Ada yang muncul tiba-tiba, sosok yang berusaha membawanya keluar dari semesta yang selalu malam.
.
"Aku jahat kan, Mas?"
Wanita itu terus meracau dengan tatapan kosong dan berkaca. Senja seperti kehilangan dirinya. Seperti bukan Senja. Fais yang merasa khawatir, tanpa berpikir panjang langsung meraih wanita itu dalam pelukan.
"Hei, tidak Senja. Bukan begitu maksudku. Maaf, aku salah bicara. Kamu ibu yang sangat baik untuk Danish."
"Lalu, kenapa Mas Fais menuduhku menghancurkan kebahagiaan Danish? Kenapa?!"
Bersamaan dengan isakan yang mulai tumpah, tangan mungil Senja memukul-mukul dada bidang lelaki itu. Sebagai pengganti tetiap kata, sebagai bentuk penjelasan, bahwa Senja bukan ibu seperti yang Fais tuduhkan.
"Aku tidak seperti itu," tekan Senja dengan suara yang terdengar parau.
"Tentu saja. Maaf. Sungguh aku tidak bermaksud menuduhmu seperti itu. Aku hanya tidak tahan melihatmu dan Danish jadi sasaran kemarahan Gibran setiap hari. Bukannya aku ingin menghancurkan rumah tangga kalian, tapi lihatlah Danish, Senja. Lihatlah dirimu sendiri? Tidak ada gunanya bertahan dengan orang yang tidak pernah bisa menghargai kita sedikitpun.
Tadi, aku mendengar semuanya, aku mendengar saat Danish bilang ingin pergi jauh dari Ayahnya. Bukan hanya aku, siapapun pasti akan terluka mendengar ratapan anak secekil itu. Pikirkan baik-baik sebelum semuanya terlambat, sebelum mental Danish hancur melihat kelakuan ayahnya. Buktikan pada Gibran, kalau kamu bisa hidup dengan baik tanpa laki-laki itu. Please, Senja," Fais berkata lembut, berharap jalan pikirannya sampai kepada Senja.
Usapan tangan Fais di kepalanya yang berlapis hijab, membuat Senja tersentak. Dan langsung melepaskan diri dari laki-laki itu.
"Maaf," lirih Senja yang tampak salah tingkah. Setelah tersadar bahwa; kesalahan yang baru saja terjadi, Senjalah yang memulainya.
"It's okay. Aku juga minta maaf." Fais menaangkupkan tangan di dada sebelum berbalik dan berjalan ke ruangan Danish. Meninggalkan Senja di koridor rumah sakit.
Namun, langkah Fais seketika terhenti, saat suara dari arah belakang, tertangkap oleh telinganya.
"Mas."
Laki-laki dalam balutan kemeja itu menoleh dengan alis tertaut.
"Benarkah, aku bisa melakukannya? Aku bisa memberi yang terbaik untuk Danish?" tanya Senja dalam jarak beberapa meter.
Pertanyaan yang membuat Fais kembali mendekat. Keraguan yang selama ini berkelindan dalam kepala Senja harus dihempaskan. Agar Danish tak lagi menjadi korban. Begitu pikirnya.
"Tentu saja. Kamu ibu yang hebat dan Danish anak yang pintar. Aku yakin kamu pasti bisa menjalaninya ,Senja. Kalau kamu butuh apa-apa, katakan saja! Aku pasti akan membantu semampuku. Jangan kecewakan Danish kali ini, aku sangat menyayanginya."
Fais berkata dengan sorot mata penuh kepastian. Yang sampai ke hati Senja. Tatapan yang membuat wanita lembut itu menemukan kepercayaan diri. Bahwa ada ataupun tidaknya Gibran, tidak berpengaruh sama sekali dalam kehidupan yang ia dan putranya jalani. Bahkan mungkin, ketiadaan adalah lebih baik.
"Terima kasih banyak, Mas. Terima kasih."
