Galih menghubungi kontak bernama pacar di ponselnya lewat telepon video. Seorang gadis cantik menjawab panggilan itu pada dering ketiga. Galih tersenyum, melambaikan tangannya ke arah kamera.
“Halo, Sayang,” katanya memulai obrolan.Galih sengaja berbaring di tempat tidur, mengenakan kaus distro harga di bawah seratus ribuan berwarna hitam sebagai baju tidurnya. Dia tak membuka kausnya, agar gadis itu tak terkejut dengan kebiasaan tidurnya yang buruk bagi sebagian orang.“Kang Jamal, udah selesai kerjanya?” tanya gadis itu.“Udah, Neng. Semuanya lancar,” katanya.Jam digital di ponsel Galih menunjuk angka 22.00, tetapi dia sama sekali tak bisa tidur sebelum melihat wajah cantik kekasihnya itu. Gadis itu mengarahkan ponsel ke arah kamarnya.“Ini kamar kosan aku, Kang. Biasa aja sih, tapi aku nyaman di sini. Soalnya aku nggak mau ngerepotin Om sama Tante terus,” kata gadis itu.“Kalau kitGalih membuka pintu mobil yang sengaja diparkir di halaman depan Percetakan Gemilang. Iwan melongo karena Galih dengan Jason terlihat seperti anak kembar meski beda usianya terpaut jauh.“Ini Pak Galih yang awet muda apa saya yang tua ya?” lelaki berambut keriting itu tertawa.Evan mempersilakan Galih dengan Jason untuk masuk melalui pintu staf, tetapi Galih menolak.“Aku cuma mau nitip parkir mobil aja. Soalnya kita mau jalan-jalan sama pacarku. Iya ‘kan, Boy?”Jason mengangguk-angguk. “Om Evan semangat kerjanya!” kata bocah lelaki itu sambil tertawa.Jason dengan Galih mengayun langkah menuju gedung Perpustakaan Kampus Metropolitan. Sambil tertawa-tawa, keduanya menaiki anak tangga satu persatu menuju lantai tiga.Ketika melihat Aster sedang fokus ke layar komputer kerjanya, Galih sengaja menekan bel di meja gadis itu. Membuat gadis itu segera merespon dengan mengucapkan kalimat yang sudah dihafaln
Pagi itu Galih dibangunkan oleh Jason yang menyelinap masuk ke selimutnya. Dia melenguh, mengumpulkan kesadarannya yang masih belum penuh, lalu mengucapkan selamat pagi pada anak semata wayangnya itu.“Kamu kok tumben tidur di kamar Papa begini? Biasanya nggak mau?”“Soalnya semalem aku takut, Pa. Aku mimpi buruk.”“Mimpi apa emangnya? Biasanya kamu nggak takut, kok.”“Tapi semalem itu serem banget. Aku mimpi ada orang yang ditembak di depanku. Serem banget, Pa.”“Kayaknya itu karena kamu kebanyakan main game, deh. Coba dikurangi main game yang ada kekerasan kayak gitu. Kayaknya nggak akan mimpi buruk kayak gitu, Boy.”Jason terdiam. Galih meninggalkan bocah lelaki itu, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia membasahi tubuhnya dengan air hangat. Galih segera kembali ke kamar dengan mengenakan handuk piyamanya.“Ini, Tante. Papa baru selesai mandi,” kata Jason, mengarahkan ponse
Kamera bergerak mendekat, menyorot lilin di atas meja makan. Gerakan kamera kemudian menampilkan sisi medium shot, seorang lelaki tampan dengan setelan jas duduk berhadapan dengan seorang perempuan cantik dengan midi dress berwarna hitam perpaduan tile dengan brokat mewah yang menambahkan kesan elegan. Keduanya saling menatap, tangan mereka tertaut sambil tersenyum.Galih fokus menatap layar di sisinya, sekaligus menikmati ketika kamera mengarahkan fokus ke wajah pasangan modelnya. Dia merasa bangga karena bisa menampilkan debut perempuan cantik itu sebagai model di video iklan garapan perusahaan mereka.“Oke, cut!” seru KingDee.Juru kamera berhenti merekam, menata kembali kameranya sambil menunggu instruksi selanjutnya dari sutradara muda itu. KingDee menepuk bahu Galih, mengarahkan telunjuknya di layar hasil pengambilan gambar itu.“Gimana, Pak Galih?” tanyanya.“Saya suka. Sesuai dengan storyboard kami,” kata Galih sambil mengangguk-a
