Kota Baylee, Januari 2005 - 15 Tahun Lalu.
“Ethan, apa menurutmu hanya ada satu bumi di dunia ini?” seorang wanita dengan dres cokelat muda bertanya lembut sambil membelai kepala anak lelaki yang bersandar di pundaknya, di ruang keluarga rumah mereka.
“Bukankah memang begitu, ibu? Jika memang ada bumi lain, lalu di mana bumi itu?” tanya anak itu sambil menatap wanita yang ia panggil ibunya, penuh penasaran.
“Hmm.. Begini.. Saat kau hanya bisa memilih satu di antara apel, bola atau mobil ayahmu, kau akan memilih apa?”
Ethan duduk berpikir cukup lama. Tiga pilihan itu adalah favoritnya, jadi sulit bagi Ethan yang besok akan berumur 10 tahun untuk memilih.
“Mobil?” jawab Ethan tidak yakin. “Ayah pasti menyimpan apel dan bolaku di sana, benar kan?”
Ibunya tertawa. “Baiklah.. Kalau begitu, jika Ayahmu tidak menyimpan apel dan bola di sana, lalu apa yang terjadi dengan dua pilihan lain yang tidak kau ambil?”
Ethan bingung. “Apa yang akan terjadi?”
“Pilihan itu akan hilang.. Tapi mungkin akan kembali kalau kau mengambil pilihan itu..”
“Jika aku tidak mengambilnya, apa mereka akan tetap hilang? Karena aku juga ingin memilih mereka. Bisakah aku memilih semuanya saja?” rajuk Ethan dengan bibirnya yang cemberut.
“Ethan.. Kau tahu, saat hidup, kita akan lebih banyak diharuskan mengambil hanya satu pilihan dalam satu waktu. Karena dengan begitu kita punya tujuan yang pasti dan tidak akan bingung..”
“Seperti saat Ibu memilih untuk menikahi Ayah dan tinggal di Baylee, daripada hidup dengan Kakek dan Nenek di Landen?”
Eislyn, wanita yang menjadi ibu dari Ethan itu, mendadak diam. Ethan memang sudah sering bertanya tentang itu karena ia selalu ingin bertemu dengan Kakek dan Neneknya tapi tidak bisa.
“Ya.. seperti itu..” jawab Eislyn sambil berusaha tersenyum. “Jadi, jika di sini kau memilih mobil, maka di tempat lain kau mungkin memilih apel atau bola..”
“Di tempat lain? Apa aku ada di tempat lain?”
“Mungkin.. Bisa jadi kita tidak hanya tinggal di satu tempat, tapi juga tinggal di tempat lain dengan memilih pilihan lain.. Karena itu, bumi pun mungkin saja tidak hanya ada satu, tapi dua, tiga, atau banyak lagi..”
Ethan semakin bingung mendengar penjelasan ibunya. Dia ingin bertanya lagi tapi seorang pria dengan tergesa-gesa memasuki ruangan itu diiringi suara riuh angin dari pintu yang ia buka.
“Huh.. Anginnya sungguh kencang malam ini..” ucap pria itu sambil menyeka tanah dan daun yang hinggap di badan dan kakinya. Ia baru saja naik ke atap rumah dengan mengandalkan pohon besar tepat di samping rumah mereka untuk membenarkan antena televisi yang dipasang di sana.
“Apa kau baik-baik saja, sayang?” tanya Eislyn sambil berdiri untuk mengambil segelas teh hangat yang langsung diserahkan pada pria itu.
“Tidak terlalu buruk. Tapi, apa televisinya sudah kembali menyala?”
Eislyn segera menyalakan televisi di bawah jam yang menunjukkan pukul 7.30. Video berputar diiringi suara yang mengejutkan Ethan. Ia berteriak. Ethan pikir ada monster yang muncul dari sana. Mereka tertawa dan mulai duduk berkumpul di sofa, empat meter di depan televisi tersebut.
Waktu berlalu hingga pukul 9.45 dan Ethan sudah terlelap di pangkuan Eislyn. Perlahan, Adrien, pria yang sudah menjadi suaminya selama 12 tahun ini, membaringkan Ethan di kamar tidurnya yang dipenuhi bintang-bintang kecil menyala di langit-langitnya. Mereka segera keluar setelah mencium kening dan pipi Ethan.
“Apa kita akan tetap pada rencana semula?” bisik Eislyn.
“Tentu saja.. Ethan sudah sangat menantikan itu..” balas Adrien sambil berjinjit menahan suara langkahnya.