"Sama-sama. Tetap semangat. Aku ke ruangan Danish dulu, ya."
"Eum, tunggu, Mas. Ada satu hal lagi yang ingin aku sampaikan," kata Senja ragu-ragu.
"Apa itu?"
"Aku tidak masalah Mas dekat sama Danish. Tapi, tolong jangan terlalu memanjakannya. Aku takut dia akan ketergantungan nantinya."
Sekilas, Fais memicingkan mata. Permintaan Senja terdengar tidak masuk akal. Namun, Fais memilih mengalah, berdebat dengan wanita bukan pilihan yang tepat. Mereka punya banyak cara untuk menempatkan laki-laki dalam posisi yang sulit. Menurutnya.
"Baiklah. Kalau itu maumu. Tapi, jangan larang aku untuk menjemput kalian besok. Besok weekend, aku tidak bekerja."
"Tapi ...."
"Kamu takut akan menimbulkan fitnah, kan? Tenang saja. Serahkan semuanya padaku."
.
"Terima kasih. Kau selalu hafal seleraku," ucap Gibran setelah menyesap kopi buatan Natasya.
"Tentu saja. Orang yang mencintaimu hafal dengan baik semua hal yang berhubungan denganmu. Termasuk wajahmu yang terlihat kusut hari ini. Apa wanita itu mengganggumu," balas Natasya dengan suara menggoda.
"Eum, dia dan anaknya pergi entah ke mana. Bahkan ponselnya tidak bisa dihubungi. Membuatku pusing saja. Kamu tahu, tadi aku sampai kena tegur atasan karena tidak fokus bekerja gara-gara memikirkan mereka," gerutu Gibran dengan gigi mengerat.
Gibran sangat jengkel mengingat bagaimana Pak Mahru, ketua divisi pemasaran, memarahinya di depan rekan-rekan tim lain, karena tertangkap basah hanya duduk melamun tanpa mengerjakan apa-apa. Bahkan layar monitornya dalam kondisi belum dinyalakan.
Dan, kejengkelan Gibran semakin naik level, saat menyadari Fais menatap ke arahnya dengan seringai sinis. Seolah berkata 'syukurin.'
Entah kebetulan atau bukan. Selain bertetangga dan bekerja di perusahaan yang sama. Fais dan Gibran juga tergabung dalam divisi yang sama. Sebelumnya hubungan mereka baik-baik saja, dan mulai merenggang saat Fais mulai sering menasehati Gibran karena tidak tahan lagi dengan sikapnya pada Senja dan Danish.
Menurut Gibran, laki-laki itu terlalu lancang untuk ukuran seorang teman.
"Ya ampun, kasian banget sih, kamu. Harusnya kamu nggak usah mikirin mereka. Lagian untuk apa memikirkan orang yang sudah menempatkanmu dalam masalah," bujuk Natasya sembari mengusap lengan suami Senja.
"Aku hanya bingung, ke mana mereka pergi? Udah nggak ngasih kabar. Nyusahin aja! Argh!"
"Tenang, Sayang. Kan, ada aku di sini. Lagian buat apa kamu pikirin mereka. Bukannya kamu suka mereka pergi? Apa kamu mulai mencintai istrimu kembali? Ingat, Sayang, dia udah berkhianat, dia ketahuan udah nggak perawan saat malam pertama kalian."
Mendengar ucapan Natasya, Gibran kembali memanas. Kejadian waktu itu, telah membuatnya membenci Senja dan tidak sudi mengakui Danish sebagai anak.
"Bukan begitu. Aku hanya tidak mau kalau ibu panti tempat Senja tinggal sampe tahu bagaimana sikapku pada Senja. Aku tidak ingin di cap buruk, soalnya dulu aku sering ke sana," jelas Gibran panjang lebar.
Dan penyebab laki-laki itu tidak pernah lagi berkunjung ke panti adalah Natasya. Tempat pelariannya setelah mendapati Senja tidak bisa membuktikan diri belum ternoda.
