"Levi untuk beberapa hari kedepan aku akan ke Singapura untuk menjemput Camelia, lakukan saja semuanya sesuai rencana,â ucap Rainer seraya memandangi dokumen penting yang ada di tangannya.âBaik, Pak. Jadi Bu Camelia sudah diperbolehkan pulang?â Rainer hanya mengangguk.âBerarti Anda harus bersiap-siap, Pak.âUcapan Levi sontak membuat Reiner melihat ke arah asisten pribadinya itu, lalu mengernyitkan keningnya.âIya, Anda harus bersiap-siap menghadapi kenyataan bahwa Bu Camelia adalah rival kita, apalagi ada Pak Danar yang menaunginya.âWajah Rainer berubah menjadi sedikit mengeras.âUrusan itu kita pikirkan nanti saja, lebih baik kita fokus pada masalah yang sedang dihadapi, aku sedang menyusun strategi agar Camelia kembali kepadaku seutuhnya.âLevi pun tersenyum, akhirnya bosnya itu mengakui keberadaan istrinya.âLalu bagaimana dengan yang aku perintahkan kemarin?ââSemua sudah diatur sesuai instruks
Keesokan harinya, cahaya lembut dari jendela menyentuh wajah Camelia, membuat kelopak matanya bergerak perlahan. Rainer, yang belum benar-benar beranjak sejak malam tadi, tetap berada di sisinya, matanya tak pernah beralih dari wajah istrinya. Ketika Camelia membuka mata, Rainer menyambutnya dengan senyuman hangat. âSalamat pagi, Sayang,â sapa Rainer, kemudian mengecup bibir Camelia dengan lembut.âPagi, Rai,â balas Camelia dengan suara serakk khas bangun tidur.âApa aku mengganggumu?â Camelia menggeleng dan tersenyum tipis, lalu berkata, âHanya saja aku merasa wajahku seperti ditusuk-tusuk duri karena kamu terus memandangku seperti itu, Rai.âWanita itu melayangkan sedikit protes dengan sedikit gurauan pada suaminya. Mata Camelia yang masih sedikit mengantuk terlihat bercahaya. Rainer sendiri terkekeh pelan lalu mencapit hidung mungil istrinya.Tak ada satu kata pun yang bisa menggambarkan perasaan mereka s
âBaiklah, Kek. Kalau begitu jangan menahan istriku lebih lama lagi untuk menemanimu di sini,â ucap Rainer kepada sang kakek, kemudian mengajak Camelia untuk segera meninggalkan kakek Wijaya.âTidak denganmu, Rai. Biarkan Lia kembali ke kamar sendiri, kamu tetap di sini, ada hal yang ingin aku bicarakan.â Kakek Wijaya menahan langkah Rainer.Suami Camelia Agatha itu berdecak, namun Camelia langsung menggenggam tangannya dan mengangguk. Tidak ingin Rainer membantah perintah sang kakek.âBaiklah,â ujar Rainer dengan malas.Camelia tersenyum lalu berjalan keluar dari tempat itu, meninggalkan dua lelaki berbeda usia itu untuk saling bicara.Bayangan tubuh Rainer berjalan tegak masuk dari balik pintu besar dengan ukiran kayu mewah, seperti biasa, wajahnya terlihat datar meski tak lagi dingin seperti dulu.Setelah berbicara singkat dengan kakeknya, Rainer kembali ke kamar, setelah melihat Camelia sedang menatapnya, dia pun tersenyum, senyuman yang sudah lama tak pernah muncul, senyuman yang
