Kota Baylee, Mei 2020 - Saat ini.
Teror demi teror masih terus menimpa Ethan Allen, lelaki berumur 25 tahun yang ditinggalkan semua orang. Dia yang tidak punya status apapun, tidak dipercayai siapapun saat ia berkata bahwa sekelompok orang misterius terus mengejarnya tanpa sebab.
Semua orang hanya tertawa. Polisi, rekan kerja sesama satpam di perusahaan makanan, bahkan ibu-ibu di sekitar kamar kosnya.
“Pasti dia punya banyak hutang..” seru seseorang ditimpali anggukan dari yang lainnya.
“Apa benar Anda tidak punya masalah apapun dengan mereka?” tanya seorang polisi sambil mengernyit curiga.
“Mungkin kau mabuk dan membuat keributan dengan mereka ‘kan?” tanya rekan kerjanya dengan yakin seolah tak ada yang bisa membantahnya.
Ethan sudah muak dilihat sebagai pecundang yang membuat kejadian buruk apapun yang terjadi padanya seakan-akan ia pantas mendapatkannya. Ditinggalkan keluarganya hingga dikucilkan oleh semua orang di panti asuhan, lalu sekarang tinggal di kamar kos dengan ukuran sekecil kamar mandi. Semua itu sudah cukup membuat semua orang bertanya, mengapa ia masih bertahan hidup. Namun, Ethan juga tidak tahu mengapa.
Jika semua orang meninggalkanku, apa yang bisa membuatku bertahan?
Ethan terus menanyakan itu berulang kali pada dirinya. Berulang kali pula dia mencoba bunuh diri tapi tidak pernah berhasil. Sekarang, bahkan saat ia sudah mencapai titik nadir hidupnya, ia masih harus berhadapan dengan sekelompok orang yang terus mengejarnya itu. Dengan kemeja hitam seragam, belasan pria misterius tersebut menemukannya bersembunyi di antara pohon besar di Gunung Zyn.
“Hei di sana!”
Teriakan itu disusul serbuan ke tempat persembunyian Ethan. Dia kembali berlari. Entah sudah berapa kilometer ia terus berlari sejak 3 jam lalu. Tanpa sadar, ia sudah tiba di tepi jurang yang hanya pernah ia lihat di film.
Sial. Ethan mulai mengutuk dalam hati.
Sungguh lucu. Ethan sudah berkali-kali mencoba untuk bunuh diri tapi tidak pernah berhasil, lalu sekarang saat ia punya kesempatan untuk mati, ia mulai ragu.
Kenapa harus berakhir seperti ini? Keluhnya, menyesalkan 25 tahun hidupnya yang begitu membosankan.
“Apa kau akan melompat ke sana? Ha! Tidak mungkin kau seberani itu Ethan!” teriak salah seorang pengejar setelah menarik napas.
Ethan berbalik.
“Kemarilah! Mari bertemu Tuan kami lagi!” sahut seseorang disusul tujuh sampai sembilan orang yang sudah dibanjiri keringat.
Ethan berusaha mengatur napasnya lagi. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, melirik ke bawah jurang tempat kerikil mulai berjatuhan tanpa terlihat dasarnya. Pemandangan itu sama sekali tidak berubah. Jadi, apa yang harus dia lakukan?
“Tidak ada yang bisa kau lakukan, Tuan Ethan.. Kau akan baik-baik saja jika kau kembali pada kami, oke?” bujuk sebuah suara, Ethan tidak tahu lagi siapa yang berbicara, karena jurang itu lebih menarik perhatiannya.
Bulan purnama besar dan terang masih bergantung di langit, dengan suara riuh burung gagak di kejauhan yang memecah keheningan. Ethan tiba-tiba merasakan sakit seperti terbakar di bagian tengkuknya. Ia berteriak kesakitan. Lalu dalam sekejap, semburat cahaya merebak tepat di belakangnya sebelum ada yang berbicara lagi.
Ethan menoleh. Kedua orang tuanya di sana bersama puluhan orang lain yang tidak ia kenal. Ia terkesiap.
Apa ini? Mengapa mereka ada di sana?
Orang-orang yang mengejarnya tadi mulai berjalan maju dan berkumpul takjub.
Detik selanjutnya, setelah tarikan napas keras dengan mata tertutup dan rasa sakit yang belum hilang, Ethan sudah melompat ke cahaya itu seolah tersihir. Ia menghilang begitu saja, ditelan cahaya yang lenyap bersama kegelapan bulan.