Menurut Gibran, Senja telah berbohong, dan ia harus membalasnnya. Dan hubungan terlarang yang dibenarkan atas nama Senja, masih awet sampai sekarang, meski Gibran belum memberi jawaban atas permintaan kekasihnya. 'Kapan kita menikah? Kapan kau ceraikan istrimu?'
"Eum, yaudah. Sekarang bisakah kau lupakan semuanya dan fokus padaku saja?" tanya Natasya dengan suara mendayu, sembari menahan Gibran untuk tetap menatapnya.
"Gibran, menginaplah seperti semalam. Aku rindu."
"Tentu saja. Selama ini, aku selalu di sini, kan?"
Dan peristiwa seperti semalam kembali terulang. Seperti saat Senja berlari ke rumah Fais untuk meminta tolong.
.
Pukul sepuluh pagi, Fais sudah siap dengan penampilan kasualnya untuk menepati janji dengan Danish. Menjemput bocah kecil itu ke rumah sakit.
"Nanti aku beli apa, ya untuk Danish?" monolog Fais sembari memutar-mutar kunci mobil di tangannya.
Sebelum pergi, laki-laki sempat melirik ke rumah sebelah, yang tampak tidak berpenghuni. Mobil Gibran juga tidak terparkir di sana.
"Memang sampah."
.
"Assalamualaikum jagoan, Ayah datang!"
Suara seseorang memberi salam membuat Danish menoleh sembari tersenyum lebar. "Waalaikumsalam. Ayah Fais!"
Sementara Senja yang baru keluar dari kamar mandi tampak kaget mendapati Fais bersama seseorang.
"Mas Fais, Bu ...."
"Biar tidak menimbulkan fitnah."
Pernah ada yang menunggu kepulangan. Dan itu hanya terjadi di masa lalu. Sebab di masa sekarang, ia bukan lagi milikmu. Pada hakikatnya, senja memang tak bisa kau nikmati setiap waktu kau mau.Sementara Senja yang baru keluar dari kamar mandi tampak kaget mendapati Fais bersama seseorang."Mas Fais, Bu ....""Biar tidak menimbulkan fitnah," ujar Fais tersenyum. Saat melihat Senja yang terkejut dengan keberadaan Bu Maria."Senja, ya ampun, Nak!"Bu Maria berjalan mendekat ke arah wanita cantik yang sudah dianggap seperti anak sendiri. Sementara Fais, memilih mendekat ke ranjang Danish. Bermaksud memberi ruang pada dua wanita beda generasi itu untuk bercerita. Mungkin."Kenapa kamu nggak ngomong apa-apa sama, Ibu? Ibu pikir kalian ke mana, udah dua hari kamu sama Danish tidak kelihatan.Untung tadi Fais ke rumah kasih tahu Ibu, kalau kalian di rumah sakit," ujar Bu Maria sembari memeluk Senja.Jelas sekali rasa khawatir
Jika cinta pertama selalu menyakiti, maka ketulusan cinta terakhir akan datang di kemudian hari. Dari tempat singgah itu, kau hanya perlu keberanian untuk melangkah pergi.."Senja, Danish!"Gibran yang baru keluar dari mobil, menatap orang-orang yang berdiri di depan rumahnya dengan tatapan yang tidak bisa dijabarkan.Sementara Danish yang tadinya anteng, kini malah mengaitkan tangannya ke leher Fais. Menatap tidak suka, pada laki-laki yang melotot ke arah bundanya. Jenis tatapan yang biasa balita itu lihat setiap hari. Pemandangan yang tidak menyenangkan sama sekali.Laki-laki yang sudah lima tahun lebih menjadi suami Senja, mulai berjalan mendekat mengikis jarak."Dari mana saja, kamu, hah? Bagus ya, pergi nggak bilang-bilang. Eh, ternyata pulangnya bareng laki-laki lain!" sergah Gibran setelah berdiri tepat di hadapan mereka."Lo lagi, bini ora