Galih mengambil alih berondong jagung berukuran large beserta soda dari tangan Aster. “Biar aku aja yang bawa, Neng, Malam ini Neng cukup duduk manis sambil nonton,” katanya.Aster cemberut, sambil mencubit lengan Galih pelan. “Curang ah! Katanya giliran aku yang traktir, malah Kang Jamal juga yang bayarin malem ini,” kata Aster.“Kok dicubit lagi sih, Neng? Nggak apa-apa ah, aku pengen traktir pacar aku sendiri masak nggak boleh?” Galih tetap membela diri.“Ya udah, tapi lain kali aku beneran mau traktir.”“Iya …” Galih mengalah agar melihat senyum gadis itu.Keduanya masuk ke studio tempat pemutaran film sesuai tiket yang dipesan mereka. Aster duduk bersisian dengan Galih. Beberapa pengunjung terus menempati kursi di sekitar Aster dengan Galih. Bahkan malam itu semua kursi studio pemutaran film itu hampir terisi.Film mulai diputar. Galih mulai menikmati ketika tangan Aster menyuapi berondong jagun
Memberikan kejutan tanpa memikirkan momen ternyata cukup menyenangkan. Bagi Galih, melihat senyum Aster adalah dunianya saat itu. Hari itu dia sengaja membuat janji dengan kekasihnya untuk pergi ke toko buku yang terletak di Mall kawasan Metropolitan.Aster menyetujui rencana itu. Keduanya bertemu di depan Percetakan Gemilang, tempat Galih memerankan Jamal dan bekerja sebagai pegawai percetakan di sana. Sebagai seorang perfeksionis, Galih membenci kesalahan-kesalahan kecil di hidupnya. Namun, dia senang membuat kesalahan di depan Aster, membuat gadisnya itu melayangkan cubitan kecil di lengannya. Dan hal itu membuat Galih melihat sisi imut dari seorang Aster.Galih melambaikan tangan ketika gadis itu menyebrangi jalan untuk mendekatinya. Dia mengenakan kaus berwarna denim dengan celana spandeks model jogger berwarna abu. Tas pinggang kecil menempati bahu sisi kanannya.“Kang Jamal udah lama nunggunya?” tanya Aster.“Nggak, kok. Belum lam
Tanpa berpamitan dengan Galih, Aster segera meninggalkan Toko Buku itu setelah membayar buku-buku yang dibelinya. Dia lalu segera menghentikan sebuah angkutan umum yang mengantarnya ke rumah kontrakan yang ditinggalinya selama memutuskan tinggal sendiri.Rasanya marah, sekaligus sedih melihat lelaki yang menjadi kekasihnya itu sedang bermesraan dengan perempuan lain. Terlebih lagi, perempuan itu terlihat jauh lebih seksi dari dirinya.“Nyebelin! apa bener semua cowok sama aja, ya?”Aster kembali menyembunyikan wajahnya di balik lutut. “Padahal aku udah yakin kalau Kang Jamal beda sama cowok lain, nggak gampang tergoda. Apalagi mantan istrinya juga udah meninggal lama banget dan dia belum nikah lagi ‘kan? Ternyata sama aja.”Tak lama berselang, pintu rumah kontrakannya itu diketuk. Suara lelaki yang terdengar familiar di telinganya itu membuat Aster buru-buru berdiri. Dia melangkah menuju jendela, membuka tirai untuk melihat ses
Galih setengah berlari menuju ruangan bertuliskan IGD di Rumah Sehat Mentari itu. Dia melihat Evan dengan Dea tengah duduk di bangku tunggu. Ayahnya berada di sisi pasangan itu dengan memegang tongkat jalannya.“Van, gimana keadaan Ibu?” tanya Galih.“Masih di dalem, Mas. Kita belum boleh masuk karena dokter masih fokus biar Ibu ngelewatin masa kritisnya,” sahut Evan.Galih berjalan melongok ke kaca ruangan itu, tetapi dia tak bisa melihat apapun. Dia berjalan gontai lalu menyandarkan tubuhnya di sisi ayahnya.“Gimana ceritanya Ibu bisa tiba-tiba pingsan, Yah?” tanya Galih pada lelaki yang rambutnya mulai berwarna perak di sisinya.“Tadi lagi cuci baju di kamar mandi, terus Ayah denger teriakan ibu kamu. Pas Ayah ke kamar mandi posisi ibu kamu udah jatuh. Ayah nggak tahu karena tiba-tiba aja ibumu pingsan, dipanggil nggak nyahut,” katanya.Tak lama kemudian, lelaki berjubah dokter membuka pintu ruang