Mereka mulai membersihkan ruang keluarga dan menempatkan berbagai balon besar berbentuk angka 10 hingga kue tar berwarna biru dengan miniatur mobil yang terbuat dari cokelat. Bagaimanapun lewat pukul 12 malam ini, Ethan sudah memasuki usia 10 tahun, jadi tentu mereka harus merayakannya. Terutama karena Ethan selalu ingin diberi kejutan meskipun itu berarti ia harus bangun tengah malam.
Eislyn dan Adrien masih bersemangat menyiapkan pesta kejutan ulang tahun Ethan saat suara dering telepon dari sofa mengejutkan mereka. Jam 11.30 saat telepon itu berdering di saku jaket yang tergantung di sofa tersebut. Adrien segera mengambil telepon genggam itu dan berlari keluar rumah agar Ethan yang masih tertidur di kamarnya tidak terbangun.
“Halo..?” tanya Adrien, tapi tidak ada suara di ujung sana.
Adrien hendak mengakhiri panggilan sampai sebuah suara tiba-tiba terdengar dari telepon itu.
“Adrien? Ini aku Leane..” jawab suara tersebut parau bersama angin yang berhembus cukup kencang.
“Leane? Apa yang terjadi? Mengapa suaramu terdengar aneh?” tanya Adrien mulai khawatir.
Leane adalah temannya dan Eislyn di kampus 12 tahun lalu. Mereka sudah putus kontak setelah Leane dan suaminya Derin tiba-tiba menghilang begitu saja 5 tahun yang lalu.
“Aku dan Derin ada di Gunung Zyn. Aelin dalam bahaya. Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, tapi bisakah kau datang ke sini dan membawa Aelin?”
Adrien masih berusaha memproses suara Leane yang samar terhalang suara angin di sekitarnya. Eislyn yang sebelumnya memeriksa Ethan di kamarnya sesaat setelah Adrien keluar dengan telepon itu, kini sudah berada di samping Adrien dengan kerut kening yang sama.
“Ada apa?” bisik Eislyn. Adrien menggeleng kecil, ia masih tidak mengerti.
“Eislyn, apa kau di sana?” suara Leane terdengar lebih jelas, begitupun suara angin yang mulai mereda.
“Leane? Apa benar ini kau?” Eislyn terkejut sekaligus bahagia mendengar suara teman lamanya yang selama ini ia cari.
“Ya.. Maafkan aku karena baru menghubungi kalian di saat seperti ini.. Tapi bisakah kalian membantuku sekarang karena mereka masih terus mengejar kami jadi kami tidak bisa menjaga Aelin..”
“Apa yang sebenarnya terjadi Leane? Mereka siapa yang kau maksud? Kalian ada di mana sekarang?” tanya Eislyn lagi, bingung sekaligus khawatir.
“Kami.. d... Gunu.. Zyn..” suara di telepon itu mulai terputus-putus. “..bawah tungku.. ruma.. persembunyian.. ambil..”
Sesaat setelah itu telepon kembali hening. Adrien dan Eislyn saling bertatapan diiringi suara panggilan yang berakhir.
Adrien mencoba menelepon Leane lagi beberapa kali tapi tidak diangkat.
“Apa yang terjadi? Apa mereka benar-benar dalam bahaya?” tanya Eislyn tidak yakin.
“Sepertinya kita hanya bisa memastikan itu sendiri..” ucap Adrien setelah dengan gelisah terus mengetuk-ngetukkan ponselnya ke tangannya yang lain.
Adrien masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci dan menyalakan mobilnya. Bensinnya masih penuh. Sementara itu, angin pun sudah mulai mereda. Mungkin mereka bisa pergi ke tempat Leane dan keluarganya berada, Gunung Zyn.
“Apa kau akan pergi sendiri?” tanya Eislyn khawatir.
“Sepertinya begitu.. Kau harus menjaga Ethan, sayang..” ucap Adrien.
Meskipun Eislyn khawatir tapi ia menyerah. Sebelum Adrien pergi dengan mobilnya, Eislyn membawa jaket cokelat yang tergantung di sofa tadi, sepatu gunung dan sebuah senter untuk diserahkan pada Adrien.
“Kabari aku begitu kau bertemu dengan Leane..”
“Baiklah.. Jangan khawatir.”
Adrien melajukan mobilnya, meninggalkan Eislyn yang segera masuk ke rumah mereka lagi setelah mobil itu hilang dari pandangannya.
Saat Eislyn hendak merapikan semua properti untuk pesta kejutan ulang tahun Ethan, ia melihat pintu kamar anaknya terbuka. Ia segera memeriksa kamar tersebut dan mendapati bahwa anaknya sudah tidak ada di sana.
“Ethan?” Eislyn terkejut. “Ethan di mana kau, nak?” Ia berjalan mengelilingi rumah mencari Ethan yang masih tidak muncul. Sampai di luar rumah, ia melihat beberapa jejak kecil di tanah tempat mobil Adrien diparkir tadi.
