Matahari merangkak, subuh perlahan-lahan menampakkan cahaya sedikit demi sedikit. Seorang gadis meringkuk di atas tempat tidur. Selimut tebal menutupi tubuh kecilnya. Sekarang adalah hari pernikahannya. Hari di mana setiap wanita di belahan bumi mana pun menantikannya, tapi tidak dengan gadis kecil yang masih berusia 18 tahun, Yang masih menggunak,an seragam abu-abu.
Perempuan berusia 38 tahun itu masuk, membuka tirai kamar. Cahaya mentari malu-malu masuk ke dalam kamar. Emma membalikkan badan, menatap gundukan selimut. Anak majikannya itu berada di dalam. Menggoyangkan tubuh Ayuna yang tertutup selimut tebal dan lembut.
“Yuna! Ayo bangun. Nanti kau telat loh di acara pernikahanmu.”
“Nanti dulu Tan, Yuna ingin tidur bentar lagi.” Suara parau dan serak, khas orang yang bangun tidur terdengar di telinga Emma. Perempuan berambut ikal itu melangkah keluar dari kamar. Pasti butuh waktu bagi Ayuna menata kembali hatinya. Karena sebentar lagi dia akan berstatus sebagai istri. Menutup pintu pelan. Saat pintu sempurna tertutup kembali, Ayuna sedikit membuka selimut yang menutup semua wajahnya. Wajah cuby itu terlihat sempurna.
Kaki kecil itu memukul kasur berkali-kali, mengacak selimut. Berteriak-teriak histeris. Tak menyangka hari yang paling terburuk telah tiba. Menatap nanar langit -langit kamar. Penuh dengan hiasan bintang-bintang. Meraih boneka jerapah di sampingnya.
“Ulli...Yuna takut, bentar lagi Yuna bakalan jadi istri!” curhat Ayuna pada boneka jerapah dengan satu bola mata. Boneka tersebut adalah boneka yang paling di sukai Ayuna, karena boneka pertama pemberian orang tuannya. Padahal bentuknya sudah tak karuan, berbau busuk karena tak pernah di cuci, warnanya pun pudar tapi Ayuna sangat menyayanginya melebihi dirinya sendiri.
Suara gagang pintu bergerak, membuat Ayuna langsung menutup kembali tubuhnya dengan selimut. Berharap siapa pun yang masuk segera pergi.
Sebuah kaki menendang Ayuna dengan sangat keras, membuat ia hampir mencium lantai marmer. “Eh kebo bangun! Loe ni, enggak waktu berangkat sekolah, hari pernikahan loh. Sama aja molor.”
Wanda memukul bahu Toby, “ Lo Ni, kasihan loh Yuna loe tendang-tendang. Emang yuna kantong beras apa?” bela Wanda tak terima dengan sikap Toby.
“Oke Mak Kunti, gue bakalan diam.” Menatap Wanda sebentar lalu melengos.
Ayuna membuka selimut, dengan wajah lusuh dan terlihat tak bersahabat. “ Astaga naga, loe habis ngapain? Kok mata loe kayak panda jelek jelmaan Kunti.”
“Toby!” Wanda berucap dengan suara lantang, membuat pria itu menutup mulut lalu seolah-olah menarik retsleting yang berada di antara dua kantuk bibir.
Wanda menjatuhkan pantat di pinggiran kasur. Sedangkan Toby melompat ke ranjang Ayuna. Membuat kasur empuk itu bergoyang-goyang. “Toby!”
“Ih Wan, loe emak-emak PMS Hah! kok dari tadi gue salah mulu di mata loe.”
Wanda memicingkan mata, menatap kembali Ayuna yang lusuh. Biasanya gadis itu selalu nimbrung ocehan Wanda Dan Toby, tapi sekarang ia hanya diam. “Loe kenapa? Bentar lagi loe mau nikah loh.”
“Gue takut wan, dari tadi malam gue enggak bisa tidur. Mungkin pas subuh baru tidur, terus jam 5 udah ke bangun gara-gara ingat lagi kalau gue mau nikah.”
“Salah loe sendiri, langsung iyain waktu di suruh Nikah.”
“Loe tahu, Ibunya Om Eugene galak banget. Nanti kalau Gue di marahi terus gimana?”
“Ya sabar.”
“Makanya, kalau jadi cewek jangan polos-polos amat. Jadi gini kan!”
