Camelia tidak akan diam saja, dia sengaja meminta Levi untuk mengutus orang dan mengawasi Amanda.
Camelia berpura-pura menjadi orang lain dan mengajak Amanda bekerjasama. Dengan kata lain, wanita itu menjebak Amanda agar mengakui perbuatannya.Amanda sedang menunggu kedatangan seseorang di sebuah restoran. Hingga akhirnya Camelia datang.“Sedang menunggu seseorang, Nyonya Amanda?” tanya Camelia untuk sekedar basa-basi.“Bukan urusanmu,” balas Amanda dengan sengit.“Benarkah? Tapi sayangnya ini menjadi urusanku karena semua menyangkut kehidupanku,” balas Camelia lalu duduk di depan Amanda.Amanda mengernyit, menolak untuk paham kemana arah pembicaraan Camelia.“Apa maksudmu?” tanya Amanda.“Tidak perlu berpura-pura lagi. Aku tahu semuanya.”Camelia mengambil lalu meletakkan tablet di atas meja. Layar itu menampilkan serangkaian dokumen dan bukti rekaman, tentang kejahatan yang Amanda lakukan padanya.Amanda terperanjat saat mendengar suara Ryo yang sudah berada di dekatnya. Kehadiran pria itu bahkan tidak disadari olehnya yang sibuk dalam pikirannya.Wanita itu tampak gelagapan, terlihat sekali tidak bisa mengendalikan situasi.“Apa yang baru-baru ini kamu lakukan, Amanda?”Amanda berdehem, lalu mengambil gula dan teh, memasukkannya ke dalam cangkir, sedikit mengalihkan perhatian.“Apa maksudmu, Ryo?” tanya Amanda untuk mengurai rasa gugup. “Kamu akan bersikap seperti ini saat melakukan kesalahan, aku harap kamu tidak melakukan sesuatu yang melebihi batas,” ujar Ryo. Matanya menatap Amanda dengan tajam. Namun, dia segera meninggalkan wanita yang masih diam membisu itu menuju kamarnya.Cahaya redup dari lampu meja menerangi sudut kamar, menciptakan bayangan di dinding yang tak bisa mengalihkan pikiran Danar. Dia berdiri di samping jendela, mata menatap keluar yang gelap, tangan menggenggam ponsel, namun tidak ada pe
“Maaf Bu Camelia, sebelum kita tidak pernah bertegur sapa secara pribadi maupun soal pekerjaan. Ada apa sebenarnya sampai Anda mengajak saya bertemu?” tanya Ryo penuh penasaran.Siapa yang tidak tahu Camelia Agatha namanya sempat menjadi headline hampir semua surat kabar dan media elektronik. Wanita dengan karir cemerlang.“Apa benar Anda tidak tahu tujuan saya mengajak Anda bertemu? Atau hanya pura-pura tidak tahu?” tanya Camelia.Ekspresi Ryo tidak bisa berbohong. Pria itu terlihat tidak tahu apa-apa tentang tujuan Camelia menemuinya. Belum lagi urusan perusahaan yang berhasil membuatnya kelimpungan.“Saya benar-benar tidak tahu maksud Anda,” jawab Ryo.Camelia hanya tersenyum. Beberapa saat kemudian ponsel Ryo berdering, nomor asing dengan kode daerah, menandakan jika nomor itu adalah nomor kantor.Ryo meminta izin pada Camelia untuk mengangkat telepon tersebut. Betapa terkejutnya pria itu setelah orang di seberang sana memper
Danar memandangi layar laptopnya, grafik keuangan Adiwangsa Grup terpampang dengan stabilitas yang perlahan kembali. Efek dari ulah Amanda memang sempat menggoyahkan beberapa cabang bisnis, tapi semua mulai terkendali. Sekalipun dia tidak ingin mengakuinya, Amanda harus menanggung hukuman atas perbuatannya. Wanita itu telah menempatkan perusahaan dan keluarganya dalam posisi sulit yang tidak bisa ditoleransi.Danar mengangkat interkom yang berada di dekatnya memberi perintah pada asisten pribadinya untuk datang ke ruangan. Pria itu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, matanya tajam menatap layar tablet yang ada di tangan. Beberapa laporan mengenai aktivitas terakhir Amanda muncul di sana, membuat rahangnya mengencang.Beberapa saat kemudian, pria tampan dengan setelan jas mahal masuk ke dalam ruangan Danar.“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”"Reno, tentang Ryo," kata Danar tanpa memalingkan pandangan dari layar datar yang dipegangnya, "ap