Eislyn segera menelepon Adrien namun tidak ada jawaban. Khawatir, ia kembali mencari Ethan dengan lebih seksama ke berbagai tempat di sekitar rumah mereka, tapi masih tidak ada tanda apapun selain jejak tadi.
Eislyn merenung. Ia pikir mungkin Ethan diam-diam masuk ke dalam mobil Adrien karena marah tidak bisa mengadakan pesta ulang tahunnya. Terakhir kali, ia melakukan hal yang sama karena marah saat ayahnya harus bekerja di hari libur dan tidak bisa bermain dengannya seperti yang dijanjikan.
“Bagaimana ini..” Eislyn mulai takut karena pergi ke Gunung Zyn saat malam hari sudah cukup berbahaya untuk orang dewasa, apalagi untuk Ethan yang masih kecil. “Apa yang harus aku lakukan..?”
***
Mobil masih melaju hingga Adrien menemukan gerbang usang yang jarang dilewati orang di Gunung Zyn. Itu adalah jalan pintas paling dekat menuju rumah persembunyiannya dan teman-teman kuliahnya dulu sesama pecinta gunung. Ia segera menghentikan mobilnya dan bergegas memasuki gunung dengan senter yang diberikan Eislyn.
Tanpa Adrien sadari, Ethan yang ternyata memang diam-diam masuk ke dalam bagasi mobilnya, keluar setelah mendengar ayahnya pergi. Ia mulai bingung, tidak tahu bahwa ia akan berada di tempat yang begitu gelap tanpa siapapun.
“Ayah..?” Ethan mulai memanggil ayahnya, tapi Adrien sudah pergi jauh. Ethan mulai menahan air mata, ketakutan. Kemanapun ia melihat, hanya ada banyak pohon besar dan jalanan gelap dengan sedikit cahaya dari lampu sein mobil yang tidak sempat dimatikan Adrien.
Ethan memutuskan untuk kembali masuk ke dalam bagasi mobil itu sampai sebuah langkah mendekat. Ia terkejut. Tidak tahu siapa yang mendatanginya.
Apakah itu ayahnya?
Di tempat lain, Eislyn sudah masuk ke dalam taxi menuju Gunung Zyn sambil membawa sebuah senter dan mantel anaknya. Dengan penuh khawatir, ia masih berusaha menelepon Adrien, tapi tetap tidak diangkat.
Saat Eislyn tidak sanggup lagi menahan air mata cemas, sebuah mobil yang terparkir di dekat gerbang membuatnya berhenti. Ia ingat, gerbang itu adalah jalan pintas menuju rumah persembunyian mereka. Mobil yang terparkir di sana juga mobil yang sangat ia kenal, mobil Adrien.
Eislyn segera turun dari taxi. Ia mendekati mobil Adrien berharap ia dan anaknya ada di sana, tapi yang ia temukan adalah telepon genggam yang jatuh di sela-sela jok mobil tersebut dan bagasi yang terbuka. Mereka sudah tidak ada. Tanpa ragu lagi, ia bergegas menyalakan senter dan masuk ke dalam gerbang tadi menuju rumah persembunyian, tempat mereka mungkin berada.
Sesampainya di rumah persembunyian berupa pondok yang terbuat dari 80 persen kayu, pintu terbuka begitu saja sebelum Eislyn menyentuhnya. Sosok dengan wajah yang tak asing keluar dari rumah tersebut bersama Ethan di sampingnya.
“Ethan?”
“Ibu!” Ethan langsung memeluk ibunya. Sementara itu, Eislyn terpaku memandangi wajah yang tak mungkin ia lupakan.
“Aku sangat ketakutan, kalau saja ayah tidak menjemputku..” ucap Ethan menyebut sosok di depan mereka sebagai ayahnya.
Sekilas, ia memang terlihat seperti Adrien-nya di mata siapapun, tapi tidak di matanya. Eislyn tahu, bahwa ia bukan Adrien suaminya.
“Kau masih sama seperti dulu..” ucap Eislyn.
Pria dengan pakaian serba hitam itu tersenyum tipis, menatapnya dengan lembut.
“Sepertinya kau masih tidak bisa menghindari takdirmu, Eislyn..”
Hening.
Ethan yang kedinginan sekaligus ketakutan, tidak mengerti satupun yang mereka bicarakan.
Dari jauh, suara-suara riuh tiba-tiba terdengar. Pria tadi segera pergi ke arah asal suara tersebut. Eislyn mulai memakaikan mantel tebal yang dibawanya ke badan Ethan lalu menggandengnya berjalan ke arah yang sama.