Camelia tersenyum saat melihat nama di layar ponselnya, Maura.âCamelia, apa kabar?â Suara riang Maura terdengar dari seberang sana. Dari suaranya terdengar penuh rasa rindu membuat wajah Camelia berseri.âMaura! Lama tak jumpa. Aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?â balas Camelia.Keduanya berbincang sejenak, terkadang suara tawa mengisi sela-sela obrolan itu, membawa Camelia kembali pada momen hangat bersama sahabatnya yang penuh nostalgia. Di akhir pembicaraan, Maura mengusulkan untuk bertemu di restoran favorit mereka.âBoleh, nanti aku kabari lagi, Maura.ââOk, deh. Aku tunggu ya, semoga suami dinginmu itu tidak banyak tingkah.âCamelia terkekeh mendengar ucapan sahabatnya itu.Malam ini, Camelia dan Rainer menghabiskan waktu bersama di balkon kamar setelah menikmati makan malam bersama.âApa kamu nyaman tinggal di sini?â tanya Rainer.âTentu saja, di sini cukup ramai, aku tak perlu khawatir kesep
âCamelia!â Seorang pria memanggil nama Camelia. Membuat wanita itu menoleh ke sumber suara.âKak Danar,â bisik Camelia kemudian tersenyum.Danar membalas senyuman itu dengan ramah. Pria itu tidak menyangka akan bertemu Camelia di tempat ini. Tiba-tiba jantungnya berdebar tak karuan saat melihat senyum manis wanita itu.âBagaimana kabarmu?â tanya Danar seraya memindai wajah ayu Camelia. Semenjak mengunjungi wanita itu di Singapura bersama Clay mereka belum bertemu lagi secara langsung.âKabar baik, Kak. Maafkan aku belum sempat menyapamu.ââTidak masalah. Ada acara apa?âCamelia memandang Maura, lalu menjawab, âAku baru saja makan siang bersama sahabatku, Maura.âKemudian Camelia memperkenalkan Maura pada Danar dan sebaliknya.âKak Danar sendiri ada acara apa di sini?ââBiasa, klien. Kamu ingat Pak Indra?â Camelia mengangguk, tentu saja dia ingat. Pak Indra adalah klien yang sangat royal.âBaikl
Pintu perlahan terbuka, langkah Rainer terdengar berat ketika masuk ke dalam kamar. âKamu sudah pulang, Rai.âCamelia menyapa suaminya dengan senyum hangat seperti biasa, tetapi senyumnya memudar saat melihat wajah suaminya yang terlihat tidak bersahabat.âAda apa? Apa ada masalah serius?â tanya Camelia mencoba memahami apa yang terjadi pada suaminya.âBukankah kamu bilang hanya ingin bertemu dengan Maura?â tanya Rainer lebih pada menyindir, tatapan matanya begitu tajam dan terlihat menuduh.Camelia tersenyum dan menghela napas pelan.âMaksudmu pertemuanku dengan Kak Danar? Itu hanya sebuah kebetulan, Rai.â âKebetulan? Kebetulan, tapi kamu bisa ikut rapat bersama.â Rainer melipat tangan di dada, ekspresinya keras dan kaku.âItu diluar dugaan, Rai. Ternyata tadi Pak Indra yang rapat dengan Kak Danar, dia adalah salah satu klien kami yang royal, dia mengajakku ikut rapat tanpa aku bisa menolak.â Camelia mencoba menjelaskan, tetapi Rainer tidak menunjukkan tanda-tanda melunak.âTidak b
Waktu berjalan begitu cepat, Camelia sudah mulai bekerja sejak seminggu yang lalu. Wanita bernama Anne selalu setia menemaninya, asisten pribadi dan juga bodyguard yang dipilih oleh Rainer secara khusus. Sudah tiga hari semenjak Rainer bertolak ke Singapura bersama orang-orang kepercayaannya. Namun, Camelia tak juga mendapatkan kabar tentang suaminya itu. Bertanya pada Levi pun percuma, pria yang ditugaskan untuk mengurus perusahaan itu seakan bungkam dengan kabar dan keadaan suaminya. âPak Rainer baik-baik saja, Bu. Hanya butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya hingga tuntas.â Itu yang selalu Levi ucapkan saat dirinya bertanya. âLia! Camelia Agatha!â Suara yang cukup lantang itu menyadarkan Camelia dari lamunan. âMaafkan saya, Pak Danar,â balas Camelia dengan gugup dan sungkan. Saat ini mereka sedang mengadakan rapat bersama staff penting di kantor, tetapi dirinya malah terhanyut dalam lamunan.