“Pak, pengacara Nyonya Amanda kembali menghubungi,” ujar Reno di sela-sela dia melaporkan pekerjaannya.“Untuk apa lagi mereka terus menghubungi? Bukankah semuanya sudah jelas,” balas Danar dengan malas.Reno terlihat sedikit ragu-ragu sebelum akhirnya mengutarakan pendapatnya.“Menurut saya, Anda setidaknya mengunjungi Nyonya Amanda.”Wajah Danar masih datar, tetapi dalam tempurung kepalanya dia memikirkan hal yang sama.Langkah kaki terdengar berat saat Danar melewati lorong sempit yang berbau lembab. Pikirannya berputar, penuh dengan ketidakpastian. Dia tahu alasan mengapa akhirnya memutuskan untuk datang ke sini, namun rasa enggan tidak bisa ditepis. Reno telah berkali-kali menyampaikan pesan dari pengacara Amanda, setiap kali menyisipkan nada memohon seolah-olah hidup Amanda bergantung sepenuhnya pada satu keputusan dari Danar.Saat tiba di ruangan pertemuan, Amanda sudah menunggu di balik kaca tebal yang memisahkan ked
“Kenapa hanya menunggu di sini? Harusnya kamu masuk dan memastikan keadaannya,” ucap Camelia. Danar. Pria itu sudah menunggu di parkiran bersama Reno. Sebelum menjawab, pria itu hanya tersenyum lembut. Meskipun ucapan Camelia terdengar seperti sebuah sindiran. “Aku baru saja datang, dan hanya ingin bertemu denganmu.” Camelia menarik sebelah sudut bibirnya dan mengangguk. “Mau makan siang bersama? Biar mobilmu Anne yang bawa,” tawar Danar. Terlihat Camelia menoleh pada asisten pribadinya, dan Anne pun mengangguk. “Baiklah,” jawab Camelia. Semua sudah selesai, mungkin ini saatnya mereka meluruskan semua yang sempat menjadi benang kusut. “Kamu bisa pergi bersama Anne, Reno,” titah Danar pada asistenya, dan pria itu hanya mengangguk. Setelah itu, Danar segera memacu kendaraannya keluar dari parkiran gedung pengadilan itu. Hanya keheningan yang menyelimuti ked
“Entahlah, aku tidak yakin, aku hanya merasa ada seseorang yang mengawasiku,” jujur Camelia, lalu berjalan menuju mobilnya, diikuti oleh Anne. “Sudah berapa lama kamu merasa diawasi?” tanya Danar seraya menyamakan langkah dengan Camelia. “Entahlah. Aku juga tidak yakin. Tidak perlu khawatir. Aku masih bisa menanganinya, kalau begitu aku pulang dulu,” balas Camelia lalu masuk ke dalam mobil tanpa memberi kesempatan pada Danar untuk menanggapi. Danar jelas tidak akan tinggal diam, dia pun menghubungi seseorang untuk mengawasi Camelia. Dia tidak ingin kejadian di Singapura terulang lagi. Apalagi sekarang belum diketahui kebenaran Rainer masih hidup atau tidak. Siapa tahu musuh-musuh suami Camelia itu masih mengincar Camelia. “Apa kita perlu ke rumah sakit, Camelia? Aku lihat kondisimu tidak baik-baik saja,” tanya Anne memecah keheningan di dalam mobil. “Tidak perlu, Anne. Kita langsung pulang saja,” jawab Cameli
Senyum Daisy mengembang begitu sosok Camelia melangkah masuk ke ruang utama. Tanpa banyak basa-basi, wanita paruh baya itu langsung menariknya dalam pelukan hangat. Aroma khas teh melati bercampur dengan wangi lembut kain yang dikenakan Daisy, menciptakan suasana nyaman yang sudah lama tidak dirasakan Camelia.“Kamu semakin kurus,” komentar Daisy begitu mereka saling melepaskan pelukan, matanya mengamati Camelia dengan sorot khawatir.Camelia hanya tersenyum tipis, mengabaikan komentar itu. Tubuhnya memang sedikit lebih ringan belakangan ini, tapi bukan itu yang penting sekarang. Dia mengikuti langkah Daisy ke ruang santai.“Akhirnya urusanmu dengan wanita bernama Amanda itu selesai juga,” ujar Daisy.Seluruh keluarga Wijaya memang tahu apa yang sempat dialami oleh Camelia tidak terkecuali Daisy. Bahkan Kakek Wijaya dan Yasa Wijaya–ayah mertua Camelia sempat menawarkan bantuan.“Iya, Bu. Akhirnya selesai. Aku lelah sekali,” balas Camelia.Keduanya berbincang tentang kesehatan Camelia,
Camelia terperanjat dengan apa yang dilakukan oleh Danar. Entah mengapa pria itu begitu emosional, padahal dulu mereka pernah sepakat jika dirinya boleh pergi kapanpun. Sayangnya itu hanya sebuah kesepakatan dalam lisan, tidak ada hitam di atas putih.“Kamu membuat kesalahan besar, Camelia. Mengabaikan jaringan dan dukungan yang telah kubangun untukmu. Apa kamu ingin menghancurkan semua ini hanya karena ego?”“Itu yang selalu kamu pikirkan tentangku, bukan? Ego,” Camelia menjeda kalimat, menahan emosi, napasnya terdengar berat, “aku telah berjuang untuk membuktikan bahwa aku bisa, aku mampu. Namun, aku tidak butuh pembuktian lagi ….” Camelia menghentikan kalimatnya, nyaris saja dia lepas kendali.“Kamu tidak akan bisa bertahan di luar sana tanpa Adiwangsa,” ucap Danar, suaranya mulai meninggi, “dunia bisnis itu kejam, Camelia. Tidak ada tempat untuk idealisme naifmu.”“Lebih baik aku gagal dengan cara ini daripada sukses dengan cara yang tidak pernah kurasakan sepenuhnya milikku,” bal