Tak ada yang sanggup berlama-lama dengan luka yang tercipta tanpa anestesi.."Oh, ini toh orang yang ninggalin noda lipstick di baju suami orang!""Sok-sok an nuduh istrinya selingkuh. Padahal, dia sendiri yang ketahuan main perempuan.""Iih, jahat banget sih, jadi lakik! Istrinya sibuk rawat anak di rumah sakit. Dia malah sibuk selingkuh. Pake fitnah Senja, lagi."Mendengar cemohan orang-orang yang masih setia bergerombol di depan rumahnya. Gibran merasa hampir gila. Dalam hati, laki-laki itu merutuki Natasya yang nekat menyusul ke rumahnya segala."Heh, Gibran. Harusnya kamu itu berterima kasih sama Fais, yang udah mau bantu bawain anak kamu ke rumah sakit, di saat bapaknya sendiri sibuk bermaksiat.""Eh, tau nggak sih, Ibu-ibu. Biasanya orang yang selingkuh, kalau sampe zina bakalan terkena penyakit kelamin. Ih, amit-amit, deh. Kalau aku jadi Senja, sih, u
Bu Maria segera berlari ke arah Danish, dan membawanya masuk untuk melihat Senja. Disusul, Fais."Ya Allah, Senja! Kenapa kamu sampai seperti ini, Nak?!" pekik wanita paruh baya itu panik, kala mendapati Senja terbaring di lantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di samping jendela."Senja," panggil Fais mendekat dan berjongkok di samping Bu Maria. Sementara si kecil Danish, adalah yang paling takut di antara mereka."Bundaa ...! Bangun, Bunda. Huhuhu!""Senja, bangun, Nak." Bu Maria menyentuh pipi dan tangan Senja. Telapak tangan mungilnya terasa basah oleh keringat. Dingin.'Mungkinkah, Senja mendengar semuanya?' batin Bu Maria."Bu, ayo kita pindahin dulu ke sofa!""Iya. Awas dulu, Sayang." Wanita paruh baya segera menarik Danish menjauh, agar Fais bisa mengangkat Senja.&
Melihat tingkahmu, membuatku mendadak ingin menjadi orang tua.~Fais.Tok. Tok. Tok."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam! Sebentar!"Fais yang masih berada di belakang, berjalan dengan sedikit tergesa ke pintu utama, setelah mendengar ada yang memberi salam."Danish? Tumben ke sini, malam-malam?" tanya Fais yang baru menyembul dari balik pintu.Bagaimanapun, laki-laki dalam balutan kaos polos dan bawahan jogger pants itu sedikit kaget mendapati bocah yang kini berdiri di depan pintu rumahnya dengan sebuah buku bersampul gambar di tangan."Jadi, nggak boleh ya, Yah?" tanya Danish polos.Tergambar sedikit kekecewaan. Mungkin, tak pernah mendapat penolakan dari laki-laki yang dipanggil Ayah itu sebelumnya. Bukan penolakan, sebenarnya, hanya pemahaman si kecil Danish masih terlalu polos saja. Sebab ayah kandung selalu merespon dengan penolakan atas usahanya. Ketika ... mencari perha
"Hah?" "Mas Fais, ngomong apa barusan?" sambung Senja bertanya bingung, karena ucapan laki-laki itu tidak terdengar jelas olehnya. "Eum, itu maksudnya.. Danish mau aku taro di mana? Berat. Hehe." Fais menyengir sembari mengusap tengkuknya yang tiba-tiba meremang sepersekian detik yang lalu. "Oh, iya, Mas taro aja di sofa. Nanti biar aku yang pindahin ke kamar," tutur Senja sedikit menjauh dari pintu. Memberi ruang untuk Fais membawa putranya ke sofa panjang di ruang tamu. Setelah meletakkan Danish dengan hati-hati, Fais menoleh ke arah seseorang yang berdiri tidak jauh di sana. Bermaksud pamit untuk pulang, namun, lagi-lagi malah melumpuhkan tatapannya. Mirat mata keduanya terkunci dalam keheningan dan keterdiaman. Keterasingan seolah mulai sirna. Seketika pendengaran keduanya tak berfungsi dengan benar. Riuh suara jarum jam yang berd