Ayuna mengambil bantal, dan melempar ke arah Toby. Lelaki itu dengan sigap menangkis. “Loe itu resek banget sih, bukannya ngasih semangat malah jatuhin gue,” runtuk Ayuna. Wanda kembali melirik sinis ke Toby.
“Sorry, tapi menurut gue nikah enak kok. Jangan di buat ribet, kalau loe enggak mau buat gua aja.”
Sekarang Wanda dan Ayuna melempar bantal pada Toby. “Loe ini Gay hah? Jijik amat gue punya teman kayak loe.”
“Maaf gue salah omong, maksud gue, Biar wanda aja yang nikah sama calon suami loe. Pasti dia mau.”
“Enak aja, emang gue tempat pembuangan!”
“Mungkin.” Wanda geram, ia memukul-mukul Toby berkali-kali dengan bantal berwarna putih hingga lelaki itu menjerit kesakitan. Ayuna melihat dua tingkah sahabatnya langsung tertawa renyah.
***
“Sudah selesai, Anda terlihat sangat cantik,” puji penata rias Ayuna, namun gadis bermata Hazel itu hanya tersenyum getir. Mereka semua pergi meninggalkan Sang mempelai sendirian. Ayuna berdiri, melihat pantulan tubuhnya di depan cermin. Riasan itu sangat tebal, bulu mata panjang dan sepatu heels tinggi, membuatnya sulit bergerak. Gaun berwarna putih itu menghiasi tubuh kecil Ayuna. Pintu terbuka, dua sahabat Ayuna masuk. Mereka seperti melihat orang lain.
“Loe Putri Ayuna Marisa?” Toby memegang bahu Ayuna. Gadis dengan tiara di atas kepala itu langsung menginjak kaki Toby menggunakan heelsnya. “Aww...sakit tahu!” jerit Toby sambil memegang kakinya yang sakit.
“Udah ah, semuanya udah pada nunggu,” potong Wanda lalu menggandeng Ayuna keluar dari kamar. Derup jantung berdetak begitu kencang. Setiap langkah menambah volume jantung Ayuna.
Sebuah mobil dengan rangkaian bunga di bagian depan mobil, berpadu dengan pita terparkir di depan rumah, “Ayo masuk!” Perintah Wanda, gadis itu ragu. Jemari Wanda menggenggam erat jemari Ayuna. Lalu menyuruh gadis itu masuk ke dalam mobil. Toby duduk di samping Pak Sopir.
Mobil itu bergerak, melaju kencang menuju lokasi acara pernikahan. Derup jantung Ayuna berdegup sangat kencang. Bahkan tangan dan kakinya terasa dingin, keringat bercucuran. Wanda berkali-kali mengelap keringat Ayuna dengan tisu.
“Tenang Yun, kayak mau ketemu malaikat izroil aja." Toby menoleh ke belakang. Wanda melotot pada Toby.
Dua jam berlalu, mereka sampai di pinggir pantai. Pernikahan Ayuna dan Eugene di gelar outdoor. Mengundang sedikit orang saja. Mobil itu berhenti tepat di depan karpet putih yang membentang panjang sampai ke panggung kecil pelaminan. Ayuna keluar di pimpin Wanda, gadis itu membenarkan posisi gaun Sang Sahabat. Lalu membimbing Ayuna berjalan melewati karpet dengan taburan bunga-bunga berwarna merah bercampur putih.
Semua tamu undangan berdiri, dengan iringan musik romantis. Ayuna melangkah pelan menuju panggung pernikahan. Di sana ada dua kursi berwarna putih yang sudah di hiasi.
Eugene dengan malas berdiri. Namun, perintah Papanya membuat ia berdiri menyambut, ia membalikkan badan ke belakang. Melihat Sang mempelai pengantin berjalan mendekatnya. Saat pertama menatap Ayuna, bola mata Eugene tak berkedip melihat perubahan Ayuna. Gadis itu terlihat berbeda dari biasanya. Semakin cantik dan dewasa. Membuat ritme jantung Eugene berdegup kencang. Menelan saliva kasar.
“Kenapa Om?” bisik Ayuna, membuat tubuh pria itu tersentak. Eugene kembali duduk di bangku dengan gugup. Entah kenapa, ada sesuatu perasaan aneh muncul.