Cahaya yang begitu besar memenuhi jalan di pegunungan itu, tak jauh dari rumah persembunyian tadi. Beberapa orang berkelahi di dalam cahaya tersebut, salah satunya Adrien, suami Eislyn. Ethan terkejut, tidak hanya karena cahaya yang begitu besar menyerbak di sana, tapi juga karena ada dua wajah yang sama di depannya.
Belum sempat Ethan bertanya, Eislyn langsung menariknya menuju cahaya itu. Pria berbaju hitam yang Ethan pikir sebagai ayahnya tadi, mencoba menghentikan mereka tapi langsung ditepis Eislyn.
“Adrien, apa yang terjadi?” teriak Eislyn saat memasuki cahaya aneh yang di dalamnya terdapat sebuah jembatan besar tempat semua orang berdiri saat ini. Menara jam besar berdiri tegak di belakang mereka tapi jarum jamnya tidak bergerak.
Di belakang Adrien, seorang anak perempuan seusia Ethan bersembunyi dengan menggenggam erat sebuah kalung berbentuk bulat bergambar segitiga dengan sebuah batu kecil di dalamnya. Mungkin ia adalah Aelin, anak Leane dan Derin yang membuat mereka ada di sana untuk menyelamatkannya. Sementara itu, lima orang berpakaian serba hitam seperti pria yang mirip Adrien tadi, mencoba mendapatkan kalung tersebut.
Meskipun tidak tahu apa yang sedang terjadi, Eislyn berlari menuju Adrien dan Aelin, diikuti Ethan yang masih takjub dengan semuanya.
“Kami hanya perlu kalung itu, dan kalian akan selamat..” bujuk salah seorang berbaju hitam di depan mereka.
“Memangnya kalung apa ini? Mengapa kalian begitu menginginkan kalung ini hingga mencelakai Leane dan keluarganya?” tanya Adrien.
“Kami tidak mencelakai siapapun.. Kami hanya ingin mengambil apa yang menjadi milik kami..” jawab salah seorang lainnya.
“Milik kalian? Kalung ini?” Adrien tidak percaya.
Saat ia berusaha memproses semua yang ia alami, matanya teralihkan pada sosok pria yang berdiri di luar cahaya di seberang mereka. Adrien terbelalak. Ia seperti sedang melihat cermin dirinya namun dengan pakaian yang berbeda.
Memanfaatkan situasi tersebut, kelima orang berbaju hitam tadi langsung menyerbu Adrien dan keluarganya. Dalam waktu singkat, mereka berhasil menyeret Aelin diiringi jeritan sang anak.
“Kami tidak tahu alasan kalian berbuat seperti ini.. Tapi karena kalian mengatakan hanya ingin mengambil kalung tersebut, bukankah kalian bisa melepas anak itu?” ucap Eislyn berusaha menenangkan keadaan.
Pria-pria itu menoleh ke belakang, seperti meminta persetujuan pria lain di luar cahaya. Dia mengangguk. Mereka pun melepas Aelin setelah mengambil kalung dari genggamannya secara paksa yang membuat tangan anak itu terluka. Aelin sambil meringis kesakitan segera berlari menuju Eislyn. Sedangkan kelima pria tadi mulai berjalan mundur menuju keluar cahaya.
Pria yang mirip Adrien di seberang yang selalu diam di tempat sejak ia sampai di sana, tiba-tiba berteriak.
“Keluar dari sana!” teriaknya penuh ketakutan sambil menatap Eislyn yang masih menenangkan kedua anak di sampingnya.
Cahaya mulai menghilang dan mereka tidak bisa lagi melihat satu sama lain. Semua terdiam.
Jarum jam di menara besar yang tadi berhenti, mulai bergerak tidak karuan. Jembatan besar yang semula berdiri kokoh juga tiba-tiba mulai retak dan bergoyang. Lantai jembatan yang terbuat dari beton itu dengan mudah runtuh begitu saja. Semua orang yang tersisa di jembatan kini mulai berteriak panik.
“Apa yang terjadi?!”
Adrien dan Eislyn sebagai satu-satunya orang dewasa di tempat itu, segera meraih Ethan dan Aelin untuk membantu mereka memanjat saat jembatan mulai melandai. Namun, saat akhirnya Adrien dan Eislyn bisa menyelamatkan diri mereka sendiri, tempat mereka berdiri tiba-tiba runtuh dan Eislyn terjatuh.
“TIDAK!!!” jerit semua orang, terbelalak ketakutan.
Saat semua orang masih menahan napas karena apa yang baru saja terjadi, sebuah tangan muncul dari bawah menggapai lantai jembatan yang masih utuh. Ternyata Eislyn berhasil bertahan. Adrien pun segera berlari menuju tempat Eislyn meskipun ia kesulitan karena lantai jembatan yang curam. Sedangkan Ethan dan Aelin hanya bisa saling menggenggam tangan satu sama lain, berharap jembatan ini tidak lagi hancur.