Dalam ruangan bercat putih susu, seorang lelaki terduduk diam di lantai, sembari menyandarkan punggung ke dinding. Menatap kosong ke depan dengan iris yang meredup.Fais merasa tidak nyaman dengan dadanya sekarang, seperti sesak, saat ucapan yang keluar dari mulut Bu Maria beberapa waktu yang lalu kembali terngiang. Danish telah pergi bersama bundanya, tanpa pamit, tanpa salam perpisahan. Tanpa laki-laki itu ketahui ke mana tujuan mereka.Pikirkan pemilik tubuh kekar itu mulai bercabang seiring dengan estimasi-estimasi aneh yang mulai bermunculan.'Tidakkah aku sedikit berarti sebagai tetangga baginya.''Aku dianggap seperti orang asing.''Tidak bisakah, dia membiarkanku mengucap salam perpisahan pada Danish.''Kenapa harus sekejam itu.Atau,'Bolehkah jika aku merasa kesal? Aku bukan siapa-siapa. Pa
"Permisi." Sebuah suara membuat kalimat Senja terpotong."Mas?" Wanita itu menoleh ke arah pintu masuk dengan tatapan tidak percaya."Ayah?""Ayah Fais?!" ulang Danish girang. "Ayah kenapa ada di sini?" Bocah itu masih sibuk berceloteh di saat dua orang dewasa saling menatap tidak percaya satu sama lain.Senja membatu di balik meja, sementara Fais berdiri di seberang dengan mulut terkunci rapat."Ayah? Kok Danish dicuekin?""Eh?" Suara bocah di samping Senja akhirnya memecahkan lamunan mereka. "Danish bilang apa, Sayang? Maaf, barusan Ayah nggak denger.""Ayah mah gitu," timpal Danish dengan bibir monyong."Ih, lucu banget sih, anak Ayah kalau lagi ngambek." Fais mencoba menggoda agar anak kecil itu terkecoh, dan marahnya mereda. Namun, raut wajah mungil itu tak juga kembali ke mode s
Bergetar tubuh Senja, getaran hebat begitu terasa sampai ke urat nadinya. Jantung wanita itu bertalu laksana genderang perang saat langkah Gibran perlahan semakin mendekatinya.Hanya beberapa puluh senti saja ruang yang tersisa. Bahkan saat Bunda Danish belum sempat bersiap-siap untuk bangkit, mantan suaminya itu sudah membungkukkan diri di hadapannya. Tentu saja dengan tatapan penuh amarah dan menghina.See, kamu tidak akan benar-benar bisa lolos dariku. Seolah begitu pesan tersirat dari tatapan elang milik Gibran."M-mas," lirih Senja terbata."Apa? Kau ingin bermain-main denganku, hem?""Kumohon jangan seperti ini, Mas. Tolong biarkan aku pulang untuk bertemu anakku" pinta wanita yang kerudungnya mulai basah tersebab deraian air mata."Tentu saja kita akan bertemu dengan anak kita. Tapi, setelah urusan kita berdua selesai, Senja. Bagaiman
Hawa nafsumu adalah induk segala berhala: berhala jasmani adalah ular, namun, berhala ruhani adalah naga.~Jalaluddin Rumi~.Dalam sebuah kamar tidur bernuansa kayu, Senja mengerjab perlahan. Pikirannya berkerja keras untuk mendapat jawaban bagaimana bisa dia berada di dalam ruangan itu.Kamar yang nyaman, yang pada lantainya, dinding serta ranjang yang sedang Senja tempati mengandung unsur kayu dari beberapa jenis pilihan, seperti jati, mahoni, cedar, pinus dan beberapa lainnya.Tiap-tiap dari mereka memiliki ciri khas masing-masing. Hingga wanita itu sampai terkesima untuk beberapa detik lamanya, karena aroma khas dari kayu yang menusuk indra penciumannya. Senja termasuk penyuka suasana alam, sehingga aroma itu menjadi candu.Pada dindingnya didominasi oleh kayu olahan sebagai panel dinding yang mengingatkan pada gaya Mid
