu. "Apa benar kamu yang menghamilinya, Mas?" tanyanya dengan suara lirih. Akan tetapi, Reihan semakin gugup dan merasa tersudutkan saat itu. "Itu tidak benar! J-jangan percaya! Apa kamu lebih percaya dengannya dari pada suamimu sendiri?" Reihan semakin memundurkann langkahnya. "Jangan bohong kamu, Mas! Kalau kamu tidak melakukannya, kenapa dia selalu meneror keluarga kita?" Nada bicara Jihan semakin meninggi, membuat Reihan merasa semakin tersudutkan. "Apa aku harus mengingatkan kembali kelakuan bejatmu saat itu, Reihan!" Tiba-tiba suara seorang wanita menggema begi
Entah kenapa saat ustadz Zein menanyakan hal tersebut, raut wajah Reihan tampak panik. Pria tersebut sesekali menoleh ke arah sang istri. "Tidak, Ustadz. Ada tetangga kami yang rumahnya agak berjauhan," jawab Reihan berdalih dengan raut wajah cemas. Ustadz Zein membacakan ayat-ayat suci dan berusaha menetralkan suasana rumah yang sejak awal terkesan sangat horror. Di tengah-tengah kekhusyukannya, tiba-tiba ustadz Zein merasa jika ada yang menghantam dadanya dari depan. Hingga beliau terpental beberapa meter ke belakang. "Astaghfirullahal'adzim." Suaranya sedikit parau lantaran menahan sakit di dadanya. Kedua matanya menatap sengit siapa yang sedng berdiri di hadapannya. "Siapa kamu?" tanya ustadz Zein secara lantang sambil memegangi dadanya yang sakit. Jihan langsung menarik Alea dan menyembunyikannya di belakangnya. Meskipun ia dan suaminya tidak bisa melihat, siapa sosok yang sedang berinteraksi dan berusaha menyerang ustadz Zein. "Kalau kau mau selamat, jangan iku
Aku tengah meratapi masa mudaku yang hancur karena dirusak oleh dirinya. Ku kira dia adalah pria yang baik. Tidak ada gelagat yang mencurigakan sama sekali yang ada padanya. Aku tertipu akan sikap santun yang dimiliki pria yang telah merusak hidupku. “Pria itu? Siapa dia?” gumam Jihan bertanya kepada dirinya setelah membaca sepenggal isi dari buku diary milik ibunya Jeny yang malang.Dibukanya lagi lembar selanjutnya. Berharap dari buku diary itu ia menemukan sebuah titik terang yang menjadi penyebab dirinya selalu diteror oleh sosok wanita yang tak diketahui dia siapa.Apa yang bisa aku harapkan sekarang? Aku tidak akan membiarkan bayi yang ada di dalam kandunganku ini mati, sedangkan aku masih hidup. “Jadi dia tidak bermaksud untuk menggugurkan Jeny?” Satu persatu curahan hati Sekar ia baca dengan penuh penghayatan. Jihan bisa meraskan bagaimana rapuhnya Sekar kala itu. Hingga akhirnya ia tiba di lembar ketiga. Dimana di lembar tersebut Sekar menuliskan sebuah kalimat terakhir
"Huft. Ternyata cuma cicak," Jihan mendengkus kesal. Ia segera menuju ke dapur untuk membuatkan makanan untuk puterinya. Ruangannya yang sedikit lembab membuat Jihan merasa tidak nyaman berlama-lama di tempat khusus memasak itu. Dengan cepat ia segera menyelesaikan tugasnya dan kembali menuju ke kamar Alea.Makanan sudah matang. Hanya sepiring nasi bertopingkan telur dadar di atasnya. Jihan keluar dari dapur dan berjalan menuju kamar Alea. Dilihatnya sang suami yang sudah nampak bersih dan wangi. Sepertinya Reihan sudah membersihkan dirinya."Kok sudah rapi, Mas? Tumben? Mau kemana?" Tanya Jihan saat mencium bau parfum dari pakaian yang dikenakan oleh sang suami. Rambutnya pun tersisir rapi. "Mau keluar sebentar. Nitip Alea ya," jawab Reihan dengan mimik datar. Karena pria itu masih kesal dengan ajakan Jihan untuk meninggalkan rumah horor tersebut. "Kemana, Mas?" tanya Jihan penasaran. "Mau ke rumah Pak Ustadz buat jemput ke sini. Katanya suruh meruqyah rumah ini?" jawab Rei