***
Kaki Ethan berpijak, ia menganga. Apa ia tidak jatuh ke jurang?
Ethan melihat sekeliling. Hanya ada jembatan besar di tempatnya berdiri. Tanpa tanah dan langit atau bahkan seekor semut. Sementara itu, sebuah menara dengan jam besar berdiri jauh di depannya, menunjuk tepat di angka 12. Denting terdengar dari jam tersebut dan jarum jam itu mulai bergerak.
Setelah beberapa detik, Ethan sudah tidak merasakan sakit lagi di tengkuknya. Dengan instingnya untuk bertahan, ia segera berjalan ke menara tersebut.
Langkah demi langkah terasa tidak pernah mengurangi jarak Ethan dan manara itu. Ethan mengecek jam tangan yang masih selalu ia pakai meski tanpa sepeserpun uang di kantungnya. Jam Ethan berhenti. Aneh. Padahal baterainya masih baru.
Ah. Sesuatu menusuk kulit kakinya. Beberapa kerikil rupanya masuk ke dalam sepatunya, mungkin saat ia dikejar tadi.
Ethan mengambil kerikil itu dan mencoba melemparnya ke bawah jembatan tapi kerikil itu berhenti, tepat di tempat ia melepaskan kerikil itu dari tangannya. Seketika jantung Ethan ikut berhenti. Apa ini?
Begitu Ethan meraih kerikil itu dan melemparnya lagi ke udara, benda itu kembali berhenti begitu saja. Ia terus mencoba dengan benda lain, sepatu hingga jam tangannya yang tidak berfungsi. Semuanya hanya melayang di udara, seolah tidak tersentuh gravitasi.
Ethan mulai menyadari, mungkin ia memang sudah mati.
Gedebuk. Ethan jatuh terbaring.
Aw. Tapi kenapa rasanya sakit? Bahkan saat ia memukul-mukul kepalanya dan mencubit tangan dan kakinya, ia masih merasa sakit. Jadi, ia sebenarnya masih hidup atau sudah mati?
“Apa ada orang di sini?” teriak Ethan. Butuh waktu cukup lama untuknya mencari orang lain selain dirinya di tempat itu.
“Halo!” masih suara Ethan. “HEIIIIIIII!!!” Suaranya semakin keras, tapi itu hanya kembali pada dirinya, bergema tanpa ada siapapun yang menjawab.
“He...” suara Ethan tiba-tiba berhenti saat ia melihat sebuah cahaya terpantul ke jam tangannya yang melayang di udara.
Ia mengambil jam tersebut dan mulai mencari cahaya tadi. Mungkin itu sebuah jawaban untuk misteri ke sekian kalinya hari ini. Cahaya kembali terpantul. Kali ini Ethan mencoba mengarahkan cahaya itu ke satu-satunya benda di tempat ini, menara jam besar.
Tepat ke tengah jam besar yang jaraknya tidak pernah berkurang, cahaya diarahkan dan seketika semburat cahaya seperti yang ia lihat sebelum masuk ke tempat itu, kembali muncul. Cahaya merebak bersama sebuah pintu yang muncul dengan begitu megah. Ethan terbelalak. Benar-benar seperti dunia sihir.
Dengan cepat, Ethan berlari menuju pintu tersebut. Matanya masih dipenuhi silau cahaya saat ia berhasil membuka pintu itu. Ia membuka mata pelan-pelan lalu ratusan pohon kembali memenuhi tempatnya berdiri.
Mungkin ia sudah kembali ke Gunung Zyn tempat ia dikejar beberapa waktu lalu, pikirnya.
Ethan merasa lega tapi juga waspada karena orang-orang itu mungkin masih ada di gunung ini. Walaupun masih linglung dengan apa yang ia alami sebelumnya, ia kembali berjalan. Sambil terus mengawasi sekitar, ia terus berjalan sembunyi-sembunyi setiap kali ia melewati orang-orang. Meskipun begitu, ia tidak menemukan satupun orang yang mirip para pengejarnya tadi.
Apa mereka sudah pergi?
Setelah mengecek kembali jam tangannya yang ternyata sudah kembali bergerak, Ethan menyadari bahwa waktunya di jembatan itu benar-benar berhenti dan di sini waktunya kembali berjalan. Ethan memiringkan kepalanya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
“Tuan Allen! Apa yang Anda lakukan di sini?” seseorang menepuk punggungnya dengan semangat. Ethan menoleh. Seorang wanita tua dengan pakaian gunung berwarna merah muda, bersama beberapa orang lainnya menatapnya dengan mata terkesima.