Acara Akad berlangsung, saat Eugene mengucapkan ijab kabul. Sekarang Gadis kecil itu sekarang sudah sah menjadi Istri Eugene. Acara berlanjut dengan ucapan selamat oleh para tamu undangan. Gadis itu berdiri di depan panggung kecil dan hiasan buang bersama Sang Suami. Acara berlangsung hingga jam 3 sore. Lalu kaki Ayuna terasa bengkak karena kelamaan berdiri. Cacing-cacing di perut rata itu berteriak-teriak minta di kasih makan.
Emma datang, memberikan roti pada Ayuna. Sadar bahwa Ayuna saat ini kelaparan. Mereka berdua beralih posisi duduk. Karena tamu sudah mulai habis, “Tan, Yuna enggak boleh makan bakso atau makanan apa gitu yang bikin kenyang?”
“Ini acara pernikahan Yuna, makanannya nanti.”
“Tapi Tan, Yuna lapar.” Emma menggeleng lalu meninggalkan Ayuna. Eugene melirik sinis, memandang Sang Istri sebagai gadis aneh yang tak patut untuk di cinta.
Pernikahan mewah itu telah usai, Ayuna dan Eugene di jemput mobil pengantin. Mereka masuk, kemudian mobil itu membawa pasangan pengantin baru ke hotel. Eugene pergi lebih dahulu menuju kamarnya. Sedangkan Ayuna masih ada urusan di lobi. Di dalam kamar, perasaan Eugene tak menentu. Darah mengalir dengan deras, suasana sangat panas. Melepas jas, dan melempar sembarangan. Lalu membuka dasi kupu-kupu. Menelan ludah, tiba-tiba membayangkan tubuh Ayuna melintas. Menelan saliva kasar, walaupun pikiran menolak rasa aneh itu. Namun, batin Eugene berkata sebaliknya.
Eugene berjalan mondar-mandir di dalam kamar hotel, perasaannya kacau. Bayangan Ayuna kembali muncul, lelaki itu menggeleng keras. Menepis perasaan aneh miliknya yang tiba-tiba hadir.
Ting tung!
Sontak mata Eugene mendelik. Memandang ke arah pintu kamar hotel. “Apa dia Yuna?”
Jangan Lupa Vote dan koment agar Autor rajin Up....
Eugene menarik ujung gagang pintu. Seorang gadis dengan gaun putih muncul, membuat pria itu menelan saliva kasar. “Om lama amat bukain pintunya, emang ada masalah di dalam?” Masuk ke dalam kamar di ikuti seorang pelayan yang membawa troli berisi kudapan. Eugene mendelik. Menatap makanan yang sangat banyak di atas troli, “Siapa yang memakan makanan sebanyak ini?”“Saya lah Om masak setan.”“Taruh di situ aja, terimakasih ya?” Pelayan hotel itu pergi meninggalkan Ayuna dan Eugene.“Apa-apaan ini Yuna?”“Yuna dari tadi laper Om, makanya Yuna pesan makanan banyak.” Ayuna mengambil pasta dan melompat di atas kasur. Memakan makanan tersebut, seperti gadis yang belum makan bertahun-tahun. Eugene menggeleng, ia jijik melihat cara makan Istrinya, “Jangan makan di kasur, bagaimana jika makanannya jatuh?” tegur Eugene, gadis itu tak bergeming. Membiarkan Sang Suami mengoceh.Ayuna mendongak, “Om mau juga?” tawar Sang Istri sambil mengangkat
Tubuh semampai seorang gadis berusia 18 tahun menggeliat di atas kasur hotel. Kemeja berwarna putih itu masih melekat di tubuhnya. Tadi malam, Ayuna ke buru tertidur saat seorang pelayan membawakan nya pakaian. Eugene bangun dari ranjang, melirik Sang Istri yang sudah tertidur dengan pose melintang. Kaki Ayuna berada di atas perutnya sedangkan kepalanya hampir jatuh ke bawah. “ Dasar bocah, tidur aja enggak Bener.” Eugene menepis kaki Ayuna dan melempar selimut tebal ke paha Ayuna yang terekspos.Eugene menguap, melentangkan ke dua tangan untuk merenggangkan ototnya agar lemas. Bangkit dari kasur. Melangkah ke kamar mandi.Mata Ayuna terbuka saat suara pintu di tutup keras. Dengan tertatih-tatih ia bangkit dari kasur. Menguap lebar dan mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Mengedarkan pandangan ke penjuru arah. Melihat setiap sudut kamar hotel yang tampak sama. Setelah menyadari tadi malam ia tidur satu ranjang dengan Eugene. Langsung menyilangkan