Siang berganti sore. Sinar matahari yang tadinya sangat menyengat mulai bergeser ke arah barat. Jihan segera membangunkan kedua orang tercintanya yang masih tertidur lelap.Pertama, ia menuju ke kamarnya untuk membangunkan Reihan. "Mas. Bangun. Sudah sore nih. Gak baik kalau tidur sore hari. Nanti kepala kamu juga pusing loh," ucap Jihan sambil menggoyang-goyangkan badan suaminya yang masih terbaring di atas ranjang. Reihan menggeliat. "Jam berapa sih, Sayang? Aku masih ngantuk," tanyanya dengan suara yang parau. "Jam tiga sore, Mas. Jangan tidur sore ah. Nanti saja tidurnya kalau sudah jam sembilan malam," ucap Jihan. "Hmm. Iya deh. Sayangku. Memangnya kamu siang ini gak tidur?" tanya Reihan yang belum kunjung merubah posisinya menjadi duduk. "Aku gak bisa tidur, Mas. Aku takut," jawab Jihan cemas. "Apa yang kamu takutkan? Kalau kamu mengantuk, tidur saja. Jangan memaksakan untuk terjaga. Nanti kesehatan kamu malah terganggu karena kurang istirahat," tutur Reihan yang perl
“Hem,” jawab Bu Rah singkat. Tatapannya tetap terfokus ke arah depan. Padahal Jihan berada di sebelahnya. “Maaf, jika pertanyaan saya sedikit menyinggung. Tapi saya ingin tahu, apa maksud dari pesan yang Ibu sampaikan kepada suami saya beberapa hari lalu? Bu Rah meminta agar suami saya melindungi saya dan puteri saya,” tanya Jihan kepada wanita paruh baya yang terlihat aneh tersebut. “Bukankah itu memang tugas seorang suami untuk menjaga anak dan istrinya?” Bu Rah malah bertanya balik kepada Jihan yang membuat Jihan sedikit kesal dengan jawaban yang diberikan. “Iya juga sih. Tapi kalau boleh saya jujur, semenjak saya tinggal di rumah tersebut, saya dan keluarga saya selalu mendapatkan teror yang tidak jelas. Mulai dari Alea yang kerasukan, pengantar makanan misterius, sampai wanita menyeramkan yang ada di pohon besar belakang rumah saya. Dan ini tadi saya mendapati Alea yang pingsan di sekolahnya. Awalnya saya dan suami saya tidak curiga dengan sekolahan tersebut. karena sekol
Sesampainya di sekolahan yang katanya telah lama kosong tersebut, Jihan mendapati puterinya yang tergeletak di dekat gerbang sekolah. Entah apa yang yang membuat Alea tak sadarkan diri. Padahal tadi ketika Jihan meninggalkannya untuk membeli makanan, Alea sudah masuk ke dalam sekolahan tersebut. Namun kali ini gadis polos itu tergeletak tak berdaya di depan gerbang sekolahannya. Jihan mengambil handphone yang terletak di saku jaketnya. Ia segera menelfon Reihan agar segera menghampiri mereka berdua. Karena tidak mungkin jika Jihan membawa Alea pulang dengan menggunakan motor maticnya.Jihan memencet nomor telfon suaminya. Agak lama memang untuk bisa tersambung, karena sinyal di tempat tersebut sangatlah minim. “Halo, Mas. Cepat kamu jemput aku dan Alea di sekolahan. Alea pingsan,” ucap Jihan panik. Ia melihat keadaan sekitar sekolah yang tiba-tiba berubah menjadi bersarang dan tak terawat. Suasana juga sangat sepi. Tidak ada murid atau pun guru yang berada di sekolah tersebut. “A
Tiba-tiba sosok itu tepat berada di hadapan Jihan. Sontak Jihan langsung terkejut. Ia berteriak, namun anehnya suaranya tidak keluar sama sekali. Lalu bagaimana Reihan bisa mendengar teriakannya?Sosok itu semakin membulatkan matanya dan menatap jihan secara tajam. Wajahnya semakin mendekat ke arah wanita yang sedari tadi napasnya terengah-engah. Sekarang malah sosok wanita menakutkan tersebut malah mengunci dirinya hingga Jihan tidak bisa lari dari tempat dimana dia berdiri sekarang. “S s siapa kamu? Mau apa kamu? K Kenapa kamu terus menganggu keluargaku?” Tanya Jihan dengan gemetaran. Peluhnya tak berhenti mengucur di wajahnya. Ditambah lagi dengan derasnya air hujan yang tadi telah membashi dirinya. “Pergi.” Kata sosok itu sambil melotot. Suaranya yang serak membuat Jihan semakin ketakutan. “K kenapa?” Jihan memberankan diri untuk bertanya sekali lagi.Dar!!! Suara petir membuat Jihan kaget saat menanyakan hal yang membuatnya penasaran kepada sosok yang selama ini telah men