Cahaya besar kembali muncul di belakang mereka. Ethan dan Aelin menoleh, seolah melihat harapan. Namun, sebelum seseorang akhirnya bisa menyelamatkan mereka, lantai jembatan tempat Adrien dan Eislyn berada, tiba-tiba runtuh membawa mereka jatuh ke dalam jurang yang tak terlihat dasarnya.
“IBU!!!” teriak Ethan, berlari menuju tempat mereka terjatuh sampai sepasang tangan menghentikannya dengan kuat.
“TIDAKKK!!!” Ethan tak kuasa menjerit. Air matanya mengalir begitu deras bersama sisa-sisa reruntuhan jembatan yang jatuh menyusul kedua orang tuanya. Aelin, meskipun baru bertemu dengan mereka, ikut terisak keras dengan tangannya yang masih berdarah.
Sepasang tangan asing memeluk mereka dengan erat sambil menahan air mata dari matanya yang sudah memerah dan sembap, lalu membawa mereka keluar dari cahaya tersebut. Sementara itu, suara raungan di dalam gunung terdengar begitu memekik, seolah menyampaikan kesedihan ke segala penjuru dunia tentang kehilangan yang tidak akan pernah bisa dilupakan.
Kota Baylee, Mei 2020 - 3 Jam Lalu.Ethan sudah berusia 25 tahun. Kini, ia sudah tidak terlalu ingat lagi kejadian saat ia kehilangan kedua orang tuanya. Ia hanya ingat bahwa ia sangat terluka karena itu dan hidupnya menjadi berantakan hingga ia terus mencoba mengakhirinya. Namun, berkat seseorang akhirnya ia terus bertahan.Malam telah mencapai puncak ketika bayangan perkelahian mulai memenuhi alam bawah sadar Ethan.
Kota Trevin, Mei 2020 - Saat ini.Berkat pengejaran itu, kini Ethan ada di sebuah tempat yang sama tapi tidak sama dengan dunianya. Padahal ia yakin sekarang ia berada di Gunung Zyn Kota Baylee, tapi orang-orang di sekitarnya dan spanduk-spanduk yang terpasang di sepanjang gunung mengungkapkan hal yang berbeda. Orang-orang terus mengerubungi dan memperlakukan Ethan seolah ia adalah orang yang sangat penting di sana. M
Tunggu.. Ia terlihat sedikit berbeda dengan orang itu, pikir Ethan. Pria yang membuka pintu rumah Kayla dan sedang menatap Ethan dari sana, tampak berusia cukup sama dengan perkiraan usia ayahnya jika ia masih hidup, sekitar 50-an. “Jadi, kau Ethan itu?” tanya pria tadi sambil berjalan menghampiri Ethan yang masih terkejut dan Kayla yang biasa saja. Kayla memperhatikan wajah Ethan yang masih menganga lalu ia terkikik menahan tawa. “Kau bisa mengundang lalat ke mulutmu, Ethan!” serunya, memecah keheningan. “Apa karena aku sangat mirip dengan Ayahmu jadi kau seperti itu?” sahut pria asing yang sudah duduk di samping Ethan. Ethan tersentak dan menarik mundur dirinya agar tidak duduk terlalu dekat dengan pria itu. Ia masih mengira pria tersebut adalah orang yang sama dengan dalang dibalik pengejarannya selama 15 tahun ini. “Namaku Rovin, dan aku bukan Adrien..” ujar pria yang sama sambil meminta minum kepada Kayla dengan gerakan tangannya. Kayla seger
Ethan masih berada di jembatan portal. Sebuah keinginan untuk kembali ke dunia lain dan tinggal di sana tiba-tiba terbersit di kepala Ethan. Ada wanita yang kehadiran pertamanya membuat kedua orang tuanya jatuh dari jembatan dan sampai saat ini belum ditemukan. Ada juga orang-orang yang menyambutnya dengan hangat tanpa melihat status sosialnya. Ada seseorang yang mirip dirinya yang mungkin bisa memahaminya. Juga.. Ada banyak misteri yang masih belum ia mengerti mengenai hidupnya, dunianya dan dunia lain.
