Nina kembali berlari ke kamar mandi, memuntahkan semua isi di dalam perutnya. Sejak tiga hari lalu tidak ada satupun makanan yang masuk ke dalam lambungnya, semuanya masuk dengan percuma. Sudah dua bulan dia disibukkan dengan banyak kegiatan yang menyita waktunya, dan tubuhnya benar-benar menyerah satu bulan terakhir.
Dia bahkan sudah bolak balik IGD lebih dari lima kali dalam dua minggu terakhir.
“Bu? Kayaknya ibu lebih baik istirahat aja, pulang ke Jakarta.” Kumara menatap khawatir Nina yang kini duduk di dekat wastafel, wajahnya terlihat begitu pucat dan tubuhnya gemetaran.
“Bukannya masih ada dua acara lagi ya minggu ini?” Tanya Nina dengan napas yang terengah, dia mengambil tisu yang disodorkan Kumara, mengelap sisa muntahan di bibirnya.
“Kemarin saya sudah bilang sama bu Julie kalau keadaan bu Nina sedang tidak baik, bu Julie setuju untuk datang ke bali menyelesaikan sisanya.”
Nina mengangguk, dia sedikit bersyukur Kumara bertindak cepat dan meminta Julie untuk datang. Di kepalanya bahkan tidak terlintas untuk meminta tolong Julie menyelesaikan bagiannya.
Kumara membantunya untuk bangun, berjalan dari wastafel ke dalam kamar. Nina merebahkan dirinya, menutup matanya sambil terus merasakan mual yang begitu hebat.
“Ra, bisa pesankan tiket pesawat sekarang? Saya mau pulang aja ke jakarta, biar bisa ke Rumah Sakit.” Kata Nina kemudian, dia membuka ponselnya mengecek pesan yang masuk.
Seharusnya dia kembali dari bali bulan lalu, tapi kemudian semua rencananya batal karena pagelarannya di perpanjang lagi. Dia mengecek satu persatu pesan dan mencoba membalas semuanya ketika nama Tikta terlihat di kolom percakapan.
Pembicaraan terakhirnya dengan Tikta adalah ketika pria itu pergi ke lombok dan bertanya padanya apakah bisa bertemu setelah kepulangannya.
Dia terdiam.
“Ra,”
“Ya bu? Saya masih cari penerbangan paling cepat.” Ujar Kumara, berpikir Nina akan bertanya apakah gadis itu sudah selesai memesankannya tiket untuk pulang.
“Bukan itu Ra.” Kata Nina, membuat Kumara menghentikan kegiatannya. Gadis itu terlihat bingung.
“Aku terakhir haid, kapan ya?” Tanyanya.
Kumara menatap Nina. Pertanyaan Nina bukanlah pertanyaan yang aneh. Kumara bertemu Nina delapan tahun lalu ketika dia masih berusia delapan belas tahun, dia yang sedang bingung mencari pekerjaan paruh waktu kemudian diajak wanita itu untuk bekerja di butiknya.
“Tapi gak sekarang, kamu mending kuliah dulu. Kalo sudah kuliah dan butik saya sudah buka, baru saya minta kamu kerja disana.” Katanya kala itu, Kumara yang saat itu bingung menjelaskan kalau dia tidak mungkin berkuliah karena keluarganya tidak mampu secara ekonomi. Tapi kemudian Nina berkata, “Saya gak bilang kamu bayar uang kuliahmu sendiri, saya yang biayain. Tapi kamu harus jadi asisten saya ya, urusin semua yang saya butuhkan.”
Dan kini, sudah delapan tahun Kumara mengurusi segala keperluan Nina. Dari mulai hal sepele sampai yang besar, semua keperluan Nina adalah tanggung jawab Kumara. Termasuk mencatat jadwal haid wanita itu yang kadang telat karena faktor hormon.
Kumara mengecek tabletnya, ada folder tersendiri yang berisi jadwal haid Nina sejak enam tahun terakhir.
Semenjak membuka butik jadwal haidnya benar-benar buruk.
“Dua bulan bu.”
“Terakhir haid?” Nina seperti meyakinkan jawaban Kumara.
“Ya, ibu terakhir haid dua bulan lalu.”
Nina kemudian bangkit, menatap Kumara dengan tatapan horor. Kumara terkejut, dia buru-buru mendekat kearah Nina yang kini semakin pucat.