“Apa Anda mengenal saya?” tanya Ethan ragu, karena dalam ingatannya, ia tidak pernah disapa begitu ceria oleh seseorang.
“Tentu saja! Mana mungkin kami tidak mengenal Anda, Calon Walikota termuda di Trevin!”
Trevin? Apa itu? Lalu, Calon Walikota termuda?
Orang-orang mulai berkumpul. Lima, sepuluh, dua puluh, hingga tiga puluh orang. Semua mengelilingi Ethan dan menjabat tangannya satu persatu. Mereka tersenyum begitu lebar, senyum yang tidak pernah ia dapatkan dari siapapun sejak 15 tahun lalu.
Tidak mungkin! Apa ini? Aku menjadi Calon Walikota termuda di...
Tunggu, di mana ini?
Ethan menengadah melihat langit yang begitu cerah, berbeda saat ia dikejar oleh orang-orang berseragam kemaja hitam tadi. Akhirnya ia tersadar, ini bukan dunianya.
Kota Baylee, Januari 2005 - 15 Tahun Lalu.“Ethan, apa menurutmu hanya ada satu bumi di dunia ini?” seorang wanita dengan dres cokelat muda bertanya lembut sambil membelai kepala anak lelaki yang bersandar di pundaknya, di ruang keluarga rumah mereka.“Bukankah memang begitu, ibu? Jika memang ada bumi lain, lalu di mana bumi itu?” tanya anak itu sambil menatap wanita yang ia panggil ibunya, penu
Kota Baylee, Mei 2020 - 3 Jam Lalu.Ethan sudah berusia 25 tahun. Kini, ia sudah tidak terlalu ingat lagi kejadian saat ia kehilangan kedua orang tuanya. Ia hanya ingat bahwa ia sangat terluka karena itu dan hidupnya menjadi berantakan hingga ia terus mencoba mengakhirinya. Namun, berkat seseorang akhirnya ia terus bertahan.Malam telah mencapai puncak ketika bayangan perkelahian mulai memenuhi alam bawah sadar Ethan.
Kota Trevin, Mei 2020 - Saat ini.Berkat pengejaran itu, kini Ethan ada di sebuah tempat yang sama tapi tidak sama dengan dunianya. Padahal ia yakin sekarang ia berada di Gunung Zyn Kota Baylee, tapi orang-orang di sekitarnya dan spanduk-spanduk yang terpasang di sepanjang gunung mengungkapkan hal yang berbeda. Orang-orang terus mengerubungi dan memperlakukan Ethan seolah ia adalah orang yang sangat penting di sana. M
Tunggu.. Ia terlihat sedikit berbeda dengan orang itu, pikir Ethan. Pria yang membuka pintu rumah Kayla dan sedang menatap Ethan dari sana, tampak berusia cukup sama dengan perkiraan usia ayahnya jika ia masih hidup, sekitar 50-an. “Jadi, kau Ethan itu?” tanya pria tadi sambil berjalan menghampiri Ethan yang masih terkejut dan Kayla yang biasa saja. Kayla memperhatikan wajah Ethan yang masih menganga lalu ia terkikik menahan tawa. “Kau bisa mengundang lalat ke mulutmu, Ethan!” serunya, memecah keheningan. “Apa karena aku sangat mirip dengan Ayahmu jadi kau seperti itu?” sahut pria asing yang sudah duduk di samping Ethan. Ethan tersentak dan menarik mundur dirinya agar tidak duduk terlalu dekat dengan pria itu. Ia masih mengira pria tersebut adalah orang yang sama dengan dalang dibalik pengejarannya selama 15 tahun ini. “Namaku Rovin, dan aku bukan Adrien..” ujar pria yang sama sambil meminta minum kepada Kayla dengan gerakan tangannya. Kayla seger
Ethan masih berada di jembatan portal. Sebuah keinginan untuk kembali ke dunia lain dan tinggal di sana tiba-tiba terbersit di kepala Ethan. Ada wanita yang kehadiran pertamanya membuat kedua orang tuanya jatuh dari jembatan dan sampai saat ini belum ditemukan. Ada juga orang-orang yang menyambutnya dengan hangat tanpa melihat status sosialnya. Ada seseorang yang mirip dirinya yang mungkin bisa memahaminya. Juga.. Ada banyak misteri yang masih belum ia mengerti mengenai hidupnya, dunianya dan dunia lain.