Ethan terdiam sesaat. Pria yang begitu mirip dirinya itu kini ada di depannya.Apa Ethan sedang ada di dunia lain lagi? Tapi bagaimana bisa?“Ethan? Kau Ethan ‘kan yang sempat datang ke rumah Kayla tadi?” tanya pria itu. “Aku Darren.. Darren Allen!”Pria yang menyebut dirinya Darren itu segera menghampiri Ethan dan menjabat tangannya. Sedangkan Ethan masih terpaku tidak percaya. Saat ia bertemu dengan Darren sebelumny
Suara sirine memenuhi Skye Hills, membuat puluhan orang berdatangan bersama kamera-kamera besar. Para reporter langsung menyerbu Ethan begitu ia keluar dari rumah Darren. “Wow!” seru semua orang, melihat wajah Ethan yang begitu mirip dengan Calon Walikota termuda Kota Trevin, Darren Allen. Ethan dengan kedua tangan terborgol di depannya dan beberapa polisi berbadan besar yang membawanya keluar, berjalan kebingungan. Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, kepalanya mulai tertunduk lebih dalam terutama setelah puluhan telur mentah dilemparkan padanya bersama sumpah serapah ya
“Aelin! Kau bisa membuka borgolnya ‘kan?” tanya Kayla pada wanita muda yang tampak seumuran dengannya, di dalam mobil yang melaju cukup cepat menghindari kejaran para polisi di belakang.Wanita yang duduk di depan bersama Rovin, menoleh. Sesaat matanya dan mata Ethan bertemu.“Sebentar!”Dia mengambil sebuah jarum kecil dari balik dasbor mobil.“Sini!” serunya pada Ethan sambil mengulurkan tangan meminta tangan lelaki itu.Ethan hanya diam. Ia terlalu hanyut dalam pikirannya tentang wanita yang ia pikir adalah penyebab semua kehancuran hidupnya. Wanita yang baru saja berbicara padanya itu.Kayla yang menyadari tingkah Ethan, segera menyikut tangannya. Namun, Ethan masih kehilangan fokus.Wanita yang tadi dipanggil Aelin, telah menarik kedua tangan Ethan yang terborgol begitu saja. Mata mereka kembali bertemu tapi Aelin langsung melanjutkan tugasnya membuka borgol di tangan Ethan.&ldquo
Saat ini “Bagaimana kalian bisa mengenal Profesor Elan?” tanya Ethan, masih tidak menyangka. Kayla, Rovin dan Aelin sudah masuk ke dalam mobil yang baru saja mengantar mereka ke gubuk besar di belakang. “Kita bicarakan itu di jalan, oke?” balas Rovin sambil menyalakan mobilnya. Ethan menghela napas. Begitu banyak pertanyaan di kepalanya hingga rasanya akan meledak. Ia pun masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang, kali ini di sebelah Aelin yang masih terasa canggung baginya. “Ini benar-benar malam yang sangat panjang..” gumam Kayla sambil menatap keluar jendela dengan mata menahan kantuk. “Kau pasti lelah karena harus menyelesaikan banyak misi dari profesor hari ini..” balas Aelin, menepuk lembut pundak Kayla dari belakang. Misi? “Mungkin aku seharusnya tidak melakukan itu.. Kita benar-benar telah masuk perangkap Demios, huh!” keluh Kayla sambil menghela napas cukup panjang. “Ngomong-ngomong.. bagaimana caranya
“Ethan.. kita belum memulai proyek kita untuk membuat orang-orang tidak penasaran dengan portal..” ucap Aelin, mengingatkan Ethan tentang rencananya beberapa bulan lalu.“Hmm.. Tapi bagaimana cara kita memulainya?” tanya Ethan bingung.“Kalau tentang ceritamu, sebenarnya aku sudah tahu, jadi aku tidak perlu bertanya lagi. Tapi.. mungkin akan lebih menarik kalau aku menuliskan cerita-cerita lain, seperti antologi cerpen. Bagaimana?”“Cerita apa?” Ethan mulai lebih tertarik.“Cerita yang aku dengar dari Aelin.. tidak.. maksudku, Helena..”Ethan mengernyit. Ia memang tahu bahwa selama 3 bulan Aelin tidak bertemu dengannya, selama itu juga ia terus berkomunikasi dengan Aelin yang pernah meminjam tubuhnya dan telah hidup sebagai Helena atau Nevaeh. Mungkin saat itulah Aelin mendengar cerita yang sekarang ingin ia tuliskan, sebagai cara meredam rasa penasaran masyarakat dunia tentang keberadaan portal yang dibongkar Demios tahun lalu.“Ada cerita tentang orang yang pergi ke dunia sebe
“Ethan..” lirih seorang wanita, dengan kedua mata tertutup di tempat tidur yang gelap, sebelum ia terbangun dengan teriakan, “TIDAK!”Wanita itu terdiam selama beberapa saat di atas tempat tidurnya. Ia bisa merasakan air yang membasahi wajahnya, tanpa ia tahu mengapa, karena ia sudah tidak mengingat apa yang membuatnya mengeluarkan air mata di atas tempat tidurnya pada pukul 3 pagi itu.Wanita itu mulai menatap kosong keluar jendela yang tirainya sedikit terbuka. Bulan pernama menyinari langit di luar rumahnya, menampilkan seseorang yang mematung sama seperti dirinya. Seorang pria di seberang rumahnya.Pria itu tersenyum dan seketika wanita itu sadar bahwa ia melihat pria itu dalam mimpinya, termasuk mimpinya yang tidak bisa ia ingat malam ini. Pria asing yang ia tidak kenal, tapi memberinya perasaan kehilangan yang besar, seolah ia adalah seseorang yang berarti untuknya, walau ia yakin ia tidak pernah bertemu dengan pria itu dalam hidupnya hingga saat ini.Jadi..“Siapa dia?