Happy reading ❤️💝"Mas Gibran?" Wanita yang baru saja muncul di balik punggung laki-laki paruh baya itu terlihat panik."M—mas Gibran ... kenapa bisa ada di sini?"Dalam suaranya yang tergagap, terdapat getaran yang terdengar jelas menembus telinga dua laki-laki yang sedang bersitegang itu.Gibran menatap Natasya dengan mata menyala-nyala. Sementara paruh baya di sampingnya, tampak biasa saja. Tidak ada raut keterkejutan sama sekali di wajahnya yang terlihat mulai banyak garis kerutan.Kini Gibran menyadari satu hal, tentang suatu pertanda yang sebelumnya tidak pernah disangka akan terjadi, bahwa di sini hanya dirinya yang tidak tahu apa-apa. Hanya dia yang dibodohi, hanya dia yang dibohongi. Hanya dia yang diperlakukan dengan tidak layak begini. Tidak manusiawi. Begitu.Hingga satu pertanyaan sempat muncul d
Happy reading 💗💓❤️Hukum tabur tuai sedang berlaku. Semesta sedang menunjukkan pembalasannya..Gibran menegang di tempatnya. Perasaannya campur aduk, antara takut dan penasaran.Benar. Meski sudah mendengar penjelasan Natasya sebelumnya tentang laki-laki yang kini berdiri di hadapannya, tapi hati kecil Gibran tidak bisa menyangkal. Ia ... ragu dengan wanita itu. Tidak yakin kalau bayi itu darah dagingnya."Maksud kamu apa?" tanya Gibran tak lagi menggunakan bahasa formal. Meski begitu, sorot matanya semakin tajam."Wah, rasa penasaran ternyata bisa membuat seseorang semakin akrab, ya?" ejek laki-laki asing itu.Laki-laki misterius yang menemui Natasya dan mengunjungi toko bunga milik Senja, tadi. Laki-laki yang berhasil membuat Fais harus merasa cemburu. Sebab belum pernah Fais temukan pembeli yang memberi bunga yang
"Jika kamu menemukan seseorang yang kamu cinta dalam hidup, kamu harus mempertahankan dan merawatnya. Dan jika kamu cukup beruntung menemukan orang yang mencintaimu, kamu harus melindunginya."~Lady Diana~.Bugh!"Ayah!" pekik Danish saat melihat Fais yang tiba-tiba terkapar di atas tanah berpaving."Aissh!" Fais meringis merasakan nyeri di tulang rahangnya, sembari berusaha bangkit.Betapa terkejutnya laki-laki itu, setelah mengetahui siapa yang baru saja mendaratkan pukulan di wajahnya."Gibran?!"Sementara Danish, sudah berkacak pinggang dan mata yang menghunus tajam pada orang yang selama ini bocah kecil itu ketahui, benci dipanggil Ayah olehnya."Kenapa kamu memukul ayahku?!" teriak anak itu menggelegar. Terdapat amarah yang cukup besar dalam sepasang bola matan
HAPPY READING 💕💖Selain musim penghujan, juga sedang musim seseorang sangat jatuh cinta. Lalu, rasa cemburu juga ikut-ikutan ingin berbicara.Segalanya baru dimulai, hujan, cemburu, dan cinta.Sayangnya, hanya berlaku untuk satu pihak saja. Cinta tidak akan sempurna, kecuali dua telapak tangan bertemu dan menghasilkan suara dari tepukan mesra.."Maaf, Anda siapanya Natasya?"Terhenyak Natasya. Matanya menatap takut ke arah laki-laki yang baru saja menyapa mereka.Natasya menggeleng, saat laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya. Seolah meminta persetujuan pada istri Gibran sebelum membuka suara."Saya ...."" Ibu Natasya!" Panggilan suster dari balik kaca transparan menandakan keberuntungan sedang berpihak pada wanita itu."Ayo, Sayang, sekarang giliranku."