“Tapi, telat haid sudah biasa ‘kan ya?” Tanya wanita itu, Kumara mengangguk pelan. Nina mengangguk juga, kemudian kembali membaringkan tubuhnya ke kasur. Dia menimbang apakah harus menghubungi Tikta sekarang, tapi kemudian dia mengurungkannya.
Dia ingin memastikannya terlebih dahulu.
“Ra..”
Kumara kembali menoleh.
“Bisa tolong belikan saya testpack?”
Kumara menatapnya, “Untuk siapa bu?!” Katanya dengan sedikit memekik.
Nina memijit dahinya, “Untuk saya, nanti saya jelasin, tolong ya.”
Tanpa basa-basi gadis itu langsung berjalan pergi meninggalkan Nina di dalam kamar.
Ponsel Nina berdering, nama Julie tertera disana.
“Lo kenapa Nin? Maag lo kambuh?” Tanya Julie diujung telepon, dia terdengar santai, dibelakangnya tidak ada suara.
Sepi.
Nina mengecek jam tangannya, pukul sepuluh malam. “Lo masih di kantor? Kok belom balik?” Alih-alih menjawab dia lebih penasaran kenapa wanita itu masih berada di kantor pukul segini.
“Nanggung, gue lagi ngerjain pesenan pak Santo.”
“Astaga, gue lupa ngasih lo info manik permintaan dia..” Kata Nina.
“Santai, Kumara udah ngasih semua listnya termasuk updatean manik yang di minta pak Santo.”
Nina menghela napas, dia beruntung bertemu dengan orang-orang cekatan yang mampu menjaga butiknya dan mengedepankan kualitasnya.
“Terus? Gimana kesehatan lo?” Kata Julie lagi, masih belum puas karena pertanyaannya tidak terjawab.
“Gue minta Kumara beli testpack.”
Hening sebelum akhirnya wanita diujung sana memekik terkejut, “MAKSUD LO?”
“Aduh, gak usah teriak-teriak di kuping gue. Pokoknya gue minta Kumara beli dulu dan gue mau cek dulu, gue terakhir haid dua bulan lalu.”
Diujung sana Julie terdiam, kemudian berkata, “Pas Nin, kalau lo hamil ya pas hitungannya.”
“Diem deh lo, jangan asumsi apapun dulu.”
Julie menghela napas diujung telepon, “Lo minta Kumara beli testpack pasti karena udah punya asumsi terlebih dulu ‘kan?”
Nina memijat keningnya lagi, tidak bisa berdebat sekarang. Kepalanya pusing dan isi perutnya terasa diaduk-aduk.
“Kasih kabar ya kalau lo udah ada hasilnya.” Ujar Julie, Nina mengiyakan dengan suara lemah. “Jangan lupa hubungi Tikta, Nin. Meskipun belum tahu siapa yang sebenarnya nidurin selain dia sama Catur karena sampai saat ini Gata gak bisa dihubungi, seenggaknya kalian bisa berunding. Yang bisa datangi Gata cuma dia.”
Nina hanya menjawab sekenanya, dia tidak mampu berpikir harus bagaimana kalau hasilnya positif. Sampai hari ini dia tidak tahu apakah benar dia diperkosa atau hal itu terjadi karena dibawah pengaruh alkohol. Dia tidak bisa menuduh siapapun.
Lima belas menit kemudian Kumara kembali, dia menyerahkan satu kresek penuh testpack dengan banyak pilihan merk. Nina berjalan masuk ke dalam kamar mandi di bantu Kumara, dia duduk diatas toilet mencoba salah satu merk. Tapi kemudian berakhir mencoba semuanya secara bersamaan.
Dia terdiam di kamar mandi, semua testpack dia balik. Tidak mampu jika harus melihat hasilnya secara langsung.
Tiga menit sudah berlalu, dengan perlahan dia membuka salah satunya. Tangannya bergetar, dia menarik napas dalam-dalam.
“Ah, sialan…” Dia bergumam ketika hasil testpack menunjukkan hasil positif, dengan terburu dia membalik semuanya dan hasilnya sama. Positif.
Dia hamil.
Nina terdiam, memandang semua hasil itu di depannya dan tanpa terasa airmata perlahan jatuh satu persatu, sejurus kemudian dia terisak. Menangis di dalam kamar mandi seorang diri.