Ethan tercengang.Aelin yang tampaknya sudah memperkirakan reaksi Ethan, segera membawa Ethan untuk kembali duduk dan menjelaskan apa maksud dari semua itu.“Aku berencana mengatakan tentang ini nanti saat aku yakin kau tidak lagi tersakiti oleh Aelin yang meminjam tubuhku..”Ethan menelan ludah, berusaha menyiapkan diri untuk apa yang harus ia dengar sekarang.“Kalung ini memang dari Aelin dan ia memberikannya padaku melalui ibuku, karena ia ingin menjelaskan padaku apa yang ingin aku tahu..”“Apa maksudnya?” Ethan tidak mengerti.“Kalung ini bisa membuatku berkomunikasi dengan Aelin di Avesphere, tapi.. hanya aku yang bisa melakukannya, karena kalung ini berisi cermin diri yang dibuat dari sisa jiwa Aelin, jadi hanya aku yang merupakan dirinya di masa kini yang bisa berkomunikasi dengannya..”Ethan yang sempat senang, karena berpikir ia memiliki kesempatan untuk berbicara lagi dengan Aelin yang ia rindukan, harus kembali merasa kecewa.“Aelin menjelaskan semuanya padaku, ter
Setelah tiga bulan berada di Desa Jalen, Ethan akhirnya memutuskan untuk kembali ke Kota Baylee. Hati Ethan sudah tidak seberat tiga bulan lalu, walau masih ada sisa-sisa ingatan tentang Aelin yang mengganggunya.“Bagaimana selama tinggal di sana? Apa menyenangkan?” tanya Ibu Ethan begitu anaknya selesai merapikan barang-barangnya kembali di kamar.“Ya.. cukup menyenangkan. Pemandangannya benar-benar indah dan menyegarkan, masih sama seperti dulu saat aku kecil sering bermain di sana, Ibu..” jawab Ethan dengan lembut sambil merangkul ibunya. Tiga bulan berpisah dari orang tuanya yang baru kembali setelah 15 tahun, tentu membuat Ethan tanpa sadar ingin menempel pada orang tuanya itu.“Oh ya, ibu dengar dari Leane kalau kau memutuskan membantu Aelin untuk beradaptasi. Apa kau tidak apa-apa dengan itu, Nak?” tanya Ibu Ethan, masih terdengar khawatir mengingat alasan anaknya pergi ke Desa Jalen selama 3 bulan adalah untuk melupakan Aelin yang meminjam tubuh wanita yang akan dibantu
“A-apa yang kau lakukan.. di sini?” tanya Ethan, masih terkejut dengan kedatangan Aelin ke perkebunan teh di Desa Jalen tempatnya bekerja. ‘Bagaimana caranya ia tahu aku ada di sini? Untuk apa juga ia ada di sini?’ Pikir Ethan di dalam hatinya.“Siapa itu Paman? Apa dia pacar Paman yang dari kota?” tanya Keisya pada Ethan, cucu kedua Paman Tyler yang paling cerewet.Kebetulan hari itu Keisya dan kedua saudaranya sedang bermain lagi di perkebunan teh keluarga mereka. Tentu saja ada Paman Tyler serta anak dan menantunya di rumah kecil tempat Ethan tinggal selama hampir 3 bulan ini.“Halo..?” Aelin menyapa Keisya dan kedua saudaranya dengan ramah sambil memberikan beberapa bingkisan makanan. Tak lupa ia juga menyapa Paman Tyler dan keluarganya, membuat Ethan semakin tidak mengerti maksud kedatangan wanita yang ia tahu bukan wanita pemilik hatinya.“Maaf menganggu kegiatan kalian.. Tapi, bisakah aku berbicara dengan Ethan sebentar?” tanya Aelin, setelah selesai memperkenalkan diri s
Ethan sedang berada di kamarnya, merenung. Hatinya sudah tak karuan sejak beberapa hari lalu, ketika Aelin yang dia cintai sudah pergi meninggalkannya ke Avesphere untuk mengakhiri tugasnya sendiri sebagai Nevaeh, sang pemimpin Aeris.‘Kenapa dia tidak bisa tetap tinggal di sini lebih lama lagi?’ Ethan tidak bisa menghentikan perasaannya yang sangat kehilangan itu.Selama beberapa bulan ia bertarung melawan Demios hingga mengakhirinya dua minggu lalu, ia pikir ia akan bisa mendapatkan kehidupannya lagi yang utuh tanpa ketakutan bahwa dunia akan hancur karena ulah seseorang. Namun, ia memang berhasil menyelamatkan dunia tempatnya tinggal, tapi ia tidak bisa bersama dengan orang-orang yang ia inginkan. Semua temannya, orang yang diam-diam selalu menjaganya dan orang yang ia cintai, semua tidak ada lagi di dunia Ethan sekarang. Padahal, Ethan sudah bertemu kembali dengan kedua orang tuanya yang selalu ia rindukan selama 15 tahun ini. Sayangnya, ia juga jadi kehilangan banyak hal ya