Gadis berbaju berwarna merah tanpa lengan di padukan dengan celana colot berwarna putih berdiri di samping kolam renang. Mendekap tubuhnya sendiri yang ke dinginan. Mengamati pantulan bulan dalam kolam berwarna biru tua. Suara derup langkah mendekat. Gadis itu membalikkan badan. Melayangkan pandangan pada istri adik iparnya. “Ada apa?”Hanami memperhatikan sekeliling berharap pembicaraan mereka tidak ada yang mendengar. Saat semua benar-benar aman, Hanami mencari kata yang akan di sampaikan pada Ayuna. “Kau tahu, kemarin aku hampir dapat masalah karena Mami. Gara-gara aku tak mau mengandung anak Ken.”“Lalu?”“Apa kau bodoh, nenek lampir itu sangat menginginkan cucu. Dia tidak akan berhenti beroceh jika tidak mendapatkan ahli waris.”“Hah, siapa? Nenek lampir yang mana? Aku tidak tahu di rumah ini ada nenek lam lampir.” Hanami memegang pelipisnya. Gadis yang di depannya sa
Dengan sigap Eugene menangkap tubuh kecil padat Ayuna yang hampir mencium rumput. Cangkir berukir bunga itu jatuh. Isinya pun tumpah tak meninggalkan sisa. Eugene masih merangkul tubuh Sang Istri yang akan jatuh. Manik keduanya saling beradu. Ayuna merasakan debaran pada jantungnya. Manik berwarna amber, hidung besar dan ada luka di pangkal hidung serta keringat yang bercucuran membuat Eugene semakin tampan.“Yuna, Eugene, Kalian sedang apa? Cepat masuk waktunya sarapan. Pacarannya nanti,” teriak Mami Ananta dari jauh.Eugene melepaskan tubuh Ayuna. Pantat Ayuna mencium lantai. “Aw! Sakit tahu Om! Bilang dong kalau mau di Lepasin,” runtuk Ayuna sambil memukuli pantatnya yang kotor, membersihkan noda yang tersisa. Lelaki itu malah pergi meninggalkan Ayuna yang masih terduduk di rumput. Ayuna bangkit dan mengejar Sang Perwira polisi.Seluruh keluarga sudah berkumpul di meja makan. Hanya Hanami yang pergi entah ke mana di
Lelaki memakai kemeja itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru arah. Walaupun pandangannya terhalang oleh para pelancong yang berlalu lalang. Tapi ia tak menyerah menemukan Sang Istri. Setelah sekitar 10 menit berkeliling Pasar malam. Tiba-tiba sebuah tangan menarik ujung bajunya. Dia adalah Ayuna, gadis yang ia cari. “Om beliin itu!” pinta Ayuna mengiba. Pria yang ada di depannya itu menarik nafas lega, akhirnya yang di cari telah kembali. Mengikuti arah Ayuna. Tangan Ayuna memegang pergelangan tangan Eugene. Mereka sampai di penjual arum manis.“Pak! beli lima ribuan dua. di bentuk Ayam ya!”“Baik Neng!” Lelaki itu dengan sigap membuatkan pesanan Ayuna. Gadis itu senang menanti arum manis miliknya.“Kamu dari mana?”“Tadi Yuna liet anak kecil Om ke pisah sama ibunya, Terus Yuna nganterin ke deh.”“Lain kali bilang dulu Kalau kamu mau pergi. gimana kalau tiba-tiba kamu ilang. Mami sama Papa pasti marah sama saya.”“Oke siap Om" Memberi
Seorang Pria dengan rambut cepak. Seragam SMA yang acak-acakan duduk di kursi taman berwarna putih. Perasaannya tak menentu saat menunggu gadis pujaannya. Perasaan cinta itu tumbuh saat kelas sebelas akhir. Namun, sangat sulit mengungkapkan perasaannya. Pria berumur 18 tahun itu berpangku tangan, sedangkan matanya menyapu seluruh sudut taman.Suara derup langkah mendekat, “ Lay! Ternyata kamu yang ngirim Yuna hadiah dari kemarin.” Gadis itu berdiri di samping kursi. Kedua jemarinya saling bertautan satu sama lain.Lay berdiri, detak jantungnya semakin terpompa. Kupu-kupu kecil bertebaran di perut. “A-aku s-se-neng kamu datang!” ujar Lay dengan gugup. Panggilan Ayuna berubah dari ‘Gue Elo’ ke ‘Aku kamu’. Berati sesuatu yang di takutkan Ayuna terjadi.“Kenapa Lay panggil Yuna?” Lelaki itu terdiam, sedangkan alas sepatunya menghentak-hentakkan permukaan bumi. Keringat dingin bercucu