Tirai putih menjuntai dari langit-langit, menghiasi aula dengan kemewahan yang menenangkan. Rangkaian bunga mawar putih dan lilin-lilin tinggi menghiasi sisi-sisi jalan menuju altar. Denting piano mengalun lembut, menggiring langkah Levi yang berdiri tegap menanti di ujung sana. Jas hitamnya melekat rapi, dasi kupu-kupu menghiasi lehernya, dan senyum gugup itu tidak bisa bersembunyi meski wajahnya berusaha tampak tenang.Anne melangkah perlahan, gaun putihnya jatuh anggun menyapu lantai, taburan payet menyala lembut. Mata mereka saling mengunci, dan dunia seakan hening, hanya mereka berdua, dan debar yang berkejaran di dada.Suara tawa kecil menyelingi isakan haru, ketika Levi dengan suara sedikit gemetar mengucapkan janji suci. Anne menatapnya, mata yang dulu ragu kini bersinar penuh keyakinan. Ketika mereka saling mengikat janji, tamu-tamu bersorak dan di antara mereka, Camelia mengusap sudut matanya yang basah, sementara Rainer menepuk punggung Levi saat keduanya turun dari altar
Suara kursi yang digeser Clay terdengar tegas. Bocah itu berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi serius yang jarang muncul di wajah polosnya.“Aku nggak setuju, Pi,” ucap Clay langsung pada intinya.Danar mengangkat alis, meletakkan dokumen kerjanya ke samping. “Apa yang kamu maksud?”“Aku nggak setuju punya mama baru, kalau bukan Tante Camelia,” jawab bocah itu, tegas.Wajah Danar melembut, bibirnya membentuk senyum kecil yang tak sepenuhnya ceria. “Kamu masih suka Tante Camelia karena dia baik, dan karena kamu terbiasa sama dia. Tapi kamu juga harus ingat, Tante Camelia sudah bahagia bersama Om Rainer dan juga Reyaga. Orang lain bisa salah paham jika kamu bicara seenaknya seperti itu,” balas Danar dengan penuh pengertian.Clay memeluk tubuhnya sendiri, menghindari tatapan Danar. “Iya aku tahu tapi aku tidak suka liat Papa dekat dengan perempuan lain.”Danar menghela napas, bangkit dari sofa, lalu berjongkok di depan putranya. “Clay, dengarkan Papi. Papi juga tidak sedang dalam
Dua insan duduk saling berhadapan. Gelas mocktail dengan irisan jeruk nipis itu diletakkan kembali sebelum isinya menyentuh bibir. Cahaya remang menggantung di antara keduanya, seolah ikut menahan napas. Suasana restoran seharusnya membantu, namun hati Levi justru berdebar semakin kacau. Tangannya terlipat di atas meja, matanya menatap lurus ke arah gadis di hadapannya.“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan sampai mengajakku makan malam di tempat seperti ini?” tanya Anne yang mulai tidak sabar karena Levi lebih banyak diam hari ini, berbeda dengan biasanya.Sebelum menjawab pertanyaan itu, Levi menghela panas lalu berdehem.“Kamu pernah suka pada seseorang, tapi takut itu cuma perasaan sepihak?” Ternyata yang keluar dari bibirnya bukanlah jawaban. Melainkan sebuah pertanyaan.Anne membulatkan mata, seolah tidak menduga arah pembicaraan. Jemarinya yang memegang sendok tiba-tiba berhenti. “Kamu sedang bertanya soal aku, atau soal kamu?”Levi menautkan jemarinya di atas meja.“Aku hanya
Sunyi.Mata Camelia menyapu wajah suaminya. Di dalam pantulan manik kelam itu, ada satu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan, cinta yang utuh, dan kebanggaan yang tidak bisa ditutupi.Rainer membalas pandangan itu, ujung bibirnya naik pelan.“Namanya akan kami umumkan saat acara syukuran nanti,” jawab Rainer diiringi dengan senyuman.Levi mengangkat alis.“Nggak asyik. Padahal aku sudah tidak sabar ingin memanggil namanya.”“Makanya menikah, biar kamu juga bisa merasakan betapa bahagiannya punya junior dan memanggil namanya untuk pertama kali,” balas Rainer.Levi berdecak, tapi tidak menanggapi, daripada dia harus mendengar ucapan Rainer yang menjengkelkan.*Gelak tawa menggema, aroma bunga segar dan makanan rumahan memenuhi udara, berbaur dengan hangatnya percakapan para tamu. Beberapa rekan bisnis Rainer berdiri dengan gelas di tangan, menyelam dalam obrolan santai. Daisy tampak sibuk mempersilakan orang-orang untuk duduk, sementara Anne dengan cekatan menjaga jalannya hidangan.