Galih percaya jika kebaikan akan kembali kepada dirinya sendiri. Hal itu juga yang membuatnya hanya fokus belajar ketika masih duduk di bangku sekolah. Bahkan ketika menyelesaikan pendidikan tinggi, dia sama sekali tak tertarik untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Dia tak pernah sekalipun berpacaran sebelum bertemu dengan Amel di usianya yang kedua puluh tiga tahun.Ketika itu, dia yang sedang membantu ayahnya di Percetakan Gemilang bertemu dengan mahasiswi cantik yang membuat Galih tertarik. Galih memberanikan diri untuk mendekati perempuan itu, dimulai dari perkenalan, lalu berlanjut dengan saling bertukar pesan singkat.Dari sana, hubungan Galih dan Amel berlanjut ke tahap saling mengenal pribadi masing-masing. Galih menganggap Amel adalah pelengkap dunianya. Dia yang selalu tak ingin melakukan kesalahan, sedangkan Amel adalah orang yang akan menertawakan kesalahan itu.“Amelia Soedjono, will you marry me?” Galih mengutarakan perta
Aster menunduk untuk menghindari tatapan Fariz. Lelaki itu bersedekap sambil menatap tajam ke arah gadis yang sudah seperti adik baginya.“Jadi, kamu beneran nggak tahu kalau ini perusahaan tempat aku kerja, dan pemilik perusahaan ini adalah pacar kamu?” pertanyaan dari Fariz membuat Aster menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.Gadis cantik itu dengan panik mengibaskan tangannya, “Om, jangan keras-keras! Nanti ada yang tahu dan nuduh yang nggak-nggak. Aku nggak mau bikin rumor!”Fariz mengetuk meja makan dengan telunjuknya tiga kali. “Terus, kamu mau apa, Dek? Pura-pura nggak kenal juga sama aku?”Aster menggeleng. “Nggak. Tapi sebisa mungkin kalau di Kantor kita nggak interaksi biar nggak dikira nepotisme. Apalagi posisi Om udah tinggi di sini. Aku nggak mau ya kalau orang-orang malah jadi meragukan kemampuan aku. Aku diterima di sini karena aku apply lamaran dan ikut tes juga, bukan cuma nitip nama.”Fariz mengangguk-angguk. “Ya udah. Kalau nanti kamu kesulitan, bilang sama Om biar
Beberapa lembar dokumen di dalam map berwarna merah itu berada di tangan Galih. Dia membolak-balikkan kertas berisi kontak dengan foto gadis itu. Sambil menatap foto itu dan mengusap dengan jarinya, Galih menyeringai.“Pada akhirnya kita memang ditakdirkan berjalan di jalan yang sama, sayang. Dan ini bikin aku gila,” katanya.Pintu ruangan auditorium itu dibuka. Sandra melangkah lebih dekat ke meja Galih.“Semuanya sudah siap, Pak. Pak Galih ingin melihat proses wawancaranya?” tanya Sandra.Galih mengangguk. Sambil menyilangkan kakinya, dia memutar-mutar stylus pen di tangannya.“Ya. Karena saya ingin tahu sampai mana kemampuan mereka. Kalau ada yang bagus, saya bisa langsung rekrut jadi sekretaris saya untuk menggantikan Tasya,” katanya.Sandra mengangguk. Dia memanggil per kelompok yang terdiri dari lima orang pelamar kerja di perusahaan mereka.Rein dan Salma duduk di sisi Sandra. Mereka mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan posisi pekerjaan para pelamar. G