Matahari tenggelam. Di gantikan oleh rembulan yang menggantung sempurna di langit. Kilauan bintang bertaburan di hamparan malam. Angin malam masuk dari cela-cela jendela kamar Eugene. Gadis itu gelisah sambil meletakkan pakaian Eugene di keranjang kotor terbuat dari jerami. Mata hazel itu menangkap ‘Ulli’ boneka jerapa kesayangannya. Boneka itu terlihat sangat usang.“Ulli...kamu tahu enggak? Barusan Yuna megang bajunya Om Eugene. Terus bajunya berdarah, gimana dong Ulli kalau Om Eugene terluka.” Gadis itu melirik pintu kamar mandi yang tetap tertutup rapat. Jarum panjang menunjukkan angka 11. Padahal tadi Eugene masuk ketika jarum panjang di angka 1. Hampir satu jam lelaki itu di dalam kamar mandi.“Ulli! OM kok enggak keluar, jangan-jangan Om Eugene mati lagi di dalam.” Kaki jenjang Ayuna melangkah menuju pintu kamar mandi. Mengetok dada pintu. Namun, sampai lima kali ketukan. Lelaki itu tak kunjung keluar. Pera
Eugene berdiri meletakkan cangkir kopi yang tadi di seduh. Mengamati setiap huruf di kertas buram. Membaca berita terkini dari sumber terpercaya. Pria parau baya duduk di depannya sambil membawa cangkir. Eugene mendongak, memeriksa siapa yang hadir di depannya. Dia adalah Ruth Smith kepala keluarga di Keluarga Smith.“Pulang kapan?”“Udah, tadi malam.” Lelaki tua itu sibuk dengan berkasnya. Tersenyum mengembang, saat melihat tanda tangan tergores di kertas putih. Ternyata sangat gampang menipu menantunya.Sebuah nada Bib berbunyi dari balik gawai. Setelah menerima pesan dari temannya. Eugene berdiri dan melempar koran di meja. “Pa Aku berangkat dulu!”“Enggak sarapan dulu?”“Enggak Pa, makan di kantor saja. Ada tugas.”“Oh baiklah, hati-hati di jalan.” Entah kenapa perasaan Eugene tak enak. Lelaki itu segera pergi ke kantor polisi. Tanpa kembali ke kamarnya. Lelaki
Air mata Eugene jatuh saat melihat Sang Istri berada di atas ranjang. Setelah Surya memberitahu di mana Ayuna berada ia segera mencari gadis itu. Dan dia mendapati Sang Istri berada di rumah sakit yang tidak jauh dari lapangan golf. Eugene meraih tangan Ayuna, memandang keadaan gadis itu yang sangat memperihatinkan. Seluruh tubuhnya lebam-lebam, membuat hati Eugene seperti di sayat oleh silet-silet kecil.“Maafkan aku Sayang….” Tangis Eugene pecah walaupun tanpa suara. Tapi rasa sakit dan rasa kecewa pada diri sendiri menyergap. Perasaan campur aduk berkecamuk, apalagi perasaan dia harus melihat istrinya dalam kondisi seperti ini. “Jika ada sesuatu terjadi padamu dan anak kita. Maka akulah yang harus di salahkan karena tidak bisa menjagamu.”Decit pintu terbuka, Pria botak berjas putih masuk ke dalam ruang yang di tempati Ayuna. Wanita berpakaian perawat mengikutinya dari belakang. “Apa Anda keluarga dari pasien?”Eugen
Matahari perlahan terbit dari ufuk. Seorang gadis tertidur dalam pelukan seorang lelaki berkulit gelap dengan rambut ikal. Aroma maskulin itu menusuk indra penciuman. Aliran sungai buatan pun mengalir. Membuat hawa semakin sejuk. Surya memeluk gadis itu dengan kuat. Ia mendengar semua penderitaan gadis itu. Bahkan, rintihan tangis tadi malam berusaha di redamkan. Kelopak mata itu perlahan-lahan pun mengerjapkan mata. Dan mata hanzel itu terbuka lebar. Tatapan kedua orang itu saling bertemu. Membuat Ayuna tersentak. Ia buru-buru menjauh dari Surya ada perasaan tak enak karena memeluk lelaki yang bukan suaminya. Surya juga baru menyadari kesalahannya. Ia pun kiku dan menggaruk rambut lepeknya. “Ah maaf. Aku enggak bermaksud macam-macam.” “Yuna Paham kok.” Tiba-tiba Surya melihat kaki Ayuna yang ada darah yang sudah mulai kering. Ia baru sadar. “Ayuna!” Surya menunjukkan kaki berdarahnya. “Haha? Apa ini?” “Sepertinya kamu pendarahan.
