Waduh! Sebenarnya apa masa lalu Tikta, ya?
Sudah dua minggu sejak Nina keluar dari Rumah Sakit, dia sekarang tengah disibukkan dengan berbagai macam persiapan pernikahan. Setelah pulang dari rumah Tikta dia berdiskusi mengenai pernikahan sampai mereka sepakat untuk melakukan resepsi setelah pemberkatan, yang awalnya hanya ingin resepsi kecil-kecilan kemudian menjadi resepsi megah dan meriah.“Ibu gak bisa Ta kalau gak ngundang semua kolega bapak.” Semuanya berawal dari perkataan ibu yang ini dan kemudian setelah diskusi lagi mereka akhirnya sepakat untuk membuat acaranya megah dan meriah.“Maaf ya Nin malahan jadi gelar pesta rame begini.” Tikta meminta maaf pada Nina yang kemudian tertawa, tidak merasa keberatan.“Aku cuma mikir aja, kita rencana nikah sampai lima tahun aja dan kemudian bercerai. Aku gak enak takut kamu ngerasa rugi.”“Rugi?”“Ini budgetnya besar banget Ta untuk ukuran pesta pernikahan.”“Terus rugi kenapa?”“Rugi karena ujungnya kita pisah dan pernikahan ini cuma bohongan.”Tikta tertawa mendengar Nina, “Nik
Nina dan Tikta sudah merampungkan beberapa persiapan pernikahan, dari mulai Venue sampai katering. Dekor dan segala macam tetek bengeknya juga terpilih, mereka memakai tema putih. Keduanya sama-sama tidak suka ribet, tidak suka sesuatu yang ramai maka ketika ditanya ingin konsep apa keduanya sepakat putih adalah warna yang cocok untuk konsep mereka.Tanggal juga sudah ditentukan, dan kemungkinan pernikahan terjadi di bulan kelima kehamilan Nina. Dengan kekeras kepalaannya dia akhirnya mampu membujuk Julie untuk memakai bahan tulle sebagai gaunnya, dia mengeluh karena di bulan kelima kehamilannya dia naik hampir 4kg.Mual muntahnya sudah tidak ada, namun kini berganti dia menginginkan makanan manis. Nina tidak begitu suka manis, dia suka, hanya saja bukan penggemarnya. Berkebalikan dengan Tikta, pria itu benar-benar suka manis.Kala itu mereka sedang berjalan di Mall, mereka sudah tidak canggung lagi pergi berduaan dan berjalan bergandengan tangan di depan orang banyak. Selain karena m
Nina menatap dirinya sendiri di depan cermin, ini bulan lima kehamilannya. Tingginya 165cm tapi entah mengapa dia terlihat agak bulat karena kehamilannya, melirik lagi, memutar badannya. Ya, dia naik hampir enam kilo selama kehamilan. Bulan lalu ketika dia mengecek si bayi bersama Tikta dokter bilang bayinya sehat, beratnya oke hanya saja bagi dokter Nina terlalu cepat naik berat badan.Dia menghela napas, gaun yang dibuatkan Julie bahkan sudah di revisi dua kali dalam sebulan terakhir. Dia membuka lemari bajunya, menatap semua baju yang tergantung disana, Nina bahkan sudah tidak bisa memakainya lagi.Seluruh bajunya pas badan, begitu dia naik sedikit tidak ada lagi baju yang muat. Dia masih terdiam ketika sebuah telepon masuk ke ponselnya, Tikta.“Nin, udah siap?” Tanya pria itu diujung telepon.“Belum, masih milih baju. Kamu emang beneran mau ikut fitting?” Nina balik bertanya setelah menjawab Tikta, tidak langsung ada jawaban terdengar suara bunyi angin dan kemudian pintu apartemen
Catur masih menunduk di depan Julie, ada rasa malu yang dia rasakan. Malam itu Julie tidak langsung membahas perkara apa yang dia ucapkan karena Nina terbangun, mereka kemudian mengobrol hal lain untuk mengalihkan.Berkali-kali Julie memintanya untuk datang dan menjelaskan apa maksud perkataannya, tapi lagi-lagi nyalinya terlalu kecil untuk hal itu. Dia harus mengumpulkan tekad dulu untuk sampai ke tempat Julie sekarang.Wanita itu terlihat geram, Catur bisa melihat giginya menggeretak bahkan dari tempat Catur duduk.Julie, Catur dan Nina saling mengenal sejak dari London. Ketika Julie dan Nina masih berkuliah disana, mereka sering bertemu dan melakukan banyak kegiatan bersama.“Tur..”“Sorry Jul, gue gak sanggup jujur sama lo secara langsung.” Ucapnya, memotong apapun yang akan Julie ucapkan terlebih dulu padanya.“Lo tahu gak sih apa yang lo lakuin ke Nina?” Julie berkata, wajahnya mengeras, alisnya saling bertaut dan suaranya agak meninggi. Catur bisa merasakan wanita di depannya s