Setelah beberapa menit perjalanan Camelia dan Danar akhirnya sampai di sebuah restoran yang ada di sebuah mall.âKita tunggu Clay sembari memesan makan dan minum lebih dulu,â ujar Danar.Keduanya berbincang ringan hingga akhirnya sosok kecil berlari ke arah mereka.âNah, itu yang ditunggu sudah datang,â ucap Danar pada Camelia.âPapi!â seru Clay dari kejauhan.Camelia pun menoleh ke arah Clay yang sudah tersenyum riang.âTante Camelia!â seru Clay lalu merentangkan tangannya. Camelia langsung mensejajarkan tubuh dengan Clay lalu memeluk bocah itu dengan senyuman.Danar hanya bisa menggeleng, karena anaknya itu langsung melupakan dirinya ketika melihat Camelia.Camelia bisa melihat dua sosok laki-laki dan perempuan yang berhenti tak jauh dari mereka. âTante apa kabar? Tante sudah sembuh?â tanya Clay setelah melepas pelukannya dari Camelia.âKabar baik, Tante juga sudah sehat. Clay apa kabar?â
Tirai putih menjuntai dari langit-langit, menghiasi aula dengan kemewahan yang menenangkan. Rangkaian bunga mawar putih dan lilin-lilin tinggi menghiasi sisi-sisi jalan menuju altar. Denting piano mengalun lembut, menggiring langkah Levi yang berdiri tegap menanti di ujung sana. Jas hitamnya melekat rapi, dasi kupu-kupu menghiasi lehernya, dan senyum gugup itu tidak bisa bersembunyi meski wajahnya berusaha tampak tenang.Anne melangkah perlahan, gaun putihnya jatuh anggun menyapu lantai, taburan payet menyala lembut. Mata mereka saling mengunci, dan dunia seakan hening, hanya mereka berdua, dan debar yang berkejaran di dada.Suara tawa kecil menyelingi isakan haru, ketika Levi dengan suara sedikit gemetar mengucapkan janji suci. Anne menatapnya, mata yang dulu ragu kini bersinar penuh keyakinan. Ketika mereka saling mengikat janji, tamu-tamu bersorak dan di antara mereka, Camelia mengusap sudut matanya yang basah, sementara Rainer menepuk punggung Levi saat keduanya turun dari altar
Suara kursi yang digeser Clay terdengar tegas. Bocah itu berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi serius yang jarang muncul di wajah polosnya.âAku nggak setuju, Pi,â ucap Clay langsung pada intinya.Danar mengangkat alis, meletakkan dokumen kerjanya ke samping. âApa yang kamu maksud?ââAku nggak setuju punya mama baru, kalau bukan Tante Camelia,â jawab bocah itu, tegas.Wajah Danar melembut, bibirnya membentuk senyum kecil yang tak sepenuhnya ceria. âKamu masih suka Tante Camelia karena dia baik, dan karena kamu terbiasa sama dia. Tapi kamu juga harus ingat, Tante Camelia sudah bahagia bersama Om Rainer dan juga Reyaga. Orang lain bisa salah paham jika kamu bicara seenaknya seperti itu,â balas Danar dengan penuh pengertian.Clay memeluk tubuhnya sendiri, menghindari tatapan Danar. âIya aku tahu tapi aku tidak suka liat Papa dekat dengan perempuan lain.âDanar menghela napas, bangkit dari sofa, lalu berjongkok di depan putranya. âClay, dengarkan Papi. Papi juga tidak sedang dalam
Dua insan duduk saling berhadapan. Gelas mocktail dengan irisan jeruk nipis itu diletakkan kembali sebelum isinya menyentuh bibir. Cahaya remang menggantung di antara keduanya, seolah ikut menahan napas. Suasana restoran seharusnya membantu, namun hati Levi justru berdebar semakin kacau. Tangannya terlipat di atas meja, matanya menatap lurus ke arah gadis di hadapannya.âJadi apa yang ingin kamu bicarakan sampai mengajakku makan malam di tempat seperti ini?â tanya Anne yang mulai tidak sabar karena Levi lebih banyak diam hari ini, berbeda dengan biasanya.Sebelum menjawab pertanyaan itu, Levi menghela panas lalu berdehem.âKamu pernah suka pada seseorang, tapi takut itu cuma perasaan sepihak?â Ternyata yang keluar dari bibirnya bukanlah jawaban. Melainkan sebuah pertanyaan.Anne membulatkan mata, seolah tidak menduga arah pembicaraan. Jemarinya yang memegang sendok tiba-tiba berhenti. âKamu sedang bertanya soal aku, atau soal kamu?âLevi menautkan jemarinya di atas meja.âAku hanya
Sunyi.Mata Camelia menyapu wajah suaminya. Di dalam pantulan manik kelam itu, ada satu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan, cinta yang utuh, dan kebanggaan yang tidak bisa ditutupi.Rainer membalas pandangan itu, ujung bibirnya naik pelan.âNamanya akan kami umumkan saat acara syukuran nanti,â jawab Rainer diiringi dengan senyuman.Levi mengangkat alis.âNggak asyik. Padahal aku sudah tidak sabar ingin memanggil namanya.ââMakanya menikah, biar kamu juga bisa merasakan betapa bahagiannya punya junior dan memanggil namanya untuk pertama kali,â balas Rainer.Levi berdecak, tapi tidak menanggapi, daripada dia harus mendengar ucapan Rainer yang menjengkelkan.*Gelak tawa menggema, aroma bunga segar dan makanan rumahan memenuhi udara, berbaur dengan hangatnya percakapan para tamu. Beberapa rekan bisnis Rainer berdiri dengan gelas di tangan, menyelam dalam obrolan santai. Daisy tampak sibuk mempersilakan orang-orang untuk duduk, sementara Anne dengan cekatan menjaga jalannya hidangan.