Matahari perlahan terbit dari ufuk. Seorang gadis tertidur dalam pelukan seorang lelaki berkulit gelap dengan rambut ikal. Aroma maskulin itu menusuk indra penciuman. Aliran sungai buatan pun mengalir. Membuat hawa semakin sejuk. Surya memeluk gadis itu dengan kuat. Ia mendengar semua penderitaan gadis itu. Bahkan, rintihan tangis tadi malam berusaha di redamkan. Kelopak mata itu perlahan-lahan pun mengerjapkan mata. Dan mata hanzel itu terbuka lebar. Tatapan kedua orang itu saling bertemu. Membuat Ayuna tersentak. Ia buru-buru menjauh dari Surya ada perasaan tak enak karena memeluk lelaki yang bukan suaminya. Surya juga baru menyadari kesalahannya. Ia pun kiku dan menggaruk rambut lepeknya. “Ah maaf. Aku enggak bermaksud macam-macam.” “Yuna Paham kok.” Tiba-tiba Surya melihat kaki Ayuna yang ada darah yang sudah mulai kering. Ia baru sadar. “Ayuna!” Surya menunjukkan kaki berdarahnya. “Haha? Apa ini?” “Sepertinya kamu pendarahan.
Setelah Eugene mendapatkan plat nomer mobil tersebut. Ia pun melacaknya lewat plat mobil yang ia dapatkan. Namun, saat mobil itu melewati terowongan tiba-tiba mobil yang ia incar menghilang secara misterius. Tapi Eugene dan rekan-rekannya tak menyerah. Ia tetap mencari mobil tersebut. Sebuah kamera CCTV mendapatkan mobil tersebut tapi mobil itu sudah berada di tempat bangkai mobil-mobil. Sebuah tempat yang di peruntukkan untuk mobil rusak.“Bagaimana ini Inspektur? “ tanya rekannya. Membuat Eugene kalang kabut. Ia pun mencoba melacak orang yang meninggalkan mobil di tempat pembuangan. Dan Eugene mendapatkan orangnya. Ternyata dia adalah Driver ojek online. Jika menemukan lelaki itu mereka bisa bertanya tentang penjahat itu. Eugene dan dua rekannya pergi mencari lelaki itu di kawasan padat penduduk. Melewati setiap gang kecil hingga ia sampai di sebuah rumah sederhana milik Driver Ojek Online.Dok! Dok!Eugene menggedor pintu. Seorang perempuan keluar
Lampu disko berkilap kelip. Disertai suara musik yang beredup sangat keras hingga memengkak telinga siapa pun yang mendengar. Suara penyanyi diskotik membuat pengujung semakin terbuai. Sang Vokalis bergoyang di atas meja membuat para pengunjung semakin melingkung. Di pintu masuk seorang Pria masuk ke dalam Pub. Menyingkirkan orang-orang yang ada di depannya dengan kedua tangan. Seorang gadis seksi menikmati minuman beralkoholnya. Tiba-tiba seorang lelaki mendekat. Menarik gadis itu dengan kasar keluar Bar. Membuatnya marah.Mereka pun keluar dari tempat itu. Surya melepaskan dengan kasar. Menatap tajam sepupunya. Pandangan gadis itu sedikit terganggu. Tampak jelas gadis itu masih di selimuti rasa mabuk.“Apa-apa loe narik gue keluar!” teriak Violet pada sepupunya. Matanya merah.Surya memegang pundak sepupunya. “Gue Cuma mau nanyak. Apa loe dalang di balik hilangnya Istri Eugene.” Suara menatap tajam. Berharap sepupunya tidak melakukan pe