Sebuah pengumuman lowongan pekerjaan yang diposting di sebuah sosial media berita daring itu membuat Aster tertarik. Dia buru-buru mengubah posisinya yang semula berbaring di atas kasur menjadi duduk.“Bagus banget nih! Cuma butuh pengalaman kerja aja. Ditambah lagi, nggak ada persyaratan usia sama pendidikan minimal. Coba daftar, deh! Daripada nganggur ‘kan? Kali aja bisa lebih cepet move on dari Mas Duda!”Aster membuka laptop miliknya, merangkai kalimat demi kalimat untuk melamar pekerjaan itu. Dia lalu mengarahkan ponselnya untuk membuat foto selfie dirinya, dan mengeditnya dengan aplikasi di ponselnya. Setelah semua persyaratan cukup, Aster lalu mengunggah semua dokumen persyaratan dan surat lamaran kerja itu dalam satu lampiran di e-mail.“Mari kita coba keberuntungan lainnya,” katanya sebelum menekan tombol enter untuk mengirim e-mail itu ke perusahaan yang ditujunya.Sementara itu, Galih sedang memilih beberapa lembar dumi logo perusahaan yang baru didesain ulang oleh tim krea
Galih tak menjawab pertanyaan Aster. Dia menyerahkan tas jinjing yang dibawanya untuk Aster.“Buat kamu, Neng. Aku pulang dulu,” katanya lalu kembali mengayun langkah ke mobil.Tak lama kemudian, lelaki tampan itu menancap gas mobilnya. Berlalu dari rumah itu.“Kenapa sih? Apa maksudnya?” Aster yang masih kebingungan hanya bergeming. Lelaki di sampingnya mengerti situasi itu.“Kayaknya dia cemburu sama aku, Kak,” kata lelaki itu.Aster tertawa pelan. “Whaaat? Cemburu?”‘Aku bahkan udah pernah bilang putus sama dia,’ batin Aster.Lelaki itu mengangguk. “Aku cowok lho Kak, ngerti perasaan sesama cowok,” katanya.“Ya. Tapi, hey … cemburu sama kamu? Astaga!” Aster menepuk keningnya sendiri. Lelaki itu tertawa. “Kakak harus peka sama perasaan cowok. Meskipun nggak ada hubungan apa-apa, cowok bakalan cemburu kalau ceweknya sama cowok lain. Apalagi sampe nganterin ke rumah.”“Berarti salah kamu! Kamu yang maksa buat nganterin aku!” kata Aster.Gadis itu menunjuk lelaki muda di sampingnya. D
Aster menyerahkan surat pengunduran diri pada lelaki yang menjadi atasannya selama ini. Dia memberi hormat pada lelaki itu sebelum melangkah ke luar ruangan itu.Di ruang arsip, dia menemui Darren untuk pamit sebagai sesama rekan kerja. “Makasih banyak Ren, kamu udah bantuin aku selama ini.” katanya.Lelaki itu merentangkan tangannya untuk memberi pelukan semangat pada Aster. “Baik-baik, ya. Kamu juga bisa ngabarin aku lewat sosmed atau ngirim undangan pernikahan misalnya.”Aster tertawa. “Iya, nanti kalau aku nikah aku undang kamu,” katanya.“Beneran udah mau nyebar undangan?”Aster menggeleng. “Belum. Aku juga nggak tahu gimana ke depannya, tapi aku bakalan istirahat dulu sebelum nyari kerjaan baru.”Rekan kerja Aster itu mengangguk-angguk. Dia melambaikan tangan ketika Aster berlalu dari ruangan itu.Aster menyusuri jalanan tanpa tujuan. Dia melewati area Kampus dengan suasana hiruk-pikuk itu. Kakinya terus berjalan menyusuri jalanan di sepanjang komplek pendidikan itu. Tiba di per
Tanpa memberi kabar apapun, Galih mendatangi rumah petak yang ditempati Aster. Gadis itu terbelalak ketika membukakan pintu untuknya.“Kang Jamal,” gadis itu ingin memeluk laki-laki di hadapannya. Namun, dia tak ingin terlalu mengumbar perasaannya.“Boleh aku masuk, Neng?” tanya Galih.Aster menganggukkan kepala sebagai jawaban. Semburat jingga di langit menjadi saksi bisu perasaan kedua orang yang saling memendam perasaan masing-masing.Galih duduk berhadapan dengan gadis itu. Gadis yang wajahnya masih menghiasi mimpi-mimpi malamnya.“Maaf, saya bikinin kopi dulu, Kang. Tunggu sebentar!” kata Aster, lalu meninggalkan Galih di ruang depan.Galih menggosokkan kedua telapak tangannya. Dia tak tahu harus memulai obrolan mereka dari mana.Aster kembali beberapa menit kemudian, meletakkan cangkir kopi dengan uap mengepul di udara. Galih mengangguk, lalu membuka kancing lengan kemejanya.“Diminum, Kang,” katanya.“Makasih, Neng,” Galih meraih cangkir kopi itu, menyesapnya sedikit sebelum me