Di sepanjang perjalanan, tangan Rainer tidak pernah lepas dari Camelia. Jari-jarinya mengusap punggung istrinya, suaranya terus berbisik lembut, meskipun kegelisahan jelas terbaca. Sesampainya di rumah sakit, semuanya terasa seperti kekacauan yang teratur. Rainer pikir Camelia bisa segera melakukan persalinan ternyata mereka harus menunggu karena belum waktunya. âDokter, apa tidak bisa lebih cepat? Lihatlah istriku sudah sangat kesakitan,â ujar Rainer. Dokter hanya tersenyum, sepanjang dia menjadi dokter, sudah sering melihat suami yang panik seperti itu. Rainer terus menemani Camelia menjalani proses menuju persalinan, seakan-akan ikut merasakan kesakitan yang dialamai istrinya. Setelah lebih dari sepuluh jam berada di rumah sakit, Camelia akhirnya siap untuk melakukan persalinan. Dokter dan perawat sigap membawa Camelia ke ruang bersalin. Rainer tidak peduli pada siapapun selain wanita yang sekarang terbaring di ranjang dengan ekspresi menahan sakit. Dia menggenggam tan
Rainer tersenyum, melirik istrinya, lalu mengaduk minumannya dengan santai. "Kamu terlalu memikirkan mereka, Sayang. Benar-benar seperti emak-emak yang sedang mencarikan jodoh untuk anaknya," ujar Rainer. "Jelas aku memikirkan mereka! Anne itu orang terdekatku saat ini setelah kamu. Levi orang terdekatmu setelah aku, apalagi dia memohon-mohon cuti pada bosnya yang kejam ini agar bisa berkencan dengan seorang wanita," balas Camelia cepat. "Oh iya, tentang Levi, dia selalu bersikap seolah-olah paling mengerti hubungan, paling berpengalaman, layaknya pakar cinta seperti yang kamu bilang. Tapi sekarang? Kenapa dia malah seperti ini? Bikin aku gregetan," imbuh Camelia. Rainer terkekeh, mengangkat bahu. "Levi selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya. Dia bukan tipe yang terburu-buru. Terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, itulah sebabnya dia belum memiliki kekasih padahal usianya sudah kepala tiga." "Ya, tapi kalau terus seperti ini, Anne bisa bosan, bisa-bisa aku jodoh
âSelamat malam, Nyonya-nyonya.â Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,â ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. âApa kabar, Pak Danar?â Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya âkakakâ lagi.
âSelamat malam, Nyonya-nyonya.â Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,â ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. âApa kabar, Pak Danar?â Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya âkakakâ lagi.
âHalo, dengan Tuan Rainer Wijaya, kami dari rumah sakit, ingin memberi tahu jika Nyonya Camelia pingsan dan dibawa ke rumah sakit.â Jantungnya berdegup lebih cepat. âAda apa, Rai?â âCamelia dibawa ke rumah sakit, Lev.â Tidak menunggu waktu yang lama Rainer langsung bergegas menuju rumah sakit. Tangan Rainer mencengkram kemudi dengan erat, buku-buku jarinya memutih. Napas memburu, tubuh terasa panas, tapi bukan karena udara di dalam mobilâmelainkan ketakutan yang perlahan-lahan merayap naik. Camelia pingsan. Rumah sakit. Mungkin aritmianya kambuh? Tiga hal itu terus berputar di kepalanya, memukul saraf-saraf kewaspadaan hingga jantungnya berdegup tak karuan. Steve. Itu pasti karena pria itu. Jika dia tahu pertemuan sialan itu akan membawa dampak sebesar ini, dia tak akan membiarkan Camelia keluar rumah. Sial. Harusnya dia lebih waspada. Harusnya dia tidak meremehkan dampaknya. Mobil berhenti dengan hentakan kasar di depan pintu gawat darurat. Rainer keluar tanpa