Suara langkah kaki mendekat. Membuat rasa waswas yang sangat besar pada tubuh gadis kecil yang terduduk di atas kursi dengan tangan di ikat ke belakang. Kaki juga terikat sangat erat. Ia tak mampu bergerak sama sekali. Setelah kejadian penyiksaan Violet kemarin, para anak buah Violet mendudukkannya. Lampu berwarna keemasan menyala seketika. Membuat Ayuna mendongak dengan mulut di sumpal kain. Seorang gadis cantik melenggak-lenggok masuk ke dalam ruangan. Memberi tatapan yang mengerikan. “Selamat pagi yuna!” sapa gadis itu. “Bagaimana? Apa kamu nyaman berada di tempatku? Aku sebagai Tuan rumah, selalu memberikan pelayanan yang terbaik untuk tamuku. Kalau ada apa jangan sungkan-sungkan memberitahuku.” ucap Violet sambil memegang sebuah map. “Kenapa? Kenapa kau enggak jawab hah?” bentak Violet dengan mata melotot hingga ingin keluar. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. “Ups!” Menutup bibirnya centil. “Aku lupa mulutmu masih tertutup. Maaf
Di bawah sinar rembulan seorang lelaki sedang duduk lesu sambil menyesali kelalaiannya. Gadis yang sangat ia cinta menghilang tiba-tiba membuat pikiran Eugena kayak. Ia pun meraung-raung di tengah lorong yang sunyi. Membuat para orang yang berlalu lalang terperajat. Melirik Eugene dengan tatapan horor. Membuat orang mengira lelaki itu sedang gila.Saat Eugene menangkupkan kepala tiba-tiba benda hangat menyentuh punggung tangan. Lelaki itu mendongak. Sesosok wanita berdiri didepannya. Melempar senyum. “Violet!” gumam Eugene.“Ni kubelikan coffe.” Menyerahkan Paper Coffe kopi pada mantan kekasihnya. Eugene mengambil kopi yang di berikan Violet. Tiba-tiba gadis itu duduk di samping Eugene. Menunjukkan wajah yang lesu. Membuat dirinya seolah iba dengan Eugene.“Makasih.”Tangan Violet terulur. Menangkup tangan kanan. “Aku turun prihatin atas menghilangnya istrimu.”“Dari s
Byur!Sebuah guyuran air membasah tubuh gadis yang tengkurap di atas lantai. Tampa penerangan sama sekali. Dengan kedua tangan yang terikat ke belakang. Kelopak mata gadis itu mengerja-ngerjakan mata. Mata itu sedikit demi sedikit melebar. Mendongak melihat seorang datang menggunakan penerang seadanya. Sebuah lampu berwarna keemasan menyala. Tapi cahaya itu tidak membantu. Karena hanya menerangi bagian kecil ruangan. Sedangkan yang lain tetap gelap.Wanita itu menarik rambut seorang gadis yang sangat mengerikan itu. “Halo gadis kecil. Selamat datang di wilayahku. Hahahhah...” Tawa pecah dan melepaskan rambut Ayuna dengan kasar.“Kamu kan Violet. Apa yang kau lakukan padaku. Apa salahku.”Wanita jahat itu mengeluarkan jari telunjuknya dan mengetuk-ngetuk ujung dagu seolah-olah berpikir. “Apa ya salah mu?” Ia menarik rambut Ayuna kembali tapi tarikan ini lebih kuat. Gadis itu merintih sakit. “Baiklah. Seperti loe en
Waktu semakin bergulir. Malam demi malam telah terlewati. Di gantikan sang raja pagi terus menyising. Seperti biasa di sekolah cukup ramai. Murid berlalu lalang meninggalkan kelas masing-masing. Termasuk dua murid lelaki dan perempuan yang berjalan saling beriringan. Dari arah lain seorang pria di kelas mengejar mereka. “Hai bro!” Lay langsung merangkul lengan Wanda. Namun perempuan itu langsung bergidik dengan keras. Hingga tangan Lay jatuh “Biasa aja kali Wanda.” “Gue enggak pernah biasa kalau soal elo.” “Sorry lah. Eh omong-omong Yuna beneran di keluari.” “Siapa bilang? Dia hanya mengambil cuti.” “Terserah dah apa kata elo. Tapi kalau loe ketemu Yuna. Nitip salam ya.” Lay langsung berlari meninggalkan Toby dan Wanda. “Dasar cowok.” “Tapi omong-omong waktu Yuna pergi. Diakan ninggalin surat kan?” “Iya tapi katanya Cuma pergi bentar. Tapi pas malamnya gue tunggu dia gak balik.” “Emang udah loe telefon ora