Aster masih terdiam di posisi sama, sambil menyembunyikan wajah di balik lututnya, dia berkali-kali mencoba untuk tak terpaku pada masa lalu yang melenakan bersama Jamal. Karena sebenarnya yang ada bersamanya bukanlah Jamal, melainkan Galih.Dan Galih sama sekali bukan Jamal. Dari cara berpakaian, berbicara, sampai pekerjaan mereka.“Apa bener aku suka Jamal apa adanya? Kalau gitu kenapa nggak minta dia jadi Jamal aja kalau sama aku? Atau, sebenernya cuma ego aku yang terluka karena ngerasa nggak dianggap sama sekali sama dia?”Aster mengacak sisiran rambutnya. Beberapa kali dia bahkan mengumpat diri sendiri.Tangan gadis itu lalu meraih ponselnya, membuka pesan suara yang dikirimkan oleh kontak yang masih belum berganti nama itu.“Aku sakit Neng, bisa video call nggak? Biar aku bisa ngobatin kangen ini.”Gadis itu tak membalasnya. Dia terlalu enggan untuk membalasnya karena itu sama saja dengan membuatnya terlihat remeh di depan lelaki itu. Dan dia sama sekali tidak ingin lelaki itu
“Aku sakit, Neng. Kita bisa video call, nggak? Aku kangen kamu.”Galih mengirimkan kalimat itu melalui pesan suara ke nomor kontak Aster yang masih disimpannya dengan nama Pacar. Jason yang sedang berada di sisi tempat tidur lelaki itu hanya bisa menertawakan tingkah konyol papanya itu.“Ternyata Papa punya kebiasaan unik, ya? Kalau habis putus pasti demam,” kata Jason sambil tertawa.Galih dengan cepat menyanggah, “Papa demam karena kecapekan bukan karena putus.”“Tapi waktu ngedeketin Mama Dea dulu juga gitu ‘kan? Papa sampe sakit waktu itu.” Jason tak mau mengalah dengan argumennya.“Udah dibilangin bukan karena itu, tapi karena Papa kurang istirahat. Jadwal Papa padet banget soalnya,” keluhan kembali keluar dari bibir Galih.Jason kembali mengarahkan termometer infra merah ke kening Galih. Angka 38,7 derajat Celcius dengan lampu indikator merah membuat Jason berdecak.“Demamnya masih belum turun juga. Aku telponin Mama Dea biar sekalian bawa dokter ke sini ya, Pa.”“Eh, jangan! Bu
Galih menyandang tas pinggang ke bahunya. Dia mengenakan kaus berkerah dengan celana spandeks dengan sepatu sport yang nyaman. Dia berharap bisa menyelesaikan masalah dengan Aster sekaligus bertemu kembali dengan Iwan dan juga rekan kerja lainnya di Percetakan Gemilang.Galih memutuskan untuk mengendarai Audi merah miliknya karena dia tak lagi harus berperan sebagai Jamal meskipun dia tak keberatan dengan hal itu. Namun, demi menunjang pekerjaannya, dia harus menjadi seorang Galih. Bukan Jamal.Semalam Galih mengirimkan pesan ke nomor Aster, yang berakhir tanpa jawaban dari gadis itu. Hal itu membuatnya ingin mencari jawaban.‘Apa mungkin hubungan kami selesai tanpa penjelasan gitu aja? Gimana dengan rencana kami selama ini? Gimana sama Jason kalau kali ini juga aku harus putus sama perempuan baru yang udah deket sama dia?’ Pertanyaan-pertanyaan itu ada di benak Galih.‘Di saat aku udah bahagia karena dia tahu siapa aku sebenernya dan pekerjaanku, malah masalahnya langsung kayak gini.