“Nyonya Helena, apa kau..?” Pertanyaan Ethan ketika ia berhasil membawa Aelin keluar dari Osiris ke jembatan portal.Helena saat itu berada di menara jam besar dan ia hanya berkata, “Sampai bertemu lagi, Ethan..”Tanpa menjelaskan apapun, Helena mengirim cahayanya kepada Ethan untuk membuatnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi.Ethan pun akhirnya tahu bahwa saat Aelin-nya terjatuh dari jembatan portal, cahaya Aeris miliki Ethan membawa jiwa Aelin ke Avesphere. Jiwa Aelin yang tak memiliki raga itu pun bertemu dengan Revan di sana.“Nona Aelin, bagaimana kau bisa..?” Revan terkejut dengan kehadiran jiwa Aelin, jiwa tanpa raga yang berasal dari Geae di Avesphere. “Tuan Revan, sudah lama tidak bertemu..” ucap Aelin, semakin mengejutkan Revan dan Rigel yang juga berada di sana.“Kau..”“Ya..” Aelin mengangguk. “Berkat cahaya Aeris dari Ethan, selain berhasil menyelamatkanku dari Osiris, cahaya itu juga membangkitkan energi Aeris dalam diriku dan ingatanku tentang masa laluku se
Avesphere, Tahun 1997 – 23 Tahun Lalu..“Apa kau sudah mendapat persetujuan dari Yesha untuk membiarkan Eislyn bereinkarnasi di tubuhnya?” tanya Revan pada Helena yang ia minta untuk berkomunikasi dengan Yesha di tahun 2023.Yesha di tahun 2023 sudah menjadi Aeris bersama Ethan dan Kayla. Mereka juga sudah menjalankan tugas untuk mengunci portal, meskipun tetap tidak bisa menghentikan Demios yang akhirnya kabur dari Nyxsphere ke tahun 2005 melalui portal waktu.Kini, di tahun 1997 saat Yesha akan lahir ke dunia, Revan atas perintah Evren harus mereinkarnasi Eislyn ke dalam tubuh Yesha di masa tempat Demios kabur, guna menghentikan Demios memasuki Osiris melalui Yesha yang seorang Aeris sekaligus orang yang memiliki jiwa wanita yang dicintai Demios.“Sudah, Tuan Revan dan Yesha mengizinkan hal itu selama bisa mencegah kejahatan Demios yang lebih besar lagi..” jelas Helena, membuat senyum merekah di wajah Revan.“Baiklah..” Revan kemudian melirik ke arah Rigel yang juga ada di sana
“Ya! Kami baik-baik saja di sini! Kalian bagaimana? Apa kalian ada di Gunung Zyn sekarang? Kita juga ada di sini!” jawab Kayla bersemangat, meskipun sedikit sedih karena jika portal masih terbuka, maka mereka bisa bertemu tatap muka sekarang.“Kami baik-baik juga dan kami ada di Gunung Zyn. Sayangnya, kita tidak bisa bertemu lagi ya Kayla..” Aelin yang menjawab.Aelin berjalan menuju salah satu pohon yang paling dekat dengan posisi tempat portal seharusnya ada, tanpa kehilangan sinyal Evren yang menjadi penghubung telepon portal mereka dengan dunia seberang. Ethan berjalan mengekori dan mereka berdua pun duduk di bawah pohon untuk berkomunikasi dengan lebih nyaman.“Benar!” Kayla sudah membalas dengan suara nyaringnya lagi.“Oh ya, bagaimana dengan Profesor Elan? Apa ia ada di sana? Karena aku tidak bisa menemukannya di sini?”Pertanyaan Ethan seketika membuat semua orang hening.Di seberang sana, Kayla dan keempat orang lainnya saling berpandangan, mengisyaratkan pertanyaan yan