Ethan terdiam sesaat. Pria yang begitu mirip dirinya itu kini ada di depannya.Apa Ethan sedang ada di dunia lain lagi? Tapi bagaimana bisa?“Ethan? Kau Ethan ‘kan yang sempat datang ke rumah Kayla tadi?” tanya pria itu. “Aku Darren.. Darren Allen!”Pria yang menyebut dirinya Darren itu segera menghampiri Ethan dan menjabat tangannya. Sedangkan Ethan masih terpaku tidak percaya. Saat ia bertemu dengan Darren sebelumny
Suara sirine memenuhi Skye Hills, membuat puluhan orang berdatangan bersama kamera-kamera besar. Para reporter langsung menyerbu Ethan begitu ia keluar dari rumah Darren. “Wow!” seru semua orang, melihat wajah Ethan yang begitu mirip dengan Calon Walikota termuda Kota Trevin, Darren Allen. Ethan dengan kedua tangan terborgol di depannya dan beberapa polisi berbadan besar yang membawanya keluar, berjalan kebingungan. Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, kepalanya mulai tertunduk lebih dalam terutama setelah puluhan telur mentah dilemparkan padanya bersama sumpah serapah ya
“Aelin! Kau bisa membuka borgolnya ‘kan?” tanya Kayla pada wanita muda yang tampak seumuran dengannya, di dalam mobil yang melaju cukup cepat menghindari kejaran para polisi di belakang.Wanita yang duduk di depan bersama Rovin, menoleh. Sesaat matanya dan mata Ethan bertemu.“Sebentar!”Dia mengambil sebuah jarum kecil dari balik dasbor mobil.“Sini!” serunya pada Ethan sambil mengulurkan tangan meminta tangan lelaki itu.Ethan hanya diam. Ia terlalu hanyut dalam pikirannya tentang wanita yang ia pikir adalah penyebab semua kehancuran hidupnya. Wanita yang baru saja berbicara padanya itu.Kayla yang menyadari tingkah Ethan, segera menyikut tangannya. Namun, Ethan masih kehilangan fokus.Wanita yang tadi dipanggil Aelin, telah menarik kedua tangan Ethan yang terborgol begitu saja. Mata mereka kembali bertemu tapi Aelin langsung melanjutkan tugasnya membuka borgol di tangan Ethan.&ldquo
“Ethan.. kita belum memulai proyek kita untuk membuat orang-orang tidak penasaran dengan portal..” ucap Aelin, mengingatkan Ethan tentang rencananya beberapa bulan lalu.“Hmm.. Tapi bagaimana cara kita memulainya?” tanya Ethan bingung.“Kalau tentang ceritamu, sebenarnya aku sudah tahu, jadi aku tidak perlu bertanya lagi. Tapi.. mungkin akan lebih menarik kalau aku menuliskan cerita-cerita lain, seperti antologi cerpen. Bagaimana?”“Cerita apa?” Ethan mulai lebih tertarik.“Cerita yang aku dengar dari Aelin.. tidak.. maksudku, Helena..”Ethan mengernyit. Ia memang tahu bahwa selama 3 bulan Aelin tidak bertemu dengannya, selama itu juga ia terus berkomunikasi dengan Aelin yang pernah meminjam tubuhnya dan telah hidup sebagai Helena atau Nevaeh. Mungkin saat itulah Aelin mendengar cerita yang sekarang ingin ia tuliskan, sebagai cara meredam rasa penasaran masyarakat dunia tentang keberadaan portal yang dibongkar Demios tahun lalu.“Ada cerita tentang orang yang pergi ke dunia sebe
“Ethan..” lirih seorang wanita, dengan kedua mata tertutup di tempat tidur yang gelap, sebelum ia terbangun dengan teriakan, “TIDAK!”Wanita itu terdiam selama beberapa saat di atas tempat tidurnya. Ia bisa merasakan air yang membasahi wajahnya, tanpa ia tahu mengapa, karena ia sudah tidak mengingat apa yang membuatnya mengeluarkan air mata di atas tempat tidurnya pada pukul 3 pagi itu.Wanita itu mulai menatap kosong keluar jendela yang tirainya sedikit terbuka. Bulan pernama menyinari langit di luar rumahnya, menampilkan seseorang yang mematung sama seperti dirinya. Seorang pria di seberang rumahnya.Pria itu tersenyum dan seketika wanita itu sadar bahwa ia melihat pria itu dalam mimpinya, termasuk mimpinya yang tidak bisa ia ingat malam ini. Pria asing yang ia tidak kenal, tapi memberinya perasaan kehilangan yang besar, seolah ia adalah seseorang yang berarti untuknya, walau ia yakin ia tidak pernah bertemu dengan pria itu dalam hidupnya hingga saat ini.Jadi..“Siapa dia?