Nina sudah berada di Jakarta, malam kemarin dia langsung pulang setelah Kumara mendapatkan tiket pesawat. Dia bahkan tidak mampu berjalan dengan baik dan dibantu oleh petugas bandara sampai ke dalam pesawat, perutnya tidak berhenti meronta karena merasa diaduk-aduk, dia mual dan sakit kepala.Julie berkali-kali meneleponnya semalam, namun dia sudah tidak sanggup untuk mengangkatnya. Dia tertidur sambil menangis.Pagi ini, dia bangun dengan perut yang lagi terasa diaduk-aduk, masih pukul delapan dan dia sudah muntah hampir sepuluh kali. Kini dia terduduk diatas kasur, dari pantulan kaca lemari dia bisa melihat dirinya begitu kusut, kurus, dan pucat.Dia menoleh kearah ponselnya, dia harus memberi tahu Tikta. Baru saja dia mau memencet tombol panggil suara bel di pintu mengejutkannya, Nina menyimpan ponselnya dan pergi ke pintu depan membuka pintu.“Na! Kok gak bilang sudah di rumah?” Catur masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi, pria itu datang dengan baju rapi tidak seperti biasanya, a
Tikta menggenggam tangan Nina, wanita itu terlihat hampir pingsan ketika kakinya menyentuh tanah. Dia memeluk Nina erat, kemudian meminta salah satu perawat membawa kursi roda.“Bapak mau ke poli?” Tanya perawat itu lembut, membantu Nina untuk duduk diatas kursi roda.“Saya mau ke poli kandungan.” Kata Tikta lagi, mengecek jam di tangan kanannya.“Sudah ada janji pak?”Tikta mengangguk, “Dokter keluarga saya, dr Serif.”Perawat itu terdiam kemudian mengangguk, dia mendorong kursi roda dan mengarahkan Tikta. Bukan ke tempat antrian poli biasa yang penuh, tapi ke tempat lain di belakang. Mereka masuk ke dalam lift menuju lantai tiga, ketika pintu lift terbuka wangi pengharum ruangan menyambut mereka.Kursi di dorong sampai ke depan ruangan, perawat itu mengetuk pintu kaca tersebut.“Dok, pak Tikta dan istri sudah datang.”Tikta dan Nina bereaksi mendengar kata ‘istri’ disebut, namun mereka berusaha bersikap biasa saja. Pintu terbuka dan Tikta mendapati wajah yang sangat dia kenali, dokt
Nina tengah berbaring diatas kasur, matanya begitu berat, dia mengantuk. Hari ini begitu ajaib, pagi tadi dia muntah begitu banyak, kemudian dia bertemu dan Tikta. Setelah bertemu dengan pria itu dia makan dengan begitu lahap, tidak ada yang keluar sama sekali. Dia mengelus perutnya, “Kamu senang ya mau jadi penerus SSK Food?” Bergumam, kemudian dia tertawa sendiri. Benar, Tikta begitu serius bicara dengannya tadi. Pria itu bilang kalau dia benar-benar membutuhkan bantuan Nina. “Kita ambil jalan terbaik saja, anak kamu butuh Akta Kelahiran untuk administrasinya kemudian mendapatkan warisan utama keluargaku. Aku hanya butuh anak kamu untuk terbebas dari semua ini.” Nina membuka tasnya, mengeluarkan hasil USG dan memandang gumpalan hitam itu. “Aku benar-benar gak mau menjadi penerus SSK Food Nin, anak kamu boleh ambil semuanya.” “Bagaimana dengan keluargamu yang lain? Meskipun kamu anak tunggal, tapi keluarga besarmu semua bekerja di SSK Food. Mereka gak mungkin dengan mudah mere