Ini hari yang sudah ditunggu-tunggu oleh Nina dan juga Tikta. Hari yang awalnya ingin mereka lalui secara biasa saja tanpa mewah dan meriah namun akhirnya menyerah pada keinginan kedua orangtuanya.Sejak malam Nina sudah begitu resah, dia sulit untuk tertidur dan entah mengapa bayi di dalam perutnya juga sudah tidak mau diam.Pagi hari, Nina sudah bangun dan orang-orang yang bertugas meriasnya sudah datang. Nina menginap di hotel sebelah venue, bersama dengan keluarga Tikta. Dia duduk di depan meja rias dan mulai di dandani, ketika sedang dirias tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya.Dia memejamkan matanya.Hanya sekitar sepuluh detik dan dia membuka matanya, ketika dia membuka mata dari pantulan cermin terlihat wajah Tikta. Pria itu tengah menatap ponsel di tangannya, membiarkan bahunya menjadi sandaran Nina yang terlihat sudah rapi. Nina terlonjak kaget, disusul Tikta yang terkejut juga.“Ya ampun, sudah bangun?” Tanyanya, suaranya yang berat itu terdengar begitu lembut dan dewasa seca
Nina dan Tikta sampai ke pulau bali pukul tengah malam waktu setempat, mereka langsung disambut oleh orang yang ditugaskan menjemput keduanya dan membawa mereka ke Villa milik keluarga Sahasika.Nina dibuat menganga melihat betapa besar Villa tersebut. Dia mendadak berpikir jika mengajak seluruh karyawannya disini mungkin mereka akan sangat bahagia, ruangan yang begitu besar dan luas, kolam renang, ruang tidur yang banyak.“Kamu yakin kita berdua aja disini?” Tanya Nina pada Tikta ketika mereka sudah masuk ke dalam Villa dan menunggu semua koper diturunkan, sebagian koper sudah dikirim ke rumah Nina dan Tikta sudah meminta asisten rumah tangganya untuk merapikan semuanya disana.“Kenapa? Kamu takut? Kegedean ya? Mau ganti ke tempat yang lebih kecil? Aku masih ada Villa disini..”Nina terdiam kemudian menggeleng.Dia tidak ingin tahu lebih banyak Villa keluarga konglomerat tersebut.“Kamu mau tidur diatas?” Tanya Tikta kemudian, Nina menatap tangga yang menjulang tinggi keatas. Menghit
Wanita itu mulai bercerita bagaimana masa kecilnya, masa kecil yang baginya tidak ingin lagi diungkit maupun dikenang. Bukanlah masa kecil yang menyenangkan bahkan untuk sekedar diingat.Dia tinggal bersama neneknya ketika kecil, hidupnya jauh dari kata berkecukupan. Neneknya selalu mengakali bagaimana mereka bisa makan dua kali sehari, ibunya telah tiada.“Ibuku, sudah gak ada waktu aku kecil. Aku cuma hidup sama nenek.” Dia berkata pada Tikta yang masih menatapnya. “Ayahku juga gak ada..”“Kabur?” Pertanyaan Tikta membuat Nina menoleh, wanita itu tersenyum dan menggeleng pelan.“Ayahku masuk penjara.”Mata Tikta melotot seketika, terkejut dengan jawaban Nina yang terkesan santai dan biasa saja.“Ayahku membunuh ibu waktu aku masih bayi.”Tikta sudah tidak tahu bagaimana ekspresi yang dia tampilkan di depan Nina tapi dia sama sekali tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar hal itu. Dia tahu beberapa hal mengenai keluarga Nina karena orangtuanya lebih dulu mencari tahu lata
Sejak pagi Nina sudah disibukkan dengan banyaknya email yang masuk. Dia tidur terpisah dengan Tikta, keduanya menempati kamar di bawah karena Tikta merasa tidak nyaman harus meninggalkan Nina seorang diri di bawah.Nina baru selesai menyikat gigi dan membasuh wajahnya ketika tiba-tiba Tikta masuk ke dalam kamar, lagi-lagi tanpa mengetuk terlebih dahulu.“Mau sarapan?” Tanya Tikta, muncul di balik pintu. Rambutnya sudah setengah kering padahal waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi dan semalam mereka sampai ke Villa pukul tiga pagi.Nina mengangguk, pria itu pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Nina terkadang bingung dengan sikap pria itu yang seenaknya masuk dan keluar tanpa berpikir Nina mungkin sedang berganti pakaian atau apa.Nina kembali pada laptop dan tabnya, mengecek semua pekerjaan yang baru saja masuk ke dalam email. Ada beberapa permintaan untuk sebuah event, setelah pernikahannya selesai kemarin email pekerjaannya semakin ramai, beberapa pesan masuk secara langsung ke ponse
Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan
“Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in
“Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep
“Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti
Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai
Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda
“Kamu yakin mau menunda?”Pria itu bertanya dengan wajah yang terlihat khawatir. Ferdi, dia suami Kumara.Keduanya bertemu di butik EKAWIRA. Ferdi adalah salah satu klien terbaik butik itu, dia seorang pengusaha yang cukup tersohor. Namun keduanya memutuskan untuk menyembunyikan hubungan mereka.Selain karena peraturan butik untuk tidak menjalin hubungan dengan klien, juga karena Ferdi sudah dikenal oleh publik karena usahanya.“Iya, aku masih punya tanggung jawab di butik..” Jawab Kumara, dia menunduk. Pernikahan mereka baru berjalan beberapa bulan ketika Nina memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia dan melahirkan di Jepang.Tepatnya pagi ini, Kumara mendapat panggilan dari Julie untuk rapat.Wanita itu menjelaskan mengapa rapat itu diadakan, Nina juga hadir secara online.“Semalam gue sudah ngobrol sama Julie dan gue rasa sekarang gue harus bilang juga ke lo.” Katanya pada Kumara yang membeku, dia menoleh pada Julie.“Jadi, apartemen itu sebagai hadiah pernikahan gue.” Nina me
“Ma, boleh gak?” Ini sudah kesekian kalinya Kiran merengek pada Julie. Mata itu memancarkan belas kasihan yang ingin sekali Julie hindari.CHARAKA KIRAN YOGASWARA.Sudah delapan tahun berceraian itu berakhir, meninggalkan luka menganga yang begitu besar di dada Julie. Bahkan belum mengering meskipun orang bilang waktu akan menyembuhkan segalanya.Lukanya belum juga sembuh.Usia Kiran memasuki usia remaja sekarang, lima belas tahun. Dia tumbuh seperti ayahnya, bagaimana dia bersikap, menanggapi persoalan, namun tentu saja dia jauh lebih manis dari ayahnya.“Ya gak mungkin dong nak mama ngizinin kamu magang di butik EKAWIRA? Lagian kamu masih anak SMP ngapain nyoba kerja?”Kiran cemberut sekarang, mengaduk mie instan yang lagi-lagi hasil rengekannya karena sudah dua bulan tidak memakannya.“Kiran mau belajar kerja ma, nanti setelah lulus sekolah biar gak kaget!”Julie menggeleng, mengibas-ngibaskan tangannya tanda bahwa dia tidak menyutujui hal itu.“Pergi sekolah sejauh mungkin, nanti
Julie tidak pernah absen mendatangi Catur, dia tidak pernah sekalipun mengurangi jatah kesempatan untuk menjenguk pria itu. Semenjak pria itu menyerahkan diri hingga sampai akhirnya dia keluar penjara, Julie selalu ada untuknya.Tentu saja, sama dengan Nina kebenciannya pada Catur begitu besar. Kecewa dan benci jadi satu sehingga dia bahkan tidak tahu mengapa masih dengan sadar mengunjungi pria itu, menengok dan mengecek keadaannya.Julie sadar, mereka sudah terlalu lama bersama.Nina melakukannya juga, meskipun wanita itu membenci Catur namun perasaan peduli tidak bisa dihilangkan begitu saja.“Tidak ada sanak saudara sama sekali?” Tanya salah seorang polisi ketika pengadilan berakhir, penahanan Catur telah diputuskan. Dia akan dipenjara selama kurang lebih dua puluh tahun.Waktu yang cukup panjang untuk menebus semua kesalahannya.“Tidak ada pak, selama disini saya sebagai walinya.” Julie berhadapan dengan salah satu petugas yang membawa semua barang-barang pribadi Catur.Petugas it