Ethan tercengang.Aelin yang tampaknya sudah memperkirakan reaksi Ethan, segera membawa Ethan untuk kembali duduk dan menjelaskan apa maksud dari semua itu.“Aku berencana mengatakan tentang ini nanti saat aku yakin kau tidak lagi tersakiti oleh Aelin yang meminjam tubuhku..”Ethan menelan ludah, berusaha menyiapkan diri untuk apa yang harus ia dengar sekarang.“Kalung ini memang dari Aelin dan ia memberikannya padaku melalui ibuku, karena ia ingin menjelaskan padaku apa yang ingin aku tahu..”“Apa maksudnya?” Ethan tidak mengerti.“Kalung ini bisa membuatku berkomunikasi dengan Aelin di Avesphere, tapi.. hanya aku yang bisa melakukannya, karena kalung ini berisi cermin diri yang dibuat dari sisa jiwa Aelin, jadi hanya aku yang merupakan dirinya di masa kini yang bisa berkomunikasi dengannya..”Ethan yang sempat senang, karena berpikir ia memiliki kesempatan untuk berbicara lagi dengan Aelin yang ia rindukan, harus kembali merasa kecewa.“Aelin menjelaskan semuanya padaku, ter
Setelah tiga bulan berada di Desa Jalen, Ethan akhirnya memutuskan untuk kembali ke Kota Baylee. Hati Ethan sudah tidak seberat tiga bulan lalu, walau masih ada sisa-sisa ingatan tentang Aelin yang mengganggunya.“Bagaimana selama tinggal di sana? Apa menyenangkan?” tanya Ibu Ethan begitu anaknya selesai merapikan barang-barangnya kembali di kamar.“Ya.. cukup menyenangkan. Pemandangannya benar-benar indah dan menyegarkan, masih sama seperti dulu saat aku kecil sering bermain di sana, Ibu..” jawab Ethan dengan lembut sambil merangkul ibunya. Tiga bulan berpisah dari orang tuanya yang baru kembali setelah 15 tahun, tentu membuat Ethan tanpa sadar ingin menempel pada orang tuanya itu.“Oh ya, ibu dengar dari Leane kalau kau memutuskan membantu Aelin untuk beradaptasi. Apa kau tidak apa-apa dengan itu, Nak?” tanya Ibu Ethan, masih terdengar khawatir mengingat alasan anaknya pergi ke Desa Jalen selama 3 bulan adalah untuk melupakan Aelin yang meminjam tubuh wanita yang akan dibantu
“A-apa yang kau lakukan.. di sini?” tanya Ethan, masih terkejut dengan kedatangan Aelin ke perkebunan teh di Desa Jalen tempatnya bekerja. ‘Bagaimana caranya ia tahu aku ada di sini? Untuk apa juga ia ada di sini?’ Pikir Ethan di dalam hatinya.“Siapa itu Paman? Apa dia pacar Paman yang dari kota?” tanya Keisya pada Ethan, cucu kedua Paman Tyler yang paling cerewet.Kebetulan hari itu Keisya dan kedua saudaranya sedang bermain lagi di perkebunan teh keluarga mereka. Tentu saja ada Paman Tyler serta anak dan menantunya di rumah kecil tempat Ethan tinggal selama hampir 3 bulan ini.“Halo..?” Aelin menyapa Keisya dan kedua saudaranya dengan ramah sambil memberikan beberapa bingkisan makanan. Tak lupa ia juga menyapa Paman Tyler dan keluarganya, membuat Ethan semakin tidak mengerti maksud kedatangan wanita yang ia tahu bukan wanita pemilik hatinya.“Maaf menganggu kegiatan kalian.. Tapi, bisakah aku berbicara dengan Ethan sebentar?” tanya Aelin, setelah selesai memperkenalkan diri s
Ethan sedang berada di kamarnya, merenung. Hatinya sudah tak karuan sejak beberapa hari lalu, ketika Aelin yang dia cintai sudah pergi meninggalkannya ke Avesphere untuk mengakhiri tugasnya sendiri sebagai Nevaeh, sang pemimpin Aeris.‘Kenapa dia tidak bisa tetap tinggal di sini lebih lama lagi?’ Ethan tidak bisa menghentikan perasaannya yang sangat kehilangan itu.Selama beberapa bulan ia bertarung melawan Demios hingga mengakhirinya dua minggu lalu, ia pikir ia akan bisa mendapatkan kehidupannya lagi yang utuh tanpa ketakutan bahwa dunia akan hancur karena ulah seseorang. Namun, ia memang berhasil menyelamatkan dunia tempatnya tinggal, tapi ia tidak bisa bersama dengan orang-orang yang ia inginkan. Semua temannya, orang yang diam-diam selalu menjaganya dan orang yang ia cintai, semua tidak ada lagi di dunia Ethan sekarang. Padahal, Ethan sudah bertemu kembali dengan kedua orang tuanya yang selalu ia rindukan selama 15 tahun ini. Sayangnya, ia juga jadi kehilangan banyak hal ya