Nina terdiam.Setelah ucapan aneh Catur, semua masalah terselesaikan, kecuali satu hal! Ajakan pernikahan dari Tikta. Sudah satu minggu dari saat itu dan belom ada lagi kabar terbaru darinya lagi. Entah mengapa, hari demi hari kondisi Nina semakin menurun. Dua hari setelah dari dokter, dia memaksakan diri pergi ke butik. Semua karyawan memandangnya dengan begitu aneh. Tentu saja, Nina yang selalu berpenampilan stylish tiba-tiba datang dengan penampilan berantakan. Wanita itu datang dengan memakai kemeja kebesaran dipadu dengan jeans robek dan sepatu kets. “Halo semua, saya mohon maaf sebelumnya. Tapi saya mau mengumumkan sesuatu, saya harap semuanya mau bekerja sama karena jujur untuk saya pribadi tidak mungkin terus menjalankan butik ini tanpa bantu kalian ditambah kondisi saya semakin memburuk.” Hari itu dia membuka rapat pagi dengan kalimat begitu panjang, wajahnya pucat, rambutnya dikuncir asal-asalan. Semua karyawan memandangnya dengan perasaan takut. “Saya tengah hamil, us
Di sisi lain, Nina tidak mengerti apakah dia tengah berada di bawah sugesti? Tapi kalau dipikir-pikir selama ada Tikta di sampingnya dia makan dengan sangat baik. Tidak ada drama mual dan muntah. Setelah Tikta menyematkan cincin di jari manisnya, seorang staff yang bertugas mengantarkan makan siangnya. Dia tidak berselera karena tahu setelah makan pasti akan memuntahkan lagi semuanya. Tapi kemudian Tikta dengan penuh semangat membuka semua penutup makanan dan menyerahkan makanan itu tepat di depan wajah Nina. “Wah menunya daging panggang, kamu suka Nin sama daging panggang? Ada sop juga, nasinya agak lembek.” Pria itu mengoceh sambil merapikan semua mangkok dan piring diatas meja tambahan yang berada di sisi tempat tidur. “Makan dulu ya Nin, biar ada tenaga.” Ujarnya, dan seperti di sihir Nina menurutinya. Dia mulai makan dengan nasi dan sepotong daging panggang. “Enak?” Tanya Tikta kemudian dan wanita itu mengangguk pelan, rasanya hambar tapi entah kenapa di mulutnya terasa enak
Baru saja Tikta melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, ibunya sudah tergopoh-gopoh datang menghampirinya. Wajahnya terlihat pucat. “Ta..Ta” Dia memanggil Tikta, mendekat kearah anak lelakinya yang kini berhenti dan menatapnya dengan wajah kebingungan. “Kenapa bu? Kenapa panik banget?” Tanya Tikta, dia memeluk ibunya dan mengajak wanita paruh baya itu duduk di sofa ruang keluarga rumah mereka. Ibunya masih menatap Tikta, “Apa benar yang ada di berita?” Ibunya bertanya langsung tanpa basa-basi. Tikta terdiam, kemudian mengangguk pelan. “Benar bu..” “Kamu…” “Iya, Tikta memang berselingkuh. Wanita yang sekarang hamil itu kekasih Tikta bu, kekasih Tikta dan tunangan Tikta gak tahu satu sama lain kalau Tikta menduakan mereka.” Ibunya menutup mulut dengan kedua tangannya, terkejut dengan apa yang baru saja Tikta katakan. “Kamu serius ngelakuin hal itu, Ta? Gimana tunangan kamu?” Tikta tersenyum dan kemudian tertawa kecil setelah mendengar pertanyaan ibunya, “Kenapa ibu peduli? Buk
Nina menatap Catur yang sejak kepergian Tikta tidak bicara sedikitpun, pria itu sibuk dengan ponsel di tangannya. Tikta pamit pulang setelah mendapat telepon dari sekretarisnya tentang dirinya dan Nina yang terlihat masuk ke dalam Rumah Sakit khusus Ibu dan Anak. Tikta berjanji akan kembali dengan segera setelah dia bicara dengan kedua orangtuanya.Catur memilih untuk tidak pulang dan menginap di Rumah Sakit pada akhirnya karena takut para reporter memaksa masuk ke ruang rawat inap milik Nina.“Lo masih mau pura-pura sibuk dengan hp? Bolak balik buka halaman home?” Nina membuka pembicaraan, dia tengah menatap Catur sambil menyilangkan tangan di dada. Catur melirik kearahnya, kemudian menghela napas.“Gue udah minta maaf.”“Yang mana?” Tanya Nina kemudian, dia masih sebal dengan omongan Catur yang menurutnya menyudutkan Tikta secara tiba-tiba.Dia kenal Catur dan ini kali pertamanya melihat pria itu begitu bersikap tidak baik dengan orang yang menurut Nina sudah dia kenal dengan baik.