Di sepanjang perjalanan, tangan Rainer tidak pernah lepas dari Camelia. Jari-jarinya mengusap punggung istrinya, suaranya terus berbisik lembut, meskipun kegelisahan jelas terbaca. Sesampainya di rumah sakit, semuanya terasa seperti kekacauan yang teratur. Rainer pikir Camelia bisa segera melakukan persalinan ternyata mereka harus menunggu karena belum waktunya. “Dokter, apa tidak bisa lebih cepat? Lihatlah istriku sudah sangat kesakitan,” ujar Rainer. Dokter hanya tersenyum, sepanjang dia menjadi dokter, sudah sering melihat suami yang panik seperti itu. Rainer terus menemani Camelia menjalani proses menuju persalinan, seakan-akan ikut merasakan kesakitan yang dialamai istrinya. Setelah lebih dari sepuluh jam berada di rumah sakit, Camelia akhirnya siap untuk melakukan persalinan. Dokter dan perawat sigap membawa Camelia ke ruang bersalin. Rainer tidak peduli pada siapapun selain wanita yang sekarang terbaring di ranjang dengan ekspresi menahan sakit. Dia menggenggam tan
Rainer tersenyum, melirik istrinya, lalu mengaduk minumannya dengan santai. "Kamu terlalu memikirkan mereka, Sayang. Benar-benar seperti emak-emak yang sedang mencarikan jodoh untuk anaknya," ujar Rainer. "Jelas aku memikirkan mereka! Anne itu orang terdekatku saat ini setelah kamu. Levi orang terdekatmu setelah aku, apalagi dia memohon-mohon cuti pada bosnya yang kejam ini agar bisa berkencan dengan seorang wanita," balas Camelia cepat. "Oh iya, tentang Levi, dia selalu bersikap seolah-olah paling mengerti hubungan, paling berpengalaman, layaknya pakar cinta seperti yang kamu bilang. Tapi sekarang? Kenapa dia malah seperti ini? Bikin aku gregetan," imbuh Camelia. Rainer terkekeh, mengangkat bahu. "Levi selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya. Dia bukan tipe yang terburu-buru. Terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, itulah sebabnya dia belum memiliki kekasih padahal usianya sudah kepala tiga." "Ya, tapi kalau terus seperti ini, Anne bisa bosan, bisa-bisa aku jodoh
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Halo, dengan Tuan Rainer Wijaya, kami dari rumah sakit, ingin memberi tahu jika Nyonya Camelia pingsan dan dibawa ke rumah sakit.” Jantungnya berdegup lebih cepat. “Ada apa, Rai?” “Camelia dibawa ke rumah sakit, Lev.” Tidak menunggu waktu yang lama Rainer langsung bergegas menuju rumah sakit. Tangan Rainer mencengkram kemudi dengan erat, buku-buku jarinya memutih. Napas memburu, tubuh terasa panas, tapi bukan karena udara di dalam mobil—melainkan ketakutan yang perlahan-lahan merayap naik. Camelia pingsan. Rumah sakit. Mungkin aritmianya kambuh? Tiga hal itu terus berputar di kepalanya, memukul saraf-saraf kewaspadaan hingga jantungnya berdegup tak karuan. Steve. Itu pasti karena pria itu. Jika dia tahu pertemuan sialan itu akan membawa dampak sebesar ini, dia tak akan membiarkan Camelia keluar rumah. Sial. Harusnya dia lebih waspada. Harusnya dia tidak meremehkan dampaknya. Mobil berhenti dengan hentakan kasar di depan pintu gawat darurat. Rainer keluar tanpa