“Nyonya Helena, apa kau..?” Pertanyaan Ethan ketika ia berhasil membawa Aelin keluar dari Osiris ke jembatan portal.Helena saat itu berada di menara jam besar dan ia hanya berkata, “Sampai bertemu lagi, Ethan..”Tanpa menjelaskan apapun, Helena mengirim cahayanya kepada Ethan untuk membuatnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi.Ethan pun akhirnya tahu bahwa saat Aelin-nya terjatuh dari jembatan portal, cahaya Aeris miliki Ethan membawa jiwa Aelin ke Avesphere. Jiwa Aelin yang tak memiliki raga itu pun bertemu dengan Revan di sana.“Nona Aelin, bagaimana kau bisa..?” Revan terkejut dengan kehadiran jiwa Aelin, jiwa tanpa raga yang berasal dari Geae di Avesphere. “Tuan Revan, sudah lama tidak bertemu..” ucap Aelin, semakin mengejutkan Revan dan Rigel yang juga berada di sana.“Kau..”“Ya..” Aelin mengangguk. “Berkat cahaya Aeris dari Ethan, selain berhasil menyelamatkanku dari Osiris, cahaya itu juga membangkitkan energi Aeris dalam diriku dan ingatanku tentang masa laluku se
Avesphere, Tahun 1997 – 23 Tahun Lalu..“Apa kau sudah mendapat persetujuan dari Yesha untuk membiarkan Eislyn bereinkarnasi di tubuhnya?” tanya Revan pada Helena yang ia minta untuk berkomunikasi dengan Yesha di tahun 2023.Yesha di tahun 2023 sudah menjadi Aeris bersama Ethan dan Kayla. Mereka juga sudah menjalankan tugas untuk mengunci portal, meskipun tetap tidak bisa menghentikan Demios yang akhirnya kabur dari Nyxsphere ke tahun 2005 melalui portal waktu.Kini, di tahun 1997 saat Yesha akan lahir ke dunia, Revan atas perintah Evren harus mereinkarnasi Eislyn ke dalam tubuh Yesha di masa tempat Demios kabur, guna menghentikan Demios memasuki Osiris melalui Yesha yang seorang Aeris sekaligus orang yang memiliki jiwa wanita yang dicintai Demios.“Sudah, Tuan Revan dan Yesha mengizinkan hal itu selama bisa mencegah kejahatan Demios yang lebih besar lagi..” jelas Helena, membuat senyum merekah di wajah Revan.“Baiklah..” Revan kemudian melirik ke arah Rigel yang juga ada di sana
“Ya! Kami baik-baik saja di sini! Kalian bagaimana? Apa kalian ada di Gunung Zyn sekarang? Kita juga ada di sini!” jawab Kayla bersemangat, meskipun sedikit sedih karena jika portal masih terbuka, maka mereka bisa bertemu tatap muka sekarang.“Kami baik-baik juga dan kami ada di Gunung Zyn. Sayangnya, kita tidak bisa bertemu lagi ya Kayla..” Aelin yang menjawab.Aelin berjalan menuju salah satu pohon yang paling dekat dengan posisi tempat portal seharusnya ada, tanpa kehilangan sinyal Evren yang menjadi penghubung telepon portal mereka dengan dunia seberang. Ethan berjalan mengekori dan mereka berdua pun duduk di bawah pohon untuk berkomunikasi dengan lebih nyaman.“Benar!” Kayla sudah membalas dengan suara nyaringnya lagi.“Oh ya, bagaimana dengan Profesor Elan? Apa ia ada di sana? Karena aku tidak bisa menemukannya di sini?”Pertanyaan Ethan seketika membuat semua orang hening.Di seberang sana, Kayla dan keempat orang lainnya saling berpandangan, mengisyaratkan pertanyaan yan