Nina menatap sekelilingnya, dia baru saja dipaksa untuk masuk ke dalam sebuah mobil pribadi berwarna hitam seorang diri sedangkan Catur dicegah oleh sekitar tiga orang laki-laki di ruang rawat inapnya. Seorang laki-laki mengajaknya pergi menggunakan kursi roda, awalnya Nina memberontak karena dia takut itu adalah akal-akalan reporter saja. Tapi kemudian pria itu berkata kalau dia diminta membawa Nina ke kediaman tikta. Dia sedang berada di ruang tamu sekarang, dimana banyak sekali foto-foto berukuran besar terpajang di dinding. Foto Tikta, seorang pria dan wanita paruh baya. Ini kediaman Tikta. Rumah keluarganya. “Nona Gianina?” Seorang wanita muda menghampirinya dengan perlahan, dia tersenyum pada Nina yang kemudian dengan canggung juga tersenyum padanya. “Saya perawat pribadi di rumah ini, mohon maaf saya bantu untuk melepas infusnya?” Nina mengangguk, dia baru saja sadar kalau dia membawa infus ke rumah ini. Dia tidak sempat mencopot apapun seperti di FTV yang dia tonton keti
Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan
“Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in
“Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep
“Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti
Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai
Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda
“Kamu yakin mau menunda?”Pria itu bertanya dengan wajah yang terlihat khawatir. Ferdi, dia suami Kumara.Keduanya bertemu di butik EKAWIRA. Ferdi adalah salah satu klien terbaik butik itu, dia seorang pengusaha yang cukup tersohor. Namun keduanya memutuskan untuk menyembunyikan hubungan mereka.Selain karena peraturan butik untuk tidak menjalin hubungan dengan klien, juga karena Ferdi sudah dikenal oleh publik karena usahanya.“Iya, aku masih punya tanggung jawab di butik..” Jawab Kumara, dia menunduk. Pernikahan mereka baru berjalan beberapa bulan ketika Nina memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia dan melahirkan di Jepang.Tepatnya pagi ini, Kumara mendapat panggilan dari Julie untuk rapat.Wanita itu menjelaskan mengapa rapat itu diadakan, Nina juga hadir secara online.“Semalam gue sudah ngobrol sama Julie dan gue rasa sekarang gue harus bilang juga ke lo.” Katanya pada Kumara yang membeku, dia menoleh pada Julie.“Jadi, apartemen itu sebagai hadiah pernikahan gue.” Nina me
“Ma, boleh gak?” Ini sudah kesekian kalinya Kiran merengek pada Julie. Mata itu memancarkan belas kasihan yang ingin sekali Julie hindari.CHARAKA KIRAN YOGASWARA.Sudah delapan tahun berceraian itu berakhir, meninggalkan luka menganga yang begitu besar di dada Julie. Bahkan belum mengering meskipun orang bilang waktu akan menyembuhkan segalanya.Lukanya belum juga sembuh.Usia Kiran memasuki usia remaja sekarang, lima belas tahun. Dia tumbuh seperti ayahnya, bagaimana dia bersikap, menanggapi persoalan, namun tentu saja dia jauh lebih manis dari ayahnya.“Ya gak mungkin dong nak mama ngizinin kamu magang di butik EKAWIRA? Lagian kamu masih anak SMP ngapain nyoba kerja?”Kiran cemberut sekarang, mengaduk mie instan yang lagi-lagi hasil rengekannya karena sudah dua bulan tidak memakannya.“Kiran mau belajar kerja ma, nanti setelah lulus sekolah biar gak kaget!”Julie menggeleng, mengibas-ngibaskan tangannya tanda bahwa dia tidak menyutujui hal itu.“Pergi sekolah sejauh mungkin, nanti
Julie tidak pernah absen mendatangi Catur, dia tidak pernah sekalipun mengurangi jatah kesempatan untuk menjenguk pria itu. Semenjak pria itu menyerahkan diri hingga sampai akhirnya dia keluar penjara, Julie selalu ada untuknya.Tentu saja, sama dengan Nina kebenciannya pada Catur begitu besar. Kecewa dan benci jadi satu sehingga dia bahkan tidak tahu mengapa masih dengan sadar mengunjungi pria itu, menengok dan mengecek keadaannya.Julie sadar, mereka sudah terlalu lama bersama.Nina melakukannya juga, meskipun wanita itu membenci Catur namun perasaan peduli tidak bisa dihilangkan begitu saja.“Tidak ada sanak saudara sama sekali?” Tanya salah seorang polisi ketika pengadilan berakhir, penahanan Catur telah diputuskan. Dia akan dipenjara selama kurang lebih dua puluh tahun.Waktu yang cukup panjang untuk menebus semua kesalahannya.“Tidak ada pak, selama disini saya sebagai walinya.” Julie berhadapan dengan salah satu petugas yang membawa semua barang-barang pribadi Catur.Petugas it