HAPPY READING 💘☺️MAAF TYPO BERTEBARANSebagaimana maksud dari sebuah keikhlasan, yaitu kerelaan akan harapan yang tak pernah menjadi kenyataan, melainkan kenangan. Hanya untuk dikenang sebagai sebatas angan.Gibran tengah mengalaminya, laki-laki yang parasnya serupa jelmaan pangeran bagi seorang perempuan, di masa lalu, kini tengah merasa dirinya berada pada titik paling rendah dan curam.Terlempar dan tersandera di pusat bumi, dengan hanya kegelapan yang didapatinya ke mana arah tangan meraba, dan mata menerawang. Di setiap sudut, timur dan barat, selatan dan utara. Gibran merasa dirinya paling tersiksa dan terluka. Hanya dirinya.Mengira Senja wanita paling kejam, bisa melupakannya begitu saja. Senja dianggap begitu jahat, sebab tak pernah hadir pada sidang gugatan perceraian yang wanita itu layangkan di pengadilan, hingga saat perkara diputuskan.Yang data
Terhitung dari segala hari yang telah dilalui tanpa Senja dan buah hati yang sempat tak sudi 'tuk diakui. Baru sekarang, Gibran terlihat sangat berantakan. Untuk pertama kalinya.Baru kali ini, air matanya mengucur tak henti. Baru kali ini, foto Danish yang terletak di atas meja di kamar bekas bocah itu, menjadi perhatiannya.Gibran menatapnya lekat-lekat. Menyentuh permukaan bingkai kaca itu dengan tangan gemetar. Mengukur setiap inci wajah anak kecil di balik bingkai kaca itu dengan seksama. Yang hampir 80 persen mewarisi dirinya. Sisanya milik Senja. Laki-laki itu tersadar, Danish adalah murni perpaduan mereka berdua."Anakku. Maafkan Ayah, Nak. Maaf. Selama ini Ayah bod0h.""Ya Tuhan, aku telah menghancurkan rumah tanggaku dengan keegoisan dan kebod0han. Aku telah menyakiti istriku dan mengkhianatinya. Perbuatanku sangat hina. Aku tidak pantas untuk dimaafkan
Telah bertekad untuk melepaskan diri, namun, tali takdir terus membelit tanpa henti.."Anak Ayah, kenapa? Kok kelihatan lesu? Danish sakit?" Di seberang sana, suara Fais terdengar khawatir."Nggak, Yah. Danish habis main hujan tadi. Ayah lagi apa? Danish kangen sama Ayah Fais. Kapan Ayah ke sini, lagi?""Ya ampun jagoan, Ayah. Jangan sering-sering main hujan ya, Nak. Nanti Danish bisa demam. Eum, Ayah baru pulang dari kantor, sekarang lagi istirahat. Ayah juga kangeennn banget sama Danish. Beberapa hari lagi Ayah ke sana, ya, sekalian jemput Danish pulang sekolah. Kan, nanti hari Senin, kata Bunda, Danish mau sekolah.""Jadi, Ayah mau jemput Danish di sekolah?""Iya, dong. Boleh nggak nih, Ayah, jemput?""Yeee! Asik! Boleh, Yah. Danish sih maunya setiap hari dijemput sama Ayah!""Kan, Ayah harus kerja